Oleh Al-Mizan Study Club's
‘Islam telah mendapatkan banyak warisan (kebiasaan dan budaya)
dari masyarakat Arab, serta memakai undang-undang (hukum) mereka dalam
berbagai aspek’ (Khalil ‘Abdul Karim)
Mengkonsepkan
hukum tidak segampang membalikkan tangan, demikian juga dalam
penerapannya. Hukum secara langsung bersinggungan dengan masyarakat yang
notabennya sebagai obyek. Pada awalnya, Tuhan menetapkan hukum global.
Manusia meneruskannya lebih rinci. Karena bagi Nitsche, Tuhan telah
mati. Dalam artian, manusialah yang bertanggung jawab atas laku hidup
masyarakat yang membentuk sebuah komunal. Secara langsung, ada sebuah
komunitas relasi. Sehingga tampak dan terus saling mengkaitkan.
Berangkat darisini, manusialah yang bertanggungjawa b membuat dan mengaplikasikan hukum.
Islam sebagai agama punya
hukum independen. Bermula dari kesadaran umat Islam dalam menciptakan
sebuah komunitas shaleh dalam beragama. Keshalehan yang berpangku pada
hukum Islam ini membuat gebrakan dengan konsep ‘syariat’ melalui sang
Syâri’ (Tuhan) kepada masyarakat Arab sebagai umat-Nya. Dengan adanya
kemandirian dalam hukum Islam, telah bergeser paradigma hukum
agama-agama sebelumnya yang disempurnakan dalam agama Islam (Q.S.
Al-Maidah: 3) membentuk konsep ‘al-Takâmul’. Bagi pemikir kontemporer
Muhammad Syaid Asmawi dalam buku ‘Jauharul Islam’-nya, syariat kurang
tepat jika didefinisikan sebagai hukum undang-undang yang mampu menata
masyarakat atau menjelaskan kepada mereka tentang peribadatan. Akan
tetapi syariat harus dijadikan sebagai sebuah metode (manhaj) dalam
kaidah peribadatan dan lajur interaksi –manusia dengan manusia- (Lihat
hlm. 15)
Dengan melihat perspektif Asmawi, laku dan
lajur umat senantiasa berubah. Dari masa ke masa, selalu beragam di
setiap tempat yang berbeda, seiring dengan adanya pergeseran peradaban
yang tidak bisa dihentikan oleh segelintir umat saja. Perubahan selalu
menuntut keserasiannya sebagai sebuah nilai keindahan dalam hidup (beaty
of life), antara teks dengan konteks maupun konsep dengan realitas.
Maka, disinilah pentingnya menkonseptualis asikan hukum Islam secara umum, maqâshid
syarîah secara khusus dalam pendomestifikas ian konteksnya secara nyata.
Come
back Syifa Fauziah Sebagai Pemakalah
Nawwal Sa’dawi adalah
wanita Arab yang menawan dengan gagasan-gagasan nya dalam feminisme. Dia adalah salah
satu contoh wanita pemberani pada abad 20-21, menggagas ide emanasi
(al-Musâwât) dan emansipasi wanita. Dia dengan berani mematangkan
gagasan-gagasan itu
yang katanya dulu sudah pernah ada dalam wacana keagamaan, termasuk
Islam. Ada juga Qiu Jin (1875-1907), seorang fenimism dan penulis dari
china yang tidak takut mati dengan tulisan maupun puisinya dalam
mengkritik pemerintahan. Perjuangannya tidak hanya berhenti pada tahap
ini saja, akan tetapi meneruskannya dalam pemberontakan untuk merevolusi
China secara besar-besaran. Begitu pula dengan rekanita Syifa Fauziah
yang berani meneruskan dalam tulisannya dan memaparkannya kepada
kawan-kawan kajian mengenai gagasan-gagasan maqâshid al-Syâriah yang diusung pertama kali
oleh Imam Malik dalam konsep ‘mashâlih al-Mursalah’ yang dilanjutkan
oleh Imam Syatibi (w. 790 H) dalam magnum Opusnya ‘al-Muwâfaqât’.
