Oleh Irwan Masduqi
Sosiologi berasal dari kata Latin socius yang berarti kawan dan kata Yunani logos
yang berarti kata atau berbicara. Dengan demikian sosiologi adalah ilmu
yang berbicara dan mempelajari masyarakat, yakni dengan metode
penyelidikan empiris dan analisis kritis untuk mengembangkan pengetahuan
tentang aktivitas sosial manusia. Sosiologi sudah berkembang sejak era
Plato (427-347 SM) dan Aristo (384-322 SM). Analisis sosiologis Plato
terdapat dalam konsepnya tentang makna negara di mana dia merumuskan
teori organis tentang masyarakat yang mencakup kehidupan sosial dan
ekonomi. Plato menilai bahwa institusi-institusi dalam masyarakat saling
bergantung secara fungsional, sehingga jika ada satu institusi yang
tidak berfungsi maka secara keseluruhan kehidupan masyarakat akan
terganggu. Teori ini dalam tradisi Islam dikembangkan oleh al-Farabi
dalam karyanya Madinah Fadhilah. Seperti halnya Plato,
Aristoteles (384-322 SM) juga berpendapat bahwa masyarakat adalah suatu
organisme hidup yang berbasis pada moral yang baik.[1]
Sosiologi
kemudian berkembang di Eropa dan Amerika. Dalam sejarahnya,
perkembangan sosiologi didorong oleh kebutuhan untuk menjelaskan
perubahan masyarakat yang terjadi pada Abad Pencerahan, revolusi
Amerika, revolusi industri, dan revolusi Prancis. Tansformasi sosial
pada Abad Pencerahan merombak struktur masyarakat yang sudah berlaku
berabad-abad. Para bangsawan dan agamawan yang dulu mengendalikan
dinamika sosial secara absolut menjadi kehilangan otoritasnya. Perubahan
radikal ini tak terelakkan menyebabkan terganggunya stabilitas sosial
yang berujung pada perpecahan dan peperangan. Transformasi sosial yang
radikal mendorong para sosiolog untuk menjelaskan secara rasional dan
empirik terhadap perubahan besar di masyarakat.[2]
Kemudian
sosiologi modern muncul di benua Amerika, tepatnya di Amerika Serikat
dan Kanada pada permulaan abad ke-20 ketika gelombang besar imigran
berdatangan ke Amerika Utara. Gejala itu berakibat pesatnya pertumbuhan
penduduk, munculnya kota-kota industri baru, bertambahnya kriminalitas
dan lain lain. Perubahan masyarakat itu menggugah para ilmuwan untuk
menemukan pendekatan baru yang sesuai dengan kondisi masyarakat pada
saat itu.
Meskipun analisis sosiologis sudah muncul sejak era filsafat Yunani, tetapi term sociology baru digunakan sebagai sebuah disiplin ilmu oleh filosof Prancis Auguste Comte (1798-1857) dalam buku yang berjudul "Cours De Philosophie Positive".
August Comte disebut-sebut sebagai founding father sosiologi lantaran
pemikirannya pada Abad Pencerahan dengan mengemukakan teori tiga fase
perkembangan masyarakat: teologis, metafisik, kemudian positivistik.[3]
Beberapa
kalangan menganggap Ibn Khaldun, seorang cendekiawan Arab-Islam abad
ke-14 dari Afrika Utara, sebagai sosiolog pertama melalui magnum opusnya yang berjudul Muqaddimah.
