Oleh : Jum'an Basalim
Kalau ingin berdamai dengan siapapun
yang kita mau, setidaknya ada dua syarat yang harus kita penuhi. Pertama
kita harus mempunyai kemampuan ber-empati yaitu memahami dan merasakan
ihwal orang lain. Empati menuntut kita untuk menyimpan dulu kepentingan
dan perspektif sendiri dan berusaha untuk memahami penjelasan orang
lain. Kedua, kita harus menghilangkan keinginan membalas dendam, dan
fokus pada kemungkinan damai yang akan datang saja. Dalam mengupayakan
perdamaian kita sangat perlu untuk mendengarkan dengan seksama (deep
listening-menyi mak) yaitu,
mendengar, menerima dan bahkan menghormati penjelasan yang bertentangan
dengan kita sendiri. Dr. Homayra Ziad, dosen agama Islam pada Trinity
College, memberikan contoh deep listening dalam blog "Learning to
Listen", Huffington Post 8 Juni lalu:
Dalam Al-Qur’an
dikisahkan bahwa Nabi Sulaiman (as) dikaruniai kemampuan untuk
berkomunikasi dengan makhluk selain manusia. Tentaranya terdiri dari
manusia, jin dan burung-burung yang diperintah dengan tertib. Ketika dia
bersama pasukannya hendak melewati sebuah lembah semut, berkatalah
seekor diantaranya: ”Hai semut-semut, masuklah ke dalam sarang-sarangmu , agar tidak diinjak oleh Sulaiman dan
tentaranya sedang mereka tidak menyadari."
Ini adalah
satu insiden yang dilihat oleh dua pihak dengan pandangan yang sangat
berbeda. Apa yang oleh Sulaiman dilihat sebagai upacara kemiliteran
rutin, semut memandangnya sebagai bahaya yang dapat menghancurkan
seluruh masyarakatnya. Sulaiman bisa dengan mudah menjawab dengan
arogan: “Makhluk kecil ini, dia pikir siapa dirinya?”, atau dengan
kebencian: “Kamu pikir Monster macam apa aku ini”, atau tidak percaya:
“Semut gila!”. Tapi semut itu telah menuduhnya sebagai seorang pembunuh,
atau setidak-tidakny a
tak peduli. Sebaliknya, Sulaiman (as) benar-benar mendengarkannya . Mula-mula dia tersenyum. Lalu senyumnya
berubah menjadi tawa gembira - ia menangkap maksudnya. Hidup semut penuh
bahaya. Dia sudah kehilangan puluhan ribu warganya di bawah sepatu
ceroboh manusia. Para ahli tafsir mengatakan bahwa Sulaiman (as) lalu
menghentikan pasukannya sampai semut-semut memasuki sarang mereka.
Seorang komandan menghentikan barisan pasukannya bukanlah hal yang
aneh. Tidak pula merendahkan kegagahan sikap tentara. Tetapi dengan
risiko kehilangan muka, panglima tertinggi Sulaiman berendah hati demi
kepentingan sekelompok semut! Dan kemudian, Qur'an mengisahkan, Sulaiman
(as) menengadah kepada Allah dengan rasa syukur karena telah
membimbingnya melakukan hal yang benar dan berlindung kepada belas
kasihan-Nya (Surat al-Naml ayat 17-19.) Mungkin dia berterima kasih
atas pelajaran yang berharga: pasukannya mungkin terkuat di dunia,
tetapi bahwa ada jalan lain yang lebih kekal yaitu untuk berdamai....
Sulaiman (as) telah mengajarkan bahwa jika kita mulai
mendengarkan, kita dapat menemukan diri kita berubah. Kita hanya mampu
mendengar dengan seksama apabila batin kita bulat dan tidak retak.
Perdamaian harus dimulai dengan diri sendiri, karena diri yang retak
adalah akar penyebab banyak masalah dalam hidup kita.... Wallohu a'lam.