Rekanita Syifa memulai presentasinya dengan membatasi tema
‘Domestifikasi Islam dalam Diskursus; Strategi Maqashid dan Ilmu Islam’
dalam pemaknaan lokalisasi diskursus keislaman secara bahasa. Namun
secara istilahnya, tema ini dianggapnya kurang mempunyai kejelasan
sehingga lahir dari asumsi rekanitas syifa untuk memilih tulisan dalam
makalahnya berdasarkan ‘al-Ma’na al-Lughawy’ dari kata domestifikasi
itu.
“Terma Maqâshid al-Syarîah merupakan rumus bagi umat
Islam dalam mencapai kebahagiaan, di dunia maupun di akhirat. Hal ini
senada dengan tujuan asasi dalam aplikasinya yaitu mencapai kemaslahatan
dalam tubuh umat. Dalam pengaplikasian ini, umat menjadi mukallaf dari
syariat yang Tuhan tetapkan. Yang kemudian terkonsep dalam hifdh al-Dîn
(agama), hifdh al-Nafs (jiwa), hifdh al-‘Aql (akal), hifdh al-Nasl
(keturunan), hifdh al-Mâl (harta). Kelima konsep inilah yang mendasari
lahirnya maqâshid al-Syarîah melalui tangan Abu Ishak al-Syatiby (w. 780
H)”, begitu ujar rekanita Syifa di awal penyampaiannya terkait makalah
yang ditulis.
Dengan semangatnya, dia membaca dari
kacamata sejarah bahwa embrio adanya maqâshid al-Syarîah sudah tercermin
pada masa Nabi Muhammad saw. dalam kasus hijab yang diceritakan oleh
Imam Malik -rahimahullahu-
dalam kitab ‘al-Muwattak’ tentang Salim yang dijadikan anak angkat oleh
Abu Hudzaifah. Dia melihat istri Abu Hudzaifah yang tidak mengenakan
hijab (penutup kepala) sehingga terlihat rambut, telinga dan lehernya.
Kemudian istri Abu Hudzaifah datang menghadap Nabi dan disuruhnya istri
Abu Hudzaifah supaya menyusuinya walaupun umur Salim telah lewat dari 2
tahun. Meskipun kasus ini masih debatable dalam wacana keislaman, namun
bagi rekanita Syifa kasus seperti ini merupakan rukhsah (keringanan)
bagi keluarga Abu Hudzaifah. Dalam perspektif inilah hukum Islam dapat
bergerak dan diaplikasikan melalui kaidah ‘Akhdzu al-Hukmi ma’a
al-Illati tsumma Yuqâsu Ilâ Hukmin Âkhar’.
Imam Syatibi
membagi maqâshid dalam dua bagian besar; qashd al-Syâri’ (tujuan
pensyariat/ Tuhan) dan qashd al-Mukallaf (tujuan untuk yang terbebani).
Kedua bagian tersebut bermuara pada tujuan tercapainya kemaslahatan umat
dan menghindari kemadzaratan. Karena stabilitas dalam kehidupan sangat
dibutuhkan untuk mencapai tujuan tersebut, stabilitas duniawi maupun
ukhrawi. Mengenai kemaslahatan, al-Syatiby membaginya kedalam tiga
tataran; Dzarûriyyât (primer), hâjiyyât (skunder) dan tahsîniyyât
(tersier). Dan yang konsep lima diatas masuk dalam tataran kemaslahatan
primer.
Dalam membangun paradigma maqâshid al-Syarîah, konteks
dan realitas memiliki andil penting dalam menentukan arah dari salah
satu maupun lebih dari kelima konsep tersebut. Pendapat ini senada
dengan ditiadakannya afdzaliyât didalamnya, karena asas dasar dari
maqâshid al-Syâriah adalah tercapainya kemaslahatan umat, keseluruhan
maupun sebagian kecil. Dengan demikian, kelima unsur yang telah
dikonsepkan oleh Imam Syatibi diatas tidaklah bersifat saling
mendahului, tergantung keadaan dan kondisi yang ada. Maka wajar jika
terjadi perbedaan hukum dalam kasus yang sama namun berbeda tempat.
