- I. Pendahuluan
“Likulli Rijalin Fannun” adalah sebuah adagium yang menyatakan bahwa setiap orang memiliki spesialisasinya masing-masing. Jika adagium itu ditarik lebih dalam terhadap bidang kajian ilmu keislaman, maka salah satu konsekuensi logisnya adalah sebuah konklusi yang cukup menggetarkan sejumlah kalangan. Konklusi itu akan menyatakan, “Sufi belum tentu Muhaddis” atau “Fakih belum tentu Muhaddis” dan lain sebagainya, yang intinya akan bermuara pada sebuah kata kunci “setiap orang memiliki spesialisasinya masing-masing”. Jika adagium ini digenerasilasikan, maka di dunia ini tidak akan pernah muncul seorang sarjana prolifik atau multidisipliner.
Akan tetapi di era klasik juga pernah muncul sebuah jargon klasik yang –bisa dikatakan lawan dari adagium di atas- menyatakan bahwa “Man Tabahhara Ilman Wahidan, Faqad Tabahhara Jamî’ al-Ulûm”. Jika kaidah pertama menyatakan setiap orang memiliki spesialisasinya masing-masing, maka jargon kedua mengatakan bahwa orang yang telah menguasai satu disiplin ilmu maka akan dapat menguasai seluruh disiplin ilmu lainnya.
Dua kaidah di atas akan menarik untuk diuji relevansinya jika ada kajian seorang tokoh yang dikenal memiliki spesialisasi ilmu A , kemudian dikaji melalui teropong ilmu B. Atau juga mengkaji sebuah karya tertentu kemudian dikaji melalui pendekatan lainnya.
Syahdan, dalam makalah ini penulis akan mencoba mendedahkan sebuah kajian hadis dalam kitab Sirâj al-Thâlibîn karya ulama Nusantara yang murni produk pribumi dan hanya “nyantri”, Syeikh Ihsân bin Dahlân Jampes Kediri.
Elan vital dari kajian ini adalah di samping memenuhi kewajiban individual mata kuliah Kajian Kitab Hadis, juga ingin memberikan motivasi kepada generasi penerus untuk membangkitkan kembali gairah tulis-menulis putra bangsa yang kian meredup. Di sisi lain juga ingin membuktikan apakah Syeikh Ihsân yang –dengan dua karya tasawufnya- dikenal sebagai seorang sufi memiliki kapasitas dalam bidang hadis?
- II. Biografi
- 1. Kelahiran
Syeikh Ihsan dilahirkan pada tahun 1901 M. dengan nama asli Bakri, dari pasangan KH. Dahlan dan Ny. Artimah. KH. Dahlan, ayah Syeikh Ihsan, adalah seorang kiai yang tersohor pada masanya dan yang pertama kali merintis berdirinya Pondok Pesantren Jampes pada tahun 1888 M.[1]
Tidak banyak data yang mengurai secara detail tentang biografi Syeikh Ihsan Dahlan. Konon, Ihsan kecil, adalah termasuk seorang anak yang nakal. Dia sering kali bolos ngaji demi menonton pertunjukan wayang. Namun, kenakalan yang dilakukannya tidak berjalan lama, karena suatu ketika dia mimpi bertemu dengan kakeknya, dimana dalam mimpinya dia disuruh untuk berhenti melakukan hal-hal buruk. Syeikh Ihsan wafat pada hari senin, 25 Dzulhijjah 1371 H atau bulan September 1952 M.
- 2. Rihlah Ilmiah
Suatu ketika Bakri (Syeikh Ihsân) mimpi bertemu dengan kakeknya. Dalam mimpinya tersebut, Bakri disuruh oleh kakeknya untuk meninggalkan kebiasaan-kebiasaan buruknya. Mimpi inilah yang kemudian membukakan pintu hatinya untuk melakukan pengembaraan intelektualnya.
Beberapa Pesantren yang pernah disinggahi oleh Syeikh Ihsan adalah:
- Pondok Pesantren Bendo Pare Kediri asuhan KH. Khozin[2] (Paman Syeikh Ihsan)
- Pondok Pesantren Jamseran Solo.
