“Naskh bagi sarjana bahasa memiliki derivasi, sementara bagi pakar sastra memiliki definisi, dan bagi para sarjana hukum memiliki sejumlah ketentuan.” Al-Hâzimî[1]
Abstraksi
Hampir sudah menjadi sebuah konsensus seluruh umat Islam (kecuali segelintir golongan yang dikenal dengan sebutan kelompok Ingkar Sunnah) bahwa Hadis merupakan sumber hukum kedua setelah Al-Qur’an. Sabda, tingkah laku, dan ketetapan Nabi Saw. menjadi sebuah penjelas sekaligus penuntun kehidupan dan keberagamaan umat Islam di seluruh penjuru dunia. Kajian tentang hadis tidak hanya menjadi “concern” sarjana-sarjana Islam, para islamolog-islamolog Barat yang tergabung dalam lingkaran orientalis juga memiliki minat yang cukup besar dalam mengkaji hadis dan ulum hadis. Salah satu kajian hadis yang selalu menarik perhatian para sarjana adalah kajian yang berkaitan denganNâsikh Manshûkh. Meskipun kajian ini termasuk kajian klasik, akan tetapi kajian ini memiliki daya tarik yang cukup luar biasa untuk dikaji di era modern ini. Setidaknya hal ini bukan hanya disebabkan karena kajian ini merupakan wilayah kajian hukum fikih (legal-formal), atau juga merupakan kajian-kajian teologis, maupun wilayah kajian ushul fikih. Melainkan, disebabkan juga karena Nâsikh Mansûkh juga merupakan bagian dari salah satu metode dalam menyikapi hadis-hadis yang secara dhahir kontradiktif.
Definisi
Ibn Mandzûr mendefinisikan kata Nasakha secara etimologi (yang merupakan derivasi dari kata Nâsikh–isim fa’il- dan Mansûkh – isim maf’ul-) adalah Azâla yang berarti menghilangkan. Sebagaimana ia menyatakan:
والشيء ينسخ الشيء نَسْخاً أَي يزيله ويكون مكانه[2]
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kata Nâsikh secara bahasa memiliki arti sesuatu yang menghilangkan, sementara kata Mansûkh bermakna sesuatu yang dihilangkan.
Sementara dalam terminologi ilmu hadis, Naskh adalah sebuah istilah dari penggantian hukum lama yang dilakukan oleh Syâri’ dengan hukum baru (yang datangnya lebih akhir). Definisi yang disampaikan oleh Ibn Shalâh ini menurutnya adalah definisi yang paling tepat serta tidak menuai kritik, dibandingkan dengan definisi-definisi lainnya.[3] Dalam literatur disiplin Ushul Fikih, kajian Naskh kerap dibandingkan dengan kajian Takhsîsh (Simplifikasi) maupun Taqyîd. Namun dalam makalah ini penulis tidak akan memaparkan perbandingan antara Naskh dengan Takshîsh maupun Taqyîd.[4]
Ilmu Nâsikh Mansûkh al-Hadits dalam Lintasan Sejarah
Sebagaimana diketahui bahwa Nâsikh Mansûkh hanya terjadi pada saat nabi masih hidup. KarenaNâsikh Mansûkh berkaitan dengan wahyu, sementara wahyu sudah tidak lagi turun pasca mangkatnya Nabi Muhammad Saw.[5] Dengan demikian, secara praksis, sejatinya Nâsikh Mansûkh hanya terjadi pada saat Nabi Saw. masih ada. Kendatipun demikian, perdebatan teori Nâsikh Mansûkh masih terjadi hingga kini, karena terkadang sejumlah pakar menyatakan adanya teori Naskh dalam sebuah hadis, namun pakar lain menolaknya.
Sementara Pertumbuhan Nâsikh Mansûkh sebagai sebuah teori dalam sebuah disiplin ilmu baru muncul pada abad ke 2 Hijriah, setelah Imam Syâfi’î (204 H) menulis karya monumentalnya, Al-Risâlah. Memang benar bahwa jauh sebelum al-Syâfi’î, para sahabat sudah membicarakan tentang Nâsikh danMansûkh sebagaimana yang terdapat dalam kitab-kitab hadis kanonik. Akan tetapi pembicaraan mereka hanya berkutat pada tataran praksis, bukan teoritis.
