Oleh Zainal Fanani[2]
Kaum sufi seperti bumi,yang
diinjak oleh orang saleh maupun pendosa;juga seperti mendung,yang
memayungi segala yang ada;seperti air hujan,mengaliri segala sesuatu.
[Al-Junaid al-Baghdady]
Mereka
adalah kelompok manusia yang mengalami kelapangan jiwa yang
mencampakkan segala milik mereka sampai mereka kehilangan
segala-galanya.Mereka diseru oleh rahasia-rahasia yang lebih dekat di
hatinya,ingatlah,menangislah kalian karena kami
[Al-Kharraz]
Prolog
Diskursus
tasawuf telah menarik banyak perhatian,baik dikalangan sarjana barat
maupun para pemikir muslim sendiri.Keberadaannya seakan menjadikan
'decak kagum' bagi para pengagungnya sekaligus menjadi bahan cibiran
orang yang membencinya.Pada umumnya diskursus dalam tasawuf ini tidak
lebih hanya sekedar menyorot terhadap sisi epistemologis dan eksistensi
dari tasawuf itu sendiri.Paradigma semacam ini harap bisa
dimaklumi,mengingat dalam perjalan panjang sejarah tasawuf memang sering
bersinggungan dengan peradaban di luar Islam.Sarjana orientalis dengan
teori borrowing and influence (meminjam dan keterpengaruhan) mendaku bahwa tasawuf dalam tradisi islam hanyalah sekedar proses copy paste
dari tradisi di luar islam(tasawuf Hindia,filsafat
Yunani,Neo-Platonisme,Hellenisme,dan tasawuf Kristen).Meskipun
demikian,itu bukan berarti telah mempresentasikan pandangan islamolog
barat secara keseluruhan,ada sebagian islamolog barat yang menyatakan
bahwa tasawuf adalah murni produk islam, diantaranya:Louis
Massignon,Duncan Black Macdonald,David Samuel Margoliouth,dan Reynold
Alleyne Nicholson.[3]
Dalam tubuh umat islam sendiri,ada
sebagian kelompok radikalis-fundamentalis yang dipelopori oleh Muhammad
ibn Abdul Wahab dengan gerakan purifikasinya menyatakan dengan sangat
tegas bahwa tasawuf tidak mempunyai akar genealogis dalam islam.Bahkan
yang lebih tragis--masih menurut kalangan ekstrim ini--tasawuf merupakan
perbuatan kurafat,bid'ah,dan musyrik.[4] Menurut hemat penulis,ini
lebih disebabkan karena ketidak berhasilan mereka dalam membaca
turats[5],untuk tidak mengatakan tidak faham sama sekali.Kalau kita mau
jujur, sebenarnya dalam kelompok ini ada semacam degradasi atau seperti
apa yang disebut Dr.M S R Bouti--ulama kharismatik Syiria--sebagai al-jisr al-maqthu'/the broken bridge,atau Muhammad Abed Al-Jabiri--intelektual islam asal Maroko--lebih senang menyebutnya dengan al-qathi'ah al-ma'rifah/epistemological repture (pemutusan epistemologi),yaitu antara pengikut(tabi') dengan yang diikuti(matbu').Dimana imam panutan kelompok ini(matbu')--yang
dalam hal ini adalah Ibn Taimiyah dan Ibn Qayyum,bahkan Muhammad ibn
Abdul Wahab sendiri--sejatinya secara prinsipil juga mengakui terhadap
eksistensi tasawuf,meskipun ada beberapa hal dalam tradisi sufistik yang
mereka kurang setuju.[6]
Sebagai peneliti yang berusaha
untuk objektif,dalam tulisan ini nanti, penulis akan berusaha
mempersembahkan sebuah kajian tasawuf diteropong dari sudut pandang
genealogisnya.Tidak terhenti sampai disitu saja,kajian komparatif
pandangan para ulama klasik dan kontemporer setidaknya juga akan menjadi
warna-warni dalam tulisan ini.Terakhir,penulis juga akan melakukan
unjuk pembuktian bahwa tasawuf tidak akan pernah kehilangan relevansinya
dalam sejarah hidup manusia di tengah-tengah keangkuhan dunia
ini;kaitannya dalam bidang sosial ke-masyarakatan.