- Pondok Pesantren asuhan KH. Dahlan[3] Semarang.
- Pondok Pesantren Mangkang Semarang.
- Pondok Pesantren Punduh Magelang.
- Pondok Pesantren Gondang Legi Nganjuk.
- Pondok Pesantren Bangkalan Madura di bawah bimbingan KH. Kholil[4] Bangkalan.
Penulis tidak menemukan data yang menyebutkan spesialisasi disiplin ilmu yang diambil oleh Syeikh Ihsan dalam belajar di Pesantren-pesantren di atas. Hal ini menyulitkan penulis dalam mengidentifikasi guru-guru hadis Syeikh Ihsan. Sebuah data menyatakan bahwa dari beberapa pesantren yang dia singgahi, tidak ada yang lebih dari satu tahun.[5] Bahkah Syeikh Ihsan tidak pernah mengenyam pendidikan di Timur Tengah layaknya ulama-ulama lainnya.
- Karya-Karya Syeikh Ihsan
Karya-karya Syeikh Ihsan yang sudah terlacak berjumlah empat buah:
- Tashrîh al-Ibârat (syarah dari kitab Natîjat al-Mîqât karya KH. Sholeh Darat Semarang), terbit pada tahun 1930 setebal 48 halaman. Buku ini mengulas tentang ilmu astronomi.
- Sirâj al-Thâlibîn (syarah dari kitab Minhâj al-Âbidîn karya Imam al-Ghazâlî), terbit pada tahun 1932. Buku setebal 800 halaman ini mengulas tentang Tasawuf.
- Manâhij al-Imdâd (Syarah dari kitab Irsyâd al-‘Ibâd karya Syeikh Zainuddin al-Malibari), terbit pada tahun 1940. Buku dengan jumlah halaman sekitar 1088 ini juga mengulas Tasawuf. Terbit pada tahun 2004.
- Irsyâd al-Ikhwân fi Bayân Hukmi Syurbi al-Qahwah wa al-Dukhân (Sebuah karya adaptasi puitik sekaligus penjabaran dari kitab Tadzkirah al-Ikhwân fi Bayân al-Qahwah wa al-Dukhân karya KH.Ahmad Dahlan Semarang), tt. Tebal sekitar 50 halaman, sebuah buku yang mengulas tentang pro kontra hukum meminum kopi dan rokok.
- III. Membedah Sirâj al-Thâlibîn
- Problem Otentisitas
Problem otentisitas sebuah karya bukanlah hal yang baru. Dalam literature klasik juga terdapat beberapa kitab yang diragukan keasliannya dalam penisbatannya kepada penulisnya. Sebut saja TafsîrTanwîr al-Miqbas yang dinisbatkan kepada Ibn Abbâs, Misykât al-Anwâr yang konon merupakan karya al-Ghazâli, bahkan karya lama seperti tafsir al-Fawâtih al-Ilâhiyyah yang baru diterbitkan pada tahun 2009 dikatakan oleh muhaqqiqnya sebagai karya dari Syeikh Abd al-Qadîr al-Jailânî.
Pada dasarnya tidaklah tepat untuk mengatakan bahwa kitab Sirâj al-Thâlibîn mengalami problem otentisitas sebagaimana kitab-kitab yang penulis sebutkan di atas. Karena pada mulanya kitab ini sudah disepakati oleh sejumlah pihak bahwa kitab ini adalah karya dari Syeikh Ihsân Dahlân. Hanya saja pada awal tahun 2009 sebuah penerbit terkemuka di kawasan Beirut Libanon, Dâr al-Kutub al-Ilmiyyah, menerbitkan kitab ini dengan nama penulis lain, yakni Syeikh Zainî Dahlân. Hal ini diperparah dengan dibuangnya Taqârîdz (semacam kata pengantar) yang ditulis oleh Syeikh Hasyim Asy’arî.
