Oleh Irwan Masduqi
M. Ibrahim Abu Rabi ' adalah pemikir
Muslim kontemporer yang cukup terkemuka kelahiran Nazaret, Palestina.
Ia meninggal di Amman pada tanggal 2 Juli 2011. Karir akademisnya adalah
sebagai Profesor Studi Islam dan co-Direktur Pusat Studi Islam dan
Hubungan Kristen-Islam di Hartford Theological Seminary, Canada. Nama
Ibrahim Abu-Rabi mulai melambung pada pertengahan 1990-an sebagai
spesialis dalam sejarah pemikiran Islam.
Jenjang s1-nya
diperoleh dari Universitas Bir Zeit di Tepi Barat. Gelar MA-nya dari
Universitas Cincinnati dan Temple University. Prof. Abu Rabi‘ memperoleh
gelar Ph.D. dalam bidang Studi Islam, dengan konsentrasi tentang
pemikiran Islam modern dan perbandingan budaya Islam, dari Temple
University Department of Religion pada tahun 1987. Disertasinya berjudul
“Islam and Search for Social Order in Modern Egypt: An Intellectual Biography of Shaykh al-Azhar ‘Abd al-Halim Mahmud”.
Ibrahim Abu Rabi merupakan pemikir yang cukup prolifik. Diantara karya-karyanya: 1) Contemporary Arab Thought: Studies in Post-1967 Arab Intellectual History; 2) Theodicy and Justice in Modern Islamic Thought: the Case of Said Nursi; 3) The Contemporary Arab Reader on Political Islam; 4) Islam at the Crossroads: On the Life and Thought of Bediuzzaman Said Nursi (Suny Series in Near Eastern Studies); 5) Intellectual Origins of Islamic Resurgence in the Modern Arab World (Suny Series in Near Eastern Studies); 6) Spiritual Dimensions of Bediuzzaman Said Nursi's: Risale-i-Nur; 7) co-author September 11: Religious Perspectives on the Causes and Consequences; 8) Contemporary Islamic Conversations: M. Fethullah Gulen on Turkey, Islam, and the West, dan lain-lain.
Catatan ini akan mengulas pemikiran Ibrahim Abu Rabi dalam II September: Religious Perspective on the Cause and Consequences
yang merupakan respon terhadap wacana Islam pasca tragedi 11 September.
Sejak terjadinya serangan teroris tersebut, muncul gejala Islamophobia
dimana banyak kalangan Barat yang mengklaim Islam sebagai agama
kekerasan. Kekerasan dianggap oleh sejumlah kalangan Barat sebagai
fenomena yang inheren dengan ajaran Islam itu sendiri dan berakar dari
teks-teks keagamaannya. Kalangan Barat pun bertanya-tanya tentang
hubungan antara kekerasan dan sakralitas dalam Islam. Ibrahim tertantang
untuk menguraikan masalah ini hingga ke akar teologis yang memicu
kekerasan (theology of violence).
Baginya,
masalah kekerasan dan agama merupakan fenomena yang sangat kompleks,
sehingga menuntut pembacaan terhadap dinamika agama, politik, dan
ekonomi di dunia Islam, dimana kompleksitas faktor kolonialisme,
modernisme, dan nasionalisme ikut ambil peran dalam memicu terjadinya
kekerasan atas nama agama. Mengkaji terorisme 11 September juga tidak
bisa dilepaskan dari ekses modernisasi Barat terhadap dunia Muslim,
dimana Amerikanisasi telah menjadi fenomena yang mungkin memicu
respon-respon negatif dari kelompok Islam tertentu.
Untuk
memberikan jawaban atas problematika tersebut, Ibrahim memfokuskan
kajiannya pada masalah peran modernisasi, nasionalisme, revivalisme
religius di dunia Muslim modern dan kontemporer. Ibrahim juga menaruh
perhatian pada masalah dinamika pendidikan dan sosial di negara-negara
Muslim, khususnya Arab Saudi yang merupakan kota suci Islam dan tempat
kelahiran Osama bin Laden.