Pengertian dan Historisitas Tasawuf
Nomenklatur
kata tasawuf meskipun tidak disebutkan secara eksplisit dalam al-Qur'an
dan al-Sunnah,bukan berarti diharamkan penggunaan nama itu. Pun
demikian tasawuf sendiri belum pernah ada pada zaman Rasulullah
Saw.tetapi sisi esensial dari tasawuf itu sudah benar-benar mengemuka
pada waktu itu.Tasawuf disatu sisi juga merupakan sebuah cabang ilmu
yang berbanding lurus dengan cabang-cabang ilmu lain dalam khazanah
peradaban islam, seperti: Fiqh,Nahwu,Mantiq,dan Balaghah,etc.Kalau
fikih fungsinya untuk menghukumi perkara-perkara dhahir,maka fungsi
tasawuf adalah untuk menseterilkan hati manusia dari berbagai macam
penyakit hati dan untuk mengantarkan manusia menuju keselamatan dunia
dan akhirat.[7]
Dalam mengkaji sisi genealogis
tasawuf,para pakar banyak yang berselisih pendapat sebagaimana
dikemukakan oleh Syekh Abdul Halim Mahmud.[8] Untuk sekedar menyebutkan
diantaranya,bahwa tasawuf itu berasal dari kata al-shafa' karena inti
dari pada tasawuf adalah peyucian diri,atau al-shafwah yang mempunyai
arti kesempurnaan,al-sufah(emper masjid nabawi yang ditempati oleh
sebagian sahabat Rasulullah Saw),dan Shuf (bulu domba),melihat dari
pakaian sederhana(darwis) para asetik muslim.Arti terakhir inilah yang
menurut Ibn 'Ajibah paling mendekati kebenaran,pendapat ini dikuatkan
oleh islomolog barat seperti Theodor Nôldeke,Louis Massignon, David
Samuel Margoliouth serta pemikir muslim kontemporer,Dr.Zaki Mubarak dan
Mustafa Aburraziq.Bahkan menurut pendapat ini--selain Theodor
Nôldeke--sebaiknya pendapat yang menyatakan kata tasawuf diambil dari
selain kata itu,ditolak.[9]
Menurut hemat penulis,dalam
menyikapi hal ini penulis lebih condong ke pendapat Imam
Qushairi(w.465H)--selain menghindari sikap apologetik di satu sisi dan
terjebak pada kajian filologi,linguistik,dan fenomenologi para islamolog
barat di sisi yang lain--yang mengatakan:"tidak ditemukan bukti yang
akurat terkait kata benda ini(tasawuf) adalah berasal dari bahasa Arab
dan juga tidak dianalogikan ke bahasa Arab.Yang jelas itu hanyalah
sebuah julukan (laqab) saja.Adapun pandangan yang mengatakan bahwa kata
(tasawuf) itu berasal dari kata shofa atau suffah adalah sangat jauh
dari sudut pandang qiyas (analogi) ilmu agama.Begitu juga pandangan yang
menyatakan bahwa itu berasal dari kata shuf adalah tidak
berdasar,karena para sufi-sufi itu tidak mengkhususkan harus memakai
pakaian dari shuf(bulu domba)".[10]
Selain perbedaan kata
pembentuknya,dalam hal mendefinisikannya pun,para ulama juga tidak
mencapai kata mufakat antara satu dengan yang lain.Dengan sedikit
meminjam bahasa Syech Abdul Halim Mahmud,Karena masing-masing orang
mendefinisikannya sesuai dengan kecenderungan dan maqam yang telah
dicapainya.Berkenaan dengan ini,Syech Ahmad ibn 'Ajîbah sebagaimana
telah dikutip Yûsuf al-Sayyid Hâsyim Rifâ'i dalam master pice-nya al-Sufiyah wa al-Tasawuf fî Dlau'i al-Kitâb wa al-Sunnah
pernah menuturkan bahwa definisi tasawuf mencapai bilangan dua
ribu.Tetapi dari seabrek definisi itu,menurut Ibn 'Ajîbah hanya ada dua
yang dianggap paling representatif,salah satunya adalah, suatu ilmu yang
digunakan untuk mengetahui tentang suluk(metodologi akhlaq)
seorang hamba kepada Allah Swt,menyucikan hati dari perkara-perkara
tercela, dan menghiasinya dengan segala keutamaan.Maka tasawuf
itu,awalnya adalah ilmu;tengahnya adalah pengamalan,dan pada akhirnya
adalah hasil dari segalanya[11]
Menurut Syech Abdul Halim
Mahmud lagi,kata tasawuf pada awal mula perkembangannya tidak digunakan
seperti pengertian yang kita ketahui sekarang.Melainkan untuk menyebut
orang-orang yang berpaling dari dunia,yaitu para zahid dan ahli
ibadah.[12] Sekarang kata tasawuf ini sudah mengalami reduksi atau
penyempitan makna kata,dimana kata itu hanya ditujukan(madlul) bagi orang-orang yang suka mengadakan maulid,ziarah kubur,tawasul,mencintai para wali,dll.[13]
Untuk
memahami historisitas tasawuf secara kronologis,maka setidaknya
pemaparan penulis berikut ini akan membantu memahami genre tasawuf era
abad permulaan.Sebagaimana telah penulis singgung diatas bahwa embrio
tasawuf itu sebenarnya sudah ada pada era kenabian,hanya saja belum
terkodifikasikan menjadi sebuah cabang ilmu tertentu.Hal ini dapat
dilihat dalam prilaku dan peristiwa dalam hidup,ibadah,dan pribadi nabi
Muhammad Saw.Sebelum diangkat menjadi rasul,berhari-hari ia berkhalwat
di gua Hira terutama pada bulan Ramadhan.Di sana Nabi banyak berdzikir
bertafakur dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah Swt.Pengasingan
diri Nabi di gua Hira ini merupakan acuan utama para sufi dalam
melakukan khalwat.Sumber lain yang diacu oleh para sufi adalah kehidupan
para sahabat Nabi yang berkaitan dengan keteduhan
iman,ketakwaan,kezuhudan dan budi pekerti luhur.Oleh sebab itu setiap
orang yang meneliti kehidupan kerohanian dalam islam tidak dapat
mengabaikan kehidupan kerohanian para sahabat yang menumbuhkan kehidupan
sufi di abad-abad sesudahnya.Setelah periode sahabat berlalu,muncul
pula periode tabi'în (sekitar abad ke I dan ke II H).