Namun menurut Al-Hâzimî (584 H), ulama yang pertama kali menggagas Nâsikh Mansûkh sebagai sebuah kajian dalam Ulûm al-Hadîts adalah Ibn Syihâb al-Zuhrî. Al-Hâzimî mendasarkan pendapatnya ini dengan sebuah riwayat dari Abû Dzar bahwasanya ia mendengar Ibn Syihâb berkata:
أعيا الفقهاء و أعجزهم أن يعرفوا ناسخ حديث رسول الله صلى الله عليه وسلم من منسوخه
“Sesuatu hal yang paling meletihkan dan melelahkan para fuqaha adalah mengetahui dan memahami ilmu nâsikh dan mansûkh dari hadis-hadis Nabi”[6]
Argumentasi di atas dikukuhkan dan dikokohkan dengan statemen dari Ibn Syihâb bahwa ia pernah menyatakan, “Ilmu ini (Nasîkh Mansûkh) belum pernah dikodifikasikan oleh seorang pun sebelum aku.”[7] Statemen al-Zuhrî di atas pada gilirannya memberikan stimulus terhadap para sarjana muslim, bahkan juga seorang orientalis, Brockelman, untuk mengkaji dan lebih jauh apakah al-Zuhrî memiliki sebuah karya dalam bidang ilmu Nasîkh Mansûkh.[8] Terlepas dari pro dan kontra apakah al-Zuhrî memiliki karya atau tidak, yang jelas imam al-Syafi’î lah, ulama yang menjadikan kajian Nâsikh Mansûkhsebagai bagian dari kajian ilmu, meskipun bukan dalam kajian Ulûm al-Hâdîts, melainkan Ushûl Fiqh, di satu sisi. Dan masih terkesan “tercecer”, di sisi lain.
Al-Syafî’î; Peletak Dasar Kajian Ilmu Nâsikh dan Mansûkh
Sebagaimana yang telah dipaparkan di muka, sejarah kemunculan ilmu Nâsikh dan Mansûkh dalam ranah Ulûm al-Hâdîts adalah adanya perhatian Imam Syâfi’î dalam kajian ini. Kemudian Al-Kattânî dalam karyanya yang berjudul al-Risâlah al-Mustathrafah Li Bayâni Masyhûri Kutub al-Sunnah al-Musyarrafah–sebagaimana yang dikutip oleh Hasan al-Maqbûlî-, juga al-Khâthîb al-Baghdâdî, mencantumkan salah satu karya Ahmad bin Hanbal berjudul al-Nâsikh Wa al-Mansûkh sebagai salah satu karya imam Ahmad. Namun sangat disayangkan kitab tersebut tidak bisa kita nikmati.[9]
Selanjutnya Abû Bakr Ahmad bin Muhammad bin Hâni’ al-Thâ’i yang masyhur dengan nama al-Atsram (261 H) sebagai salah satu penulis buku tentang Nâsikh dan Mansûkh. Lalu disusul oleh Abû Dâwud al-Sijistânî (275 H) sebagai penerus selanjutnya dalam meneruskan estafet penulis kajian Nâsikh danMansûkh.[10] Di antara ulama hadis lainnya yang memiliki peran yang cukup besar adalah Abû Hâmid al-Râzî, Ibn Syâhîn, Al-Hâzimî, Burhanuddin al-Ja’barî, dan masih banyak lagi.