Tuhan telah memberikan banyak metode (manhaj), umat hanya tinggal proses
pemilihan (ikhtiyâr) yang tepat bagi dirinya. Sebab, ‘Manhaj al-Taklîf
‘Ala al-Mukallaf Biqodri mâ Yastatî’u al-‘Ibâd’. Perspektif ini senada
dengan asumsi pemakalah dengan adanya kaidah; ‘Laisa fî al-Dunyâ
Maslahatun Mahdzah Walâ Mafsadatun Mahdzah’.
Bagi rekanita
Syifa, akal bertentangan dengan hawa nafsu. Dan konsep maslahat
disandarkan pada akal manusia sebagai timbangan nilainya. Pada dasarnya,
manusia berfitrah pada nilai-nilai maslahat, bukan sebaliknya. Maka,
jika konsep dalam maqâshid al-Syarîah tidak mampu mencapai maslahat
dalam tubuh umat, maka bagi penulis harus disempurnakan dengan manhaj
al-Tasâmuh yang disaring dari gagasan Thahir bin ‘Asyur dalam kitabnya
‘Maqâshid al-Syarîah al-Islâmiyyah’ sebagai pelengkap datellam meniti
titik terang kemaslahatan.
Sebagai pelengkap dalam
menganalisa konsep maqâshid al-Syarîah, pemakalah mencoba menghadirkan
gagasan ‘wanita karir’ dalam Islam. Sebelum mengawali wacana dalam
masalah ini, Dr. Yusuf Qardhawi dalam bukunya ‘Fatawa Mu’âsarah’
mengatakan; “Wanita itu mengandung segala keburukan”. Sejalan dengan
asumsi ini, wanita harus selalu dijaga, diperhatikan dan diawasi. Segala
yang dilakukan merupakan efek dari tabiat yang ‘kurang’ dari wanita.
Namun, ketika wanita telah memiliki pendamping hidup yang
menyempurnakan kekurangannya, apakah dia boleh melakukan aktifitas
diluar sebagai wanita karir? Sebuah pertanyaan mengenai emansipasi
wanita ini boleh jadi timbul karena banyaknya tuntutan keseharian dalam
berumah-tangga. Memang
gerakan emansipasi secara terang-terangan baru menampakkan wajahnya pada abad
ke-20. Karena memandang wanita hanya sebagai tempat eksplotasi kerakusan
manusia-manusia tak
bermoral dan jauh dari etika. Bagi pemakalah, Islam telah menjangkau
konsep emansipasi sejak masa Nabi. Asumsi ini ditinjau dari peranan Umm
al-Mukminîn Khadijah al-Kubra sebagai permisalan yang diajukan. Khadijah
ra. merupakan bisnis woman sebelum dijadikan istri Nabi yang pertama.
Dalam perjalanan da’wah Nabi-pun Khadijah ra.lah yang menyuplai
segalanya dalam memberikan dukungan terhadap ajaran yang dibawa oleh
Nabi, khususnya dalam masalah materi yang masih mendominasi problem umat
Islam saat itu. Begithulah Khadijah ra. menjadi tokoh emansipasi wanita
Islam melalui wacana laku yang dipraktekan dalam mengarungi bahtera
rumahtangganya hingga wafat bersama seorang suami yang setia, nabi
Muhammad saw., yang mana Khadijah ra. juga menjadi teladan bagi istri
para sahabat.
Dalam membuka tabir wacana yang sudah
digagas oleh umat Islam, rekanita Syifa menggunakan perspektif Jamal
Al-Banna dalam bukunya ‘al-Mar’ah al-Muslimah Baina al-Qur’ân wa Taqyîd
al-Fuqahâ’ mengatakan; “Untuk memecahkan problematika wanita saat ini,
hendaknya kita menjauhkan diri dari pandangan-panda ngan ulama klasik, lantaran banyak pandangan
mereka tidak berdasar dan mengandung banyak kesalahan. Maka dengan itu,
sebaiknya kita mengembalikan semuanya pada al-Qur’an dengan mengindahkan
penasiran ulama klasik (lih. h. 179)”. Seperti penafsirannya dalam
surat al-Taubah ayat 71 mengenai tidak adanya perbedaan antara laki-laki
dan wanita dalam al-Amru bi al-Ma’rûf wa al-Nahyu an al-Munkar.