Beberapa pihak menduga bahwa kekeliruan ini sengaja dilakukan oleh penerbit tersebut demi mengangkat pangsa pasar. Karena di Timur Tengah nama Syeikh Ihsan Dahlan kurang popular dibangdingkan dengan Syeikh Zaini Dahlan. Kemudian masalah ini ditindak lanjuti oleh PBNU dengan meminta klarifikasi kepada penerbit tersebut serta memintanya untuk mengganti nama penulisnya dengan nama Syeikh Ihsân Dahlân kembali.
Di samping itu ada beberapa data yang mengokohkan dan mengukuhkan bahwa Sirâj al-Thâlibin adalah benar-benar karya Syeikh Ihsân Dahlân. Pertama, dalam muqaddimah kitab tersebut ditulis ungkapan:
“Seorang hamba yang mengharap ampunan Tuhannya, yang membutuhkan rahmat-Nya; Ihsân bin al-Marhûm Muhammad Dahlân al-Jampesi al-Kadiri –semoga Allah memperbaiki keadaan dan tingkah lakunya dan menutupi aibnya di dunia dan akhirat- berkata; kitab ini (sirâj al-Thâlibîn) adalah penjabaran yang singkat nan agung atas sebuah kitab yang berjudul Minhâj al-‘Âbidîn karya Seorang imam yang enerjik dan menjadi panutan semua golongan baik orang khâs maupun orang awam. Seseorang yang digelari Hujjat al-Islâm dan memberkahi umat manusia. Ulama yang kesempurnaannya terdengar di telinga semua orang. Reputasi karyanya berada di posisi yang sangat tinggi serta membuat para ulama-ulama lainnya menundukkan wajahnya karena kekaguman mereka atas karyanya. Ulama itu bernama Syeikh Abû Hâmid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad al-Ghazâlî –semoga Allah menyirami kuburannya dengan ampunan yang selalu mengalir-. Aku –Syeikh Ihsan- menulis kitab ini dengan tujuan untuk mengingatkan diriku sendiri juga untuk mengingatkan orang-orang yang lemah sepertiku. Aku namakan kitab ini dengan judul, “Sirâj al-Thâlibîn ‘Alâ Minhâj al-‘Âbidîn Ilâ Jannat Rabb al-Âlamîn.”[6]
Data tersebut dipertegas dalam penutupan kitabnya dengan mengungkapkan;
“Akhirnya penulisan ini -dengan segala kesibukan penulis- telah selesai dalam jangka waktu sekitar delapan bulan. Pada waktu siang hari selasa dan bertepatan dengan tanggal 27 Sya’ban 1351 Hijriah. Penulisan ini dirampungkan di rumahku, daerah Jampes Kediri, salah satu kota di pulau Jawa.”[7]
Sebagaimana penulis sebutkan di atas, pada cetakan-cetakan selain yang diterbitkan oleh Dar al-Kutub al-Ilmiyyah. Kitab ini diberikan Taqâridz (kata pengantar) oleh sejumlah ulama Indonesia. Hal ini bisa dilihat pada ak hir jilid kedua dari kitab Sirâr al-Thâlibîn. Taqâridz ini juga mengukuhkan penisbatan kitab ini kepada Syeikh Ihsan, sebagaimana yang disampaikan oleh Kiai Hasyim Asy’ari;
