Jika Anda bertanya kepada setiap pemeluk Islam tentang shalatnya; bagaimana shalat diwajibkan? Maka jawaban pada umumnya adalah “aku tidak tahu (la adri). Sungguh Allah telah mewajibkan shalat kepada kita dan cukup itu saja jawabannya”
[Dr. Jawwad ‘Ali]
Seluruh madzhab Islam sepakat bahwa shalat yang diwajibkan dalam sehari adalah lima waktu. Mereka juga sepakat dalam masalah bilangan raka’at. Shalat Subuh dua raka’at. Shalat Dhuhur, ‘Ashar, dan ‘Isya berjumlah empat raka’at. Sedangkan shalat Maghrib tiga raka’at. Madzhab-madzhab Islam, baik klasik maupun modern, tidak berselisih pendapat dalam bentuk pokok tata cara shalat. Perbedaan mereka hanya terjadi dalam masalah cabangan (far’iyyah) yang tidak terkait dengan watak umum shalat. Cara ruku’ dan sujud adalah sama menurut semua madzhab. Jumlah raka’at juga tidak diperdebatkan oleh madzhab-madzhab. Kewajiban menghadap kiblat juga disepakati oleh semua kaum muslimin.
Adapun masalah-masalah lainnya seperti mengeraskan atau melirihkan suara saat membaca bacaan shalat, meletakkan tangan di atas atau di bawah pusar, doa qunut, mengangkat jari telunjuk dalam tasyahud atau tidak, memalingkan kepala ke arah kanan dan kiri ketika salam atau tidak, batasan minimal ayat yang wajib dibaca dalam shalat, dan lain-lain, adalah masalah-masalah yang tidak berpengaruh pada bentuk umum shalat. Persoalan-persoalan partikular semacam ini hampir tidak bisa dibedakan oleh non muslim.
Shalat adalah simbol hubungan manusia dengan penciptanya. Shalat harus dikerjakan sebagai kewajiban agama, baik sendirian maupun berjamaah. Shalat merupakan media mendekatkan diri kepada Allah dan sarana memohon apa yang dibutuhkan oleh manusia dengan mensyukuri semua kasih sayang Allah. Dengan demikian, di dalam shalat terdapat dua unsur: pertama, syukur kepada Allah serta memuja-Nya dan mengagungkan-Nya atas kebesaran dan keindahan ciptaan-Nya; kedua, memohon kepada Allah yang Maha Kuasa, Sang Pengabul doa hamba. Shalat adalah ibadah yang tak lepas dari semua syariat terdahulu, meskipun syariat tersebut berbeda-beda bentuknya.
Shalat secara etimologis berarti do’a, rahmat, dan istighfar. Islam telah mempersempit makna shalat sebagai kewajiban ibadah yang di dalamnya terdapat ruku’, sujud, gerakan-gerakan tertentu, dan kaidah-kaidah baku yang tak bisa dirubah semaunya. Ketentuan waktu pelaksanaan shalat juga sudah baku dan tidak bisa dirubah sesuka hati jika shalat tersebut adalah shalat wajib. Pelaksana shalat (mushali) diperintahkan membaca ayat dan hadits sebagaimana yang telah dibakukan oleh syariat dan kemudian dijaga oleh ulama periode belakangan (khalaf) dari sumber ulama pendahulu (salaf).
Nomenklatur “shalat” berasal dari bahasa Aramaic yang derivasinya dari suku kata shad lam alif “shala” yang artinya adalah ruku’ atau merunduk (inhina`). Kata shalat difungsikan untuk merepresentasikan praktek ritual keagamaan. Kata “shalat” kemudian digunakan oleh kalangan Yahudi, sehingga, sejak saat itu, ia menjadi bahasa Aramaic-Ibrani (aramiyah-‘ibriyah). Kata “shalat” masuk dalam bahasa Arab melalui jalur Ahli Kitab sebelum datangnya Islam. Umat Yahudi menggunakan kata “shalutah” pada masa-masa akhir periode Taurat hingga ia menjadi kata pasaran yang memiliki makna bernuansa religi.