Pada
masa itu kondisi sosil-politik sudah mulai berubah dari masa
sebelumnya.Konflik-konflik sosial-politik yang bermula dari masa
khalifah Utsmân ibn Affân berkepanjangan sampai masa-masa
sesudahnya.Konflik politik tersebut ternyata mempunyai dampak terhadap
kehidupan beragama,yakni munculnya kelompok-kelompok Bani
Umayyah,Syi'ah,Khawarij, dan Murjiah.Pada masa kekuasaan bani
Umayyah,kehidupan politik berubah total.Dengan system pemerintahan
monarki,khalifah-khalifah Bani Umayyah secara bebas berbuat
kedzaliman-kedzalimn,terutama pada kelompok Syi'ah, yakni kelompok lawan
politiknya yang paling genjar menentangnya.[14]
Disamping
gejolak politik yang berkepanjangan,perubahan kondisi sosialpun
terjadi.Hal ini mempunyai pengaruh yang besar dalam pertumbuhan
kehidupan beragama masyarakat islam.Pada masa Rasulullah Saw dan para
sahabat, secara umum kaum muslimin hidup dalam keadaan sederhana.Ketika
Bani Umayyah memegang tampuk kekuasaan,hidup mewah mulai meracuni
masyarakat,terutama terjadi dikalangan istana.Dalam situasi demikian
kaum muslimin yang saleh merasa berkewajiban menyerukan kepada
masyarakat untuk hidup zuhud,sederhana,saleh,dan tidak tenggelam dalam
buaian hawa nafsu.Diantara para penyeru tersebut adalah Abu Dzar
al-Ghiffâri.Dia melancarkan kritik tajam kepada Bani Umayyah yang sedang
tenggelam dalam kemewahan dan menyerukan agar diterapkan keadilan
sosial dalam islam.Dari perubahan-perubahan kondisi sosial-politik
tersebut sebagian masyarakat mulai melihat kembali pada kesederhanaan
kehidupan Nabi Muhammad Saw dan para sahabatnya.Mereka mulai merenungkan
diri dari kehidupan mewah.Sejak saat itu keadaan zuhud menyebar luas
dikalangan masyarakat.Para pelaku zuhud itu disebut zahid(jamak:zuhhad)
atau karena ketekunan mereka beribadah,maka disebut âbid(jamak:âbidîn
atau ubbâd) atau nâsik(jamak:nussâk).[15]
Menjelang abad
II Hijriyah,sebagian zahid khususnya di Khurasan dan pada Rabi'ah
al-Adawiyyah ditandai kedalaman membuat analisa,yang bisa dipandang
sebagai fase pendahuluan tasawuf atau sebagai cikal bakal sufi abad
ketiga dan keempat Hijriyah.Al-Taftazani lebih sepakat kalau mereka
dinamakan zahid,qari',dan nâsik(bukan sufi).Suatu kenyataan sejarah
bahwa kelahiran tasawuf bermula dari gerakan zuhud dalam islam.Istilah
tasawuf baru muncul pada pertengahan abad III Hijriyah oleh Abu Hâsyim
al-Kufy(w.250) dengan meletakkan al-Shufi di belakang namanya.[16]
Tasawuf poros Tengah
Pada
bagian tasawuf poros tengah ini,penulis maksudkan sebagai bentuk
apologetik terhadap kajian tasawuf.Bagaimanapun tasawuf sudah banyak
dikodifikasikan dalam tumpukan historiografi dan secara langsung telah
menjadi turats umat islam dan harus bisa membedakan antara mana yang
masih layak pakai dan mana yang sudah usang,dalam istilahnya
Dr.Bouti.Terlalu mengandalkan tekstualitas Salafis-wahabis hanya akan
sampai pada suatu kesimpulan penegasian tasawuf secara massif dari rahim
islam.Sedangkan menggunakan pendekatan(approach)
filologi,linguistik,dan fenomenologi ala orientalisme tidak lebih dari
suatu penghampiran konklusi fakta sepihak bahwa khazanah pemikiran
islam--termasuk di dalamnya tasawuf--hanya duplikat dari pemikiran
Yunani,Persia,India,dan lain-lain.Artinya dalam mengkaji tasawuf harus
bersikap objektif dan komprehensif,tidak boleh berpihak ke dalam
pemikiran individu atau kelompok-kelompok tertentu atau kalau beleh
meminjam istilahnya Al-Jabiri disebut dengan fashl maqru' an al-qari'.Jika demikian, maka untuk mewujudkan cita-cita mulia itu,kilas balik studi komparatif(muqâranah)
lintas madzhab tidak bisa terelakkan lagi dalam pembahasan ini.Hal ini
dimaksudkan untuk menampilkan wajah kajian tasawuf yang betul-betul
valid dan objektif.Nah,solusi seperti inilah yang mungkin bisa disebut
sebagai washl qari' an al-maqru' dalam metode pembacaan kontemporernya(qira'ah mua'shirah) Al-Jabiri terhadap turats.