“Lembah ilmu-ilmu di sepanjang masa selalu mengalir deras. Taman-taman disiplin ilmu akan selalu berbuah dan daunnya akan selalu hijau. Duhai Allah, ilmu-ilmu itu adalah perhiasan yang amat mulia dan amat menguntungkan. Mengangkat derajat pemiliknya kepada derajat yang tinggi. Pengkaji yang menyibukkan dengan ilmu akan memperoleh manfaat. Sementara ilmu yang paling tinggi nilainya dan paling baik penyebutannya adalah ilmu tasawuf, ilmu yang dapat menjernihkan hati dan watak. Ilmu yang merupakan pokok atau dasarnya ilmu, sementara ilmu lainnya adalah cabang. Karena ilmu ini berkaitan dengan keberadaan Tuhan, jalan menempuh kebahagiaan, dan kebagaiaan yang kekal. Dan salah satu kitab terbaik dalam bidang ini (tasawuf) dan yang dapat memberikan “pemahaman” kepada orang-orang yang berakal. Sebuah kitab yang dinamakan dengan “Sirâj al-Thâlibîn ‘Alâ Minhâj al-Âbidîn Ilâ Jannat Rabb al-‘Âlamîn” karya seorang Âlim dan Allâmat, seorang yang cerdas dan memiliki wawasan yang luas, yakni Syeikh Ihsan bin al-Marhum Muhammad Dahlan al-Jampesi al-Kadiri.”[8]
Di samping kata pengantar yang diberikan oleh KH. Hasyim Asy’ari, ada komentar sekaligus pujian lain yang diberikan kepada Syeikh Ihsan dengan karyanya ini. Pujian tersebut datang dari seorang ulama asal Nganjuk Jawa Timur, KH. Abdurrahman bin Abdul Karim al-Sukri. Pujian lainnya juga datang dari ulama Kediri yang bernama Muhammad Yunus bin Abdullah. Ulama yang disebut terakhir ini berkata dalam kata pengantarnya:
Aku telah membaca sebagian isi dari naskah kitab ini, sebuah naskah yang merupakan penjabaran (atas karya al-Ghazali) yang sangat menawan. Aku menyambut gembira (atas naskah ini), kegembiraan yang dapat memberikan petunjuk atas kajian ini (tasawuf). Semoga Allah membalas kebaikan penulis kitab ini dan ulama-ulama semisalnya dengan sebaik-baiknya balasan.”[9]
Kitab ini juga telah mendapat sanjungan dari beberapa ulama Jawa terkemuka lainnya, sebut saja Syeikh Khazin Bendo Pare (Paman sekaligus gurunya saat beliau menimba ilmu di Pondok Pesantren Bendo). Syeikh Muhammad Ma’ruf Kedunglo, Kediri.[10] Dan KH. Abdul Karim, Lirboyo Kediri.[11]
Dari paparan dan data-data yang penulis peroleh, bisa penulis simpulkan bahwa karya ini (Sirâj al-Thâlibîn) adalah karya Syeikh Ihsan Dahlan bukan karya dari Syeikh Zaini Dahlan sebagaimana cetakan yang diterbitkan oleh Dâr al-Kutub al-Ilmiyyah.
- Gambaran Umum Kitab Sirâj al-Thâlibîn
Sebagaimana sudah diketahui oleh masyarakat umum bahwa kitab ini merupakan sebuah kitab yang bergenre tasawuf. Sebuah disiplin ilmu yang mempelajari tentang etika dsb. Sebagai karya yang merupakan penjabaran dari kitab Minhaj al-Abidin, karya al-Ghazali, tentunya penulisannya mengikuti dan menyesuaikan dengan gaya dan sistematika dari kitab asalnya.
