Oleh Irwan Masduqi
Gerakan dakwah Jamaah Tabligh (JT)
semakin meluas di Asia dan Eropa dengan membawa ajaran-ajaran yang unik.
Tak pelak apabila fenomena ini kemudian menarik perhatian para sarjana
Barat untuk menelitinya. Barbara D. Metcalf, Professor di bidang sejarah
yang mengajar di Davis University, California, adalah salah satu
peneliti Barat yang sangat antusias mendalami doktrin-doktrin JT. Ia
menulis artikel berjudul Living Hadith in the Tablighi Jama’at yang
dipublikasikan di Journal of Asian Studies (Agustus 1993).
Artikel
ini concern membahas sejarah singkat kemunculan JT dan peran hadith
dalam membentuk perilaku keberagamaan komunitas JT. JT, yang pengikutnya
di Indonesia dijuluki Islam Kompor, Islam Kathok Congklang, dan Islam
Jaulah, adalah gerakan kebangkitan spiritual Islam yang muncul pertama
kali di India Utara pada tahun 1920-an.
Tujuan fundamental
gerakan ini adalah tabligh (conveying); menyampaikan ajaran-ajaran
Islam yang berbasis pada syariat. Pada awal kemunculannya, JT
menggunakan terjemah al-Quran dan Hadith dengan bahasa daerah setempat,
yakni Urdu, untuk menanamkan ajaran dan praktik agama yang benar bagi
umat Islam.
Untuk membicarakan living hadith maka Barbara
memperhatikan dua hal; upaya para pengikut JT untuk hidup dengan pedoman
hadith di satu sisi dan, di sisi lain, peran hadith dalam membentuk
pola perilaku yang merepresentasikan spirit hadith sehingga ajaran
hadith menjadi fenomena yang hidup. Bagi Barbara, terjemahan hadith
telah memainkan peran besar dalam rangka penyebaran doktrin JT.
Kompilasi hadith JT diproyeksikan menjadi kritik terhadap budaya yang
dinilai menyimpang dari budaya primordial kenabian. Kemudian hendak
membentuk komunitas beridentitas Islami.
Kompilasi hadith
yang sangat populer di kalangan JT adalah Tabligh al-Nisab (The Tabligh
Curriculum) atau Fazail al-A’mal (The Merits/Reward of Actions). Maulana
Zakariyya menulis karya ini atas permintaan pendiri Jamaat Tabligh,
Maulana Muhammad Ilyas Kandahlawi (w. 1944). Maulana Zakariyya adalah
sarjana akademi teologi di Deoband dan pengganti Maulana Rashid Ahmad
Gangohi (w. 1905) sebagai pemimpin spiritual. Maulana Zakariyya juga
bertindak sebagai pengajar hadith di akademi reformis di Mazahir
al-Ulum, Saharanpur. Semua karya JT merupakan koleksi ajaran-ajaran
tentang keutamaan ritual dalam rangka meningkatkan aktivitas ibadah
kepada Allah. Koleksi kanonik hadith JT mencakup keutamaan ibadah
shalat, membaca al-Quran, zikir, haji, amal jariyah, dan kewajiban
menyampaikan pesan Islam (tabligh).
Kritik budaya yang
dilakukan JT juga memfungsikan cerita-cerita sahabat (Hikayat Sahabat).
Kompilasi cerita sahabat memiliki peran untuk mendeskripsikan masa lalu
yang diwarnai oleh perilaku unggul dan perjuangan pantang menyerah para
sahabat. Di sisi lain mendeskripsikan masa kini yang dinilai telah
menyimpang dari nilai-nilai adiluhung masa lalu. Sasaran cerita ini
adalah untuk semua orang lintas usia. Dengan cerita ini maka JT
memproyeksikan suatu pembenahan perilaku eksternal maupun internal
seperti ajaran sabar, takut pada Allah, menahan nafsu, peniadaan diri,
kejujuran, ketaatan menjalankan ibadah, pengorbanan diri, keperwiraan,
gairah mencari ilmu, cinta Rasul, dan lain-lain.
