Oleh: Jum'an Basalim
Kamaishi adalah kota pantai di timur laut
Jepang yang berpenduduk sekitar 40 ribu lebih. Ketika terjadi Gempa dan
tsunami besar bulan Maret lalu, 1.200an penduduknya tewas. Padahal
Kamaishi dilindungi oleh tanggul pemecah gelombang sepanjang 2 km,
sedalam 63 meter dan menjulang setinggi 6 meter diatas air. Tembok
penahan tsunami yang tahan gempa itu dibangun selama 30 tahun dan baru
selesai 3 tahun lalu, dengan biaya 1,5 milyar dollar. Tanggul itu tidak
mampu menahan gelombang tsunami setinggi hampir 10 meter, justru
gelombang yang dibelokkan oleh tembok itu telah menyebabkan ombak
setinggi 18 meter yang melanda daerah disebelahnya. Anehnya Dari 2.900
murid SD dan SMP di Kamishi hanya 5 orang yang tewas; itupun mereka yang
tidak masuk sekolah hari itu karena sakit atau pulang lebih awal.
Selebihnya selamat. Ternyata itu bukan suatu keajaiban tetapi sebuah
hasil karya. Mereka telah dibekali dengan pengetahuan rinci dan latihan
intensif menghadapi tsunami.
Sejak 2005 pemerintah
Kamaishi telah bekerja-sama dengan ahli-ahli pendidikan manajemen
bencana untuk menghadapi bencana karena dari waktu kewaktu kota itu
selalu dilanda tsunami. Diantara materi penting dalam pendidikan itu
adalah pengamalan semboyan "tsunami-tendenko" - motto yang lahir dari
sejarah kota berulang kali dilanda tsunami. Motto itu bermakna "pada
saat terjadi tsunami larilah ketempat yang tinggi demi keselamatan
sendiri, jangan memikirkan orang lain, bahkan keluarga anda." Waktu
terjadi tsunami yang menewaskan 22.000 orang pada tahun 1896, kebanyakan
anggota keluarga berusaha untuk saling membantu tapi akhirnya gagal
menyelamatkan diri dari tsunami yang menghancurkan seluruh wilayah.
“Tendenko adalah kebijaksanaan berdasarkan kepercayaan dalam keluarga
dan memiliki makna yang sangat mendalam" kata ahli rekayasa bencana dari
Universitas Gunma, Prof. Toshitaka Katada. Tendenko yang secara harfiah
berarti "masing-masing untuk diri sendiri" (each for oneself) terbukti
telah menyelamtakan banyak anak-anak sekolah Kamaishi dari bencana.
Menyelamatkan diri dengan mengabaikan keluarga? Rasanya dilematis dan
tidak manusiawi, baik bagi budaya Jepang yang sangat menghargai orang
lain. Apalagi kita-kita: sorga ditelapak kaki ibu, berbuat baik kepada
dua orang tua, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin,
tetangga dekat dan tetangga jauh, teman sejawat adalah motto dan
kewajiban umat Islam.
Tendenko adalah kebijaksanaan lokal
yang khas Jepang. Jepang juga kita kenal sebagai negeri asal istilah
kamikaze, harakiri dan samurai, yang semua berkonotasi kepahlawanan
malalui bunuh diri. Gempa 11 Maret itu juga telah merusakkan reaktor
nuklir di PLTN Fukushima dan menimbulkan penyebaran radiasi nuklir yang
sangat berbahaya. Untuk menaikkan citra dan memberi kesan bahwa
pengamanannya terkendali, pemerintah Jepang pada 13 Noverber 2011 lalu
menggelar lomba lari estafet maraton wanita "Fukushima Ekiden Marathon".
Padahal tingkat radiasi di Fukushima sangat tinggi, jauh diatas ambang
bahaya. Banyak pihak telah memprotes agar pemerintah membatalkan
perlommbaan itu tetapi tetap dilaksanakan. Pesertanya adalah atlit-atlit
putri umumnya remaja dari berbagai daerah di Jepang. Untuk mengikuti
perlombaan mereka diharuskan menandatangani peraturan, diantaranya "Jika
saya mengalami masalah kesehatan dari lomba ini, saya tidak akan
menuntut promotor (yaitu pemerintah Jepang)". Para pengamat menyebut
lomba ini "Marathon Mati Bersama" (Die Together Marathon). Mereka
menjuluki para atlit remaja itu pasukan kamikaze; tidak beda dengan
tindakan Jepang pada PD II. Saat itu tentara merekrut sekitar 300 siswi
dan guru SMA di Okinawa guna membentuk tim perawat yang diberi nama
"Star Lily Corps". Ketika pasukan Amerika mendarat, selama 3 bulan
pertempuran yang dahsyat para perawat itu ditugaskan di garis depan;
melakukan tugas berat yang amat berbahaya dan 224 dari mereka mati.
Sebagian bunuh diri dengan menjatuhkan diri dari tebing. Ini adalah
Kamikaze versi perempuan. Sekarang pemerintah Jepang melakukan kegilaan
yang sama dengan mengadakan lomba di daerah radiasi Fukushima. Itulah
citra Jepang selain semboyan tendenko. Semangat kamikaze!
Bersamaan
dengan itu 200 pensiunan insinyur umur 60-70 tahun lebih, telah
membentuk tim yang bertekad mengorbankan diri dalam perbaikan reaktor
nuklir Fukushima yang sangat berbahaya. Generasi muda harus dihindarkan
dari radiasi nuklir betapa kecilpun intensitasnya, kata mereka. Yasuteru
Yamada (72) mengatakan: ”Sisa umur saya mungkin sekitar 13 atau15 tahun
lagi. Kalu saya terkena radiasi, kanker mungkin baru menjalar 20 - 30
tahun lagi. Kesempatan kami terkena kangker lebih kecil.” Yang lain
mengatakan: saya sudah tua saya tidak peduli kalau saya mati. ”Kami
bukan kamikaze ... Kamikaze itu sesuatu yang aneh, tidak ada manajemen
risiko di sana. Mereka niat untuk mati. Tapi kami akan kembali. Kami
harus bekerja tetapi tidak mati. Kami tidak istimewa, tetapi logis!”
kata Yamada. Anak-anak sekolah Kamaishi yang selamat berkat semboyan
tendenko, remaja yang mengorbankan kesehatannya dalam marathon Fkushima
dan pensiunan yang merelakan diri terkena radiasi karena sudah tua,
semuanya mungkin khas Jepang. Bagi kita, lain ladang lain belalang, lain
lubuk lain ikannya.