Syahdan, imam Malik ra. adalah pemilik adagium man
tashawwafa wa lam yatafaqqah faqod tazandaqa, wa man tafaqqaha wa lam
tashawwafa faqod tafassaqa,wa man jama'a bainahumâ faqad tahaqqaqa.Maqolah
ini dinukil dari al-Tatâi dalam komentarnya atas muqadimah Ibn
Rusyd.Senada dengan pandangan al-Tatâi,Syech Zaruq mengatakan bahwa
penukilan kaidah ini diambil dari sumber yang sangat kuat dan
akurat.Konklusi yang ingin penulis serap dari sini adalah bahwa
sebenarnya imam Malik pun juga seorang sufi,lebih tepatnya orang yang
menggandeng antara madzhab sufi dengan setatus beliau sebagai seorang
juris(faqih).Dengan bukti perkataannya bahwa madzhab sufi dianggap bathil
jika tidak diimbangi dengan kemampuan teoritis syariat yang memadai.Hal
ini sah-sah saja,jika terminologi tasawuf hanya sebatas kesungguhan
penghambaan seorang insan kepada Allah Swt.Jikalau begitu, kenapa beliau
tidak sefamilier tokoh-tokoh sufi sezamannya seperti Hârist
al-Muhâsibî.Jawabannya karena beliau lebih menspesifikkan diri terhadap
fan fiqh,meskipun demikikian, hal itu tidak serta-merta menjadi
penghalang beliau untuk tetap eksis menekuni bidang tasawuf.[17]
Ada
pepatah mengatakan lain lubuk lain belalang.Mungkin pepatah inilah yang
paling tepat untuk menggambarkan relasi antara imam Malik dengan imam
Abu Hanifah.Jika imam Malik dikenal sebagai orang yang sedengan(tawasuth) terhadap bidang sufistik, maka imam Malik dikenal sebaliknya:orang yang dianggap agak tasâhul
terhadap masalah kesufian.Pada suatu kesempatan beliau pernah ditanya
tentang masalah hadrah yang menjadi ciri-wangi dalam setiap perkumpulan
para sufistik,apakah hal ini dapat dibenarkan?Kemudian Abu Hanifah
menjawab:sesungguhnya di sisi Allah Swt.ada para pemimpin(rijâl)
yang akan masuk surga lantaran gendangnya dan nyanyian-nyanyiannya.
Statemen Abu Hanifah ini hendaknya tidak dipahami sebagai postulat
diperbolehkannya menggunakan gendang dan nyanyian,tetapi esensi(ibrah)
dari perkataan itu adalah betapa sangat tolerannya imam Abu Hanifah
dengan para sufi,meskipun ada syubhat-syubhat dalam perbuatan
mereka.[18]
Pun demikian dengan imam Syafi'i dan imam
Ahmad ibn Hambal,keduanya tidak jauh berbeda dengan para
pendahulunya,yaitu sama-sama lebih bersikap positif thingking
kepada tasawuf.Imam Syafi'i misalnya,--seperti riwayat dari imam
Al-Sya'roni di sebagian besar karangannya--pernah berkata:ketika
menghadiri perkumpulan para sufi setidaknya saya bisa mengambil dua
hikmah yang tidak pernah saya peroleh pada selainnya,yaitu kata-kata
mereka.Pertama, waktu adalah seperti pedang,jika tidak kamu gunakan dengan baik maka ia akan menghunusmu.Kedua,Hiasilah
segala aktivitasmu dengan hal-hal yang positif,jika tidak,maka kamu
akan tersibukkan dengan perkara-perkara yang negatif.Selain itu,Imam
Syafi'i selalu mewanti-wanti pada muridnya(imam Ahmad ibn Hambal) untuk
selalu menghormati para ahli sufi.Untuk sekedar mencontohkan,seperti
yang tertera dalam kitab Jâmi' Majâlis al-Sufiyah menceritakan
bahwa imam Syafi'i dan imam Ahmad pernah keluar bersama untuk menghadiri
majlis sufi.Kemudian ada orang yang mencibir mereka dan berkata:untuk
apa kamu ikut-ikutan dengan mereka?Kemudian mereka berdua menjawab:
bahwa sesungguhnya dalam jiwa mereka hanya ada perkara yang paling
inti,yaitu takut Allah Swt. dan mencintainya.[19]
Mungkin pemaparan penulis di atas masih dianggap pemahaman sepihak--meskipun sudah penulis komparasikan dengan madzâhib al-arba'ah--oleh
kelompok tertentu,karena belum menyebutkan tokoh sekaliberan Ibn
Taimiyah.Baiklah, pada bagian ini akan penulis tuturkan pandangan Ibn
Taimiyah terhadap kalangan sufi.Dalam kitabnya yang bertitelkan al-Fatâwa al-Kubrâ, dengan tanpa rasa kaguk Ibn taimiyah berkata:"Para sufi adalah juga termasuk orang-orang ahlu shidqi sesuai dengan zamannya,dan puncaknya adalah para era
