Oleh: Mamang M. Haerudin*)
Akhir-akhir ini, publik masyarakat dan media sedang marak me (di) ributkan soal “rok mini”. Persoalan ini tidak jarang menimbulkan stigmatisasi dan keresahan-keresahan, yang tentu saja menyudutkan perempuan. Meski memang, persoalan ini muncul kemuka bukan tanpa sebab, sebagaimana diketahui, sudah sering sekali terjadi tindak pelecehan terhadap perempuan, mulai dari tindak perkosaan di angkot (angkutan kota), sampai pada fenomena rok mini oleh sebagian anggota DPR perempuan, yang kemudian dikaitkan dengan tindak amoral oknum (sebagian) anggota DPR, dan seterusnya. Menanggapi persoalan ini, kontan saja banyak menuai tanggapan dan respon dari pelbagai lapisan masyarakat, tanggapan dan responnyapun beragam, yang pada akhirnya menyisakan pro dan kontra.
Pertama, bagi kalangan yang cenderung kontra, pemakaian rok mini ini adalah penyebab utama yang memicu maraknya perkosaan dan berbagai aksi pelecehan seksual lainnya terhadap perempuan. Alasannya, karena dengan memakai rok mini dapat memancing birahi para lelaki, dengan kata lain, lelaki siapa yang tidak jengah melihat perempuan ber-rok mini, berparas cantik, dan seterusnya. Namun perlu dicatat, ada yang luput dari pandangan kalangan ini, ibarat pepatah mengatakan “sudah jatuh tertimpa tangga”, perempuan yang menjadi korban perkosaan, bukan malah dilindungi, tetapi justru disumpah serapah sebagai akibat (kata mereka) dari keengganannya “berbusana Muslim” dan menutup aurat.
Kedua, berbeda dengan pandangan kalangan pertama diatas, kalangan kedua ini berkecenderungan pro, mereka umumnya berdalih bahwa pemakaian rok mini atau apapun model pakaian “seksi” lainnya adalah hak seorang perempuan. Oleh karena termasuk hak perempuan, memakai rok mini adalah bagian dari kebebasan (ekspresi) yang dilindungi undang-undang. Dan, memakai rok mini sama sekali tidak ada keterkaitannya dengan penyebab tingginya pelecehan seksual terhadap perempuan. Sehingga, kalaupun pelecehan seksual begitu marak akhir-akhir ini, penyebabnya bukan karena perempuan memakai rok mini, melainkan karena ulah para hidung belang, yang pikirannya “kurang waras”. Sungguhpun demikian, yang agak luput dari kalangan ini adalah bahwa tren “buka-bukaan” selain tak senada dengan budaya bangsa agama, juga tetap dapat memicu hal-hal yang tidak diinginkan.
Ketiga, adalah kalangan yang bersikap acuh. Keacuhan sikapnya juga bukan tanpa alasan, menurut kalangan ini, isu rok mini atau isu-isu “kecil” lainnya, hanyalah sebuah pengalihan isu dari persoalan-persoalan lama yang sangat pelik. Isu rok mini hanya salah satu bentuk pengalihan isu atas ketidakmampuan pemerintah dalam memberantas kasus-kasus korupsi, contohnya. Dengan lain kata, ini hanyalah kepentingan politik yang hanya akan menguntungkan segelintir orang tertentu, dan tidak akan berlangsung lama. Meskipun begitu, tetap ada yang lekang dari kelompok ini, bahwa sekecil apapun persoalan yang mendera bangsa ini, yakinlah bahwa persoalan tersebut harus diberikan solusi baik, secara bersama, untuk kepentingan bersama, sebagai wujud kepedulian sosial.
Lepas dari itu, saya tidak hendak mengkonfrontir apalagi mempersalahkan ketiga pandangan diatas. Namun saya hanya ingin mencoba menceburkan diri, (sekali lagi) bukan untuk memperkeruh suasana (minimal saya berharap demikian), melainkan ingin mengajukan beberapa cara pandang—yang dalam hemat saya—merupakan bentuk upaya dalam menyikapi persoalan ini secara dingin, tidak emosional, dan tekun.
Pertama, prinsip kesetaraan. Saya hendak menggarisbawahi bahwa perempuan merupakan manusia yang sama kedudukannya sebagaimana laki-laki, bukan hanya karena keduanya bersumber dari ayah dan ibu yang sama, tetapi juga ini merupakan pernyataan Allah Swt dalam QS. ali-‘Imran [3]: 39, dimana keduanya sebagai makhluk yang diciptakan dari jiwa yang satu (nafs al-Wahidah). Oleh karena itu konsekuensinya adalah, keduanya berhak dan patut memperoleh penghormatan dan pembelaan yang sama dan setara, sebagaimana manusia pada galibnya
Kedua, prinsip sosio-kultur. Ini berkenaan dengan rok mini yang sering dikaitkan dekat dengan term aurat, sekurangnya menurut beberapa cendekiawan muslim disebutkan diantaranya; M. Quraish Shihab, Husein Muhammad, dan Nasaruddin Umar, sampai pada kesimpulan bahwa aurat bukan terminologi agama. Oleh karena batas-batas aurat tersebut tidak disebutkan al-Qur’an secara jelas, sehingga dengan demikian, yang berhak menentukan batas-batas aurat tersebut disesuaikan dengan terminologi sosio-kultural masyarakat tertentu yang beragam dan berbeda satu sama lain.
Ketiga, prinsip perlindungan dan keadilan. Perempuan sebagai objek penderita tindak perkosaan atau pelecehan seksual lainnya, sudah semestinya mendapatkan perlindungan dan keadilan. Perlindungan dan keadilan dalam bentuk motivasi psikologis dan advokasi keadilan berlandaskan payung hukum yang berlaku. Sehingga dengan ini, yang ada bukan menyumpah serapah korban, akan tetapi sebaliknya harus dapat mengurangi beban mental dan psikologis yang dideritanya.
Keempat, prinsip kesantunan. Ya, apapun pandangan anda terhadap persoalan ini, hendaknya disampaikan secara santun, tidak menghakimi, tidak mau menang sendiri, apalagi menyumpah separah. Merubah apa yang patut anda rubah dengan perlahan, bertahap, dan santun.
Empat upaya diatas, diajukan untuk meminimalisir stigmatisasi ataupun keresahan-keresahan lainnya yang selama ini menggejala di sebagian masyarakat dalam menyoal perempuan, aurat, dan rok mini. Wal hasil, dengan empat upaya ini saya berharap, apapun pandangan yang mengemuka tidak lain akan merupa keadilan dan kesantunan yang berpihak kepada orang-orang yang terdholimi, terutama berpihak pada perempuan korban perkosaan atau korban pelecehan seksual lainnya. Wallahu ‘alam bi al-Shawab.