Dalam mukaddimahnya, Syeikh Ihsan mengatakan bahwa apa yang beliau tulis dalam kitab Sirâj al-Thâlibin adalah hanya kumpulan pendapat-pendapat ulama, beliau tidak melakukan apapun kecuali hanya menukil, tandasnya.[12] Hemat penulis, hal itu tidak lain merupakan bentuk ‘andap-asor’(Tawadhu’) dari Syeikh Ihsan sendiri, karena di dalam kitab tersebut Syeikh Ihsan tidak hanya menukil pendapat-pendapat orang lain melainkan juga mengelaborasi bahkan mengkontekstualisasikan term-term tasawuf ke dalam eranya. Sebagai misal, Syeikh Ihsan sampai menyimpulkan bahwa zuhud di zaman ini tidak hanya dilakukan dengan meninggalkan dunia secara total. Sebagaimana hasil wawancara tim NU Online terhadap KH. Abidurahman Masrukhin, salah seorang keturunan Syeikh Ihsan yang meneruskan pengajian Sirâj al-Thâlibîn di Pondok Pesantren Jampes Kediri;
Ajaran tasawuf zaman ini dalam Sirajut Thalibin, menurut Gus Abid adalah soal zuhud. Biasanya zuhud diartikan sebagai tapa dunia atau menghindari harta benda. Syekh Ihsan mengajarkan bahwa orang yang zuhud sebenarnya adalah mereka yang dikejar harta, namun tak merasa memiliki harta itu sama sekali.“Jadi zuhud adalah tapa dunia tapi malah kaya. Nah kalau sudah kaya lantas mencari jalan yang terbaik dalam menafkahkan hartanya itu. Inilah ajaran Sirajut Thalibin. Bahkan Kiai Ihsan sendiri adalah orang yang kaya raya,” katanya. Satu lagi pelajaran dari Sirajut Thalibin adalah soal syukur, atau berterimakasih atas semua karunia dari Allah SWT. Kata Syekh Ihsan dalam juz dua kitab Sirajut Thalibin, doa yang paling tinggi adalah kalimat Al-Hamdulillah, segala puji bagi Allah. [13]
- Kajian Hadis dalam Kitab Sirâj al-Thâlibîn
Sebagai sumber hukum Islam kedua setelah al-Qur’an, urgensitas hadis tidak bisa diabaikan begitu saja. Karena itu bukanlah hal yang aneh apabila seluruh kajian keislaman baik fikih, ushul fikih, nahwu, balaghah, tak terkecuali tasawuf memiliki hubungan yang erat dengan kajian hadis. Sebagaimana dinyatakan secara tegas oleh Syeikh Ihsan Dahlan ketika menjelaskan definisi tasawuf dalam mukaddimahnya pada kitab Sirâj al-Thâlibîn. Syeikh Ihsân menyatakan;
Adalah sebuah kewajiban bagi setiap orang yang akan mengkaji sebuah ilmu untuk mengetahui definisi, obyek dan subyek kajian, peletak dasar dan lain sebagainya dari disiplin ilmu yang akan dibahasnya. Dalam hal ini adalah kajian tasawuf;
Definisi: Ilmu yang mengkaji tentang keadaan sebuah jiwa dan sifat-sifatnya baik yang terpuji manupun tercela
Obyek pembahasan : Hati
Hasil (yang ingin dicapai) : Sebagai pengantar untuk membersihkan jiwa yang kotor dan dapat mencapai pengetahuan terhadap Tuhan.
Hukum mempelajari : Wajib secara individual.
Keutamaannya: Di atas segala ilmu-ilmu lainnya, karena ia dapat mengantarkan seseorang yang mengkajinya mencapai pengetahuan terhadap Tuhan-Nya.
Kaitannya dengan ilmu lainnya : Adalah ilmu pokok, sedangkan ilmu lainnya adalah ilmu cabangannya.
Peletak dasar : Para imam-imam besar dan yang telah mencapai makrifat terhadap Tuhannya.
Sumber : Dari kalamullah (al-Qur’an), hadis, dan petuah-petuah orang-orang yang telah makrifat.
Kajian yang dibahas: Ketentuan-ketentuan yang di dalamnya membahas tentang sifat-sifat sebuah wujud, seperti fana’, baqa’, introspeksi diri dan lain sebagainya.[14]
- Jumlah hadis dalam kitab Sirâj Thâlibîn
Perlu dikemukakan di sini bahwa sejauh pencarian data yang penulis lakukan, masih sangat langka –untuk tidak mengatakan tidak ada sama sekali- peneliti yang telah melakukan penelitian hadis-hadis yang terdapat dalam kitab Sirâj al-Thâlibîn. Tata letak dan penulisan hadis yang dilakukan oleh penerbit kitab Sirâj al-Thâlibîn masih terbilang sederhana. Dua hal ini menyulitkan penulis dalam penghitungan jumlah hadis yang terdapat dalam kitab ini.