Asumsi diatas semakin jelas ketika Thahir bin ‘Asyur menyempurnakann ya dalam konsep emanasi (al-Musâwât) antara
laki-laki dan wanita dalam berbagi konteks dan realitas hidup. Hal
senada dilontarkan dengan menggunakan dalil al-Qur’an; Innama
al-Mukminûn Ikhwatun. Yang mana ikhwah ini diartikan sebagai
penyamarataan hak antara keduanya. Namun, sebagai kaum wanita (kata
pemakalah) kita harus berfikir ulang dalam menafsiri ayat tersebut guna
menjauhkan asumsi yang kurang benar, karena semua yang telah ditetapkan
dalam al-Qur’an banyak memiliki hikmah yang belum tersingkap makna
sesungguhnya. Seperti dalam kasus poligami, harta warisan dan imam
sholat.
Maka, melihat dari pandangan-panda ngan diatas, ruang wanita untuk
beremansipasi dan beremanasi telah terbuka lebar, tentunya dalam kawasan
dan batasan yang tidak keluar dari teks-teks keagamaan. Wanita
mempunyai kebebasan tersendiri ketika melaksanakan kewajibannya sebagai
istri dalam memenuhi kebutuhan jasmani maupun rohaninya. Pun sebagai
wanita karir yang mempunyai gagasan membangun kekuatan dan kuasanya
dalam dunia konteks dan realitas. Sekian, sambil menghela napas yang
sedikit terputus-putus,
rekanita Syifa Fauziah mengakhiri presentasinya dalam kajian reguler
Al-Mîzân Studi Club kali ini.
Bunglon (dinamika) kajian
Dalam kepenulisan makalah, tulisan tidak ada yang sempurna, dari sisi
editorial –dunia jurnalistik- maupun substansi yang berkaitan dengan
tema dan judul yang diangkat penulis. Dari kekurangan ini, segenap
mizanis berangkat dalam memberi saran dan kritik untuk melengkapi
gagasan, logika dan konsep kepenulisan. Maka, untuk merealisasikann ya, moderator kajian Al-Mîzân Study Club
memberikan waktu yang seluas-luasnya kepada segenap mizanis supaya
memberikan kontribusinya kepada penulis dalam edisi kedua kajian.
Bagi rekan Ahmad Syafiuddin, memahami maqâshid al-Syarîah adalah
bagaimana memahami obyek, konteks dan pemaknaan utuh. Obyek disini
adalah Al-Qur’an. Bagaimana al-Qur’an ditafsiri. Berangkat darisini
problematika dalam maqâshid al-Syarîah mengalami kegagapan. Seperti
dalam kasus ayat al-Qur’an yang berbunyi: “Al-Rijâlu Qawwâmûna ‘Ala
al-Nisâ”. Berkenaan dengan feminism, rekan Syafik menafsiri lafad
‘Al-Rijâlu bi Ma’na al-Sifat’ atau seseorang yang mempunyai sifat
kelelakian. Dalam hal ini, wanita yang mempunyai sifat kelelakian tidak
dilarang untuk melakukan apa yang dikerjakan laki-laki. Selain itu,
sebagai solusi dalam domestifikasi maqâshid al-Syarîah dan
konseptulisasin ya perlu
adanya penerapan maqâshid al-Syarîah dengan keilmuan yang lain serta
bagaimana kita memahami problematika humanisme.
Berangkat dari asumsi ‘ Teks hukum jangan dipahami sebagai teks
historis’, rekan Fahmi Farid Purnama memulai memberikan masukan kepada
rekanita Syifa. Baginya, teks hukum mampu menyelamatkan di setiap
keadaan sosial. Perspektif ini diangkat, karena teks-teks hukum
melakukan gebrakannya pada keadaan sosial. Yang mana teks-teks hukum
berkaitan dengan domestifikasi dalam tema maqâshid al-Syarîah.
