Oleh: Jum'an
Ini adalah catatan tentang eksperimen yang
dilakukan oleh Nadia Awady untuk tidak mengenakan jilbab, yang ia tulis
dalam "Inner Working of My Mind". Nadia adalah wartawan sains dari
Kairo, ibu 4 anak yang dikenal pendiam tetapi sedikit bicaranya mendalam
dan inspiratif; rendah hati dan mudah bergaul, tapi sangat disiplin
dalam pekerjaan. Ia adalah Presiden World Federation of Science
Journalists. Sarjana kedokteran dan Master dalam jurnalisme. Ia juga
editor dari Islam Online serta wartawan freelance beberapa media
internasional. Dosen jurnalisme pada Egypt University, dan memilih
mengurus anak dari pada menjadi dokter" (lihat biografinya).
Ia membuka “rahasia” eksperimennya ini, katanya untuk mengurangi beban
rasa hipokrit karena melakukan sesuatu didepan umum secara
sembunyi-sembun yi. Mungkin
ia akan tetap mengenakan jilbab atau sebaliknya, tapi akan merupakan
keputusan sendiri bukan desakan orang lain. Ia telah mengenakan jilbab
selama 25 tahun yaitu sejak umur 17. Dalam perjalanan ke Eropa terakhir,
ia sengaja tidak memakai jilbab. Ia ingin tahu bagaimana rasanya.
Bagaimana perubahan pandangan orang terhadapnya dan apakah pandangannya
terhadap dirinya sendiri akan berubah. Mengapa jilbab dianggap wajib?
Apakah benar-benar wajib atau hanya keputusan sekelompok laki-laki yang
menganggap paling sesuai pada zaman itu untuk melindungi kaum wanita?
Apa harus sama sampai sekarang? Apakah seorang wanita benar-benar harus
menutupi tubuhnya dari kepala sampai kaki untuk menghindari dilecehkan
atau terlihat sebagai objek seks?
Suatu pagi di Barcelona, ia
memutuskan untuk keluar kamar hotel mengenakan kemeja lengan pendek,
celana jeans, tanpa syal dikepala. Ia turun ke ruangan makan-pagi dan
langsung merasakan bahwa ia tidak menjadi perhatian orang. Ia sudah
terbiasa diperhatikan orang sebagai wanita yang mengenakan jilbab di
Eropa. Lebih-lebih ketika di ruang sarapan di hotel: seorang wanita yang
mengenakan jilbab, berjalan ke restoran sendirian. "Selama bepergian
dalam beberapa tahun terakhir, untuk pertama kalinya diruang
sarapan-pagi hotel ini saya tidak menjadi perhatian orang. Dan seketika
saya merindukan perhatian. Terus terang saya merasa kecewa." Diam-diam
selama ini dia menikmati menjadi perhatian orang karena jilbabnya. Iapun
mencoba berjalan-jalan di Barcelona untuk berbelanja tanpa berjilbab.
Tidak ada yang aneh. "Terasa saya hanyalah satu dari ribuan orang di
jalan dan di pertokoan. Apakah saya memang sekedar satu diantara ribuan
orang lain? Apakah saya selalu tidak diperhatikan orang?" Karena ini
hanya eksperimen, iapun memutuskan untuk menghadiri bussiness meeting
dengan berpakaian biasa dengan berjilbab, seperti biasanya. Karena ia
bukan sedang memutuskan untuk melepas jilbab untuk selamanya, tidak ada
alasan untuk membuat bingung rekan-rekan dipertemuan itu.
Begitu selama berhari-hari: Ke pertemuan bisnis mengenakan jilbab,
keluar sendiri dijalanan tanpa jilbab. Suatu pengalaman yang menarik.
"Ketika saya menduga-duga pikiran orang tentang diri saya dengan dan
tanpa jilbab rasanya tidak begitu berbeda. Di ruang sarapah dihotel,
tanpa jilbab, memang saya merasa tidak dilihat dan kurang diperhatikan,
tetapi diluar saya lebih-lebih merasakan tidak diperhatikan orang,
apapun yang saya kenakan. Bahkan ketika saya memakai tok pendek dan
sepatu tinggi. Saya mencoba hal yang sama di London dan hasilnya sama.
Orang yang tidak mengenal saya tidak peduli bagaimana saya berpakaian.”
“Ada dua hal yang terasa saat saya berjalan-jalan di
Barcelona dan di London tanpa jilbab. Saya merasa melihat Nadia yang
saya kenal bertahun-tahun yang lalu muncul kembali. Yaitu Nadia anak
SMA. Nadia sebelum berjilbab. Bukannya saya merasa muda kembali. Rasanya
seperti saya telah dikupas beberapa lapisan untuk melihat kembali diri
saya bertahun-tahun lalu. Sungguh menyegarkan…… Saya juga merasa lebih
feminin daripada yang pernah saya rasakan selama hidup saya. Saya merasa
lebih sebagai perempuan. Bukan dalam arti orang lebih memperlakukan
saya sebagai seorang wanita. Tapi saya secara internal merasa lebih
feminin. Sungguh mengasyikkan... ...”
Ia pun pulang ke Kairo dengan tetap mengenakan jilbab. Ia merasa
tidak menyesal karena telah bereksperimen. “Ada bagian dari diri saya
yang masih merasa bahwa jilbab mungkin wajib. Mungkin Allah memang
benar-benar menghendaki saya berpakaian seperti ini. Sementara itu, saya
senang merasa mempunyai pilihan. Saya dapat bereksperimen di Eropah
atau dikalangan teman-teman dekat. Dan merasa terhibur karena saya bisa
terus memakai jilbab saya ketika saya merasa itu lebih tepat, baik untuk
saya atau untuk orang di sekitar saya.
Saya tidak
menulis ini untuk mendapatkan pujian dari mereka yang tidak suka jilbab.
Bukan pula mengharapkan teguran “berani-beranin ya kamu berbuat begitu” dari yang mewajibkan
jilbab. Saya menulisnya karena itulah yang saya lakukan. Saya merasakan
karena itu saya tulis.”
[http://m.facebook.com/notes/?id=1244030512&refid=17]