Kitab-Kitab Ilm Nâsikh wa Mansûkh Fi al-Ahâdîts
Penulis telah memaparkan beberapa pakar hadis yang mempunyai peran yang cukup besar dalam disiplin ilmu ini. Sejumlah kitab yang membahas Ilm Nâsikh wa Mansûkh Fi al-Ahâdits memiliki corak dan metodologi yang berbeda antara satu dengan yang lainnya. Sebagian ada yang terlalu ketat, sebagian lainnya terlalu ringan, atau bahkan sebagian yang lain ada yang mengkategorikannya bukan sebagai Naskh, melainkan Takhsîsh. Terlepas dari perbedaan corak, teori, maupun metodologinya, berikut penulis cantumkan beberapa karya yang membahas tentang kajian ilmu ini dan akan membatasinya pada kitab-kitab yang bisa kita nikmati, karena sebagian yang lain naskahnya belum sampai kepada kita:
- Nâsikh al-Hadîts wa Mansûkhuhu, Abû Bakr Ahmad bin Muhammad bin Hâni’ al-Thâ’i -al-Atsram- (261 H). Sistematika penulisan yang digunakan oleh al-Atsram adalah sistematika fikih, ia memulai penulisannya dari Bab Orang yang tidak melakukan shalat karena lupa atau tidur.[11]
- Nâsikh al-Hadîts wa Mansûkhuhu, Abû Hafsh Umar bin Ahmad bin Syâhîn (385 H). Dalam karya ini, Ibn Syâhîn juga menggunakan sistematika penulisan yang hamper sama dengan al-Atsram, yakni sistematika fikih. Hanya saja Ibn Syâhîn memulainya dengan pembahasan Thahârah.[12]
- Al-I’tibâr fi al-Nâsikh wa al-Mansûkh fi al-Atsar, Muhammad bin Mûsâ bin Utsmân bin Hâzim (584 H). Penulis karya ini juga mengikuti sistematika karya sebelumnya, yaitu sistematika dengan metode fikih. Dan dimulai dengan pembahasan tentang Thahârah pula.[13]
- Rusûkh al-Ahbâr Fi Mansûkh al-Akhbâr, Abû Ishâq Burhanuddin al-Ja’bari (722 H). al-Ja’barî memulai penulisannya pada bab al-Miyâh (bentuk plural dari al-Mâ’ yang artinya air). Dengan demikian al-Jabarî juga menggunakan sistematika ala fikih.[14]
Aplikasi Penyelesaian al-Ahâdîts al-Mukhtalifah dengan Ilm Nasîkh Mansûkh
Sebelum penulis memaparkan aplikasi penyelesaian al-Ahâdîts al-Mukhtalifah, perlu penulis tegaskan kembali bahwa adakalanya Naskh tersebut disepakati oleh para ulama, adakalanya pula terjadi perbedaan dalam penentuan apakah hadis tersebut dinaskh ataupun tidak.
Di antara tanda-tanda yang mengindikasikan terjadinya naskh dalam sebuah hadis yang disepakati oleh para ulama adalah :
- Adanya penjelasan dan penegasan langsung dari Nabi Saw. Seperti dalam hadis berikut:
أن رسول الله صلى الله عليه و سلم قال ( كنت نهيتكم عن زيارة القبور فزوروها . فإنها تزهد في الدنيا وتذكر الآخرة )[15]
Dalam hadis tersebut, nabi Saw. Secara tegas menjelaskan tentang kebolehan ziarah kubur yang sebelumnya dilarang.
