(Sekedar untuk mengiringi penerbitan buku Irwan Masduqi)
Oleh : M. Anis Mashduqi
Tidak ada yang tahu secara persis kapan Kyai Nur Iman dilahirkan. Belum ada sumber tertulis yang bisa diakses – minimal oleh penulis – untuk menentukan secara persis kelahirannya. Beberapa sumber penceritaan (orale) hanya menyebutkan bahwa Kyai Nur Iman adalah cucu dari Pangeran Puger yang tak lain adalah raja Mataram yang diangkat pada tahun 1704. Dengan begitu, Kyai Nur Iman adalah generasi ulama Islam Nuisantara yang hidup tepatnya pada awal abad ke 18.
Sejarah banyak bercerita bahwa ayahanda Kyai Nur Iman yang bernama RM. Suryo Putro adalah raja Mataram yang berkuasa sampai tahun 1726 setelah meninggalnya ayahanda, Pangeran Puger, pada tahun 1719. RM. Sejarah juga menelusur bahwa Suryo Putro, sebelum menjadi Raja, ternyata adalah seorang santri di Pondok Pesantren Gedangan Surabaya yang pada saat itu diasuh oleh Kyai Abdullah Hasan. Di pesantren ini, Suryo Putro dikenal dengan nama Muhammad Ihsan.
Ketika harus meninggalkan pesantren dan menjadi raja Mataram, RM. Suryo Putro, menitipkan seorang istri yang sedang hamil kepada Sang Kyai. Bayi yang masih dalam kandungan RA. Retno Susilowati, seorang putri Adipati, inilah yang pada akhirnya dikenal dengan RM. Sandeyo atau M. Nur Iman. Ketika RM. Suryo Putro memangku kerajaan Mataram, M. Nur Iman terus tumbuh dewasa di bawah bimbingan Kyai Abdullah Hasan.
Sebelum meninggal dunia, RM. Suryo Putro mengirim utusan untuk menjemput M. Nur Iman untuk pulang ke Mataram. M. Nur Iman bersedia pulang, akan tetapi tidak bersama dengan utusan tersebut. Setelah mendapatkan izin dari Sang Kyai dan mendengarkan semua nasihatnya, maka M. Nur Iman berangkat ke Mataram. Sepanjang perjalanan, M. Nur Iman berdakwah menyebarkan ilmu agama dan mendirikan pondok pesantren di sepanjang Ponorogo dan Pacitan. Kyai Abdullah Hasan mempunyai keyakinan kuat bahwa kelak M. Nur Iman menjadi ulama besar.
Pada saat terjadinya perang saudara antara adik-adik Kyai Nur Iman, yakni Pangeran Sambernyowo/RM. Said dan Pangeran Mangkubumi/RM. Sujono, juga dengan terjadinya huru-hara antara bangsa Tionghoa dengan kompeni Belanda yang terkenal dengan Geger Pecinan, M. Nur Iman memilih meninggalkan istana dan keluar dari hiruk pikuk perebutan kekuasaan. Selain berdakwah, M. Nur Iman juga menanamkan jiwa patriotisme melawan kompeni kepada rakyat yang ditemui sepanjang perjalanannya ke arah barat sampai pada daerah yang bernama Kulon Progo.
Perselisihan antar kedua saudara M. Nur Iman akhirnya berakhir dengan perjanjian di Desa Giyanti pada tahun 1755, kemudian dikenal dengan perjanjian Giyanti yang membelah mataram menjadi dua; Keraton Surakarta dan Keraton Ngayogyakarta. Sementara itu, M. Nur Iman sekeluarga pindah ke utara, di sebelah timur Kali Progo tepatnya di desa Kerisan. Di desa inilah ia bertemu dengan Sultan Hamengku Buwana I (yang tidak lain adalah adiknya). Pada tahun 1776, saat Jumenengan Pangeran Mangkubumi menjadi raja Mataram Ngayogyakarta Hadiningrat dengan gelar Ngarso Dalem Sampeyan Dalem Ingkang Sinuwun Kanjeng Sultan Hamengku Buwana Senopati Ing Ngalaga Khalifatulloh Ngabdurrohman Sayidin Panotogomo ingkang Jumeneng Sepisan, yang kemudian lebih umum disebut Hamengku Buwana I, M. Nur Iman Mlangi diberi hadiah tanah Perdikan (tanah bebas pajak). Tanah tersebut kemudian dijadikan dusun dan digunakan untuk pengembangan agama Islam. Didirikan pula pondok pesantren untuk mulangi atau mengajar agama. Atas dasar kata mulangi inilah kemudian desa tersebut dikenal menjadi desa Mlangi sampai sekarang.