Di dalam kamus, “shalat-shalat Yahudi (washalawat Yahudi): sinagog-sinagog Yahudi”. Sementara dalam al-Quran, Allah berfirman,
ولولا دفع الله الناس بعضهم ببعض لهدمت صوامع وبيع وصلوات ومساجد
Artinya, “Dan sekiranya Allah tiada menolak (keganasan) sebagian manusia dengan sebagian yang lain, tentulah telah dirobohkan biara-biara Nasrani, gereja-gereja, rumah-rumah ibadat orang Yahudi dan masjid- masjid”. Ibn Abbas berkata, “’shalawat’ artinya adalah tempat ibadah Yahudi yang berasal dari bahasa Ibrani shaluta”.
Sebagian kalangan orientalis (mustasyriq) menilai kata “shalat” (shad lam ta’) dan “zakat” (za’ kaf ta’) tidak ditulis dengan bentuk seperti yang dikodifikasikan pada saat ini. Mula-mula, pada periode awal Islam, dua kata tersebut ditulis dengan dengan huruf wawu; shalât (shad lam wawu ta’) dan zakât (za’ kaf wawu ta’). Mereka berpendapat bahwa kata shalat berasal dari bahasa Aramaic “slouto” (shalutah/shaluta) dan zakat ditulis zakawât (zaka/daka) yang bermakna “menyucikan” (tadhhir).
Sebagian kalangan orientalis lainnya berasumsi bahwa kata shalat tidak dikenal sebelum Islam datang. Kata shalat masuk ke dalam bahasa Arab dari sumber al-Quran sebagai petanda bagi kewajiban-kewajiban yang dikenal oleh umat Islam. Ini adalah pendapat yang membutuhkan argumentasi, karena tidak ada satu pun orang yang mungkin mengklaim bahwa “Kita mengetahui secara mendalam bahasa, istilah-istilah, dan keyakinan Jahiliyah”. Namun andaikan saja kita mampu menguasainya, maka kita berhak menyatakan pendapat yang senada dengan asumsi orientalis tersebut. Tapi pengandaian itu tampaknya mustahil terjadi.
Semoga saja masa yang akan datang membukakan kepada kita data-data teks Jahiliyyah yang dikodifikasikan oleh tangan-tangan mereka yang mengulas persoalan-persoalan seperti ini.
Namun, jika kalangan orientalis bermaksud bahwa shalat—dalam konteks maknanya yang Islami yang masuk ke dalam bahasa Arab melalui tradisi Judeo-Kristiani—sebagai kata yang tidak dikenali oleh komunitas pagan Jahiliyah, maka pendapat seperti itu benar dan tidak ada yang bisa membantah. Shalat, sebagai ritual Islam, adalah ibadah yang perintahnya turun dalam ruang lingkup Islam.
Shalat bukanlah ibadah Jahiliyah. Dengan demikian, shalat ala Islam tidak dikenal oleh komunitas Jahiliyah.
Lebih jauh lagi, shalat-shalat kaum Yahudi dan Nashrani tidaklah dikenal oleh kalangan penyembah berhala Jahiliyah, karena mereka tidak menganut agama Yahudi dan Nashrani. Namun, bagi sebagian kalangan Jahiliyah yang pernah berinteraksi dengan orang Yahudi atau Nashrani, mereka mengetahui perihal ritual shalat mereka. Hal ini berdasarkan keterangan dalam syair Jahiliyah yang mengisyaratkan adanya informasi tentang ibadahnya kaum Yahudi dan Nashrani yang mencakup gerakan ruku’, sujud, dan membaca tasbih.
Pemeluk Yahudi dan Nashrani dari Arab mengerjakan shalat di tempat-tempat ibadah mereka. Mereka tahu perihal ibadah shalat dengan tata caranya yang khas. Sementara komunitas pagan tidak tahu tentang ritual shalat, sebab tidak ada data yang terkodifikasi yang menjelaskan hal itu. Tetapi, hal ini tidak lantas dapat dijadikan dalil untuk menafikan kemungkinan adanya bentuk-bentuk ritual dalam tradisi Jahiliyah.