2. Ada ketegasan dari salah satu sahabat Nabi Saw. sebagaimana hadis berikut:
قال جابر بن عبدالله : كان أخر الأمرين من رسول الله صلى الله عليه وسلم ترك الوضوء مما مست النار[16]
Ungkapan Jâbir bin Abdullah di atas menegaskan adanya naskh dalam kewajiban melakukan wudlu setelah memakan daging yang sudah dimasak. Sebagaimana hadis riwayat Abû Dâwud dalam bab Tark al-Wudlu’ Min Mâ Massat al-Nâr.[17]
3. Adanya data sejarah
Ibn Hajar al-Asqalânî sebagaimana yang dikutip Thahir Jawâbî menilai bahwa tanda kesepakatan adanya naskh yang ketiga ini sangat banyak.[18]
Sementara Ibn Shalah menyatakan bahwa Naskh juga bisa diketahui dengan Ijma’ ulama. Sedangkan menurut al-Syâfi’î, Naskh bisa diidentifikasi melalui khabar dari Nabi Saw. Atau juga dengan data sejarah yang menunjukkan adanya perbedaan rentang waktu antara dua hadis atau lebih dengan hadis lainnya. Dari perbedaan waktu tersebut bisa disimpulkan bahwa hadis yang datang lebih akhir adalah al-Nâsikh dan yang datang lebih awal dikategorikan sebagai al-Mansûkh.[19]
Al-Hazimi mengutip pendapat al-Thahâwî bahwa Ulama kufah menambahkan salah satu kriteria adanya naskh adalah Husn al-Dzan (prasangka baik) terhadap periwayat hadis. Sebagaimana hadis tentang pembasuhan bejana yang terkena jilatan anjing. Hadis yang dinaskh menyatakan bahwa bejana tersebut harus dibasuh tujuh kali, sementara hadis riwayat Abu Hurairah menyatakan bahwa bejana yang terkena jilatan anjing hanya dibasuh tiga kali. Ulama Kufah menyatakan bahwa hadis Abu Hurairah menaskh hadis pembasuhan tujuh kali, karena berhusn al-Dzan dan menganggap bahwa Abu Hurairah tidak mungkin menyalahi sabda Nabi Saw..[20]
Kendatipun secara teoritis ada ketetapan-ketetapan mengenai tanda-tanda terjadinya Naskh, namun secara praksis tidak selamanya disepakati oleh seluruh sarjana. Thâhir al-Jawâbî menyatakan bahwa ada beberapa naskh yang telah disepakati dalam sebuah hadis, sedangkan sebagian besar banyak naskh yang diperdebatkan, karena sebagian ulama menganggap telah terjadi naskh, sementara sebagian yang lain menggunakan teori “Jam’-kompromi” atau teori “tarjîh -pengunggulan”.
Secara garis besar, hanya terdapat dua puluh tujuh kasus ikhtilâf al-Hadîts yang diselesaikan dengan teori naskh. Sementara jumlah kasus diselesaikan secara naskh secara masyhur disepakati oleh seluruh ulama dengan tanpa adanya perdebatan dan perbedaan hanya tiga belas kasus. Dan Naskh yang secara praksis banyak menuai perdebatan berjumlah empat puluh delapan kasus.[21]
Aplikasi Ilm Nâsikh Mansûkh:
- Contoh dari al-Ja’barî :
Di antara contoh yang dikemukakan oleh al-Ja’barî adalah terjadinya naskh tentang kebolehan nikah mut’ah.[22]
Hadis yang membolehkan nikah mut’ah adalah di antaranya diriwayatkan oleh al-Bukhârî dan Imam Muslim:
قال عبد الله كنا نغزو مع رسول الله صلى الله عليه و سلم وليس لنا شيء فقلنا ألا نستخصي ؟ فنهانا عن ذلك ثم رخص لنا أن ننكح المرأة بالثوب [23]
Sementara di antara hadis-hadis yang melarang nikah mut’ah adalah hadis riwayat al-Bukhârî dan Imam Muslim :
أن رسول الله صلى الله عليه و سلم نهى عن متعة النساء يوم خيبر وعن أكل لحوم الحمر الإنسية [24]
Hadis yang terakhir disebut adalah hadis yang disebut sebagai Nâsikh, sementara hadis yang pertama disebut adalah hadis yang disebit Mansûkh. Hadis yang terakhir disebut secara historis datang lebih akhir dibanding hadis yang sebelumnya.
- Contoh yang disampaikan dari Ibn Syâhîn adalah hadis tentang kewajiban mandi bagi seseorang yang mengantarkan dan membawa jenazah[25]:
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ غَسَّلَ مَيِّتًا فَلْيَغْتَسِلْ
Hadis ini diriwayatkan oleh sejumlah mukharrij hadîts, di antaranya adalah Ibn Mâjah, Ahmad bin Hanbal.
