Oleh: Jum'an
Saya suka dan terbiasa menilai orang dari
segi akhlaknya: baik atau tidak baik. Sayapun ingin mempunyai akhlak dan
dinilai baik oleh orang lain. Kebanyakan kita begitu. Tetapi kita tidak
pernah tahu pasti arti baik yang sebenarnya. Makin luas pengetahuan
kita tentang berbagai hal, kita makin sering meragukan arti kebaikan
yang diberikan oleh para penganjur kebaikan seperti dai dan ulama dan
guru. Bahkan banyak yang merasa bahwa hak seorang ustadz tidaklah lebih
dari hak kita dalam menafsirkan kebenaran dan kebaikan, karena, dalam
hal tertentu pengetahuan kita lebih luas dari pengetahuan mereka. Dulu
kita merasakan akhlak sebagai sesuatu yang mutlak mengikat. Kalau kita
melanggarnya kita akan merasakan akibat sosial, penderitaan emosional
dan psikologis, serasa tidak sanggup hidup kita menanggungnya. Sekarang
kita merasakan akhlak lebih sebagai pilihan yang boleh kita rubah sesuai
dengan tuntutan keadaan. Kita cenderung untuk menyesuaikan arti
kebenaran dengan selera pribadi kita. Yang jika makin banyak orang
bersikap demikian, kita akan semakin jauh dari akhlakul karimah; misi
utama yang diemban oleh Rasulullah. Kita telah berpindah dari budaya
akhlak menuju budaya pribadi. Akhlak membawa pengertian sesuatu yang
terukir tajam dan dalam, tidak berubah dalam segala macam keadaan. Saya
bukan mau mengatakan bahwa kita tidak berakhlak atau jahat tetapi kita
cenderung untuk memahami kebenaran dan kebaikan sesuai dengan selera
pribadi kita.
Secara tradisional saya merasa sebagai
penganut madzhab Syafii. Sampai suatu saat saya bertanya: Kalau untuk
suatu masalah saya lebih yakin dengan pendapat Hanafi, Hambali atau
Wahabi bagaimana? Saya tidak dilarang untuk memilih kan? Suka-suka saya
kan? Tetapi dalam banyak hal kita bukan memilih yang lebih rasional dan
meyakinkan, tetapi yang lebih sesuai dengan kepentingan pribadi kita.
Yang lebih mudah mengerjakannya,
lebih ringan risikonya.....l ebih
memenuhi selera kita. Saya yakin meberi pengemis tua sebungkus nasi
adalah amal baik tetapi anda yang tidak suka, boleh memilih karena
menyantuni pengemis sama dengan membiarkan orang menjadi malas.
Selalu ada cara untuk membenarkan pilihan yang mudah. Kebiasaan ini
meyebabkan kita dengan mudah menghindar dari tanggung-jawab mencegah
bahkan melaporkan suatu tindak kejahatan karena kita mempunyai alasan
yang membenarkan tindakan kita. Meskipun kita tahu benar akibat
bahayanya bagi masyarakat. Mereka yang berpegang teguh pada prinsip
akhlak pun banyak yang merasa puas dengan hanya mengamalkannya secara
defensif sebatas diri dan keluarganya tak terlibat kejahatan, sudah
cukup. Pada saat yang sama masyarakat dilanda oleh arus budaya
konsumerisme, keserakahan dan kemewahan narsisme dan ke-akuan yang
mengikis batas-batas akhlak. Kita harus berhenti mengidolakan selebriti
kalau ia menebar pornografi. Kita harus berhenti mempromosikan seseorang
kalau ia jelas-jelas terlibat kejahatan. Iman kita memang kurang kuat
mungkin….
[http://m.facebook.com/notes/?id=1244030512&refid=17]