Dari Dusun Mlangi, dakwah Kyai Nur Iman menyebar bahkan sampai ke Malaysia melalui keturunan dan santri-santrinya. Zaman Pemerintahan Hamengku Buwana I merupakan zaman keemasan Yogyakarta Hadiningrat. Setelah Hamengku Buwana I wafat, pemerintahan digantikan oleh putranya yang bernama RM. Sundoro yang bergelar Hamengku Buwana II. Beliau sangat nasionalis dan rela berkorban untuk rakyatnya. Terlebih dalam pengembangan agama. Hal ini terlihat dengan baiknya hubungan antara ulama dan umara pada saat itu.
Pada masa pemerintahaan Hamengku Buwana II inilah Kyai Nur Iman Mlangi mengarahkan agar Raja membangun empat masjid besar untuk mendampingi masjid yang sudah berdiri terlebih dahulu di kampung Kauman. Masjid yang akan dibangun tersebut disarankan oleh Kyai Nur Iman dibangun di empat arah dan diberi nama Masjid Patok Nagari. Keempat masjid tersebut adalah: di sebelah Barat terletak di dusun Mlangi, di sebelah Timur terletak di desa Babadan, di sebelah Utara terletak di desa Ploso Kuning, di sebelah Selatan terletak di desa Dongkelan.
Secara keilmuan, Kyai Nur Iman adalah seorang santri yang waktu itu tidak hanya menguasai akan tetapi juga menuliskan karya yang mencerminkan penguasaan tradisi multidisipliner Islam klasik. Ia membangun otoritas dan menulis tidak hanya dalam satu bidang keilmuan akan tetapi tiga bidang keilmuan sekaligus yaitu gramatikal, morfologi dan tasawuf (mistisisme). Al-Taqwim adalah karyanya dalam bidang gramatika Arab, Shorf Mlangi/Al-Risalah dalam bidang morfologi dan Asna Al-Mathalib dalam bidang Nahwu-Tasawuf. Tasawuf fikri, oleh Kyai Nur Iman, dikombinasikan dengan tasawuf amali dalam penerapan laku riyadhah, mujahadah dan perlawanan terhadap potensi-potensi buruk duniawi termasuk politik-kekuasaan. Kyai Nur Iman juga melestarikan watak kosmopolitanisme Islam klasik dalam sejarah pengelanaannya. Pada kenyataannya, Kyai Nur Iman nyantri di beberapa wilayah di Nusantara terutama Jawa Timur. Ia pun, dalam sejarahnya, mendirikan pesantren-pesantren di sepanjang Ponorogo dan Pacitan.
Generasi-generasi Kyai Nur Iman pun sampai saat ini seakan mewarisi tradisi itu, terbukti mereka cukup gandrung melakukan pengelanaan intelektual. meski di Mlangi sendiri berserakan pesantren yang menjadi rujuan belajar santri yang datang dari berbagai wilayah Nusantara, baik Jawa maupun luar Jawa. Lusinan generasi-generasi baru itu berkelana di pesantren-pesantren Nusantara terutama pulau Jawa seperti Lirboyo, Tegalrejo, Paiton dan Krapyak yang di antara mereka mempunyai kompetensi ilmiah akademik cukup baik dan berpengaruh di masyarakat. Bahkan di antara mereka menekuni studi lebih lanjut di luar negeri.
Walhasil, dari kampung yang sebenar-benarnya kampung ini, lahir pesantren-pesantren besar di luar wilayahnya, di antaranya adalah PP. Watu Congol Muntilan (KH. Ahmad Abdul Haq), PP. Tegalrejo Magelang (KH. Abdurrahman Khudlori), PP. Al Asy'ariyyah Kalibeber Wonosobo (KH. Muntaha), PP. Bambu runcing Parakan Temanggung (KH. Muhaiminan), PP. Secang Sempu Magelang (KH. Ismail Ali) dan banyak sekali pesantren generasi berikutnya yang mengakar secara nasab dan akademik-intelektual ke pesantren-pesantren besar ini. Di Mlangi sendiri, saat ini telah berdiri puluhan pesantren kecil dengan kesetiaan terhadap tradisi yang kuat meski di sisi lain juga mempunyai beberapa kandidat doktor, dan beberapa sarjana strata I dan II dalam dan luar negeri dalam berbagai disiplin ilmu.
