Oleh. Hasnan Bachtiar
“Tidak Seorang pun, teroris itu, berasal dari
pesantren NU” – KH. Said Agil Siradj
DEMIKIANLAH pandangan tajam, sekaligus tendensius
dari seorang pemimpin umat di Indonesia. Itulah kesan awal, tatkala
mendengar statemen wawancara Ketua PB NU di salah satu stasiun televisi
swasta (4/9/2012). Namun, pendapat itu harus dibaca secara positif oleh
seluruh pihak, terlebih menganggapnya sebagai sedekah pemikiran bagi
umat.
Secara jernih, paling tidak argumen yang diajukan ulama’ tersebut,
memiliki tiga makna tersurat: Pertama, menunjukkan bahwa ormas
keagamaan selain NU, telah memproduksi teroris; Kedua, ideologi
konservatisme menjadi masalah utama fenomena terorisme; Ketiga,
adanya salah paham untuk menangkap akar masalah radikalisme yang selama
ini mengemuka.
Pertama, seperti halnya Muhammadiyah, diakui maupun tidak,
memang memiliki ciri pemikiran yang lebih konservatif dibanding dengan
NU yang lebih dekat dengan tradisi (turath). Kredo al-ruju’
ila al-Qur’an wa al-Sunnah yang berkembang pada Muhammadiyah,
menjadikannya sangat skripturalis dalam memahami Islam. Seiring dengan
berjalannya waktu, beberapa fakta historis menunjukkan bahwa
pelaku-pelaku teror di Indonesia, – tanpa menyebutkan inisialnya satu
persatu – adalah alumnus pesantren yang bermazhab skripturalis itu.
Tapi apakah benar, penyebab terorisme adalah pesantren yang
skripturalis? Pertanyaan yang demikian, tidak boleh dijawab dengan
menyederhanakan banyak hal. Misalnya, terorisme terjadi karena salah
tafsir terhadap kitab suci. Atau, pesantren-pesantren selain milik NU
adalah pesantren yang mengajarkan tafsir yang membolehkan terorisme.
Kedua, konservatisme memang masalah yang fundamental.
Kendati demikian, ternyata ada akar masalah lain yang menyebabkan mereka
yang berideologi konservatif, bersikap radikal dalam beragama.
Sesungguhnya, akar masalah ini milik kita bersama, yaitu ketidakadilan
ekonomi dan kemiskinan. Sudah barang tentu, menuduh bahwa semua
kesalahan berasal dari negara pemilik kapital yang sekian lama menjajah
negeri ini, adalah alasan yang sulit untuk dibantah. Senyatanya kita
terjajah, baik secara ekonomi, politik, sosial dan budaya.
Hal yang terlewat dari kelompok radikal adalah cara mereka
menyelesaikan masalah imperialisme tersebut. Mana mungkin meraih
keadilan ekonomi dan mengentaskan kemiskinan melalui aksi teror?
Perilaku yang sangat tidak menguntungkan umat beragama, bila perilaku
kekerasan diutamakan. Dengan demikian, sebenarnya ini masalah membaca
akar persoalan, menganalisis dan memahaminya, serta memberikan solusi
yang strategis. Jelaslah, terlampau memberikan perhatian terhadap
persoalan ideologi, sebenarnya juga bermasalah.
Ketiga, kiranya baik NU maupun Muhammadiyah, telah salah
paham menentukan sikap tatkala keadilan dan keberpihakan sosial harus
dituntut. Bila NU sibuk mengurusi proyek kontra-terorisme dan
deradikalisasi paham keagamaan yang membahayakan, namun agaknya
melupakan persoalan keadilan dan kesejahteraan ekonomi umat. Sebaliknya,
Muhammadiyah sibuk mengurusi proyek amal usaha dan ekonomi umat, namun
enggan secara serius merespon persoalan konservatisme yang merebak di
hampir seluruh anggotanya.