Sementara hadis yang menaskhnya adalah hadis:
قال رسول الله صلى الله عليه و سلم : ليس عليكم في غسل ميتكم غسل إذا غسلتموه فإن ميتكم ليس بنجس فحسبكم أن تغسلوا أيديكم[26]
Kemungkinan Perubahan Naskh
Asumsi umum yang digali melalui pendapat sarjana klasik dan mayoritas sarjana kontemporer berpendapat bahwa Naskh adalah ilmu yang sudah paten, tidak ada perkembangan lagi pasca wafatnya Rasul atau setelah mangkatnya para sahabat. Asumsi ini dapat dibantah dengan beberapa argumen. Pertama, sebagaimana telah dijelaskan di atas bahwa naskh yang disepakati oleh ulama tidak lebih dari tujuh belas kasus. Hal ini menandakan bahwa kasus naskh-naskh selainnya adalah produk ijtihadi. Sehingga pada gilirannya naskh adalah hasil ijtihad ulama. Kedua, beragamnya metode penyelesaian hadis-hadis “kontradiktif” juga memiliki andil yang cukup besar terhadap munculnya perdebatan aplikasi naskh. Sebagai contoh, sejumlah sarjana klasik, termasuk al-Syafii menggunakan teori naskh dalam memahami hadis tentang perintah membunuh peminum khamr yang meminum khamr keempat kalinya. Hadis itu berbunyi:
حدثنا أبو كريب حدثنا ابو بكر بن عياش عن عاصم بن بهذلة عن أبي صالح عن معاوية قال : قال رسول الله صلى الله عليه و سلم من شرب الخمر فاجلدوه فإن عاد في الرابعة فاقتلوه [27]
Kemudian ada hadis lain yang menurut sejumlah ulama dinilai sebagai al-Nâsikh, yakni hadis:
رَوَى مُحَمَّدُ بْنُ إِسْحَقَ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ الْمُنْكَدِرِ عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِنَّ مَنْ شَرِبَ الْخَمْرَ فَاجْلِدُوهُ فَإِنْ عَادَ فِي الرَّابِعَةِ فَاقْتُلُوهُ قَالَ ثُمَّ أُتِيَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَعْدَ ذَلِكَ بِرَجُلٍ قَدْ شَرِبَ الْخَمْرَ فِي الرَّابِعَةِ فَضَرَبَهُ وَلَمْ يَقْتُلْهُ وَكَذَلِكَ رَوَى الزُّهْرِيُّ عَنْ قَبِيصَةَ بْنِ ذُؤَيْبٍ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَحْوَ هَذَا قَالَ فَرُفِعَ الْقَتْلُ وَكَانَتْ رُخْصَةً
Hadis di atas menurut sebagian ulama menaskh hadis sebelumnya. Padahal jika kita cermati, maka hadis kedua –yang meniadakan pembunuhan terhadap peminum khamr - bersifat kasuistik yang sangat parsial. Hal tersebut dikukuhkan dengan redaksi “Rukhshah”. Karena itu al-Nawawi tidak mengkategorikan hadis ini sebagai hadis yang menaskh hadis sebelumnya. Menurut al-Nawawi, peniadaan hukuman bunuh terhadap peminum khamr dinaskh oleh Ijma’.[28] Yang perlu digarisbawahi di sini adalah penulis tidak bermaksud meruntuhkan pendapat yang menaskh hukuman bunuh terhadap peminum khamr lantas kemudian pro dengan membunuh peminum khamr. Penulis hanya memaparkan bahwa teori naskh pun ternyata bersifat problematik. Artinya, jika demikian adanya, maka bisa saja hadis-hadis yang dinilai oleh ulama telah dinaskh, justru akan bisa kembali diamalkan dalam kondisi tertentu. Sebagaimana saat dihalalkannya –sebelum dilarangnya- mut’ah karena kondisi perang di mana banyak tentara muslim yang gugur di medan perang. Di samping itu, kajian tentang adanya data sejarah yang dijadikan sebagai salah satu dalil teori naskh juga secara tidak langsung akan membuka pintu perdebatan aplikasi naskh.