permulaan.Dan karenanya pula, banyak pertentangan-pertentangan antara
satu kelompok dengan kelompok yang lain.Sebagian dari mereka ada yang
mencela dan sangat membencinya,bahkan sampai-sampai dikatakan telah
keluar dari al-Sunnah.Sebagian yang lain, ada yang terlalu berlebihan
dalam memujinya dan mentahbiskan para sufi sebagai makhluk yang paling
agung setelah Nabi Muhammad Saw.Cara pandang(world view) dua
tipologi ini adalah salah,yang benar, bahwa para sufi-sufi itu adalah
orang yang ahli ijtihad dalam ketaatan kepada Allah Swt. seperti para
mujtahid-mujtahid yang lain.Diantara mereka ada orang-orang pertama yang
lebih awal dalam hal mendekatkan diri kepada Allah Swt. sesuai
ijtihadnya masing-masing,sebagian yang lain ada yang sederhana dari
kalangan ahlu yamin".[20]
Selain
itu pula, pemikir-pemikir kontemporer seperti mantan Grand Syech
Al-Azhar Muhammad Thanthawi,Syech Ahmad Kaftaru(mufti Syiria),Syech
Hasan Khalid(alm) mufti Libanon,dan lain-lain adalah sederet ulama yang
mengapresiasi secara totalitas eksistensi tasawuf.Bahkan syech Thanthawi
dalam sebuah fatwanya, pernah menyatakan bahwa orang yang menghukumi
musyrik atau kafir kepada para sufi secara keseluruhan adalah tindakan
salah besar dan berdosa,karena mengkafirkan orang yang masih mendaku dua
kalimat syahadah sebagai ideologisnya dan tidak mengingkari hal-hal
yang sudah diketahui dalam agama secara pasti(ma'lûm min al-din bi al-dlarurah) adalah dosa.
Memang
penulis sendiri juga tidak bisa bersikap inklusif ketika berhadapan
dengan paham-paham seperti wahdatul wujud,al-hulul,dan
al-ittihad.Benarkah orang-orang seperti Syeikh al-Akbar Ibn al-Arabi
adalah penyebar paham-paham seperti itu.Bagaimana sikap kita dalam
menghadapinya?Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan ini,maka kiranya
perlu penulis paparkan pemikiran Prof. Dr. M. Said Ramadhan
al-Buti.Dalam karya adi luhungnya Kubrâ al-Yaqîniyat,Dr.bouti
menyatakan bahwa kitab-kitab Ibn 'Arabi yang mengindikasikan ke arah
paham wihdatul wujud dan sejenisnya perlu dikaji lagi.Pada dasarnya Ibn
'Arabi tidak pernah menuliskan paham itu.Tetapi itu hanyalah sekedar
rekayasa yang dibuat oleh orang yang tidak bertanggung jawab(ahl zindiq).Jika
kenyataannya demikian,maka tidaklah bijaksana apabila kita serta merta
melabuhkan status "kufur" kepada Ibn 'Arabi tanpa melakukan
klarifikasi(tabayun) dengan intens.Jadi, sikap kita adalah menjauhi
kata-kata ngeri itu sembari tetap mengingkari paham yang menyesatkan itu.[21]
Kontribusi Tasawuf dalam Ranah Sosial
Adalah
As'ad al-Khatib,seorang sejarawan-demontratif yang tidak bisa tinggal
diam ketika tasawuf selalu diidentifikasikan dengan hal-hal yang
mengajarkan ke arah negative(regresif,jumud,apatis,dsb).Oleh
karenanya,dia pernah melakukan perlawanan dengan menulis di majalah Turats al-Arabi al-Dimisyqiyah
secara panjang lebar tentang kontribusi dan sumbangsih tasawuf di
tengah-tengah masyarakat Arab pada khususnya dan islam pada
umumnya.Dengan terbitnya tulisan itu ternyata mendapat sambutan hangat
dari berbagai kalangan,diantaranya datang dari Prof.Dr.Muhammad Said
Ramadhan al-Buti,Dr.Wahbah Az-Zuhaili,Dr.Nuruddin 'Ietr,Dr.Muhammad Abd
Latif Forfor,Dr.Syauqi Abu Khalil,dan Ust.Muhammad Hisyam Burhani.Untuk
melanjutkan proyek kanonikalnya ini,al-Khatib akhirnya menyusun sebuah
buku yang sistematis dengan judul al-Buthulah wa al-Fida' Inda al-Sufiyah:Dirâsah Târîkhiyah.
Pada
bagian ini, penulis akan memaparkan sumbangsih para sufi dalam dunia
sosial dan kemasyarakatan dalam dua bentuk tipologisasi:klasik dan
kontemporer serta melakukan kritik-kritik(naqd al-naqd) yang secukupnya
terhadap sebagian kalangan--baik para orientalis ataupun pemikir muslim
sendiri--yang meragukan eksistensi ini.
