Oleh: Jum'an Basalim
Suatu malam ketika masih tinggal didesa,
saya mendengar suara orang sedang berusaha membobol rumah saya yang
hanya berdinding bambu. Saya memang tidak siap dan tidak tahu cara
menghadapi pencuri kecuali berteriak minta tolong Sayapun berteriak
sekeras-kerasnya berkali-kali dan saya dengar suara orang lari menabrak
tiang jemuran. Anehnya tak seorangpun tetangga saya yang datang menolong
meskipun jaraknya dekat dan pasti mendengar teriakan saya. Itu puluhan
tahun yang lalu tetapi saya tetap ingat. Suatu malam, Kitty Genovese seorang karyawati di New York
berteriak-teriak minta tolong karena dua kali ditusuk orang dengan
pisau tapi tak seorangpun tetangga datang menolong. Penjahat itu lari
tetapi beberapa menit kemudian kembali lagi, memperkosa dan menusuknya
berkali-kali sampai mati. Kasus yang menimpa Kitty Genovese itu tidak
hanya mendapat publikasi yang luas tapi kemudian menjadi bahan
penelitian para psikolog yang seterusnya menyebut fenomena sosial
seperti itu sebagai Sindrom Genovese atau Bystander Effect. Efek
penonton atau sindrom Genovese adalah fenomena, kejadian dimana banyak
orang tidak melakukan apa-apa sementara menyaksikan kejahatan
berlangsung. Tidak jarang kita melihat hal demikian disekitar kita.
Orang mengalami “buta yang disengaja” (motivated blindness) tidak mau melihat sesuatu yang tidak merupakan minat mereka.
Dalam
sebuah penelitian, kepada sejumlah orang diperlihatkan gambar-gambar
yang beberapa diantaranya berbau porno dan gerakan mata mereka diikuti
melalui alat pemantau. Mereka yang merasa resah dengan pornografi tidak
pernah membiarkan matanya menatap gambar itu. Pikirannya dengan cekatan
meraba situasi dan entah bagaimana dengan buru-buru memasang filter
untuk mengalihkan perhatiannya dari hal-hal yang meresahkan. Dari satu
sisi, hal ini mungkin merupakan mekanisme defensif yang bermanfaat akan
tetapi bakat mengalihkan perhatian itu juga merupakan pintu masuk
kejahatan bagi kebanyakan orang. Karena bagaimanapun "buta yang
disengaja" adalah tindakan membodohi diri yang memudahkan kita untuk
mengabaikan informasi dan fakta yang tidak kita sukai. Para ahli yang
mendalami etika perilaku melihat banyak peristiwa tidak etis yang
terjadi karena orang secara tidak sadar membodohi diri mereka sendiri,
bukan sejak awal sudah berniat jahat. Mereka mengabaikan pelanggaran -
membelokkan aturan untuk membantu rekan, mengabaikan informasi yang
merusak reputasi- disesuaikan dengan kepentingan sendiri. Ketika direksi
perusahaan sibuk mengejar target penjualan atau tim sukses partai giat
menggolkan calonnya, perlunya etika dalam tindakan yang penting hilang
dari pikiran mereka. Ini menyebabkan mereka terlibat atau memaafkan
perilaku yang sebenarnya mereka kutuk jika mereka menyadarinya. Orang
mudah sekali membodohi diri. Kita memperhatikan fakta-fakta yang kita
sukai dan menyembunyikan yang sebaliknya. Kita blow-up kebaikan kita dan
menyangka bahwa tindakan kita lebih bijak dari yang sebenarnya kita
lakukan.
Ketika kita mengalami kebutaan dan tidak melihat
bahwa suatu keputusan itu memiliki komponen etika, kita dapat bersikap
tidak etis sambil mempertahankan citra diri yang positif. Penelitian oleh Max H. Bazerman, profesor bisnis di Harvard, dan Ann Tenbrunsel,
profesor manajemen di Univ. Notre Dame membuktikan bahwa orang secara
konsisten merasa bahwa ia lebih jujur, lebih etis dari yang sebenarnya.
"Ketika tiba saatnya untuk membuat keputusan, otak kita didominasi oleh
pikiran bagaimana kita ingin berperilaku; pikiran bagaimana kita
seharusnya berperilaku menghilang" kata mereka.
Sebenarnya
Alqur’an telah mengingatkan bahwa kita memang mempunyai cacat seperti
itu apapun namanya: bystander effect, sidrom Genovese, maupun buta
sengaja. Surat Yusf ayat 53 menyebutkan: "...sesungguhnya nafsu manusia
itu sangat mendorong melakukan kejahatan (certainly prone to evil),
kecuali orang-orang yang telah diberi rahmat oleh Alloh". Oleh karena
itu bagian penting dari perjuangan hidup adalah untuk melawan nafsu.
Nabi mengatakan bahwa perang melawan nafsu adalah jihad, bahkan suatu
jihad yang besar. Kecenderungan kita yang mati-rasa dan lumpuh, tidak
mau campur tangan meskipun bersama-sama menyaksikan kejahatan, dalam
istilah kita tak ada yang memenuhi fardu kifayah. Contoh klasiknya:
diantara kita harus ada yang bisa melakukan solat jenazah, kalau sampai
tidak maka semua kita berdosa. Kita diingatkan bahwa ada kewajiban yang
dituntut dari sebagian orang, yang kalau kita mengambil inisiatif itu,
kita termasuk orang yang beruntung. "Dan hendaklah ada dari kamu satu
umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan
mencegah dari yang munkar; mereka adalah orang-orang yang beruntung".
(Ali Imran, 104). Berjihad melawan Genovese Syndrome? Why not?