Sebagai kaum yang melaksanakan haji pada musim-musim tertentu, memiliki syiar-syiar keagamaan yang baku, dan memiliki tata cara mendekatkan diri pada berhala-berhala, kaum pagan tak mungkin mengabaikan perkara ibadah, karena sesungguhnya ritual adalah sebuah aktivitas penyembahan yang dikenal meskipun oleh komunitas primitif sekalipun.
Dengan demikian, shalat adalah hal yang bersifat integral dengan semua doktrin agama. Tetapi saya tidak berpikir bahwa praktek ibadah mereka mempunyai bentuk yang sama, karena konsep shalat relatif berbeda-beda menurut masing-masing agama dan suku. Tata caranya pun sangat variatif. Namun, meskipun berbeda-beda, ritual-ritual tersebut tak lain adalah shalat, sebab—bagaimana pun juga—konsep tentang shalat adalah satu, namun mengambil bentuk yang beragam. Andaikan saja shalat tidak mengambil bentuk yang beragam, maka semua agama niscaya tunggal.
Di dalam al-Quran al-Karim terdapat indikasi yang menunjukkan adanya praktek shalat bagi kalangan pagan Makkah. Di dalam al-Quran disebutkan, “Doa-doa mereka di sekitar Baitullah itu, tak lain hanyalah siulan dan tepukan tangan” (QS. al-Anfal: 35). Para penafsir telah menjelaskan bahwa kaum Quraisy melakukan Thawaf dalam keadaan telanjang, bersiul, dan bertepuk tangan. Frasa “shalatuhum” dalam ayat di atas artinya adalah “doa-doa mereka”; mereka bersiul dan tepuk tangan sebagai doa dan bacaan tasbih.
Menurut pendapat minoritas penafsir, ayat tersebut artinya adalah “Tidak ada shalat dan ibadah bagi mereka, kecuali hanya sekedar sebuah permainan”. Versi lain mengatakan, “Shalat kaum Jahiliyah—yang diyakini oleh mereka dapat menolak pengaruh-pengaruh buruk—tak lain hanyalah shalat dengan cara bersiual dan bertepuk tangan. Shalat itu tidak disukai Allah, tidak diwajibkan, dan diperintahkan oleh Allah kepada mereka”.
Di dalam Tafsir al-Thabari disebutkan, “Apakah Allah tidak akan menyiksa kaum Jahiliyah? sementara mereka menolak melaksanakan shalat di Masjid al-Haram. Mereka bukanlah kekasih-kekasih Allah. Para kekasih-Nya adalah orang-orang yang menolak ritual kaum Jahiliyah. Sesungguhnya shalat kaum Jahiliyah di Baitullah tak lain hanyalah siulan dan tepuk tangan”.
Menurut sebagian perawi, sebab turunnya ayat tersebut adalah kejadian di mana kaum Quraisy melawan Rasulullah saw. saat melaksanakan Thawaf atau shalat di dalam Baitullah. Mereka menertawakan Rasul sembari bersiul-siul dan bertepuk tangan. Kemudian turunlah ayat tersebut untuk mengritik mereka. Sebagian versi lain berpendapat, ketika Rasulullah saw. melaksanakan shalat di Masjid al-Haram, ada dua lelaki dari Bani Abd al-Dar yang berdiri di sebelah kanan Rasul kemudian bertepuk tangan. Dua lelaki lainnya berdiri dan bertepuk tangan di sebelah kiri Rasul. Orang-orang tersebut mengganggu Rasul yang sedang mengerjakan shalat. Maka Allah membunuh mereka semua di medan Perang Badar.
INSYAALLAH AKAN TERBIT BULAN JUNI 2010
Judul buku : Tarikh al-Shalat fi al-Islam
Penulis : Dr.Jawwad 'Ali
Pent : K.Irwan Masduqi, Lc
Penerbit Elkaf