Ibn Khaldun memaparkan prinsip-prinsip untuk menafsirkan
kejadian-kejadian sosial dalam sejarah seperti timbul dan tenggelamnya
negara-negara. Gagasan lainnya yang sangat populer adalah ashabiyah,
yakni teori yang menjelaskan bahwa faktor pemersatu manusia dalam
suku-suku klan dan negara adalah rasa solidaritas. Sederet pemikir Barat
terkemuka, seperti Georg Wilhelm Friedrich Hegel, Robert Flint, Arnold J
Toynbee, Ernest Gellner, Franz Rosenthal, dan Arthur Laffer mengagumi
pemikirannya.[4]
Sosiologi memiliki ciri-ciri utama
sebagai berikut: 1) bersifat empiris yang berarti bahwa ilmu ini
didasarkan pada observasi terhadap kenyataan dan akal sehat serta
hasilnya tidak spekulatif; 2) bersifat teoretis, yaitu ilmu yang selalu
berusaha menyusun abstraksi dari hasil-hasil observasi yang bertujuan
menjelaskan hubungan sebab-akibat, sehingga menjadi sebuah teori; 3)
bersifat kumulatif dalam arti ia dibentuk atas dasar teori-teori yang
sudah ada untuk memperbaiki dan memperluas teori yang lama; 4) bersifat
nonetis, yakni tidak mempersoalkan baik dan buruknya sebuah fakta
sosial, tetapi untuk menjelaskannya secara analitis.[5]
Dalam
perkembangannya, sosiologi dipengaruhi oleh ilmu-ilmu lain seperti
geografi, biologi, antropologi, hukum, dan lain sebagainya, sehingga
membentuk banyak aliran sosiologi. Pertama, sosiologi madzhab
geografi yang berupaya menguraikan perkembangan masyarakat yang terikat
dengan lingkungan dimana mereka berada. Teori ini dapat mengungkapkan
adanya korelasi antara tempat tinggal dengan adanya karakter kehidupan
sosial suatu masyarakat. Penganut madzhab ini antara lain Edward Buckle
dari Inggris (1821-1862) dan La Play dari Prancis (1806-1888).
Kedua,
madzhab organis dan evolusioner. Tokoh terkemukanya adalah Herbert
Spencer yang memperkenalkan pendekatan “analogi organik” yang memahami
masyarakat seperti tubuh manusia, sebagai suatu organisasi yang terdiri
atas bagian-bagian yang tergantung satu sama lain. Suatu organisme akan
bertambah sempurna apabila bertambah kompleks dan dengan adanya
diferensiasi antara bagian-bagiannya. Perspektif ini terpengaruh oleh
paradigma structural-functionalism Emile Dukheim.
Ketiga,
madzhab formal yang dianut oleh Georg Simmel. Dia menyatakan bahwa
untuk menjadi warga masyarakat manusia harus mengalami proses
individualisasi dan sosialisasi. Keempat, madzhab psikologi
yang diusung oleh Gabriel Tarde (1843-1904) dari Prancis. Dia
berpendapat bahwa gejala-gejala sosial mempunyai sifat psikologis yang
terdiri dari interaksi antara jiwa-jiwa individu yang terdiri dari
kepercayaan dan keinginan.
Kelima, madzhab
ekonomi yang diusung oleh Karl Marx (1818-1883). Dia berpandangan bahwa
selama masyarakat masih terhimpun dari kelas-kelas maka pada kelas
borjuislah akan terhimpun kekuatan dan kekuasaan. Hukum, seni, dan agama
hanyalah refleksi dari status kelas tersebut. Mereka mengeksploitasi
kelas proletar. Oleh karena itulah dinamika masyarakat diwarnai oleh
pertikaian dan kompetisi antar kelas. Inilah inti teori social-conflict ala Karl Marx.
Keenam,
madzhab hukum. Durkheim berpandangan bahwa solidaritas masyarakat
terikat dengan kaidah-kaidah hukum yang bersanksi dan berat-ringannya
sanksi tersebut tergantung pada sifat pelanggaran, anggapan-anggapan,
serta keyakinan masyarakat tentang baik buruknya suatu tindakan.
Pitrim Sorokin dalam bukunya yang berjudul Contemporary Sociological Theories mengklasifikasi cabangan-cabangan sosiologi dan spesialisasinya sebagai berikut: educational
sociology, political sociology, sociology of religion, sociology of
law, sociology of knowledge, sociology of science, sociology of war,
sociology of art and literature, dan sociology of medicine. Uraian di bawah ini hanya akan mengkaji sosiologi agama saja.[6]
Sosiologi
agama fokus pada interaksi antara agama dan masyarakat. Objek-objek,
pengetahuan, praktik-praktik, dan institusi-institusi keagamaan oleh
para sosiolog dipandang sebagai produk interaksi manusia dengan
konstruksi sosial. Para sosiolog mengkaji praktik-praktik keagamaan
untuk meneliti hubungannya dengan institusi, struktur, ideologi, dan
kelas sosial yang dengannya masyarakat terbentuk.