Kemunculan domestikasi merupakan wacana tahap akhir dalam konsep
maqâshid al-Syarîah untuk merealisasikan nilai kemaslahatan yang diusung
oleh Imam Abu Ishak al-Syâtiby. Kemaslahatan ini dapat dicapai melalui
defisini lafadz ‘qasada’ dalam maqâshid al-Syarîah dalam tiga cakupan;
pertama, dalam al-Madzâmin al-Dalâliyyah (cakupan tanda). Kedua,
al-Madâmin al-Syu’ûriyyah (cakupan rasa). Dan ketiga, al-Madzâmin
al-Qiyâmiyyah (gagasan nilai). Kemudian, seraya melanjutkan saran rekan
Fahmi, dalam menerapkan gagasan-gagasan nya secara umum, fikih paling mempunyai
logika paling dekat dengan ilmu kalam. Dalam hal ini, Izzudin bin Abdi
al-Salâm menjadi pamungkas disebabkan penekanannya yang lebih dalam
menggunakan akal ketika mendekati masalah keduniawian. Walhasil,
pendomestifikas ian dalam
maqâshid al-Syarîah harus lebih didekatkan dengan konteks humanisme.
Namun bagi rekan Nashifuddin Lutfi, keshalehan pribadi tercermin
dalam keshalehan masyarakat. Asumsi ini diangkat, karena keadaan
masyarakat sosial dipengaruhi individunya. Dalam membangun masyarakat,
seluruh elemen harus sama-sama bergerak seraya memperbaiki dari dalam.
Dalam kasus perzinaan, umat seraya diwajibkan untuk menjauhi perbuatan
ini dan diharuskan menjaga keutuhan keturunan (hifdz al-Nasl) yang baik.
Karena dalam Islam, anak dari hasil perzinaan tidak bisa dinisbatkan
langsung kepada bapak biologisnya. Kasus kedua adalah meminum khamr
(minuman keras) apapun itu jenisnya. Perbuatan ini mengganggu umat islam
dalam menunaikan ibadah sholat contohnya. Minuman keras membawa manusia
kedalam keadaan tidak sadarkan diri secara penuh. Lantas dalam sholat,
seorang muslim diwajibkan sepenuhnya sadar. Dan kesadaran menuntut
seorang muslim sebagai mukallaf (yang terbebani) untuk menjauhinya
supaya dapat terjaga akalnya (hifdz al-‘Aql). Yang mana asumsi diatas
dapat mengubah kaidah dari ‘Al-‘Ibratu bi ‘Umûmi al-Lafdzi lâ bi Khusûs
al-Sabab’ ke dalam kaidah ‘Al-‘Ibratu bi ‘Umûmi al-Lafdzi lâ bi
Irâdatihî’.
Bagi rekanita Izza Tazkiyah, hukum Islam lahir
dari dialektika para ulama klasik. Dialektika dalam maqâshid al-Syarîah
berkembang setelah Imam al-Syâtiby. Konteks pada masa Imam al-Syâtiby
ditinjau dari masa Nabi hingga akhir abad ke 8 H. Sebagai studi
perbandingan, rekanita Izza menggunakan perspektif Yusuf Qardhawi yang
belum disentuh oleh pemakalah. Aplikasi maqâshid al-Syarîah oleh
al-Syatiby dibagi atas dua bagian, Istinbâthy dan Tatbîqy. Melalui
konsep tatbîqy-nya, al-Syatiby mampu menjamah tahqîq al-Manâth yang
kemudian dibagi kedalam ma’na al-‘Âm dan ma’na al-Khâs. Misal teks yang
masih ber-ma’na al-Âm; “Wa Asyhidû Dzawai ‘Adlin Minkum”, sedangkan teks
ber-ma’na al-Khâs dalam hadits Nabi; “Qul al-Haqqa Walau Kâna Murran”
dan hadits supaya memperbanyak dzikir kepada Allah. Sedangkan Yusuf
Qardhawy dalam aplikasi maqâshid al-Syarîah-nya membuka konteks melalui
pintu ijtihad yang dibagi kedalam 3 bagian: Pertama; Ijtihad Intiqâi
yang menggunakan dalil dan tarjih. Kedua; Ijtihad Insyâi yang lebih
cenderung langsung menyimpulkan hukum. Ketiga, antara Intiqâi dan
Insyâi. Ketiga-tiganya dapat digunakan, misalnya dalam masalah aborsi.