(Diakses dari beberapa sumber tulis dan lisan)
Oleh : M. Anis Mashduqi
Tidak ada yang tahu secara persis kapan Kyai Nur Iman dilahirkan. Belum ada sumber tertulis yang bisa diakses – minimal oleh penulis – untuk menentukan secara persis kelahirannya. Beberapa sumber penceritaan (orale) hanya menyebutkan bahwa Kyai Nur Iman adalah cucu dari Pangeran Puger yang tak lain adalah raja Mataram yang diangkat pada tahun 1704. Dengan begitu, Kyai Nur Iman adalah generasi ulama Islam Nuisantara yang hidup tepatnya pada awal abad ke 18.
Sejarah banyak bercerita bahwa ayahanda Kyai Nur Iman yang bernama RM. Suryo Putro adalah raja Mataram yang berkuasa sampai tahun 1726 setelah meninggalnya ayahanda, Pangeran Puger, pada tahun 1719. RM. Sejarah juga menelusur bahwa Suryo Putro, sebelum menjadi Raja, ternyata adalah seorang santri di Pondok Pesantren Gedangan Surabaya yang pada saat itu diasuh oleh Kyai Abdullah Hasan. Di pesantren ini, Suryo Putro dikenal dengan nama Muhammad Ihsan.
Ketika harus meninggalkan pesantren dan menjadi raja Mataram, RM. Suryo Putro, menitipkan seorang istri yang sedang hamil kepada Sang Kyai. Bayi yang masih dalam kandungan RA. Retno Susilowati, seorang putri Adipati, inilah yang pada akhirnya dikenal dengan RM. Sandeyo atau M. Nur Iman. Ketika RM. Suryo Putro memangku kerajaan Mataram, M. Nur Iman terus tumbuh dewasa di bawah bimbingan Kyai Abdullah Hasan.
Sebelum meninggal dunia, RM. Suryo Putro mengirim utusan untuk menjemput M. Nur Iman untuk pulang ke Mataram. M. Nur Iman bersedia pulang, akan tetapi tidak bersama dengan utusan tersebut. Setelah mendapatkan izin dari Sang Kyai dan mendengarkan semua nasihatnya, maka M. Nur Iman berangkat ke Mataram. Sepanjang perjalanan, M. Nur Iman berdakwah menyebarkan ilmu agama dan mendirikan pondok pesantren di sepanjang Ponorogo dan Pacitan. Kyai Abdullah Hasan mempunyai keyakinan kuat bahwa kelak M. Nur Iman menjadi ulama besar.
Pada saat terjadinya perang saudara antara adik-adik Kyai Nur Iman, yakni Pangeran Sambernyowo/RM. Said dan Pangeran Mangkubumi/RM. Sujono, juga dengan terjadinya huru-hara antara bangsa Tionghoa dengan kompeni Belanda yang terkenal dengan Geger Pecinan, M. Nur Iman memilih meninggalkan istana dan keluar dari hiruk pikuk perebutan kekuasaan. Selain berdakwah, M. Nur Iman juga menanamkan jiwa patriotisme melawan kompeni kepada rakyat yang ditemui sepanjang perjalanannya ke arah barat sampai pada daerah yang bernama Kulon Progo.
Perselisihan antar kedua saudara M. Nur Iman akhirnya berakhir dengan perjanjian di Desa Giyanti pada tahun 1755, kemudian dikenal dengan perjanjian Giyanti yang membelah mataram menjadi dua; Keraton Surakarta dan Keraton Ngayogyakarta. Sementara itu, M. Nur Iman sekeluarga pindah ke utara, di sebelah timur Kali Progo tepatnya di desa Kerisan. Di desa inilah ia bertemu dengan Sultan Hamengku Buwana I (yang tidak lain adalah adiknya). Pada tahun 1776, saat Jumenengan Pangeran Mangkubumi menjadi raja Mataram Ngayogyakarta Hadiningrat dengan gelar Ngarso Dalem Sampeyan Dalem Ingkang Sinuwun Kanjeng Sultan Hamengku Buwana Senopati Ing Ngalaga Khalifatulloh Ngabdurrohman Sayidin Panotogomo ingkang Jumeneng Sepisan, yang kemudian lebih umum disebut Hamengku Buwana I, M. Nur Iman Mlangi diberi hadiah tanah Perdikan (tanah bebas pajak). Tanah tersebut kemudian dijadikan dusun dan digunakan untuk pengembangan agama Islam. Didirikan pula pondok pesantren untuk mulangi atau mengajar agama. Atas dasar kata mulangi inilah kemudian desa tersebut dikenal menjadi desa Mlangi sampai sekarang.
