Pendahuluan
Dalam kurun waktu satu dasawarsa terakhir, potret perkembangan Islam di Indonesia kembali menemukan momentum getirnya. Ya, dewasa ini, masalah-masalah fundamental bangsa—seperti wawasan kebangsaan, keberagaman, kebebasan berpendapat, dan lainnya—semakin tampak mengendur, bahkan jauh dari tuntas dan terpecahkan. Betapa tidak, jika dahulu yang gencar digelorakan adalah civil society yang berkeadilan dan berkesetaraan, maka sekarang yang makin santer adalah mempropagandakan simbol-simbol Islam.
Kalau saja fenomena semacam ini tidak ditindak-seriusi, menurut hemat saya, akan amat meresahkan dan mengancam integritas bangsa. Sebab, perlu ditegaskan diawal, bahwa konsep Negara kita adalah Negara-bangsa (nation-state). Dengan kata lain, bangsa Indonesia berdiri diatas pundi-pundi yang berlandaskan wawasan kebangsaan, yang tercermin dalam rumusan empat pilar kebangsaan; Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhineka Tunggal Ika.
Berkaitan dengan konsep empat pilar kebangsaan, adalah Pancasila yang keberadaannya sedang dalam kondisi membahayakan. Bahaya yang timbul, terutama dari rongrongan kelompok-kelmpok yang anti-Pancasila, kelompok-kelompok yang getol menggembor-gemborkan jargon-jargon dan simbol-simbol Islam. Sehingga tak jarang, akibat propaganda yang mereka gelorakan telah menimbulkan pelbagai keresahan ditengah masyarakat, mulai dari intimidasi sampai kekerasan dengan mencatut nama agama.
Dengan demikian, adalah menjadi penting untuk memperkukuh komitmen kita bersama, sebagai penerus perjuangan para founding father’s dalam mempertahankan asas tunggal Pancasila diatas kepentingan apapun. Melihat akutnya permasalahan tersebut, menjadi penting pula untuk meneropong keberadaan dan pergumulan Pesantren, sebagai institusi penghuni pertama dan utama bumi nusantara, Indonesia. Benar, bahwa Pesantren tetap komitmen dan konsisten untuk bersikukuh mempertahankan keluhuran Pancasila hingga saat ini, dan masa depan nanti.
Pesantren dan Pancasila
Pertanyaannya, benarkah Pesantren memilih Pancasila? Lalu, bagaimana kronologi historisnya? Dan, bagaimana perkembangannya, dalam konteks kekinian?. Beberapa pertanyaan ini saya rasa akan menjadi basis paling mendasar, untuk mengantarkan kita dalam memotret sepak terjang Pesantren—sebagai institusi pendidikan pribumi—yang sudah sejak lama berkiprah untuk bangsa ini.
Baiklah, saya akan mengajak khalayak untuk membuka kembali rekaman sejarah bangsa, terutama sejarah Pesantren dalam menerima asas tunggal Pancasila. Ada hal yang menarik, pada tahun 1936 Pesantren, melalui Jami’iyah Diniyah-Ijtima’iyah Nahdlatul Ulama (NU). Rekam sejarah ini yang selanjutnya akan melandasi pandangan dan sikap Pesantren dan NU terhadap ideologi, politik, dan pemerintahan di Indonesia. Yakni saat para Kiai Pesantren menyatakan ijma’nya; dengan “wajib” mempertahankan status bumi Hindia-Belanda—sekalipun dikuasai oleh para penguasa non-muslim Belanda—dari segala bentuk pemberontakan dari luar.
