Pendahuluan
Sebagai sumber primer kedua setelah al-Qur’an, hadis Nabi selalu mendapatkan perhatian yang sangat serius. Kajian-kajian tentang hadis bukan hanya diminati oleh kalangan Islam sendiri, akan tetapi para sarjana-sarjana barat yang tercover dalam wadah orientalis juga tertarik terhadap kajian tersebut.
Maraknya diskursus-diskursus seputar hadis bukanlah hal yang baru, perdebatan-perdebatan tentang otentisitas hadis sudah dimulai sejak zaman klasik, di mana perdebatan tersebut menyeruak dan mengemuka pada saat terjadinya fitnah al-kubra. Pada saat berkecamuknya fitnah al-kubra, hadis menjadi bidikan para tokoh sekte-sekte Islam yang mencari pijakan referensial atas sektenya dengan mencari, menelaah, bahkan membuat hadis-hadis palsu demi mengukuhkan sektenya agar mendapatkan legitimasi dari hadis.
Problematika tersebut dirasa semakin kompleks, ketika eksistensi hadis itu sendiri dalam beberapa aspeknya berbeda dengan al-Qur’an, dimana al-Qur’an sebagai sumber primer pertama diriwayatkan secara mutawatir (qot’i al-Wurûd), sedangkan hadis sebagai sumber primer kedua sebagian besar diriwayatkan tidak secara mutawatir (dhzonnî al-Wurûd).
Definisi Kritik Hadis
Kritik hadis adalah sebuah nomenklatur arab yang bersinggungan dengan kajian hadis, term “kritik” adalah terjemah dari kata arab “al-Naqd”. Sementara kata al-Naqd secara etimologis memiliki arti “Membedakan beberapa hal dengan tujuan untuk memisahkan antara sesuatu yang baik dengan sesuatu yang buruk, serta menyingkirkan dan membuang hal-hal yang tak bernilai.[1]
Sementara menurut Yahya bin Ma’in, kata al-Naqd secara terminologi ilmu hadis adalah sebuah ilmu yang mengkaji tentang membedakan dan memisahkan antara hadis shahih dengan hadis dha’if, serta menjelaskan tentang Illat-illatnya, penilaian terhadap perawi-perawinya dengan redaksi-redaksi khusus. [2]
Sekilas Sejarah Munculnya Kritik Hadis
Pada masa Rasulullah saw. hidup, kebutuhan akan kritik hadis terbilang sangat minim, hal ini amatlah wajar, karena kejujuran para sahabat dalam menerima riwayat dari Nabi saw. Tidaklah diragukan lagi. Begitu pula pada saat Abu Bakar memegang tampuk tahta khalifah, kritik hadis juga masih belum menyeruak. [3]
Kendatipun aktivitas kritik hadis masih terbilang minim pada saat Abu Bakar menjadi khalifah, bukan berarti kritik hadis tidak pernah terjadi. Karena Abu Bakar pernah mempertanyakan suatu hadis yang diriwayatkan oleh Mughîrah bin Syu’bah tentang hak dan bagian waris seorang kakek, dimana Abu Bakar pernah berkata, “Aku tidak menemukan teks al-Qur’an tentang hal itu (hak waris seorang kakek).” Kemudian Mughîrah berdiri, lalu berkata, “Aku pernah menyaksikan Rasulullah saw. Memberikan bagian seperenam baginya (seorang kakek).” Lalu Abu Bakar berkata, “Apakah kamu memiliki saksi atas hal itu?” Kemudian Muhamad bin Maslamah bersedia menjadi saksi atas perkataan Mughîrah, lalu Abu Bakar pun menerima riwayat tersebut. [4]
Sebagaimana Abu Bakar yang sangat berhati-hati dalam menerima sebuah riwayat hadis, Umar bin Khathab pun juga tidak asal menerima sebuah riwayat. Salah satu riwayat yang terdapat dalam kitab shahih al-Bukhari menginformasikan bahwa suatu ketika Abu Musa al-Asy’ari mengucapkan salam kepada Umar bin Khathab dari belakang pintu, namun Umar tidak mengizinkannya masuk ke dalam rumah, lalu dia pulang. Kemudian menanyakannya perihal tindakan yang dilakukan Abu Musa, “Kenapa kamu pulang kembali?” dia menjawab, “Aku mendengar Rasulullah saw. Bersabda, ‘Ketika kalian mengucapkan salam tiga kali, kemudian tidak dijawab, maka hendaknya kamu pulang kembali.’” Umar berkata, “Hendaknya kalian mendatangkan saksi atas hal itu!” kemudian Umar datang kepada kami, sementara kami dalam keadaan duduk, lalu kami bertanya, “Ada apa denganmu wahai Umar?” kemudian dia menyatakan maksud kedatangannya, lalu dia bertanya, “Apakah kalian mendengar apa yang telah disampaikan Abu Musa?” kemudian kami berkata, “Ya, kami semua mendengar hal itu disabdakan oleh Rasulullah saw.” [5]
Sebab-Sebab Munculnya Kritik Hadis
1. Menjaga kemurnian dan keotentikan hadis yang merupakan sumber hukum Islam kedua setelah al-Qur’an, dimana di dalamnya terdapat hal-hal yang berisi tentang kewajiban dan larangan.
2. Munculnya beberapa tragedi “fitnah”, pemalsuan hadis, pembolehan berbohong atas nama Nabi oleh sebagian kelompok, dll
3. Kredibilitas mayoritas perawi belakangan yang mulai dipertanyakan
4. Semakin banyaknya para perawi hadis [6]
Kajian yang Berkaitan dengan Kritik Hadis
1. Ilmu Kritik Sanad, kajian ini bertujuan untuk menyaring perawi-perawi dalam segi kredibilitasnya, sebagai pengembangannya, mucullah ilmu Jarh wa Ta’dil, kajian yang merupakan pengembangan dari ilmu Kritik Perawi
2. Ilmu Kritik Matan, kajian ini membahas tentang matan hadis, terutama kaitannya dengan menguji kesahihan matan dengan membandingkannya dengan al-Qur’an, hadis, dan akal-rasio.
Tulisan pendek ini hanyalah sebuah pengantar diskusi mingguan “Kajian Kritik Hadis Kontemporer”, tentunya tulisan ini mengandung kekurangan di sana-sini, untuk itu kami mengharap kepada kawan-kawan, untuk memberikan saran dan kritik konstruktif atas tulisan ini, demi kemajuan diskusi kita.
Wallahu A’lam bi al-Shawab
[1] Muhammad Qâsim al-Umri, Dirâsah fi al-Manhaj al-Naqd ‘Inda al-Muhadditsîn (Jordan- Dâr al-Nafâis,tt) Vol I, h. 8
[2] Yahya bin Ma’în, al-Tarîkh, dinukil dari Muhamad Qâsim, Dirâsah fi al-Manhaj al-Naqd, op.cit h.8
[3] Muhammad Qâsim al-Umri, Dirâsah fi al-Manhaj al-Naqd ‘Inda al-Muhadditsîn, op.cit h.10
[4] Al-Dzahabî, al-Tadzkirah, sebagaimana dikutip Muhammad Qâsim al-Umri, Dirâsah fi al-Manhaj al-Naqd ‘Inda al-Muhadditsîn, op.cit h.10
[5] Ibid
[6] Ibid