Para
sosiolog awalnya melihat agama pada posisi yang marginal, namun pasca
kebangkitan agama dalam konteks global maka agama kembali menemukan
signifikansi sosiologisnya di mata para sosiolog. Marx, Weber, dan
Durkheim dalam karya-karyanya merespon gejolak-gejolak sosial dan
ekonomi seiring maraknya industrialisasi yang terjadi di Eropa pada abad
kesembilan belas dan dua puluh. Kajian agama pun menjadi perhatian
mereka karena agama terlihat sebagai bagian integral dari masyarakat
pada saat itu.
Teori inti Karl Marx muncul dalam konteks
merespon situasi ekonomi yang menindas. Saat industrialisasi berkembang
di Eropa, Marx dan Friedrich Engels merespon perkembangan yang mereka
sebut surplus value. Marx melihat bahwa kapitalisme telah
menyebabkan para kapitalis menjadi semakin kaya sementara para pekerja
semakin miskin. Kesenjangan dan eksploitasi dalam kapitalisme inilah
yang disebut dengan surplus value. Para pekerja akhirnya menjadi barang komoditas dan sebuah alat yang teralieniasi dalam sebuah ketidakpuasan yang ekstrem.
Marx
menyayangkan peran agama yang memperkeruh situasi ini, di mana
ketergantungan orang-orang pada agama dimanfaatkan untuk melanggengkan
eksploitasi. Agama dibajak untuk menjustifikasi keterasingan ini.
Otoritas Kekristenan mengajarkan bahwa mereka yang mengumpulkan kekayaan
dan kekuasaan dalam hidup ini tidak akan masuk kerajaan surga,
sementara orang-orang yang menderita akibat penindasan dan kemiskinan
dalam kehidupan ini namun memiliki kekayaan rohani akan mendapatkan
pahala di kerajaan Tuhan.
Merespon hal ini, Marx
menyatakan bahwa agama telah berfungsi sebagai tirai asap kolektif yang
mengaburkan segala sesuatu dari mata rakyat, mengacaukan sumber dan
realitas ketertindasan mereka, merepresentasikan pembuat aturan terhadap
mereka yang diatur, dan agama juga menjadi candu masyarakat (religion is the opium of the people)
yang membius dan menenangkan masyarakat sehingga kehilangan rasa sakit
atas penindasan yang mereka alami. Agama justru berfungsi membuat mereka
hanyut dalam kemiskinan dan keterasingan dengan memberikan janji pahala
akhirat sebagai kompensasi atas status mereka yang rendah dan
eksploitasi yang mereka terima.[7]
Pandangan Marx tersebut
berbeda dengan kaum Marxis belakangan seperti Antonio Gramsci yang
lebih melihat agama dari perspektif interaksionis. Bagi Gramsci agama
adalah sumber kultural yang berpotensi dimanfaatkan oleh kelompok
revolusioner dan reformis maupun kelompok pro status quo. Penggagas
perspektif interaksionis ini adalah Max Weber yang memandang fungsi
ganda agama; selain dapat digunakan sebagai motor perubahan, agama juga
bisa dibajak untuk melegitimasi status quo yang menindas. Weber juga
berpendapat bahwa fungsi agama secara gradual akan semakin berkurang
seiring meningkatnya ekonomi modern dan rasionalisasi organisasi sosial.
Gagasan
Weber yang paling popular adalah tesisnya tentang hubungan antara etika
protestan dan semangat kapitalisme dalam karyanya yang berjudul Die protestantische Ethik und der 'Geist' des Kapitalismus.
Weber berpendapat bahwa kapitalisme berevolusi ketika etika Protestan
mempengaruhi sejumlah orang untuk bekerja dalam dunia sekuler,
mengembangkan perusahaan mereka sendiri dan turut beserta dalam
perdagangan dan pengumpulan kekayaan untuk investasi. Dengan kata lain,
etika Protestan adalah sebuah kekuatan belakang dalam sebuah aksi masal
tak terencana dan tak terkoordinasi yang menuju ke pengembangan
kapitalisme.
Ulasan evolusioner terhadap perkembangan
relasi agama dan masyarakat juga ditawarkan oleh Comte dan Durkheim.