Perkembangan Sejarah Dunia Modern
Sejarah
Barat sejak abad ke-14 tidak bisa dilepaskan dari dunia Muslim, sebab
rekonstitusi di Eropa pada awal era modern merupakan perlawanan terhadap
hegemoni internasional dunia Muslim di Afrika Utara, Timur Tengah, dan
Eropa Selatan. Modernisasi Barat dipicu oleh faktor eksternal dan
internal. Keberhasilan Dinasti Ottoman menaklukkan Constantinopel,
pengusiran kaum Muslim dari Spanyol, dan penemuan dunia baru oleh
Columbus merupakan faktor eksternal modernisasi Barat. Sementara faktor
internal modernisasi Barat adalah dinamika reformasi Gereja, revolusi
industri, pencerahan, kapitalisme ekonomi, even-even religius, dan
perkembangan filsafat. Semua hal itu mendorong akselarasi modernisasi
Barat hingga akhirnya mampu menguasai skala global ekonomi, aktivitas
politik, dan militer.
Modernisasi dan kapitalisme yang
menggeliat pada abad ke-17 dan 18 berpengaruh besar terhadap tatanan
ekonomi dan politik di dunia. Kemajuan-kemajuan Barat kemudian mendorong
mereka melakukan proyek kolonialisme dan imperialisme ke belahan
negara-negara ketiga untuk mencari sumber-sumber kekayaan alam. Kemajuan
Eropa ini juga merefleksikan kemunduran yang terjadi di dunia Muslim
pada abad ke-19 dimana stagnansi pemikiran dan kemerosotan ekonomi tak
terhindarkan lagi. Realitas sosial ini mengundang respon dari para
intelektual Muslim yang terrefleksikan dalam karya-karya, pidato-pidato,
dan perjuangan politik mereka. Respon dunia Muslim terhadap
tantangan-tantangan kolonialisme mengambil bentuk yang beragam, namun
semuanya bertujuan menghidupkan kembali dan merekonstruksi institusi
agama, sosial, politik, dan ekonomi. Respon-respon tersebut dapat
diklasifikasikan menjadi tiga: modernisasi, nasionalisme, dan
revivalisme Islam.
Tantangan-tantangan modernisasi Barat
mendorong dinasti Ottaman untuk melakukan modernisasi pada awal abad
ke-19 yang disebut dengan istilah tanzimat. Namun modernisasi
ini tidak seutuhnya berhasil karena tidak dapat mencegah runtuhnya
otoritas politik dinasti Ottoman. Sebelum situasinya semakin kacau maka
para intelektual Turki mengadopsi Westernisasi dan sekularisasi sebagai
solusi.
Ibrahim Abu Rabi menilai bahwa nasionalisme
merupakan respon dunia Muslim terhadap tantangan-tantangan yang datang
dari dunia Barat. Gerakan-gerakan nasionalis di dunia Muslim diprakarsai
untuk melawan kolonialisme. Para pemimpin gerakan nasionalis di dunia
Muslim biasanya tidak menggunakan slogan-slogan religius dalam
pidato-pidato mereka. Tren ini diwakili oleh Soekarno di Indonesia,
Kemal Ataturk di Turki, dan Muhammad Ali Jinnah di Pakistan.
Bentuk
respon lain atas tantangan-tantangan kolonialisme adalah revivalisme
Islam. Revivalisme di dunia Islam dapat dibagi menjadi empat periode: 1)
pra-kolonial; 2) kolonial; 3) post-kolonial; 4) post-nation-state.
Wahabiyah adalah representasi gerakan revivalisme pra-kolonial.
Wahabiyah muncul dari sebuah reaksi terhadap dekandensi internal kaum
muslim yang dinilai telah mengalami deviasi dari ajaran-ajaran otentik.
Sedangkan Muhammadiyah dan Nahdhatul Ulama merupakan organisasi
kebangkitan pada era kolonial. Revivalisme era kolonial juga dapat
diwakili oleh Ikhwan al-Muslimun di Mesir dan Jamaah Islamiyah di India.
Organisasi-organisasi revivalis era kolonial ini bergerak dalam
kemajuan bidang pendidikan dan memiliki ambisi mengontrol kekuasaan
untuk melawan penjajah. Revivalisme post-kolonial diwakili oleh
munculnya gerakan jihad di Mesir pada tahun 1970-1980. Sedangkan
revivalisme post-nation-state diwakili oleh gerakan Taliban dan
Al-Qaeda.
Al-Qaeda yang dipimpin oleh Osama bin Laden
muncul sebagai reaksi atas konspirasi Arab Saudi dengan Amerika Serikat.
Amerika sangat kencanduan minyak Saudi. Saudi pun kaya raya dan
memiliki modal finansial yang kuat untuk melakukan pembangunan dan
modernisasi. Namun modernisasi Saudi ini terlihat absurd karena tidak
dibarengi dengan demokratisasi institusi. Dan naifnya para ulama Saudi
tidak kritis menyikapi kebijakan penguasa yang pro-Barat karena mereka
telah menikmati fasilitas yang diberikan oleh penguasa. Hal ini berbeda
dengan ulama muda ortodoks yang menentang modernisasi dan konspirasi
dengan Barat; mereka akhirnya memilih jalur teror.
