“Al-Qur’an adalah sumber hukum yang bersifat universal. Ia juga memuat pokok ajaran agama, Serta didalamnya terkandung berbagai macam hikmah-hikmah.”al-Syathibi
“Tidak ada yang menyangkal bahwa syari’at yang di bawa oleh para Nabi bertujuan untuk kemaslahatan manusia” Imam al-Qurthubi
“ Asumsi yang mengatakan bahwa hukum-hukum syariat tidak mencakup nilai kemaslahatan adalah sebuah asumsi keliru ” Syeikh Waliyullah al-Dahlawi
Prolog
Al-Qur’an adalah miracle (mukjizat) yang diturunkan oleh Allah kepada nabi pamungkas Muhammad saw. Disamping itu al-qur’an juga merupakan verbum dei (kalamuLlah) yang telah menyedot perhatian sarjana-sarjana klasik maupun kontemporer untuk mengkajinya.[1] kajian-kajian tentang al-Qur’an tidak hanya diminati oleh para sarjana-sarjana muslim. Para orientalis-orientalis Barat juga banyak yang terpikat untuk mengkaji kitab umat muslim itu.
Nabi Muhammad adalah mubayyin sekaligus mufassir otoritatif atas teks-teks suci al-qur’an. Namun, tidak semua ayat-ayat al-qur’an telah ditafsirkan dan dijelaskan oleh beliau. Salah satu hikmah dari sedikitnya nabi Muhammad menafsirkan al-qur’an adalah ruang gerak para mufasir menjadi begitu luas. Sehingga amatlah wajar bila dalam perkembangan selanjutnya penafsiran-penafsiran al-qur’an sangat variatif.
Seiring dengan melesatnya laju perkembangan ilmu pengetahuan dewasa ini, serta bertubi-tubinya problematika yang harus dihadapi oleh umat manusia membawa dampak yang cukup massif atas perkembangan pendekatan-pendekatan penafsiran. Hal ini disebabkan oleh beberapa hal, pertama, globalnya bahasa yang terdapat dalam al-quran, serta berakhirnya wahyu pasca wafatnya nabi Muhammad, membutuhkan penafsiran-penafsiran yang beragam sesuai perkembangan zaman. Kedua, Alquran sebagai kitab suci yang bersifat selalu relevan di setiap ruang dan zaman (up to date /Shalih Li Kulli Zaman Wa al- Makan) harus selalu memberi solusi terhadap problematika umat. Sehingga perkembangan tafsir adalah suatu keniscayaan.
Kajian-kajian seputar al-Qur’an selalu diminati oleh umat manusia. Tak terkecuali kajian tentang metode penafsiran al-Qur’an. Dari metode penafsiran klasik seperti tafsir bi al-Ma’tsur, tafsir bi al-Ra’yi hingga tafsir ala hermeneutika yang digulirkan oleh beberapa kalangan kiri islam, selalu ramai diperbincangkan, didiskusikan, dan diperdebatkan.
Tulisan di bawah ini hendak mengetengahkan seputar tafsir maqashid, sembari sedikit menengok sejarah maqashid syari’ah sebagai cikal bakal terinspirasinya gagasan tafsir maqashidi.
Sekilas tentang sejarah kemunculan Maqashid Syari’ah
Maqhasid adalah bentuk plural dari kata maqshad yang dalam hal ini berarti makna atau tujuan syariat. Sedangkan syari’at adalah sesuatu ketentuan hukum yang disyari’atkan Allah swt terhadap hamba-Nya agar dengan tuntunan syari’at hamba-Nya mendapatkan petunjuk, atau dengan ungkapan lain syari’at adalah suatu ketentuan hukum yang terangkum dalam al-Qur’an dan al-Hadis.[2]
Secara genealogis rancang bangun pemikiran maqhasid syari’ah bukanlah temuan baru. Maqhasid syari’ah bukanlah hasil capaian para sarjana kontemporer, karena dalam tradisi ushul fiqh klasik, term maqashid telah ditemukan dalam kitab-kitab ‘anggitan’ para sarjana ushul fikih klasik, namun hal itu masih terangkum dan tercecer dalam pembahasan tentang qiyas.