Era Skolastik
Ketika
zaman pemerintahan Al-Hakam al-Ayyûbi,konon kebutuhan akan ber-tasawuf
sudah tidak bisa terelakkan lagi.Hal ini disebabkan beberapa
faktor,diantaranya adalah meruyaknya fitnah-fitnah yang terjadi di
tengah masyarakat dan munculnya sekte-sekte keagamaan yang semakin
menambah keruh suasana,ditambah dengan ekspansi militer yang dilancarkan
tertantara salib terhadap negara-negara islam.Maka dari sinilah fungsi
tasawuf menemukan relevansinya:yaitu dengan banyaknya orang-orang yang
ingin segera merasakan oase tasawuf dan pada gilirannya nanti
membutuhkan pembimbing dari kalangan pakar tasawuf.Diantara tokoh yang
mempunyai andil besar dalam hal ini adalah:Aly ibn Husain
al-Wâ'idz,Abdullah al-Yuniny,Abu Umar al-Maqdisy al-Hambali(w:607H),Abu
Abbas al-Maqdisy,Abu Thâlib al-Khafîfy al-Abhary(w:624),Hasan ibn Yusuf
al-Makzun al-Sanjârî(w:638H),Abdurrahman al-Jaljûlî(w:543H),Al-Hajjâj
al-Fundulâwy al-Mâliky,Abu Bakar al-Thûsy al-Shûfy(w:492H),Yahya ibn
Yusuf al-Sharsharî(w:656H),Najmuddin al-Kubrâ(w:618H).Semua tokoh ini
adalah representasi dari para sufi sejati dan pengisi amunisi akhlak
serta suluk masyarakat,tetapi yang perlu dicatat,bahwa Ke-sufiannya
bukanlah menjadi penyebab kemunduran umat,tetapi malah menjadi pelecut
untuk berjihad melawan tentara Salib yang biadab.[22]
Lalu
kontribusi apakah yang telah disumbangkan oleh Al-Ghazali?Benarkan
Al-Ghazali termasuk salah satu pentolan sufi yang tidak ikut bertempur
dalam perang salib,sebagaimana tuduhan-tuduhan para penentangnya?Untuk
mengetahui jawabannya,maka dua point penting pemaparan penulis berikut
perlu untuk diperhatikan.Pertama,sosok Al-Ghazali dikalangan umum lebih dikenal sebagai filosof,juris(faqîh),sufi,politikus,dan pakar ilmu sosial.Kedua,Al-Ghazali
hidup dalam suasana masyarakat yang sedang carut-marut dalam segala
aspek kehidupan(sosial,politik,agama,adat-etika).Maka oleh sebab
itu,Al-Ghazali melihat cara yang paling jitu untuk menuju islam otentik(ashâlah)
adalah dengan cara memperbaiki etika-moral umat islam itu sendiri,tidak
yang lain.Akhirnya dikaranglah magnum opusnya yang berjudul Ihya' Ulûm
al-Dîn.Karena Al-Ghazali dan pemikirannya yang tertuang dalam Ihya'
inilah yang membentuk karakteristik dua panglima perang besar sepanjang
sejarah perang salib,yaitu sultan Nuruddin Mahmud Zangki(w:569H) dan
sultan Shalahuddin Al-Ayyubi(w:589).[23]
Era Kontemporer
Membincang
revolusi yang diperoleh negara muslim dari Inggris, Perancis, Itali di
belahan dunia Arab dan Afrika tidak bisa dilepaskan dari peranan para
tokoh sufi yang mengitarinya.Keduanya saling berkait kelindan bagaikan
dua sisi mata uang yang merekat kuat.Konon, ribat (pesantren) yang
biasanya digunakan sebagai media tranformasi ilmu agama an sich,merangkap sebagai benteng pertahanan laskar jihad yang tidak boleh dipandang sebelah mata oleh musuhnya.