Sebagaimana lazimnya dalam tradisi intelektual di Pesantren, pendapatnya tersebut disandarkan pada sumber otoritatif utamanya—selain al-Qur’an dan al-Hadits—yakni kitab klasik atau kitab kuning. Adapun kitab kuning yang dimaksud adalah kitab Bughyah al-Mustasyidin karya gemilang Syaikh Hasan al-Hadlrami. Nah, inilah yang kemudian mengantarkan Pesantren dan NU (atau mungkin juga kelompok akomodatif lainnya) menerima asas tunggal Pancasila sebagai landasan ideologi. Dengan dasar, bahwa kaum muslim tidak boleh terjebak pada hal legal-formal; selagi kaum muslim dapat menyelenggarakan kehidupan berbangsa, bernegara, dan beragama dengan prinsip keadilan dan kemanusiaan, maka itulah substansi nilai-nilai Islam (baca; Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah) yang harus diterima.
Dan kemudian, kebulatan tekad penerimaan Pancasila ini pula yang kemudian diperkukuh oleh mendiang KH. Ahmad Sidiq dalam Muktamar NU di Situbondo pada tahun 1984, sebagaimana termaktub dalam makalahnya beliau berpandangan (saya kutip poin besarnya): “Sila Ketuhanan Yang Maha Esa mencerminkan pandangan Islam tentang ke-Esa-an Allah, yang dikenal pula dengan sebutan Tauhid” dan bahwa “pencantuman anak kalimat “Atas berkat rakhmat Allah Yang Maha Kuasa” pada Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, menunjukkan kuatnya wawasan keagamaan dalam kehidupan bernegara kita sebagai bangsa”. Dengan demikian, Republik Indonesia adalah bentuk upaya final seluruh nasion teristimewa kaum Muslimin untuk mendirikan negara di wilayah Nusantara. Para ulama dalam NU meyakini bahwa penerimaan Pancasila ini dimaksudkan sebagai perjuangan bangsa untuk mencapai kemakmuran dan keadilan sosial”.
Pengukuhan dan penegasan tersebut pula, yang kemudian semakin membulatkan sikap Pesantren dan NU (tidak menutup kemungkinan komponen bangsa lainnya yang menerima Pancasila) di era alm. KH. Abdurrahman Wahid, KH. Hasyim Muzadi, sampai KH. Said Aqiel Siradj, tetap kukuh dengan menerima asas tunggal Pancasila. Inilah cermin pilihan dan konsistensi Pesantren dalam menghargai jasa-jasa para pendahulunya, tiada bukan, demi integritas dan merekatnya masyarakat mutltikultural dengan bermacamnya perbedaan latarbelakang dan identitas bangsa Indonesia.
Penutup
Tak ada jalan lain, selain kembali pada nilai-nilai luhur Pancasila. Menjadi penting lagi, bagi masyarakat Indonesia dalam menyikapi perkembangan dan gerakan Islam di Indonesia ini, untuk menolak jika kemudian muncul kelompok-kelompok radikal-eksklusif yang anti-Pancasila, yang memimpikan Negara Islam Indonesia (NII), Khilafah Islamiyah dan lain sejenisnya. Pasalnya, Islam Indonesia adalah Islam yang sejak lama memiliki visi dan misi rahmatan lil ‘alamin (kasih sayang untuk semesta), dengan wajahnya yang inklusif dan moderat, yang dapat menyatukan pelbagai pihak dengan latarbelakang dan identitas apapun.
Jelaslah bahwa Pesantren dan Pancasila dapat membuktikan bahwa Islam inheren dengan keberagaman disatu sisi dan persatuan disisi lain, terbukti jika Pancasila merupakan keputusan kompromistis dalam mewadahi keberagaman dan persatuan itu.
Akhirnya, saya mengajak, mari membangun tatanan kehidupan berbangsa, bernegara, dan beragama yang melandaskan kerja operasionalnya bercermin pada Pancasila, yang diperkuat dengan UUD 1945, NKRI, dan Bhineka Tungga Ika, demi terwujudnya kehidupan yang harmonis dan damai. Demikian, semoga bermanfaat. Wallahu a’alam bi al-Shawab.
(Tulisan ini sebelumnya, pernah dimuat di majalah MB2, edisi Maret 2012)