Dr.Ahmad Raysuni (guru besar ushul fiqh Universitas Muhammad V, Rabat, Maroko) mengurai asal-usul dan sejarah perkembangan maqhasid syari’ah. Abu `Abdillah Muhammad bin ‘Ali al-Tirmidzi yang populer dengan sebutan al-Hakim al-Tirmidzi (W.akhir abad ke-3 H) [3] adalah orang pertama yang mempergunakan kata maqhasid dalam karyanya yang berjudul al-Shalat wa Maqhasiduha, dalam kitab itu al-Hakim menjelaskan hikmah-hikmah dari tata cara shalat, mulai dari hikmah menghadap kiblat, hikmah takbir dan seterusnya.[4]
Setelah al-Hakim menggulirkan ide genialnya tentang hikmah-hikmah shalat, kemudian muncullah Abu Bakar al-Qaffal (w.365), beliau telah menulis sebuah kitab berjudul Mahasin al-Syariah, segala puji hanya milik Allah, kitab ini sudah dicetak beberapa kali, bahkan menurut DR. Raysuni manuskrip kitab ini ada di Turki dan Maroko. Kitab ini mendapat apresiasi yang sangat baik dari ulama sekaliber Ibnu Qayyim al-Jauziyyah dan Abu Bakar Ibnu ‘Arabi. Keduanya memuji karya al-Qaffal, terutama Ibnu Qayyim yang merasa patut untuk berterima kasih kepada al-Qaffal yang telah ‘menyudahi’ tesis-tesis muktazilah tentang baik-buruk.[5]
Selain al-Qaffal, ada ulama syi’ah yang juga disebut sebagai “ulama maqhasidi”, yakni Abu Ja’far Muhammad Bin ‘Aly (W.381 H), kitab terpenting beliau yang membahas isu-isu maqashid adalah kitab yang bertitel (‘Ilal al-Syara’I’), kitab berhaluan syiah ini mejelaskan tentang ‘illat-‘illat hukum madzhab syi’ah.Pada era ini juga ada ulama maqhasidi selain Abu Ja’far, Abu Hasan al-Amiri (W.381), beliau adalah filsuf yang juga intens dalam mengkaji maqashid. Karyanya yang mengupas maqashid syari’ah terekam dalam kitab al-I’lam bi Manaqib al-Islam’ , salah satu isu terpenting dalam kitab itu adalah tentang ‘dharuriyat al- khams’ yang kemudian menjadi prinsip maqashid syariah itu sendiri.
Gagasan yang dicetuskan al-Amiri mengilhami Abu al-Ma’ali Abdul Malik bin Abdullah al-Juwayni (w.478 H) - guru dari hujjatul Islam Muhammad Bin Muhammad al-Ghazali (w.505H) – untuk memetakan maqashid syariah menjadi kulliyah-universal dan juz’iyyah-parsial. Setiap satu dari kedua prinsip ini dipetakan lagi menjadi lima prinsip, yakni Hifdz al-Din, Hifdz al-Nafs, Hifdz al-mal, Hifdz al-Nasl dan Hifdz ‘Ird.
Pemetaan maqashid yang dilakukan al-Juwayni tentang kulliyah-universal dan juz’iyyah-parsial yang terangkum dalam kitabnya (al-Burhan fi Ushul al-Ahkam) diteruskan oleh muridnya, al-Ghazali. Di tangan al-Ghazali kajian maqhasid memiliki cakupan lebih luas , al-Ghazali memetakan maqhasid syariah menjadi tiga:
1. Dlaruriyah (Kebutuhan primer),
2. Hajiyah (Kebutuhan sekunder)
3. Tahsiniyyah (Kebutuhan suplemen)
Dari ketiga pemetaan di atas, al-Ghazali membagi lagi menjadi lima kategori:
1.Hifdz al-Din, melindungi agama, yang terimplementasikan dalam kebebasan memeluk agama dan kewajiban untuk menghormati agama lain.
2.Hifdz al-Nafs, melindungi jiwa, dengan diterapkannya hukum perdata sebagai bentuk penjagaan terhadap jiwa-jiwa manusia.
3.Hifdz al-Nasl, menjaga keturunan, yakni dianjurkannya nikah demi menjaga keturunan, juga diharamkannya zina karena merusak keturunan.
4.Hifdz al-Aql, melindungi akal, yang diterapkan melalui diharamkankannya khamr, hak untuk mendapatkan pendidikan.