- Metodologi Penulisan Hadis
Penulisan hadis yang dilakukan oleh Syeikh Ihsan dalam masterpiecenya, Sirâj al-Thâlibîn, tidaklah tunggal. Artinya penulisan hadis terkadang diberikan keterangan mukharrijnya, seperti ketika menyebutkan hadis:
يسروا ولا تعسروا ، و بشروا ولا تنفروا
Syeikh Ihsan mencantumkan mukharrij hadis di atas, bahwa hadis ini diriwayatkan oleh Syaikhânî(Bukhari dan Muslim)[15]
Dalam kesempatan lain pada saat menuliskan beberapa hadis tentang keutamaan Nabi Muhammad saw., Syeikh Ihsan sama sekali tidak mencantumkan mukharrijnya, seperti dalam hadis berikut;
*لا تفضلوني عن الأنبياء
*لا تفضلوني عن يونس إبن متى
*لا تخيروني على موسى
*أنا أكرم الأولين والأخرين على الله ولا فخر أعظم من ذلك
Dalam bagian yang lain dari kitab Sirâj al-Thâlibîn, Syeikh Ihsan juga mencantumkan status sebuah hadis yang ditulisnya, meskipun hanya sekedar menukil pendapat muhaddis. Sebagaimana dalam hadis berikut:
إن الله تعالى يبعث لهذه الأمة على رأس كل مائة سنة من يجدد لها أمر دينها
Syeikh Ihsan menyatakan bahwa al-Irâqî dan lainnya mengomentari hadis ini dengan status shahih.[16]
Sumber rujukan kitab hadis yang digunakan oleh Syeikh Ihsan tidak hanya diambilkan dari kitab-kitab hadis kanonik, melainkan kitab hadis sekunder seperti Riyâd al-Shalihîn. Kutipan tersebut secara “terang-terangan” ditegaskan oleh Syeikh Ihsan, sebagaimana dalam hadis berikut:
إذا صليتم الصبح فأكثروا من الإستغفار ، فقلنا يا رسول الله علمنا شيأ نستغفر الله به، فقال قولوا اللهم إنا نستغفرك ونتوب إليك من كل ذنب علمناه أو لم نعلمه في ليل أونهار ، فمن واظب عليه فتح الله له بابا من الرزق وغلق عنه بابا من أبواب الفقر[17]
Di antara rujukan lainnya adalah kitab Tanqîh al-Qawl karya al-Nawâwî al-Bantânî. Yaitu pada hadis:
والملائكة يدخلون عليهم من كل باب سلام عليكم بما صبرتم فنعم عقبى الدار[18]
Meskipun demikian, bukan berarti Syeikh Ihsân jarang mengutip hadis langsung dari sumber aslinya. Bahkan –hemat penulis- dengan melihat kondisi penulisan kitab ini, sekitar tahun 1930 an, referensi hadis yang digunakan oleh Syeikh Ihsan sungguh luar biasa. Apalagi beliau tidak pernah belajar ke Timur Tengah. Tentunya sangat jarang sekali orang yang memiliki kitab-kitab “langka” seperti: Nawâdir al-Ushûl karya al-Hakim, Sunan al-Baihaqî, Mu’jam al-Thabrânî, dan lain sebagainya.