Comte berpendapat bahwa masyarakat berkembang dalam tiga fase: fase
pertama: teologis, yakni tahap yang meliputi periode abad
pertengahan di mana masyarakat dipandang sebagai cermin kehendak dewa
atau Tuhan. Fase kedua: metafisik, yakni periode yang muncul
selama abad Pencerahan yang memfokuskan pada kekuatan alam daripada
Tuhan untuk menjelaskan kejadian kejadian sosial. Comte menganggap
periodenya sendiri sebagai fase ketiga yang ia sebut sebagai tahap positivistik atau ilmiah.[8]
Durkheim
menawarkan perspektif evolusioner masyarakat dari kesukuan menuju
republik dan dari magis menuju rasional. Gagasan ini menunjukkan
kemunduran agama dan ritual secara gradual. Durkheim juga meneliti
praktik keagamaan di suku Aborigin Australia. Hasil penelitian itu
menunjukkan bahwa praktik keagamaan dapat berfungsi mempengaruhi watak
kesukuan, sebab aktivitas-aktivitas liturgis—dalam bentuk penyembahan
pada simbol-simbol yang disucikan—dapat menjadi sarana perayaan
eksistensi suku dan mengikat anggota masyarakat dalam sebuah proyek
sosial bersama. Durkheim kemudian memprediksi bahwa masyarakat modern
akan membutuhkan simbol-simbol yang modern guna menggalang solidaritas
bersama dalam negara republik. Jika masyarakat pramodern membuat
simbol-simbol dalam bentuk ritual-ritual, maka masyarakat modern membuat
hari perayaan kemerdekaan dan penghormatan kepada bendera nasional.
Inilah yang disebut oleh Durkheim dengan agama sipil (civil religion).
Durkheim juga meramalkan bahwa agama sebagai perekat sosial akan
mengalami kemunduran di dunia modern dan hal itu akan mengakibatkan
meningkatnya kejahatan dan bunuh diri.
Konsep Durkheim sangat mempengaruhi Robert Bellah dan Bryan Wilson yang membahas fungsi agama dalam dunia sekular. Dalam Varieties of Civil Religion
mereka menegaskan bahwa peran publik agama memang mengalami kemunduran
dalam masyarakat modern, namun agama masih memainkan peran penting dalam
dunia moral meskipun dalam wilayah prifat. Kemudian dalam Habits of the Heart,
Bellah kembali menyinggung peran publik dan privat agama. Berdasarkan
penelitian empirisnya di Amerika Utara, terdapat penemuan bahwa peran
publik agama Kristen liberal mengalami kevakuman. Sebaliknya kalangan
fundamentalis Kristen justru memiliki peran yang meningkat dalam politik
Amerika. Ia menyatakan bahwa hal ini karena Kristen liberal tidak bisa
memberikan jawaban-jawaban yang pasti dan enggan menetapkan batas-batas
doktrinal. Hal ini berbeda dengan kalangan fundamentalis yang dapat
memberikan batasan-batasan ketat doktrin-doktrin keagamaan. Dalam
konteks keindonesiaan, pandangan Bellah juga menemukan relevansinya.
Munculnya kalangan fundamentalis dalam bidang politik merupakan respon
atas kevakuman peran publik agama, sementara di sisi lain, pandangan
liberal justru tidak mendapat sambutan yang luas karena wacananya
terlalu elitis dan tidak memberikan batasan-batasan ketat pada doktrin
keagamaan. Selain itu kalangan liberal lebih memilih privatisasi agama
seiring arus sekularisasi.
Pendekatan fungsionalis
menambahkan bahwa agama juga berperan memberikan konsep keselamatan bagi
para pemeluknya. Selain itu, agama dinilai mampu memberikan jawaban
atas masalah-masalah yang tak terjelaskan secara rasional. Meskipun
saintisme dan rasionalisme modern semakin meningkat, masyarakat modern
belakangan justru menunjukkan kecenderungan mereka terhadap hal-hal yang
supra-rasional. Hal ini terbukti dengan tersebarnya
pengobatan-pengobatan alternatif. Fenomena sosial ini menunjukan bahwa
masyarakat ingin mengkombinasikan antara orientasi duniawi dengan
keyakinan yang supra-empiris.[9]
Sosiologi mempunyai cara
kerja yang juga dipergunakan oleh ilmu pengetahuan lainnya. Metode
tersebut terdiri dari kuantitatif dan kualitatif. Metode kuantitatif
mengutamakan bahan-bahan yang dapat diukur dengan angka, skala-skala,
indeks, tabel, dan formula-formula ilmu matematika. Michael S. Northcott
menjelaskan bahwa pendekatan kuantitatif dalam sosiologi agama
disandarkan pada skala besar terhadap keyakinan keagamaan, nilai-nilai
etis, dan praktik kehadiran di gereja. Penelitian ini hendak mencari
hubungan antara kehadiran di gereja dengan tingkat komitmen keagamaan.