Penutup
Kajian Naskh selalu menarik untuk didiskusikan dan dikaji, sebagaimana kajian-kajian lainnya. Meskipun Naskh merupakan kajian klasik, akan tetapi selalu mengundang perhatian para sarjana untuk mengkaji dan menelitinya. Hal ini bisa dibuktikan dengan adanya perbedaan penggunaan teori dalam menyelesaikan hadis-hadis yang kontradiktif. Pada gilirannya naskh juga akan mengalami perkembangan yang cukup signifikan dalam penerapan hukum dengan melihat kondisi-kondisi tertentu.
والله أعلم بالصواب
END NOTE
[1]Al-Hâzimî, Al-I’tibâr Fi al-Nâsikh Wa al-Mansûkh Min al-Atsâr,(Hams: Mathba’ah al-Andalus, 1966) cet 1. H.5
[2] Ibn Mandzûr, Lisân al-‘Arab, (Beirut: Dâr Shâdir,tt) vol.3, h.61
[3] Ibn Shalâh, Ulûm al-Hadîts Li Ibn al-Shalâh, (Beirut : Dâr al-Fikr, 1987) h. 190
[4] Lebih detail tentang kajian Naskh, Taqyîd, dan Takshîsh, lihat Wahbah Zuhaili, Ushûl Fiqh al-Islâmî, (Beirut: Dâr al-Fikr, 1986) cet 1. H. 937-998
[5] Wahbah Zuhailî, Ushûl Fiqh al-Islâmî, h.997
[6] Al-Hâzimî, al-I’tibâr Fi al-Nâsikh Wa al-Mansûkh Min al-Atsâr,(Hams: Mathba’ah al-Andalus, 1966) cet 1. H. 4-5
[7] Ibid, h.6
[8] Brockelman menisbatkan buku berjudul al-Nâsikh Wa al-Mansûkh kepada al-Zuhrî, lebih detail baca, Dr. Muhammad Hasan Maqbûlî al-Ahdal, catatan kaki dalam kata pengantar buku Abû Ishâq al-Ja’barî,Rusûkh al-Ahbâr Fi Mansûkh al-Akhbâr, (Beirut: Maktabah al-Jîl al-Jadîd,1988) cet 1. H.90
[9] Dr. Muhammad Hasan Maqbûlî al-Ahdal, Rusûkh al-Ahbâr, h.92
[10] Ibid
[11] Lebih detail baca Abû Bakr Ahmad al-Atsram, Nâsikh al-Hadîts wa Mansûkhuhu, (Riyâdh: 1999) cet 1
[12] Lebih detail baca Abû Hafsh Umar bin Ahmad bin Syâhîn, Nâsikh al-Hadîts wa Mansûkhuhu, (Tk: Maktabah al-Manâr, tt)
[13]Lebih lengkap baca Al-Hâzimî, al-I’tibâr Fi al-Nâsikh Wa al-Mansûkh Min al-Atsâr
[14] Lebih luas baca Abû Ishâq al-Ja’barî, Rusûkh al-Ahbâr Fi Mansûkh al-Akhbâr, (Beirut: Maktabah al-Jîl al-Jadîd,1988) cet 1
[15] Muhammad bin Yazîd Abû Abdullah al-Qazwainî, Sunan Abû Dâwud, (Beirut: Dâr al-Fikr, tt) vol 1., h.501, Muslim bin Hajjâj, Shahîh Muslim, (Beirut: Dâr Ihyâ’ Turats al-ArabÎ, tt) vol 2, h.672. Hadis ini juga diriwayatkan oleh al-Tirmidzî, Ahmad bin Hanbal, Ibn Hibbân, al-Hâkim, al-Baihaqî, al-Daruquthnî, dan sejumlah mukharrij hadis lainnya.