Al-Qaeda
dapat dipahami sebagai produk pertentangan antara modernisasi dengan
nilai-nilai tradisi. Sebagai fenomena politik dan militer, gerakan ini
merupakan gerakan yang memiliki background pendidikan tradisional.
Kemunculan kelompok radikal ini juga disebabkan oleh lingkungan dan
institusi yang tidak demokratis. Ibrahim menegaskan bahwa selama
ketidakadilan dan kurangnya kebebasan demokratis terjadi di sebuah
negara, maka interpretasi ekstrem atas Islam akan senantiasa muncul.
Dari sini dapat diambil benang merah bahwa upaya mewujudkan keadilan dan
demokratisasi merupakan solusi meminimalisir radikalisme religius.
Pendidikan di Dunia Muslim: Antara Modern dan Tradisional?
Ibrahim
melihat bahwa telah banyak negara Muslim yang menerima modernisasi
setelah era kemerdekaan. Indonesia, Pakistan, dan Mesir telah mendorong
modernisasi di bidang pendidikan dan institusinya dengan menciptakan
pendidikan terbuka bagi semua warganya. Namun di negara Muslim lainnya
masih terdapat sejumlah kebijakan yang menolak modernisasi pendidikan
dengan tujuan tersembunyi agar dapat terus mempertahankan status quo.
Melihat realitas itu maka negara-negara Muslim membutuhkan lingkungan
pendidikan yang pluralistik dan inklusif, dimana lembaga pendidikan
menerima pembaharuan-pembaharuan kurikulum.
Lembaga
pendidikan Islam sangat membutuhkan modernisasi. Ibrahim sepakat dengan
Abd al-Majid al-Charfi, pemikir Tunisia, yang mengusulkan modernisasi
Islam dengan menawarkan pemahaman yang membedakan antara “Islam” dan “Islamic thought” (al-fikr al-Islami). Islam merupakan agama yang sakral, sedangkan Islamic thought
adalah pemikiran Islam yang tak sakral seperti tafsir, ilmu hadits,
kalam, fiqh, tasawuf, dan lain-lain. Islam adalah produk Tuhan,
sementara pemikiran Islam adalah produk manusia. Islam itu tunggal,
tetapi pemikiran Islam pastilah beragam. Namun kaum Muslim tradisional
sering mengatasnamakan pemahaman Islam mereka sebagai Islam itu sendiri,
sehingga terjadilah pengkultusan terhadap pemahaman Islam. Pembedaan
antara Islam dan pemikiran Islam ini penting dalam proses modernisasi di
lembaga pendidikan Islam, sebab dengan pembedaan dua hal itu akan
dimungkinkan munculnya inovasi dan pembaharuan yang dinamis. Penulis
melihat bahwa pemikiran ini banyak disuarakan oleh para pemikir Arab
modern dan kontemporer, namun hingga kini masih banyak kaum Muslim yang
tak henti-hentinya mengkultuskan pemahaman Islam ulama klasik yang
notabene merupakan produk manusia masa lalu.
Abd al-Majid
al-Charfi juga menawarkan pemikiran yang senada dengan gagasan Nurcholis
Madjid, yakni terkait pemaknaan Islam. Islam dapat didefinisikan secara
simple sebagai penyerahan diri kepada Tuhan yang Esa, tetapi, pada
waktu bersamaan, Islam dapat diartikan sebagai kepercayaan monoteis yang
berhubungan dengan agama Islam, Yahudi, dan Kristen. Dengan demikian
seseorang dapat melihat Islam secara inklusif dari perspektif Abrahamic religion.
Ibrahim
Abu Rabi juga sepakat dengan Nashr Hamid Abu Zaid yang mengusulkan
pentingnya modernisasi pemikiran melalui rekonseptualisasi tekstualitas
al-Quran. Ibrahim dan Abu Zaid menilai bahwa peradaban Islam adalah
peradaban teks. Teks (al-nash) menjadi sentral dalam kebudayaan
Muslim. Teks-teks keagamaan tidak turun dalam ruang hampa, tetapi
senantiasa turun berdialektika dengan realitas sejarah kebudayaan
manusia. Dengan demikian harus dipahami hubungan dialektis (dialectical relationship)
antara teks dan realitas sosio-historis serta antara teks dan
penafsiran manusia. Sejarah Islam pun merupakan produk hubungan yang
kompleks antara aspek kemanusiaan dan wahyu, atau antara teks agama dan
faktor sosio-ekonomi-politik. Oleh sebab itu, Islam harus dipahami
secara sosiologis.