Di antara kajian hadis yang dipaparkan oleh Syeikh Ihsan bin Dahlan yang terdapat dalam kitab ini adalah
- Perdebatan tentang periwayatan hadis secara maknawi (al-Riwâyat bi al-Ma’nâ). Dalam hal ini Syeikh Ihsan memaparkan perdebatan para ulama mengenai periwayatan secara maknawi, sebagaimana ia paparkan:
Sejumlah ulama telah memberikan sebuah keringanan atas periwayatan hadis secara maknawi di antara mereka adalah para pembesar sahabat: Sayyidina Alî bin Abû Thâlib, Sayyidina Abbâs, Anas bin Mâlik, Abû Dardâ’, Watsilah bin al-Asqa’, Abu Hurairah. Dan sejumlah tâbi’în yang sangat banyak jumlahnya seperti: Imam Hasan al-Bashrî, al-Sya’bî, Amr bin Dînar, Ibrâhîm al-Nakhâ’î, Mujâhid, Ikrimah. Data ini (menurut Syeikh Ihsan) diperoleh dari buku-buku biografi mereka. [19]
- Dengan begitu fasihnya Syeikh Ihsân juga mengetengahkan metodologi penyelesaian hadis-hadis yang kontradiktif. Sebagaimana penjelasannya dalam menjelaskan penyelesaian para ulama dalam menghadapi dua hadis yang kontradiktif, yakni larangan minum sambil berdiri dengan perbuatan nabi yang justru pernah melakukan minum sambil berdiri. Dalam hal ini dia memaparkan;
Ketahuilah bahwa dua hadis yang menjelaskan larangan Nabi saw. tentang minum sambil berdiri dan perbuatan nabi yang pernah minum sambil berdiri adalah shahih keduanya. Jam’ al-Haditsain atau pengkompromian kedua hadis sudah saya jelaskan sebelumnya. Ketika masih dimungkinkan untuk mengkompromikan kedua hadis yang bertentangan maka penkompromian adalah keniscayaan. Tidak boleh kita menaskhnya. Sementara untuk mengatakan kedhaifan hadis larangan minum sambil berdiri tidak pernah didengar, bahkan hadis tersebut ada dalam shahih muslim, sedangkan menghukumi bolehnya minum sambil berdiri dengan menjadikan perilaku para khalifah empat (Abu Bakr, Umar, Utsman, dan Ali) -yang pernah minum sambil berdiri- adalah tidak tepat dan tidak sesuai dengan kaidah-kaidah ushul fikih, karena hadis nabi tidak bisa dibenturkan dengan prilaku sahabat.[20]
- Syeikh Ihsan juga beberapa kali mengutip kitab al-Maudhû’at karya Ibn Jauzi dalam menilai kedhaifan sebuah hadis.[21] Yakni pada saat ia mengutip sebuah hadis yang terdapat dalam kitab al-Qût dan al-Awârif :
وإذا أكلت فابدأ بالملح واختم بالملح فإن الملح شفاء من سبعين داء الجنون والجذام والبرص ووجع الأضراس[22]
- IV. Penutup
Sebagai sebuah karya tasawuf, Sirâj al-Thâlibîn juga memuat ratusan hadis yang sangat menarik untuk dikaji. Dengan melihat literature hadis yang digunakannya serta kajian hadis di dalamnya, setidaknya Syeikh Ihsan memiliki kemampuan dalam bidang hadis yang tidak bisa diabaikan. Meskipun untuk mengkategorikannya sebagai muhaddis masih perlu pembuktian. Karena dengan makalah yang sederhana dan keterbatasan waktu dan data yang penulis miliki. Makalah yang penulis suguhkan sungguh masih jauh dari sempurna.
Wallahu A’lam bi al-Shawâb
Daftar Bacaan
Al-Bukhâri, Shahîh al-Bukhârî (Beirut: Dâr Ibn Katsîr,1987)
Syeikh Ihsân Dahlân, Kitab, Kopi, dan Rokok, (Jogjakarta: Pustaka Pesantren, 2009)
-----------------------, Sirâj al-Thâlibîn, (Singapore-Jeddah; al-Haramain,tt)
-----------------------,Sirâj al-Thâlibîn, (Jakarta: Dâr al-Kutub al-Islâmiyyah, tt)
Jalâl al-Dîn al-Suyûthî, al-La’âlî al-Mashnû’ah Fi al-Ahâdits al-Maudhû’ah, (Beirut; Dâr Kutub al-Ilmiyyah,tt)
Imam Muslim bin al-Hajjâj, Shahîh al-Muslim (Beirut: Dâr Ihyâ al-Turâts al-‘Arabî,tt)
Website
http://www.nu.or.id/page.php?lang=id&menu=news_view&news_id=18568
[1] Syeikh Ihsân Dahlân, dalam pengantar buku terjemahan buku Kitab, Kopi, dan Rokok, (Jogjakarta: Pustaka Pesantren, 2009)cet.1,h.xv
[2] Seorang kiai terkemuka di daerah Kediri yang telah mencetak ulama-ulama handal dan produktif, di antara murid-muridnya yang menulis dan mentahqiq beberapa buku adalah; Syeikh Ihsan Dahlan, Syeikh Mahmud Cirebon (memiliki karya-karya yang sangat banyak dan mentahqiq dan mentashih kitab-kitab yang diterbitkan penerbit Al-Hidayah, Surabaya), Dr.KH.Sahal Mahfud (yang juga memiliki sejumlah karya seperti Syarh al-Luma’, Taqrîdz al-Ushûl Syarh Lub al-Ushûl, dll)
[3] Seorang Ulama terkemuka yang memiliki sejumlah karya dan beberapa di antaranya dikomentari oleh Syeikh Ihsan Dahlan.