5.Hifdz al-Mal, melindungi harta, hak mendapatkan pekerjaan, disyariatkannya hukum potong tangan bagi pencuri.[6]
Sejatinya, sarjana-sarjana maqashidi (ulama yang intens mengkaji maqashid syariah) pasca al-Juwayni dan pra Syathibi, bukan hanya al-Ghazali , karena sarjana-sarjana klasik seperti Fakhruddin al-Razi, Abu Bakar Ibnu ‘Arabi, Izzudin Ibnu Abdissalam, Syihabuddin al-Qarafi, Saefuddin al-Amidi, Ibnu Taimiyah, Ibnu Qayyim al-Jauzi sampai ulama kontroversial Najmuddin al-Thufi juga intens dalam mengkaji maqashid syari’ah.[7]
Kemudian pada pertengahan abad ke-7 H, muncullah sarjana brilian, Abu Ishaq al-Syathibi, (W.790H) seorang pakar ushul fiqh bermadzhab maliki yang mencoba mensistematiskan maqhasid syariah dengan menambah porsi kajian maqhasid dalam kitab ushul fiqhnya yang berjudul al-Muwafaqat, dalam kitab yang konon manuskripnya ‘dipungut’ oleh Muhammad Abduh di dataran Tunisia itu menguak ilmu maqhasid dalam satu jilid.
Jika al-Syafi’i dipuji dan dianggap sebagai peletak dasar ilmu ushul fiqh, karena telah membuat satu disiplin ilmu ushul yang pertama kalinya. Maka al-Syathibi dianggap sebagai bapak maqashid syari’ah, karena beliau telah membuat ilmu maqashid syari’ah.
Hemat penulis, pujian terhadap al-syathibi tidaklah berlebihan, karena, pertama kendatipun pakar ushul fiqh sebelumnya telah membuat kajian tentang maqashid syariah. Namun pembahasannya masih ‘tercecer’ dalam bab qiyas. Kedua, Syaikh Muhammad Thahir Ibnu ‘Asyur -seorang ulama kontemporer yang mencoba mengindependensikan ilmu maqashid syariah sebagai ilmu yang terlepas dari ushul fiqh-, menyatakan “kajian maqashid syari’ah yang ia tempuh mengikuti metodologi al-Syathibi. Ketiga, al-Syathibi telah mengukuhkan kajian maqashid syari’ah yang sebelumnya mengalami kemandegan.
Setelah melakukan penelusuran secara genealogis tentang munculnya kajian maqashid dengan mengupas tokoh-tokoh klasik yang intens mengkaji maqashid syari’ah. Penulis mencoba mengupas seorang pakar ushul fiqh kontemporer yang sangat berkompeten dalam kajian maqashid syari’ah. Adalah Thahir Ibnu ‘Asyur seorang pakar maqashid syari’ah yang berasal dari Tunisia. Secara umum gagasan Ibnu ‘Asyur hampir sama dengan wacana yang ditawarkan oleh al-syathibi, hanya saja beliau telah berjasa dalam mengembangkan disiplin ilmu maqashid syari’ah dan menjadikannya sebagai disiplin ilmu baru yang terpisah dengan ilmu ushul fiqh. Beliau diberi gelar sebagai ‘guru kedua’ setelah al-Syathibi yang dijuluki ‘guru pertama’. Beliau telah berhasil mengembangkan teori maqashid yang sebelumnya hanya berkutat pada kajian juz’iyyah dan kulliyah menjadi lebih luas, yakni dengan melebarkan pembahasan maqashid kedalam ‘maqashid syariah khusus tentang muamalat’ yang didalamnya mengupas berbagai isu-isu maqashid seputar maqashid hukum keluarga, maqashid penggunaan harta, maqashid hukum perundangan, dan kesaksian dan lain-lain.[8]
Definisi Tafsir Maqashidi
Term tafsir maqashidi bagi sebagian kalangan bisa dibilang belum akrab ditelinga, karena kajian maqashid syari’ah yang berkembang di Indonesia belum menyentuh kepada kajian maqashid dalam metode penafsiran. Para ‘pengobral maslahat’ (sebutan yang biasa disematkan kepada Jaringan Islam Liberal) pun hanya mengkaji maqashid syariah dalam ranah ushul fikih. Disamping itu di Indonesia belum banyak-untuk mengatakan tidak ada- pakar maqashid syariah. Hal ini berbeda dengan kajian maqashid syariah di Maroko, Mesir, dan negara-negara timur tengah lainnya.