Ibrahim Abu Rabi juga mengapresiasi pemikiran Rochdy Alili, dalam bukunya Qu’est-ce que l’islam?
(Apa itu Islam?), yang membedakan antara Islam sebagai nilai normatif
dan Islam sebagai fenomena historis. Islam merupakan agama yang
bersumber dari wahyu, namun—dalam sejarah evolutifnya—Islam telah
menciptakan tradisi politik, filsafat, khazanah keilmuan, sosial, dan
budaya yang sangat kompleks. Islam pun ditarik-tarik ke dalam isu-isu
sosial-politik, sehingga para intelektual dan politisi akan memiliki
penafsiran yang berbeda tentang Islam. Dalam konteks ini, Islam dapat
dipahami sebagai kekuatan pasif maupun revolusioner. Pada masa kolonial,
Islam sering dipahami sebagai kekuatan revolusioner untuk mengusir
penjajah, sebagaimana yang dilakukan oleh Abd al-Qadir al-Jazairi dan
Syaikh Sanusi di Afrika Utara. Islam akhirnya menjadi wilayah yang
problematik; Islam dapat diartikan sebagai teks dan teologi; Islam
sebagai pemikiran keislaman; Islam sebagai sejarah; dan Islam sebagai
sebuah atau sejumlah institusi agama.
Pendidikan Islam
tradisional diharapkan sudi menerima terobosan-terobosan pemikiran di
atas agar terjadi pergeseran paradigmatik. Namun, diakui atau tidak,
lembaga pendidikan tradisional masih tertutup untuk menerima
pemikiran-pemikiran baru yang menggandeng disiplin ilmu umum akibat
trauma kolonialisme. Pada era kolonial terjadi dikotomi antara ilmu
agama dan umum. Lembaga pendidikan Islam tradisional menaruh curiga
kepada kurikulum pendidikan umum yang dinilai tidak Islami dan berbau
Barat. Mengadopsi pengetahuan umum sama saja dengan westernisasi.
Eksklusivitas inilah yang mengakibatkan semakin jauhnya lembaga
pendidikan tradisional dari modernitas. Lembaga pendidikan kian terasing
dari perkembangan ilmu-ilmu empirik dan rasional. Di Arab Saudi,
Pakistan, Afghanistan, Yaman, dan lain-lain, tradisionalisme sangat kuat
dimana kurikulum abad pertengahan tidak mengalami perubahan berarti dan
telaah kritis sangat dihindari.
Pendidikan tradisional
masih belum menerima analisis kritis yang berbasis pada ilmu-ilmu sosial
dan filsafat kritis. Pendidikan tradisional terlalu terpaku pada sistem
menghafal dan mengulang-ulang produk pemikiran klasik tanpa ada
inovasi. Ibrahim setuju dengan statemen Rifaat Said, pemikir Mesir,
bahwa pendidikan tradisional sangat literalistik. Kajian-kajian
tradisional secara ideologis lebih dikonstruksikan untuk membela, bukan
mempertanyakan, status quo. Dengan demikian, diperlukan pembacaan modern dan kontemporer terhadap turats
agar terjadi transformasi paradigmatik dari tradisionalisme ke
post-tradisonalisme/modernisme, sebagaimana yang usung oleh Muhammed
Abed al-Jabri dalam proyek Naqd al-Aql al-Arabinya.
Intelektual Elit Arab Modern
Para
penguasa diktator di dunia Muslim tidak pernah menghendaki demokrasi
yang dinilai dapat mengancam kekuasaan mereka. Wacana demokratisasi dan
modernisasi Arab telah lama digulirkan oleh para pemikir, namun para
rezim diktator Arab baru tumbang satu persatu pada saat ini. Wacana
demokratisasi dan modernisasi sebenarnya telah bergulir di dunia Arab
pasca kekalahaan negara-negara Arab dari Israel pada tahun 1967. Di
tengah-tengah proses demokratisasi yang jauh dari komplit, modernisasi
yang dibangun oleh penguasa diktator pun mengalami kegagalan. Sebagai
respon atas kegagalan itu muncullah kelompok-kelompok Islamis yang
menawarkan penerapan syariat Islam. Di sisi lain, kelompok sekularis
menilai bahwa tradisi pemikiran Islam yang diusung oleh kelompok Islamis
justru akan menghambat laju kemajuan dan demoktarisasi.
