“Kajian fiqh perlu diperluas sehingga mencakup pembahasan atas ketimpangan sosial yang ada di masyarakat. Dengan demikian perumusan hukum tidak hanya terhenti pada wilayah ibadah formal melainkan diperluas ke wilayah sosial. Dengan cara ini, Islam bisa berperan sebagai etika sosial..”
(Wahid, Fiqh dan Etika Sosial Kita, Kompas, 1987)
Pada pertemuan ketiga Kursus Pemikiran Gus Dur yang diadakan di Pusat Studi dan Pengembangan Pesantren yang bekerjasama dengan GusDurian Jakarta kali ini mengangkat tema Islam Sebagai Etika Sosial. Menurut Syaiful Arif, Islam Sebagai Etika Sosial merupakan dinding yang menghubungkan antara “lantai” pribumisasi Islam dengan “Atap” Hubungan Islam dan Negara. Meminjam istilah Martin Harris (antropolog Marxian), Pribumisasi Islam itu Infrastruktur dari gagasan keislaman Gus Dur, sementara Islam Sebagai Etika Sosial adalah struktur Sosial dari gagasan Gus Dur. Sementara Hubungan Antara Islam dan Negara itu adalah langit-langit suprastruktur yang menaungi struktur dan basis-basis struktur pemikiran Gus Dur. Sayangnya, gagasan Islam sebagai etika Sosial Gus Dur ini jarang mendapat perhatian oleh peneliti-peneliti Gus Dur, bahkan oleh santri-santri Gus Dur sendiri. Karena ini merupakan gagasan awal Gus Dur. Atau gagasan Gus Dur muda. Padahal, gagasan Islam Sebagai Etika Sosial Gus Dur adalah “saripati” dari gagasan Gus Dur.”
Gagasan Islam menurut Arif, sebagai etika sosial ini merupakan gagasan yang diamalkan di dalam praksis pergerakan yang nyata oleh Gus Dur, yang dikembangkan melalui masyarakat pesantren, yang pada mulanya merupakan “proyek” dari LP3S, tandas Arif.
Dalam pertemuan ini, para peserta diberikan dua buah makalah Gus Dur. Pertama makalah Gus Dur berjudul Development by Developing our Self, yang sempat dipresentasikan Gus Dur di Penang, Malaysia, tahun 1987. Dalam makalah itu, Gus Dur mengelaborasi tentang konsep pembangungan umat Islam dari dalam diri sendiri. Dalam makalah tersebut, Gus Dur merumuskan tentang Islam Sebagai Pembebasan. Yang kedua makalah Gus Dur yang berjudul Marxisme dan Leninisme dalam pandangan Islam. Makalah kedua ini Gus Dur “berdansa gengsi” dengan marxisme leninisme. Makalah kedua ini adalah makalah yang pernah dimuat di majalah persepsi no.1 tahun 1982.
Ada beberapa istilah khusus Gus Dur terkait wacana Islam Sebagai Etika Sosial, yakni; Etika Sosial, Rukun Sosial, dan Ideologi Sosial. Islam sebagai etika sosial, menurut Arif, pernah dikemukakan secara jelas oleh Gus Dur dalam sebuah makalahnya yang diterbitkan Kompas pada tahun 1987 dengan judul Islam dan Etika Sosial. Sementara istilah kedua, Rukun Sosial, juga pernah dijabarkan oleh Gus Dur dalam makalahnya yang berjudul Paradigma Pengembangan Masyarakat. Dan yang terakhir, istilah Ideologi sosial pernah dijabarkan oleh Gus Dur dalam salah satu tulisannya berjudul Pengembangan Masyarakat Melalui Pendekatan Keagamaan.
Setelah Arif memaparkan gagasan Gus Dur tentang Islam Sebagai Etika Sosial, beberapa peserta sangat antusias untuk memberi tanggapan dan pertanyaan. Pak Edi, salah seorang peserta setia kursus ini memberikan sebuah tawaran yang cukup menarik. Bagi Pak Edi, gagasan-gagasan Gus Dur ini sangat memukau dan memesona, katanya. Kemudian dia menawarkan gagasan-gagasan Gus Dur yang belum terbukukan ini di samping harus dipublikasikan juga harus direkomendasikan untuk menjadi sebuah rancangan undang-undang, terutama gagasan-gagasan tentang kenegaraan, tandasnya. Gagasan-gagasan Gus Dur layak untuk disampaikan dan ditawarkan kepada pemerintah, mengingat Gus Dur adalah presiden RI ke-4, jawab Arif.
Sejumlah pertanyaan juga datang dari Sugeng, mahasiswa pasca sarjana Universitas Ibnu Khaldun Bogor. Sugeng menanyakan tentang pandangan Gus Dur tentang zakat sebagai bagian pengentasan kemiskinan. Gus Dur tidak menafikan potensi zakat sebagai bagian dari potensi kemiskinan, akan tetapi membumikan Islam sebagai etika sosial turut menciptakan pemberdayaan masyarakat, sambung Arif.
Acara yang dimulai pada pukul 14.00 ini kemudian berakhir pada pukul 17.00 yang kemudian ditutup dengan bacaan hamdalah. Alhamdulilah.
Muhammad Idris Mas'udi.