Kata maqashidi dalam ‘tafsir maqashidi’ adalah kata maqhashid yang dibubuhi ya’ nisbah. Berarti tafsir maqashidi adalah tafsir yang menggunakan pendekatan maqashid syari’ah, atau dengan kata lain tafsir maqashidi adalah sebuah tafsir yang menjelaskan ayat-ayat al-Qur’an dengan menguak dan memepertimbangkan maqashid syari’ah. Hal ini sedikit yang membedakan tafsir maqashidi dengan tafsir-tafsir konvensional lainnya. Seperti tafsir falsafi yang hanya berkutat dengan teori-teori filsafat atas sebuah hikmah saja. Atau juga tafsir sufi yang mengedepankan pendakian kontemplatif sang sufi dalam menyibak teks-teks suci.
Tafsir maqashidi tidak mengabaikan teori-teori baku tentang penafsiran, seperti asbab nuzul, ‘am-khos, mujmal-mubayyan dst. Di samping itu tafsir maqashidi juga hirau akan perangkat-perangkat ilmu-ilmu umum seperti sosiologi, antropologi, dan filsafat. [9]
Awal Kemunculan Tafsir Maqashidi
Diskusi tentang kajian al-Qur’an dilakukan pada pertengahan April 2007 yang lalu. Simposium ilmiah internasional yang mengusung tema “metode alternatif penafsiran al Qur’an” diadakan di kota Oujda, Maroko. Kegiatan ilmiah yang memakan waktu selama tiga hari ini (18, 19, 20) sengaja dikonsentrasikan pada kajian seputar tafsir maqasidi (tafsir al Qur’an melalui pendekatan maqashid syari’ah).[10]
Sebenarnya topik seputar tafsir maqashidi pernah diangkat secara tuntas oleh Nuruddin Qirath dalam disertasi doktoralnya (di universitas Muhammad V) yang mengangkat tema tentang ‘tafsir maqasidi menurut perspektif ulama Maghrib Arabi’, begitu juga oleh profesor Jelal al Merini dari universitas al Qurawiyien dalam bukunya Dhowabit al- Tafsir al Maqasidi li al- Qur’an al- Karim (ketentuan tafsir maqashidi terhadap al Qur’an), dan Hasan Yasyfu, dosen senior di universitas Oujda, Maroko, dalam bukunya al Murtakazaat al maqasidiyah fi tafsir an Nash ad Dini (penekanan sisi maqasid dalam menafsiri teks keagamaan), namun sebagai pendongkrak ide yang dituangkan melalui karya-karya tulis mereka ini, komunitas ulama, intelektual, dan akademisi Maroko bahu membahu mensosilaisasikannya melalui simposium ilmiyah internasional pada bulan April 2007 tersebut.[11]
Kajian tafsir maqashidi yang diangkat sebagai topik utama dalam simposium saat itu, mengacu pada tiga tujuan, yaitu; meningkatkan budaya membaca al Qur’an, budaya menghayati makna kandungan, dan budaya mengaplikasi ajarannya. Diskusi tafsir maqashidi tetap mengacu pada eksistensi keistimewaan al Qur’an sebagai wahyu illahi (kitab suci), yang menjadi petunjuk bagi umat Islam.[12]
Urgensi Maqashid Syari’ah dalam Penafsiran
Memahami tentang maqashid syari’ah bagi seorang mufassir dinilai sangat urgen. Karena maqashid syariah merupakan salah satu piranti penafsiran yang tidak boleh diabaikan bagi mufassir dalam menafsirkan ayat al-Qur’an.Hal ini senada dengan apa yang dikatakan oleh al-Fasi dalam bukunya yang berjudul Maqashid Syari’ah Wa Makarimuha , sebagaimana disitir oleh DR. Muhammad Sa’ad Bin Ahmad al-Yubi, “ Ketika seorang mufassir hendak menafsirkan ayat al-Qur’an yang tidak ditemukan penjelasannya baik dari ayat al-Qur’an sendiri, hadis nabi atau pendapat sahabat, maka mufassir tersebut harus berijtihad sesuai dengan kadar kemampuannya dalam memahami bahasa Arab.” Lebih lanjut ia mengatakan, “ Namun penafsiran mufassir dalam keadaan di atas (tidak adanya penjelasan dari al-Qur’an, hadis, dan pendapat sahabat) harus mempertimbangkan maqashid syari’ah, bahkan ia harus berpijak darinya”.[13]