Pendekatan menggunakan statistik gereja dan survai terhadap dokumen
publik.
Grave Davie dalam Religion in Britain Since 1945
meneliti corak keagamaan khas di Inggris dan bagian Eropa lainnya yang
dicirikan dengan apa yang disebut “meyakini tanpa memiliki” (believing without belonging).
Survai menunjukkan hanya 9% populasi yang rutin mengikuti peribadatan
publik di Inggris. Antara 50% sampai 60% responden yang diteliti
menyatakan meyakini Tuhan dan memiliki pengalaman religius dengan berdoa
di rumah mereka, namun tidak pernah hadir di gereja. Ini membuktikan
bahwa agama belum ditinggalkan, namun hanya menurunnya partisipasi
publik dalam bentuk agama institusional. Hal ini menujukkan bahwa telah
terjadi krisis kepercayaan terhadap institusi sosial-keagamaan. Sebagai
gantinya, partisipasi publik masyarakat beralih ke dalam kehidupan
sosial yang lebih umum seperti dunia hiburan dan konsumerisme.
Sedangkan metode kualitatif
mengutamakan bahan-bahan yang sukar diukur dengan angka-angka atau
ukuran lainnya yang bersifat eksak. Di dalam metode kualitatif terdapat
metode historis dan komparatif. Metode historis menganalisis peristiwa
masa silam untuk merumuskan prinsip-prinsip umum. Dalam tradisi Islam,
metode historis telah digunakan oleh banyak sarjana modern seperti
Khalil Abd al-Karim dalam al-Judzur al-Tarikhiyyah li al-Syaria’t al-Islamiyyah (Akar-akar Historisitas Syariat Islam), Husain Muruah dalam Naz’ah Madiyyah fi Falsafah Islamiyyah (Inklinasi Dialektika-Materialis-Historis dalam Filsafat Islam), Mahmud Ismail dalam Sosiolojia al-Fikr al-Islam (Sosiologi Pemikiran Islam), dan lain-lian.
Metode
komparatif mengutamakan perbandingan antara varian masyarakat untuk
memperoleh perbedaan dan persamaan serta sebab-sebabnya. Di Inggris
metode ini digunakan meneliti aliran-aliran keagamaan dengan cara
mengamati perilaku masing-masing pengikut kelompok berdasarkan laporan
dari insider. Dalam metode kualitatif juga dikenal metode studi kasus melalui interview, participant observer technique (peneliti ikut dalam kehidupan sehari-hari masyarakat yang sedang diteliti), dan lain-lain.[10]
[1] Kathy S. Stolley, The Basics of Sociology, London: Greenwood Press, 2005, p. 1.
[2] http://id.wikipedia.org/wiki/Sosiologi
[3] Kathy S. Stolley, The Basics of Sociology, p. 1-7 & 12.
[4] Kathy S. Stolley, The Basics of Sociology, p. 14.
[5] Soerjono Soekanto, Sosiologi: Suatu Pengantar, Jakarta: Raja Grafindo Persada, hlm. 13.
[6] Soerjono Soekanto, Sosiologi: Suatu Pengantar, Jakarta: Raja Grafindo Persada, hlm. 30-39.
[7] Grace Davie, The Evolution of Sociology of Religion, (Handbooks of the Sociology of Religion: Edited by Michele Dillon), Cambridge, 2003, p. 62-63.
[8] Grace Davie, The Evolution of Sociology of Religion, (Handbooks of the Sociology of Religion: Edited by Michele Dillon), Cambridge, 2003, p. 65.
[9] Peter Connoly, Approaches to the Study of Religion, terj. Imam Khairi, LKIS, 2002, hlm. 273.
[10] Peter Connoly, Approaches to the Study of Religion, terj. Imam Khairi, LKIS, 2002, hlm. 288-290.