[4] Ulama yang sering disebut “gurunya guru”, seorang ulama yang telah mencetak ratusan kiai yang tersebar di Nusantara, sebut saja; KH.Hasyim Asy’ari, KH. Abdul Karim (Lirboyo), KH.Abdullah Abbas (Buntet), dan kiai-kiai besar lainnya.
[5] Ibid, h.xix
[6] Ihsân Dahlân, Sirâj al-Thâlibîn, (Singapore-Jeddah; al-Haramain,tt) vol.1, h.3
[7]Ihsân, Sirâj al-Thâlibîn, (Jakarta: Dâr al-Kutub al-Islâmiyyah, tt) vol.2, h. 542
[8] KH.Hasyim Asy’ari, kata pengantar dalam kitab Sirâj al-Thâlibîn, (Jakarta;Dâr al-Kutub al-Islâmiyyah, tt)vol.2, h.543
[9] Muhammad Yunus bin Abdullah, kata Pengantar dalam kitab Sirâj al-Thâlibîn, (Jakarta;Dâr al-Kutub al-Islâmiyyah, tt)vol.2, h.544
[10] Adalah seorang kiai terkenal di daerah Jawa Timur. Beliau adalah perintis Pondok Pesantren Kedunglo, Kediri. Sebuah pondok yang berada sekitar 500 meter di sebelah timur Pondok Pesantren Lirboyo.
[11] Seorang murid sekaligus sahabat karib dari KH. Hasyim Asy’ari dan merupakan perintis sekaligus pengasuh pertama Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri. Sebuah Pesantren yang dikenal dengan kehandalannya mencetak pakar gramatikal, karena beliau dikenal dengan kepakarannya dalam bidan tersebut. Salah satu muridnya Prof. Dr.Rofi’i, guru besar UIN Jakarta, konon terkenal dengan julukan Sibawaihnya UIN Jakarta.
[12] Ihsan Dahlan, Sirâj al-Thâlibîn, h.3
[13] http://www.nu.or.id/page.php?lang=id&menu=news_view&news_id=18568, diakses pada tanggal 11 maret 2011
[14] Ibid, h. 4
[15] Ibid, vol.1, h. 19. Dan memang benar hadis ini diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim, lihat: Bukhârî, Shahîh al-Bukhârî, bab Qawl al-Nabî Yassirû wa La Tu’assirû (Beirut: Dâr Ibn Katsîr,1987) vol.5, h.2269 dan Imam Muslim bin al-Hajjaj, Shahîh al-Muslim, bab al-Amr bi al-Taisîr wa Tark al-Tanfîr(Beirut: Dâr Ihyâ al-Turâts al-‘Arabî,tt) vol.3, h.1359
[16] Ibid, vol.1, h.6
[17] Ibid, vol.2, h.30
[18] Ibid, vo.2, h.31
[19] Ibid, vol 1., h.21
[20] Ibid, vol.2, h.39-40
[21] Hadis tersebut juga didhaifkan oleh al-Suyuthi. Lihat Jalâl al-Dîn al-Suyûthî, al-La’âlî al-Mashnû’ah Fi al-Ahâdits al-Maudhû’ah, (Beirut; Dâr Kutub al-Ilmiyyah,tt) vol.2, h.312
[22] Ibid, vol.2, h.36