Kelompok
sekular ini dapat diklasifikasikan menjadi tiga: 1) Arab nasionalis
seperti Qustantine Zurayk. Pemikiran-pemikirannya dapat dijumpai dalam
buku al-Mualafat al-Kamilah li Doktor Qustantine Zurayk; 2)
para pemikir Marxis yang diwakili oleh Adonis, Ghali Shukri, Abdallah
Laroui, al-Afif al-Akhdar, Sadiq Jalal al-Azim, Tayyib Tizine, Halim
Barakat, Husain Muruwah, dan lain-lain. Gagasan-gagasan para pemikir
Marxis ini, menurut penulis, sangat layak diapresiasi oleh kalangan
Muslim tradisional. Pemikiran mereka dapat memberi kontribusi besar bagi
perkembangan dinamika pemikiran Islam tradisional. Sebagai contoh,
misalnya, Husein Muruwah, dalam bukunya al-Naz’ah al-Madiyah fi al-Falsafah al-Islamiyah
(Kecenderungan Materialis dalam Filsafat Islam), menenjelaskan
perkembangan pemikiran Islam dari era awal dengan pendekatan
dialektika-meterialis-historis (jadaliyah madiyah tarikhiyah).
Pendekatan ini setidaknya dapat membuka cakrawala kalangan tradisional
bahwa khazanah keilmuan Islam merupakan produk pemikiran yang terikat
dengan kondisi sosio-ekonomi, kultur, dan politik sepanjang sejarah
Islam. Pertentangan kelas antara borjuis dan proletar ikut mewarnai
corak wacana Islam. Pemikiran kelas borjuis dan penguasa akan
menciptakan khazanah Islam pro status quo, sementara wacana Islam yang
muncul dari kalangan proletar akan membentuk wacana kiri Islam yang
marginal. Khazanah pemikiran Islam dibaca dengan pendekatan sosiologis
kemudian dipilah-pilah antara wacana yang pasif dan revolusioner; 3)
kelompok sekular-liberal yang diwakili oleh Zaki Najib Mahmud, Jabir
Asfur, Fuad Zakaria, Faraj Fauda, dan lain-lain. Mereka menyuarakan
pentingnya keluar dari kungkungan tradisi dan menolak upaya politisasi
agama yang dilakukan oleh kelompok Islamis. Faraj Fauda dan sejumlah
pemikir Al-Jazair dan Tunisia bahkan secara ekstrem mengasosiasikan
bahwa semua tradisi Islam dapat menghambat kemajuan dan merusak civil
society. Para pemikir sekular ini tentu memiliki pemikiran yang beragam,
namun secara garis besar mereka disatukan oleh sebuah gagasan utama
bahwa kekalahan Arab dari Israel adalah karena ketertinggalan dunia
Islam dari modernitas Zionis.
Kesimpulan
Dunia
Muslim menghadapi tantangan-tantangan yang kompleks dalam aspek sosial,
politik, ekonomi, dan budaya, kemudian menimbulkan respon yang beragam
dari kelompok-kelompok modernis, nasionalis, dan Islamis revivalistik.
Tantangan-tantangan itu harus dihadapi dengan gerakan modernisasi dan
demokratisasi dalam segala bidang; institusi pendidikan maupun politik.
Hal ini penting untuk menyikapi politik otoritarianisme yang berkembang
di dunia Arab. Munculnya respon dari kelompok modernis, nasionalis, dan
Islamis merupakan fenomena yang tak dapat dipungkiri sebab pemerintah di
beberapa negara Muslim gagal menciptakan percepatan proses demokrasi.
Dunia Arab juga mengalami kekacauan politik akibat menguatnya cengkraman
militer dalam mengendalikan kekuasaan. Hal ini diperparah oleh dukungan
kekuatan Barat terhadap rezim-rezim otoriter. Ibrahim Abu Rabi
menyayangkan munculnya respon-respon negatif dari kelompok Islamis
revivalistik, namun, di sisi lain, ia juga mengkritik kuatnya intervensi
Barat atas kebijakan-kebijakan dunia Muslim yang dapat memicu gerakan
radikalisme. Dengan demikian, upaya menanggulangi kekerasan atas nama
agama adalah melalui proses modernisasi, demokratisasi, dan minimalisasi
intervensi Barat terhadap kebijakan ekonomi dan politik di dunia
Muslim.