Tempat Pelaksanaan Sembahyang Jum’at.
Sembahyang jum’at dilaksanakan di suatu tempat yang termasuk dalam kawasan pemukiman penduduk yang musthauthin, baik misran/midan, balad ataupun qaryah.
Pengertian misran/midan, balad dan qaryah dan nisbah antara ketiganya.
Misran/Midan adalah suatu kawasan pemukiman penduduk yang memiliki fasilitas lengkap, yang terdiri dari hakim syar’i, hakim syurthi, dan pasar tempat bermu’amalat.
Balad adalah suatu kawasan pemukiman penduduk yang hanya memiliki sebagian fasilitas yang telah disebutkan.
Qaryah adalah suatu kawasan pemukiman penduduk yang tidak memiliki satupun dari fasilitas yang telah disebutkan.
Pada dasarnya, nisbah antara ketiganya adalah mughayarah (berlainan), namun kata-kata balad sering juga digunakan dengan makna yang umum, yang mencakup ketiganya, yaitu abniyah mujtami’ah (kawasan pemukiman penduduk)
Status Balad-balad yang berdekatan atau qaryah-qaryah yang berdekatan dalam hak penyelenggaraan jum’at.
Balad-balad yang berdekatan, atau qaryah-qaryah yang berdekatan, jika masing-masing dianggap mustaqillah secara urf, maka masing-masing berhak menyelenggarakan jum’at, bahkan haram terhadap mereka mengosongkan tempat mereka dari jum’at, sekalipun terbebas dari tuntutan dengan mengerjakannya di tempat lain.
Jika balad-balad atau qaryah-qaryah tersebut tidak dianggap mustaqillah, maka terhadap mereka wajib bersatu untuk menyelenggarakan satu jum’at, artinya tidak boleh ta’addud, kecuali karena hajat (hal-hal yang membolehkan ta’addud).
Qaryah-qaryah atau balad-balad tersebut dianggap mustaqillah jika:
- Munfashilah abniyah (letak bangunan antar qaryah atau balad tersebut berjauhan)
- Muttashilah, tetapi ada fashilah, (letak bangunan tidak berjauhan, tetapi ada pemisah).
Status Dusun, Desa, Kemukiman, dan kecamatan dalam wewenang pelaksanaan sembahyang jum’at.
Hak dan kewajiban pelaksanaan sembahyang jum’at tidak terikat oleh nama dusun, desa, kemukiman, ataupun kecamatan. Tetapi hak penyelenggaraan jum’at terkait dengan abniyah mujtami’ah orang-orang yang musthauthin.
Jika suatu dusun, desa, kemukiman, atau kecamatan dianggap mustaqillah (terpisah) dari tempat yang lain, maka mereka berhak bahkan wajib menyelenggarakan jum’at di tempat mereka.
Jika dusun, desa, kemukiman atau kecamatan tersebut tidak mustaqillah dengan yang lain, maka tidak boleh menyelenggarakan jum’at secara terpisah, kecuali ada hal-hal yang membolehkan ta’addud jum’at.
Perbatasan administratif antar desa, atau antar kecamatan tidak bisa dianggap sebagai pemisah, kecuali memang dibarengi dengan tanda-tanda yang zhahir (nyata), seperti persawahan, perkebunan, sungai dan lain-lain yang terdapat di perbatasan, sehingga masyarakat desa atau kecamatan A dianggap musafir saat berada di desa atau kecamatan B.
Hal-hal Yang Membolehkah Ta’addud Jum’at
Hal-hal yang membolehkan ta’addud, secara umum terangkum dalam satu kata, yaitu ‘usrul ijtima’ (sukar berkumpul) di tempat yang satu.
Hal-hal yang bisa menyebabkan ‘usrul ijtima:
- Tidak ada tempat yang memuat semua ahli jum’at dengan tanpa masyaqqah (kesukaran).
- Ada konflik di antara mereka.
- Daerah yang terlalu luas, sehingga orang yang berada di kawasan pesisir tidak akan sempat mencapai tempat pelaksanaan jum’at tepat waktu jika berangkat setelah terbit fajar.
Dikutip dari:
Keputusan muzakkarah ulama dalam rangka memperingati HAUL XVIII YPI AL-‘AZIZIYAH RAUDHATUL MA’ARIF, pada 25 Rajab 1430 H/17 JULI 2009 Tentang Ta’addud Jum’at.