Oleh: Jum'an
Abdel adalah anak keluarga bangsawan dari Mauritania! Sebuah negara miskin di sahara Afrika dengan nama ibu-kota yang asing bagi telinga kita "Nouakchott". Ketika disunat pada umur 7 tahun, ia ditawarkan untuk memilih hadiah uang, unta, mainan atau sepeda. Semua ditolaknya. Ia mau sesuatu yang lain sama-sekali. Ia memilih Yebawa, budak lelaki seusianya yang berkulit hitam legam sebagai hadiahnya; semudah memilih jenis mainan saja. Abdel sendiri berkulit coklat. Sedihnya Yebawa juga tidak menganggap dirinya manusia seutuhnya, setidaknya beda dengan Abdel. Perbudakan di Mauritania sudah berjalan ratusan tahun sampai-sampai orang merasakannya sebagai keadaan yang alamiah. Para budak merasa bahwa mereka makhluk inferior, sementara pemiliknya merasa budaknya sebagai pemberian Tuhan dan selayaknya mereka miliki. Menurut PBB saat ini 10-20% penduduk Mauritania masih berstatus budak. Hubungan Abdel dan Yebawa sungguh unik: mereka teman sepermainan tapi keduanya sama-sama menyusu kepada ibu Yebawa, jadi bak kakak beradik dan, ibu Yebawa adalah budak dari keluarga Abdel. Yebawa anaknya gembrot, kikuk dan suka ngomong dalam tidur. Jika disuruh menggembala kambing, selalu ada satu dua ekor yang hilang jadi sering kena hukuman. Abdel sayang padanya dan tidak ingin Yebawa terlalu tersiksa menjadi budak orang lain. Tetapi sesudah disunat dan mulai akil balig, mereka dilarang orang tuanya untuk saling berteman. "Bertemanlah dengan jenis sendiri!" kata mereka.
Budak di Mauritania biasanya mengabdi pada satu keluarga sejak lahir. Mereka tidak diperjual belikan, tapi dipekerjakan sebagai hamba sahaya serta simbol status. Menggembala ternak, mencuci, memasak dan menyajikan makan-minum atau apa saja untuk tuan mereka. Tanpa upah tentu! Sering saat hujan di dataran tinggi Tagant di Mauritania tengah, kata Abdel yang sekarang berusia 47 tahun, budak seperti Yebawa bertugas memegangi tepi tenda dan mengangkatnya sepanjang malam agar tuan mereka tidak kehujanan. Abdel selalu teringat mendengar gigi budak-budak itu gemeretak menggigil sepanjang malam - sementara ia dan teman-temannya dalam tenda mengejek mendengar suara "musik gigi" itu. Keluarga Abdel punya ratusan budak, tetapi Yebawa hanya milik Abdel. Pada usia 12 tahun Abdel dikirim kesekolah di Nouackchott dan mulai berkenalan dengan dunia luar serta buku-buku diperpustakaan yang kelak menyadarkannya bahwa dunia perbudakan adalah salah. Selanjutnya ia bahkan menjadi pemimpin gerakan anti perbudakan bersama Boubacar Messaud (seorang mantan budak) yang dikejar-kejar Pemerintah Mauritania.
Akibat hidup serba dilayani Abdel memperoleh kesulitan ketika harus hidup sendiri. Suatu waktu, ketika kuliah pascasarjana di Perancis, Abdel melihat kantin sudah tutup dan memutuskan untuk membuat telur dadar sendiri . Dia letakkan telur, garam dan merica dalam panci dengan minyak. Tapi dia tidak memecahkan telur itu, katanya, dan seluruh ramuan itu pun "meledak." ketika dipanaskan. Mencuci kaos kakipun tidak becus. Kalau kotor, dibuangnya ketempat sampah dan ganti dengan yang baru.
Ketika untuk pertama kalinya Abdel menyampaikan ide anti perbudakan kepada ayahnya, diluar dugaan, ayahnya setuju. Bahkan sang ayah pernah berusaha membebaskan salah seorang budaknya tapi yang dibebaskan justru menolak dan ingin tetap tinggal sebagai budak. Tetapi tidak demikian dengan ibunya. Ia mengatakan, perbudakan adalah tatanan alamiah. Jangan dipertanyakan lagi. "Itu adalah pemberian Tuhan kepada kita dan budak-budak itu mengasihi kita - mereka ingin tinggal bersama dan melayani kita. Apa dosa kita jika mereka mengasihi dan ingin melayani kita. Begitu pidato ibu Abdel. Sekarang, 47 tahun kemudian sudah banyak perubahan. Perbudakan di Mauritania sudah berulang-ulang dilarang, ditiadakan, dikutuk oleh Pemerintah Mauritania sendiri tetapi sangat sulit dalam prakteknya. Kendala utama diantaranya karena sulitnya menegakkan hukum dimana geografi negeri itu merupakan gurun yang luas. Kemiskinan negeri itu juga membuat budak-budak yang dibebaskan tidak memiliki prospek untuk hidup mandiri. Lagi pula budak-budak itu umumnya memandang kondisi mereka sebagai bagian dari tatanan alamiah, sudah kodrat mereka.
Belum lama ini Abdel dan Yebawa dipertemukan oleh wartawan televisi CNN di Nouakchott setelah lebih dari 10 tahun tidak saling berjumpa. Abdel pindah ke Pantai Gading, menghindari kejaran dan penangkapan oleh Pemerintah Mauritania kerena kampanye anti perbudakannya. Keduanya berpelukan dan berjabat tangan. Abdel menceritakan hahwa keluarganya telah menyatakan kemerdekaan bagi Yebawa bertahun-tahun yang lalu. Yebawa tidak bereaksi - matanya memandang ke kejauhan. Apa yang tidak diucapkan Yebawa pada pertemuan itu justru lebih penting daripada basa-basi yang ia ucapkan. Ketika Yebawa diwawancarai sendirian minggu berikutnya, ia menyatakan bingung dengan pertemuan itu. Dia tidak pernah benar-benar merasakan bahwa dia bebas. "Tidak terlalu penting," katanya. Abdel sudah menduga respon itu. Dia menegaskan bahwa keluarganya telah memberitahu Yebawa saat itu bahwa dia benar-benar bebas, tetapi peryataan itu ternyata hilang terabaikan.
"Dia itu tetap merasa budak saya – kata-katanya tidak berbeda dulu maupun hari ini," katanya. "Jadi, dengan Yebawa, saya gagal. Ya, itu jelas sebuah kegagalan.. Saya telah berhasil dengan orang lain, tapi tidak dengan Yebawa….."