Sebagai
permisalan,tarekat Sanusiyah di Libia yang didirikan oleh Muhammad Ibn
Ali al-Sanusi(w:1859M),kemudian diteruskan Umar al-Mukhtar(w:1931M) dan
Ahmad Syarif al-Sanusi(w:1933M) mampu mengusir tentara-tentara Itali
dari bumi Libia.Raja Abdul Qadir al-Jazâiri(w:1885M) seorang penganut
thariqah Qadiriyah tulen dan Syech Muhammad al-Haddad seorang pemimpin
tarekat Syâdziliyah berhasil membuat Perancis bertekuk lutut.Di Sudan
ada Muhammad Ahmad al-Mahdi(w:1885H) juga seorang pengikut tarekat
Syâdziliyah yang merupakan representasi sufi yang berhasil melepaskan
Sudan dari jajahan Inggris.Para sufi di Mesir pun juga tidak mau
ketinggalan,dengan ketokohan Ahmad Arâbi yang dari kecil terdidik di
lingkungan sufi,beserta para sufi-sufi yang lain,seperti Syech Hasan
al-Adwa,Syech Muhammad 'Ulaisy(w:1882M),Syech Mahmud al-Syadzili,Syech
Mahmud al-Qâyâti,Syech Muhammad Thanthawi(w:1888M) adalah orang-orang
yang paling getol menyuarakan isu revolusi Mesir di lingkungan
Al-Azhar.Maka ketika Napoleon Bonaparte menjajah Mesir tahun 1798
M,kelompok sufi-lah yang paling gerah dengan kondisi ini.Dan akhirnya
dapat mempenjarakan Napoleon sebelum akhirnya berhasil dibunuh.Demikian
juga di negara-negara Arab yang lain,di Yaman ada Syech
Al-Hakîmi(w:1959M),di Maroko ada Muhammad Ibn Abd Kariem
al-Khatthabi(w:1962M),Syech Muhammad Abdullah Hasan(w:1920M) berjuang di
Somalia,Syech 'Utsman Ibn Faudâ(w:1817M) seorang sufi dan pejuan di
Nigeria,dll.[24]
Untuk konteks ke-Indonesiaan,konsep
tasawuf dibawa oleh para penyebar islam dari Hadramaut(Yaman selatan)
yang akhirnya lebih dikenal dengan sebutan Wali Songo.Dari tangan wali
songo inilah yang akhirnya menelorkan sufi-sufi selanjutnya.Kontribusi
tasawuf di Indonesia menemukan momentumnya ketika pertempuran 10
November 1945.Dimana 18 hari sebelum pertempuran itu,Nahdlatul Ulama(NU)
menfatwakan resolusi jihad.KH.Hasyim Asy'ary memerintahkan KH.Wahab
Hasbullah dan KH.Bisri Syamsuri mengadakat rapat dengan Kiai se-Jawa dan
Madura di kantor PB Ansor NU,jalan Bubutan VI/2,22 oktober 1945.Pada 23
Oktober 1945,atas nama Pengurus Besar NU,Kiai Hasyim mendeklarasikan
jihad fi sabilillah.
Resolusi jihad mampu menyulap
berbagai pesantren dari tempat pendidikan menjadi markas laskar
Sabilillah dan Hisbullah untuk diberangkatkan ke Surabaya.Para kiai dan
pendekar tua membentuk barisan non regular Sabilillah yang dikomandani
oleh KH.Maskur.Para santri dan pemuda berjuang dalam barisan pasukan
Hisbullah yang dipimpin oleh H.Zainul Arifin.Diantara alumnus kedua
laskar yang masyhur ikut bertempur di Surabaya adalah KH.Munasir
Ali,KH.Yusuf Hasyim,KH.Baidowi, KH.Mukhlas Rawi, KH.Sulanam Samsun,
KH.Amien,KH.Anshari,dan KH.Adnan Nur.Namun panggilan hati sebagai
penjaga umat membuat para kiai itu tidak melanjutkan karier militernya
secara maksimal setelah revolusi fisik dan kembali mengasuh
pesantren,bahkan menyingkir dari arena politik sama sekali.
Lima
butir Resolusi Jihad adalah:pertama,kemerdekaan Indonesia yang
diproklamirkan pada tanggal 17 Agustus 1945 wajib dipertahankan;kedua,RI
sebagai satu-satunya pemerintahan yang sah harus dijaga dan
ditolong;ketiga;musuh RI yaitu belanda yang kembali ke Indonesia dengan
bantuan sekutu;keempat,umat islam harus mengangkat senjata melawan
belanda dan tentara sekutu yang ingin memjajah Indonesia kembali;serta
kelima adalah perang suci wajib bagi setiap muslim yang tinggal dalam
radius 94 kilometer,bantuan material bagi yang berada di luar radius
tersebut.(Radius 94 diperoleh dari jarak diperbolehkannya menjama' dan
mengkoshor salat).Jika umat islam yang dalam radius 94 kalah,maka umat
islam yang lain wajib memnggul senjata menggantikan mereka.[25]
Epilog
Demikianlah
secuil pemaparan penulis tentang kilas-balik tasawuf.Mungkin
kegelisahan penulis sama halnya dengan yang dialami As'ad
al-Khatib,bahwa tasawuf selalu diidentikkan dengan kemunduran(regresif)
dan ketidak berdayaan,seperti tuduhan salah satu orientalis
kenamaan;Ignaz Goldziher.Pada akhirnya, kita semua tahu hakikat dari
tasawuf yang sebenarnya.Adapun tasawuf yang menelikung dari Qur'an dan
Hadis,berarti itu adalah tasawuf pseudo alias palsu yang ditujukan untuk
meruntuhkan islam dari dalam.[]Wallahu A'lam bi al-Showab.
Referensi
[1]
Istilah epistemologi digunakan pertama kali oleh J.F.Ferrier, untuk
membedakan dua cabang filsafat,epistemology dan ontologi.Epistemologi
juga disebut sebagai teori pengetahuan(theory of knowlodge).Secara
etimologi,istilah epistemology berasal dari bahasa Yunani episteme
berarti pengetahuan, dan logos berarti teori.Epistemologi dapat
didefinisikan sebagai cabang filsafat yang mempelajari asal mula atau
sumber,struktur,metode dan sahnya(validitasnya) pengetahuan.
[2] Mahasiswa di Universitas Al-Ahgaff fakultas Sharea and Law.