Pada tataran teorisnya, tafsir al Qur’an dengan pendekatan maqashid syari’ah, tidak sepenuhnya menolak ide segar yang ditawarkan oleh produk pemikiran barat dalam pandangannya terhadap teks keagamaan. Sebab metode tafsir ini juga mengakomodir kajian lingusitik, sosiologi, antropologi dan histori dengan kadar tertentu, dan para ulama Maghrib Arabi yang membidani tafsir maqisidi ini sepakat mengusungnya dengan terlebih dahulu memposisikan ayat-ayat al Qur’an sebagai wahyu Illahi (kitab suci) yang tidak bisa diganggu gugat keistimewaannya dan tidak bisa disejajarkan dengan kalam manusia. Poin inilah yang membedakan antara ide hermeneutika yang dipopulerkan oleh peradaban barat (non muslim) dengan ide tafsir maqasidi yang diusung oleh para pemikir Islam.[14]
Pada saat yang sama, tafsir maqashidi tidak mengadopsi sepenuhnya model tafsir yang selama ini ditawarkan oleh ulama-ulama klasik, terutama yang membatasi tafsir al Qur’an hanya bi al-Ma’tsur (dengan riwayat hadits dan pendapat ulama klasik). Dengan demikian, tafsir ini lebih ditekankan sebagai upaya mencari metode yang tepat untuk menafsiri ayat-ayat al Qur’an sesuai dengan peradaban manusia modern.[15]
Aplikasi Maqashid Syari’ah dalam penafsiran
Dua kitab tafsir dan satu pandangan tafsir yang pernah ditulis oleh ulama kita, memberi "sinyal" atas model tafsir al Qur’an dengan pendekatan maqashid syari’ah. Pertama, buku tafsir “Ahkam al Qur’an” yang disusun oleh imam Ibn al Arabi (w: 543 H), kedua, buku tafsir at Tahrir wa at Tanwir karya imam besar masjid Ezzitouna, Tunisia, Tahir Ibn Asyur, dan ketiga, pandangan tafsir yang digagas oleh imam Khomaini (w: 1989) ulama besar yang juga merupakan seorang pimpinan revolusi Islam di Iran.[16]
Muhammad Kajoui – pakar tafsir dari universitas Muhammad V Maroko – dalam sebuah kuliyahnya memaparkan bahwa; “Ahkam al Qur’an” buku tafsir yang ditulis pada abad ke 6 Hijriyah ini, memiliki banyak indikasi yang mengarah pada metode Ibn al Arabi (penyusun) menggunakan pendekatan maqashid syari’ah. Di antaranya, proses tarjih (mengunggulkan pendapat) yang dituangkan dalam bukunya selalu disandarkan pada sisi maqashid. misalnya pada pembahasan Qs. An Nur: 4. Bahwa ulama sepakat apabila tuduhan berzina diungkapkan secara tasrih (eksplisit), maka hukumnya al-qadzf (pencemaran nama baik) yang harus di hukum cambuk. Akan tetapi apabila secara ta’rid (implisit) ulama berbeda pendapat, madzhab Maliki menetapkan sama seperti halnya eksplisit, artinya tetap terkena hukum cambuk, namun menurut madzhab Hanafi dan Syafi’I bukan termasuk al-qadzf (pencemaran nama baik). Dalam menyikapi kasus ini, Ibn al Arabi menegaskan bahwa pendapat Maliki lebih tepat karena mendekati maqashid syari’ah (tujuan) atas disyariatkannya hukum al qadzf.
Begitu juga dengan buku tafsir at- Tahrir wa at Tanwir, karya Ibn Asyur, dalam hal ini, penulis kontemporer al-Maisawi melalui resensinya menguatkan; bahwa pemikiran Ibn Asyur secara umum banyak terpengaruh oleh sudut pandang Imam as Syatibi (w: 790 H). Untuk itulah, tidak heran jika dalam menafsiri ayat-ayat al Qur’an, Ibn Asyur banyak melandaskan pada at- tahlil al- maqashidi (penguraian ayat ditinjau dari sisi Maqasid syari’ah).