Semua
teks-teks JT berupaya mempraktikan ajaran-ajaran luhur tersebut. JT
tidak membandingkan kebaikan generasi pendahulu dengan kebaikan generasi
sekarang. JT lebih fokus membandingkan kebaikan muslim masa lalu dengan
fenomena bid’ah pada masa kini. Melihat ketimpangan dan penyimpangan
antara masa lalu dan masa kini maka JT hendak menghidupkan kembali
sunnah Nabi. Para pendahulu mempunyai akhlak yang mulia, sementara
pemeluk Islam sekarang sudah jauh dari akhlak itu. Menyikapi hal ini
Maulana Zakariyya merasa aneh kenapa kita mengklaim sebagai pengikut
Nabi sementara perilaku kita jauh dari ajaran Nabi. Bagi Maulana
Zakariyya, klaim tersebut adalah absurd.
Keindahan masa
lalu dan kehinaan masa kini menjadikan JT terbuai dalam romantisme masa
lalu. Para pengikutnya berorientasi mengembalikan suasana primordial
kehidupan Nabi baik dalam cara beribadah maupun aktivitas sehari-hari.
Mereka berjubah, berjenggot, bercelana di atas mata kaki, dan
seterusnya. Di sinilah ciri khas life style JT. Banyak kalangan yang
mengkritik paradigma romantisme ini karena dinilai tidak mencerminkan
sebuah keberagamaan kritis; mereka tidak mampu membedakan antara
substansi agama Islam dan budaya Arab. Mereka juga tidak membedakan
antara perilaku Nabi sebagai manusia biasa dan sebagai Rasul. Akibatnya,
segala sesuatu yang dilakukan oleh Nabi dianggap murni ajaran Islam.
Hal
ini berbeda dibanding paradigma kalangan modernis, misalnya, yang
memandang modernitas sebagai hal yang niscaya, meskipun bukan berarti
harus membuang nilai-nilai substansial tradisi. Kalangan modernis tidak
serta merta menerima tradisi secara harfiyah dan membid’ahkan
modernitas. Sebaliknya, tradisi dan modernitas harus saling menyesuaikan
secara harmonis. Pandangan modernis bertolak belakang dengan JT yang
hitam putih dalam melihat kesenjangan tradisi dan modernitas; mereka
memperlakukan tradisi secara tekstual dan melihat modernitas secara
sinis.
JT menghimbau para pengikutnya untuk menghapalkan
hadith dan mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari, JT juga
menghimbau para pengikutnya untuk giat menyebarkan agama Islam ke semua
lapisan masyarakat. Tugas menyampaikan Islam (tabligh) bukan hanya
diemban oleh ulama, tetapi oleh semua pengikut JT. Semua anggota JT
wajib menyebarkan Islam sesuai kemampuan masing-masing. Dalam rangka
tabligh, mereka melakukan khuruj, yakni keluar rumah untuk berekspedisi
menyampaikan ajaran-ajaran
Islam. Khuruj minimal 4 bulan seumur
hidup, 40 hari setiap tahun dan 3 hari setiap bulan. Khuruj dapat
ditingkatkan dengan keluar 4 bulan setiap tahun, 10 hari setiap bulan
dan 8 jam setiap hari.
Bagi JT, jihad dipahami sebagai
upaya memberikan nasehat kepada orang lain, bukan perang dengan senjata.
Melalui jihad nasehat maka seorang muslim dapat menyebarkan Islam
secara dinamis. JT hanya mementingkan dakwah agama, tetapi
mengesampingkan gerakan politik. Oleh sebab itu muncul respon dari
Maulana Maududi yang mendirikan Jamaat Islami (JI) sebagai bentuk kritik
terhadap JT. Bagi Maududi, Islam tidak hanya gerakan dakwah murni
tetapi gerakan politik dan organisasi sosial. JT dan JI memang berbeda;
JT muncul sebagai respon terhadap kian jauhnya budaya Islam dengan
budaya otentik kenabian, sementara JI muncul sebagai respon atas
mandulnya Islam dalam menghadapi kolonialisme.
Barbara
akhirnya menyimpulkan bahwa hadith telah memberikan inspirasi yang besar
bagi perkembangan JT yang sekarang telah menjadi gerakan dakwah
transnasional. Namun Barbara mengkritik bahwa hadith telah dipahami oleh
JT sebagai sumber ideologi individualis yang hanya mementingkan
keselamatan personal dan kurang menghiraukan persoalan sosial. JT juga
sering memahami hadits secara tekstual tanpa membedakan antara ajaran
Islam dan budaya Arab, sehingga terkesan Arabis.