[16] ِMuhammad Thâhir al-Jawâbî, Juhûd al-Muhadditsîn fi Naqd Matn al-Hadîts al-Nabawî al-Syarîf(Tunis: Muassasah Abd al-Karîm, tt) h.405
[17] Abû Dawûd, Shahîh Abû Dâwud, (Beirut : Dâr al-Kitâb al-Arabî, tt) vol.1, h.75
[18] Muhammad Thâhir al-Jawâbî, Juhûd al-Muhadditsîn, h. 406-407
[19] Al-Jawâbî, Juhûd al-Muhadditsîn op.cit h.406
[20] Al-Hâzimî, al-I’tibâr Fi al-Nâsikh, h.10
[21] Ibid, h. 407-419
[22] Al-Ja’barî, Rusûkh al-Ahbâr h.437-444
[23] Bukhâri, Shahîh al-Bukhârî, (Beirut: Dâr Ibn Katsîr, 1987) vol.5, h.1953 dan Muslim bin Hajjâj,Shahîh Muslim, (Beirut: Dâr Ihyâ al-Turâts al-Arabî, tt) vol. 2, h.1022
[24] Bukhârî, Shahîh al-Bukhârî, vol.4, h.1544 dan Muslim, Shahîh Muslim, vol.2 h. 1023
[25] Ahmad bin Syâhîn, Nâsikh al-Hadîts wa Mansûkhuhu, h.53-57
[26] Muhammad bin Abdullah al-Hâkim, al-Mustadrâk, (Beirut : Dâr al-Kutub al-Ilmiyyah, 1990) Vol 1, h.
[27] Al-Tirmidzî, Sunan at-Tirmidzî, bab Man Syariba al-Khamr Fajlidûhu (Beirut: Dâr Ihyâ Turâts al-Arabî, tt) vol.4, h.48
[28] Al-Nawâwî, Al-Minhâj Syarh Shahîh Muslim bin Hajjâj (Beirut : Dâr Ihyâ Turâts al-Arabî, tt) vol.1, h.35
Daftar Pustaka
Abû Bakr Ahmad al-Atsram, Nâsikh al-Hadîts wa Mansûkhuhu, (Riyâdh: 1999) cet 1
Abû Hafsh Umar bin Ahmad bin Syâhîn, Nâsikh al-Hadîts wa Mansûkhuhu, (Tk: Maktabah al-Manâr, tt)
Abû Dawûd, Shahîh Abû Dâwud, (Beirut : Dâr al-Kitâb al-Arabî, tt)
Al-Bukhâri, Shahîh al-Bukhârî, (Beirut: Dâr Ibn Katsîr, 1987)
Al-Hâzimî, Al-I’tibâr Fi al-Nâsikh Wa al-Mansûkh Min al-Atsâr,(Hams: Mathba’ah al-Andalus, 1966)
Al-Ja’barî, Rusûkh al-Ahbâr Fi Mansûkh al-Akhbâr, (Beirut: Maktabah al-Jîl al-Jadîd,1988)
Al-Nawâwî, Al-Minhâj Syarh Shahîh Muslim bin Hajjâj (Beirut : Dâr Ihyâ Turâts al-Arabî, tt)
Al-Tirmidzî, Sunan at-Tirmidzî, bab Man Syariba al-Khamr Fajlidûhu (Beirut: Dâr Ihyâ Turâts al-Arabî, tt)
Dr. Muhammad Hasan Maqbûlî al-Ahdal, catatan kaki dalam kata pengantar buku al-Ja’barî, Rusûkh al-Ahbâr Fi Mansûkh al-Akhbâr, (Beirut: Maktabah al-Jîl al-Jadîd,1988)
Ibn Shalâh, Ulûm al-Hadîts Li Ibn al-Shalâh, (Beirut : Dâr al-Fikr, 1987)
Muhammad bin Yazîd Abû Abdullah al-Qazwainî, Sunan Abû Dâwud, (Beirut: Dâr al-Fikr, tt)
Muhammad Thâhir al-Jawâbî, Juhûd al-Muhadditsîn fi Naqd Matn al-Hadîts al-Nabawî al-Syarîf (Tunis: Muassasah Abd al-Karîm, tt)
Muslim bin Hajjâj, Shahîh Muslim, (Beirut: Dâr Ihyâ’ Turats al-ArabÎ, tt)
Muhammad bin Abdullah al-Hâkim, al-Mustadrâk, (Beirut : Dâr al-Kutub al-Ilmiyyah, 1990)
Wahbah Zuhaili, Ushûl Fiqh al-Islâmî, (Beirut: Dâr al-Fikr, 1986) cet 1.