Menyelesaikan persoalan ideologi tanpa pembangunan ekonomi rakyat
miskin, akan menjerumuskan kita pada sikap yang tidak kalah
ideologisnya, truth claim, reaktif dan salah paham di antara
ormas keagamaan satu sama lain. Di sisi lain, pembangunan ekonomi tanpa
meninjau ulang konservatisme yang menjangkiti, akan menyebabkan
sempitnya pemahaman terhadap agama itu sendiri, eksklusivisme, tertutup
dan intoleran.
Kita adalah Aset Toleransi
Rohaniawan Franz Magnis Suseno (2012) menandaskan bahwa, aset
toleransi terbaik yang dimiliki bangsa ini adalah NU dan Muhammadiyah.
Bila keduanya bersatu dalam misi yang mulia, niscaya keadilan dan
kesejahteraan lebih mudah terwujud. Karena itu, sudah saatnya saling
berlomba dalam kebajikan (fastabiq al-khairat) demi pembangunan
toleransi, melawan ketidakadilan ekonomi, sosial dan budaya, serta
bersatu dalam pembangunan ekonomi kerakyatan.
Secara filosofis, bila tradisionalisme NU yang inklusif, toleran dan
terbuka dipadu dengan modernisme Muhammadiyah yang progresif, manajable
dan berkemajuan, maka kompleksitas problem keumatan tidak hanya terurai
menjadi jernih, tetapi juga sangat menguntungkan bagi masa depan anak
bangsa. Di dalam al-Qur’an surat al-Ashr mengajarkan nilai untuk saling
menasehati tentang kebenaran dan kesabaran (watawa saub al-haqq,
watawa saub al-shabr). Artinya, umat Islam Indonesia dituntut untuk
bahu-membahu saling melengkapi kekurangan masing-masing.
Memiliki perbedaan cara pandang, tafsir, agama atau apapun yang
berhubungan dengan pemikiran, tidak semestinya membuat kita terpecah
belah dan berserakan. Orang boleh saja tidak setuju dengan pendapat
orang lain, hanya saja, siapapun yang memiliki kekuatan harus melindungi
mereka yang papa, tidak berdaya dan minoritas. Apapun alasannya, sangat
dilarang oleh agama apapun untuk merendahkan martabat sesama, terlebih
berlaku anarkis dan radikal.
Dalam konteks ini maka, elit keagamaan harus berbicara dari hati ke
hati untuk saling mengerti dan berjuang bersama-sama. Bukan berarti
bersatunya NU dan Muhammadiyah adalah meleburkan paradigma berpikir dan
epistemologi beragama (manhaj al-fikrah). Telah menjadi watak
manusia untuk berpikir dan berlaku berbeda. NU dan Muhammadiyah harus
terhimpun untuk saling mendukung dalam persoalan memanusiakan manusia
(humanisasi) dan melawan kemunkaran sosial (counter hegemony)
seperti korupsi, penjajahan ekonomi dan mempersempit ketimpangan maupun
ketidakadilan sosial-ekonomi di tengah umat.
Para pembaca yang budiman, mari kita mendengarkan nasehat para ulama’
NU maupun pimpinan Muhammadiyah secara jernih. Di tangan NU dan
Muhammadiyah-lah masa depan bangsa ini dipertaruhkan. Semoga
terpeliharanya hubungan sosial kedua ormas Islam terbesar di Indonesia
itu, menjadi teladan bagi kita semua, agar lebih toleran dalam beragama
sekaligus memihak kaum mustadl’afin. []
Peneliti Filsafat di Pusat Studi Islam dan Filsafat (PSIF) UMM dan
Aktivis Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah.
Tulisan ini pernah dimuat di Harian Bhirawa 19 September 2012 dengan
pengeditan seperlunya.
[http://kataitukata.wordpress.com/2012/09/28/bila-nu-dan-muhammadiyah-menyelesaikan-terorisme/]