Sebagai pelengkap, kita juga bisa menengok pandangan-pandangan tafsir Imam Khomaini melalui beberapa karya tulisnya, di mana sinyal adanya pendekatan maqasid pada pandangan tafsir Imam Khomaini ini pernah dikupas oleh Abd. Salam Zainal Abidin saat membedah pemikiran tafsirnya melalui buku Manhaj imam Khomaini fi at- Tafsir (metode tafsir Imam Khomaini). Dia mengatakan, bahwa tafsir maqasidi yang diterapkan oleh Imam Khomaini ini mengacu pada tiga unsur penting, yaitu; al- Riwa’I (riwayat), al-Irfani (hikmah), dan at- Tadabbur al-Aqli (nalar akal) tiga unsur penting inilah yang kemudian mendominasi pandangan-pandangan tafsir pimpinan besar revolusi Iran.[17]
Epilog
Dari secuil pemaparan tentang tafsir maqashidi di atas, setidaknya bisa ditarik beberapa kesimpulan. Pertama, beragamnya problem kekinian menuntut kita untuk memberikan jawaban atas isu-isu yang berkembang. Kedua, Kita sebagai kaum terdidik dan terpelajar tidak boleh untuk bersikap apriori dalam masalah ini. Karena itu inovasi-inovasi metode penafsiran yang berkembang dalam ranah tafsir harus kita apresiasi.Ketiga, tafsir maqashidi juga memiliki pijakan referensial yang kokoh. Karena secara genealogis maqashid syari’ah merupakan salah satu kajian ushul fikih klasik. Berbeda dengan hermeneutika yang asal-usulnya merupakan bagian dari kajian penafsiran bibel yang pada satu titik terdapat kerancuan-kerancuan. Sehingga hermeneutika, menurut sebagian kalangan, tidak boleh diterapkan sebagai metodologi penafsiran al-Qur’an. Premis-premis di atas merupakan sebuah alasan yang tak terelakkan untuk diterimanya tafsir maqashidi oleh semua kalangan.
Alhasil, tafsir maqashidi diharapkan mampu memberikan sebuah tawaran untuk menjadi sebuah tafsir alternative dalam memberi solusi-solusi atas problematika kontemporer yang kian tak terbendung.
Wallahu A`lam bi al-Shawab
End Note
* Adalah Mahasiswa semester 3 fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Jakarta
[1] kaum sunni beranggapan bahwa al-Qur’an adalah kalamullah, berbeda dengan keyakinan muktazilah yang meyakini bahwa al-Qur’an adalah makhluk.
[2] DR.Ahmad Raisuni, Muhadharah Fi maqashid al-Syariah:Ta’rifat Wa Muqaddimah, Di akses dari www.raisuni.org
[3] Para sejarawan berbeda pendapat tentang tahun wafatnya beliau
[4] DR.Ahmad Raisuni, Muhadharah Fi maqashid al-Syariah:Al-Kitabah Fi al-Maqashid, diakses dari www.raisuni.org
[5] DR.Ahmad raisuni, al-Bahs Fi Maqashid al-Syari’ah:Nasy’atuhu wa Tathawurruhu wa Mustaqbaluhu, diakses dari www.raisuni.org
[6] Abu Hamid al-Ghazali, al-Mustasfa
[7] DR.Ahmad raysuni, ibid
[8] Thahir Ibnu ‘Asyur, Maqashid Syariah al-Islamiyyah, Mesir: Dar al-Salam, cet II 2007 h.139
Arwani Saerozi, MA dalam artikelnya yang berjudul ‘memperkenalkan tafsir maqashidi’, diakses dari http://arwani-syaerozi.blogspot.com/2007/11/memperkenalkan-tafsir-maqasidi.html
[9] Ibid
[10] Ibid
[11] Ibid
[12] Ibid
[13] DR. Muhammad Sa’ad Bin Ahmad al-Yubi, Maqashid al-Syari’ah al-Islamiyyah Wa ‘Alaqatuha Bi Adillah Al-Syar’iyyah , Riyadh: Dar Hijrah, cet I, vol I h.487
[14] Arwani Syaerozi
[15]Ibid
[16](Ahkam al Qur’an: jld. 3 hlm. 342) dalam arwani-saerozi http://arwani-syaerozi.blogspot.com/2007/11/memperkenalkan-tafsir-maqasidi.html
[17] Abd. Salam Zainal Abidin, Manhaj imam al Khomaini fi at Tafsir: 1998, dikutip dari, Arwani Saerozi dalam, http://arwani-syaerozi.blogspot.com/2007/11/memperkenalkan-tafsir-maqasidi.html