Dari Dusun Mlangi, dakwah Kyai Nur Iman menyebar bahkan sampai ke Malaysia melalui keturunan dan santri-santrinya. Zaman Pemerintahan Hamengku Buwana I merupakan zaman keemasan Yogyakarta Hadiningrat. Setelah Hamengku Buwana I wafat, pemerintahan digantikan oleh putranya yang bernama RM. Sundoro yang bergelar Hamengku Buwana II. Beliau sangat nasionalis dan rela berkorban untuk rakyatnya. Terlebih dalam pengembangan agama. Hal ini terlihat dengan baiknya hubungan antara ulama dan umara pada saat itu.
Pada masa pemerintahaan Hamengku Buwana II inilah Kyai Nur Iman Mlangi mengarahkan agar Raja membangun empat masjid besar untuk mendampingi masjid yang sudah berdiri terlebih dahulu di kampung Kauman. Masjid yang akan dibangun tersebut disarankan oleh Kyai Nur Iman dibangun di empat arah dan diberi nama Masjid Patok Nagari. Keempat masjid tersebut adalah: di sebelah Barat terletak di dusun Mlangi, di sebelah Timur terletak di desa Babadan, di sebelah Utara terletak di desa Ploso Kuning, di sebelah Selatan terletak di desa Dongkelan.
Secara keilmuan, Kyai Nur Iman adalah seorang santri yang waktu itu tidak hanya menguasai akan tetapi juga menuliskan karya yang mencerminkan penguasaan tradisi multidisipliner Islam klasik. Ia membangun otoritas dan menulis tidak hanya dalam satu bidang keilmuan akan tetapi tiga bidang keilmuan sekaligus yaitu gramatikal, morfologi dan tasawuf (mistisisme). Al-Taqwim adalah karyanya dalam bidang gramatika Arab, Shorf Mlangi/Al-Risalah dalam bidang morfologi dan Asna Al-Mathalib dalam bidang Nahwu-Tasawuf. Tasawuf fikri, oleh Kyai Nur Iman, dikombinasikan dengan tasawuf amali dalam penerapan laku riyadhah, mujahadah dan perlawanan terhadap potensi-potensi buruk duniawi termasuk politik-kekuasaan. Kyai Nur Iman juga melestarikan watak kosmopolitanisme Islam klasik dalam sejarah pengelanaannya. Pada kenyataannya, Kyai Nur Iman nyantri di beberapa wilayah di Nusantara terutama Jawa Timur. Ia pun, dalam sejarahnya, mendirikan pesantren-pesantren di sepanjang Ponorogo dan Pacitan.
Generasi-generasi Kyai Nur Iman pun sampai saat ini seakan mewarisi tradisi itu, terbukti mereka cukup gandrung melakukan pengelanaan intelektual. meski di Mlangi sendiri berserakan pesantren yang menjadi rujuan belajar santri yang datang dari berbagai wilayah Nusantara, baik Jawa maupun luar Jawa. Lusinan generasi-generasi baru itu berkelana di pesantren-pesantren Nusantara terutama pulau Jawa seperti Lirboyo, Tegalrejo, Paiton dan Krapyak yang di antara mereka mempunyai kompetensi ilmiah akademik cukup baik dan berpengaruh di masyarakat. Bahkan di antara mereka menekuni studi lebih lanjut di luar negeri.
Walhasil, dari kampung yang sebenar-benarnya kampung ini, lahir pesantren-pesantren besar di luar wilayahnya, di antaranya adalah PP. Watu Congol Muntilan (KH. Ahmad Abdul Haq), PP. Tegalrejo Magelang (KH. Abdurrahman Khudlori), PP. Al Asy'ariyyah Kalibeber Wonosobo (KH. Muntaha), PP. Bambu runcing Parakan Temanggung (KH. Muhaiminan), PP. Secang Sempu Magelang (KH. Ismail Ali) dan banyak sekali pesantren generasi berikutnya yang mengakar secara nasab dan akademik-intelektual ke pesantren-pesantren besar ini. Di Mlangi sendiri, saat ini telah berdiri puluhan pesantren kecil dengan kesetiaan terhadap tradisi yang kuat meski di sisi lain juga mempunyai beberapa kandidat doktor, dan beberapa sarjana strata I dan II dalam dan luar negeri dalam berbagai disiplin ilmu.
(Diakses dari beberapa sumber tulis dan lisan)