[3]http://www.facebook.com/profile.php?id=100001477198347&ref=ts#!/note.php?note_id=74085381034
[4] Muhammad Abduh & Thâriq Abd Halîm, al-Shufiyyah;Nasyatuhâ wa Tathawwuruhâ, Dar el-Qalam, tt., Beirut-Libanon, hal.102-103.
[5]
Turâts secara literal berarti warisan atau peninggalan(heritage,
patrimoine, legacy). Dalam ranah pemikiran kontemporer, turâts adalah
kekayaan tradisi kebudayaan dan khazanah intelektual yang diwariskan
oleh para pendahulu. Turâts merupakan warisan tradisi masa lalu--baik
masa lalu yang jauh atau dekat--yang hadir di tengah-tengah kita dan
menyertai kekinian kita. Nomenklatur turâts merupakan asli produk wacana
Arab kontemporer, dan tidak ada equivalent atau padanan yang tepat
dalam literatur bahasa Arab klasik untuk mewakili istilah tersebut.untuk
lebih jelas tentang hal ini lihat
(http://irwanmasduqi83.blogspot.com/2008/09/kritik-proyek-kritik-nalar-arab-abeb-al.html).
[6] Yûsuf al-Sayyid Hâsyim al-Rifâ'i, al-Sufiyah wa al-Tasawuf fî Dlau'i al-Kitâb wa al-Sunnah, al-Faishal li al-Di'âyah wa al-I'lan,Cet.I, Kuwait, t.1999M,hal.68-69.
[7] Dr.Yusuf Khathar Muhammad, al-Mausu'ah al-Yusufiyah fî bayâni adillah al-Sufiyah, Dar el-Taqwâ, Damascus,tt., hal.9.
[8] Abd Halim Mahmud, Qodliyat tasawwuf: al-Munqidz min al-Dlalal, Dar el-Ma'ârif, Cet.II, Cairo, hal.34.
[9] Louis Massignon & Dr. Mushthafâ Aburraziq, al-Islam wa al-Tasawwuf, Dar Sya'b, Cairo, t.1979M, hal.14.
[10] Abi al-Qâsim Abd al-Karîm ibn Hawâzin al-Qusyairi al-Naisabûry, al-Risâlah al-Qusyairiyah fî Ilm al-Tasawuf, Dâr Ihyâ al-Turâts al-Arâby, Cet.I, Beirut-Libanon, t.1998M, hal.355.
[11] Yûsuf al-Sayyid Hâsyim al-Rifâ'i, Op.cit., hal.21.
[12] Abd Halim Mahmud, Qodliyat tasawwuf: Madrasah Asy-Syadziliyyah, Dar el-Ma'ârif, Cet.II, Cairo, hal.436.
[13] Yûsuf al-Sayyid Hâsyim al-Rifâ'i, Op.cit., hal.5.
[14] Dewan Redaksi Endiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, (Jakarta.P.T.Ichtiar Baru Van Joeve),t.1993,hal.80-81. Lihat juga Dr.M.S.R.al-Buti,Figh al-Sîrah al-Nabawiyah ma'a Mûjiz li Târîkh al-Khulafa' al-Râsydah,Dar el-Fikr,cet.XXVI.,Damascus,t.2006M,hal.60.
[15] Dewan Redaksi Endiklopedi Islam,Op.Cit, hal.82.
[16] Abu Bakar Aceh, Pengantar Sejarah Sufi dan Tasawuf, (Solo:Ramadlani), t.1984 M, hal.57.
[17] Yûsuf al-Sayyid Hâsyim al-Rifâ'i, al-Sufiyah wa al-Tasawuf fî Dlau'i al-Kitâb wa al-Sunnah, al-Faishal li al-Di'âyah wa al-I'lân,Cet.I, Kuwait, t.1999M, hal.53.
[18] Ibid, hal.56-57.
[19] Ibid, hal.57.
[20] Abdurrahman ibn Muhammad ibn Qâsim,Majmû'ah Fatâwa Syech al-Islam Ibn Taimiyah, Wazîrah al-Maliyah wa al-Iqtishâd al-Wathâni, Cet.II., t.1398H, vol.2.hal.17.
[21] Dr.M.Said Ramadhan al-Buti, Kubrâ al-Yaqîniyât al-Kauniyyât;wujud al-khaliq wa wadhîfatul makhlûq, Dar el-Fikr, Cet.VIII., Damascus, t.1982 M, hal.110.Lihat juga Yûsuf al-Sayyid Hâsyim al-Rifâ'i, al-Sufiyah wa al-Tasawuf fî Dlau'i al-Kitâb wa al-Sunnah, al-Faishal li al-Di'âyah wa al-I'lân,Cet.I, Kuwait, t.1999M,hal.73-74.
[22] As'ad al-Khatib, al-Buthûlah wa al-Fida' inda al-Sufiyah;Dirâsah Târîkhiyah, Dar el-Fikr, Cet.II., Damascus, tt., hal.96-100.
[23] Ibid, hal.167-168.
[24] Ibid, hal.177-dst.
[25] Dwipanggar, Resolusi Jihad, Jawa Pos, 28 Desember 2009.