‘Bagaimana berislam seutuhnya dengan menggunakan maqâshid al-Syarîah?’
ungkap rekan Lingga Labbaika meneruskan kesempatan selanjutnya. Ketika
ber-maqâshid, kita tidak bisa melihat konteks yang ada didepan kita.
Perang-perang yang terjadi dihadapan kita ini bisa menjadi bukti nyata
untuk merealisasikan bagaimana sesungguhnya berislam sesungguhnya.
Contohnya perang yang sudah lama terjadi di Taliban. Bagaimana kita
memahaminya sebagai nilai murni ilmu fikih dari pengambilan hukum Islam
yang berbeda keadaan?. Pada akhirnya, menegakkan hukum Islam secara
umum, maqâshid al-Syarîah khususnya harus dapat merepresentasik an tujuan Islam sebagai agama rahmatan li
al-Âlamîn.
Mengutip ayat al-Qur’an yang bunyinya;
“Likullin Ja’alnâ Minkum Sir’atan wa Minhâjâ”, rekanita Nur Kamilah
memulai menyampaikan pendapatnya sejalan dengan judul pemakalah.
Baginya, para Nabi memiliki syariatnya masing-masing yang disempurnakan
pada masa Nabi Muhammad. Syariat lama tidaklah dihapus secara langsung,
tapi menyisakan syariat yang masih cocok dengan teks al-Qur’an dan
al-Hadits. Maka, sebenarnya syariat Islam yang sekarang ini merupakan
syariat warisan dari umat-umat sebelum umat nabi Muhammad. Kedatangan
Islam membawa berkah bagi umatnya dengan mempermudah hukum, bukan
berarti menggampangkan,
akan tetapi lebih mengarah dalam arti meringankan keadaan umat yang
sangat beragam. Maka, lahirlah konsep maqâshid al-Syarîah melalu Imam
Malik dalam konsep mashâlih al-Mursalah-nya . Asumsi ini disandarkan pada perkataan Imam
Malik bahwa konsep mashâlih al-Mursalah digunakan untuk pengambilan
sebuah hukum.
Bagi rekan Hijrian Angga, masalah yang
dihadapi rekanita Syifa Fauziah tidak terlepas dari bagaimana
menkonseptualis asikan
maqâshid al-Syarîah secara tepat. Sebelumnya, konsep dalam membaca teks
dibagi 3, pembacaan tekstual, substansial dan metatekstual. Adapun
pembacaan yang pertama bermula dari al-Mantûq kemudian al-Hukm dan
menghasilkan al-Syarîah. Pembacaan yang kedua berawal dari al-Mafhûm,
berlanjut dalam al-Hukm dan berakhir dalam maqâshid al-Syarîah.
Pembacaan yang ketiga merupakan ”al-Ijtihâd fî mâ Warâ’a al-Nas”.
Melalui pembacaan-pemba caan
inilah kaidah; “al-Hukmu Yadûru Ma’a Illatihi Wujûdan wa ‘Adaman”
berubah kaidah menjadi “al-Hukmu Yadûru Ma’a Maslahatihi Wujûdan wa
‘Adaman”. Seperti dalam aplikasi warisan, mengapa wanita hanya mendapat
jatah setengah dari laki-laki, masalah ini seakan Islam menghalangi
emanasi antara laki-laki dan wanita. Bagi rekan Angga, Islam memberikan
setengah bagian wanita karena mereka telah mendapat mahar dalam
pernikahan dari mempelai laki-laki.
Sementara bagi rekan Roni
Giat Bramantyo, dasar dalam menggapai maqâshid al-Syarîah harus lebih
dicenderungkan pada kemaslahatan manusia, bukan hanya semata
pengambilan hukum. Untuk mencapainya, untuk menopangnya, perlu adanya
observasi terhadap keyakinan, cultur maupun negara dimana suatu
komunitas hidup. Disinilah mutualisme antar manusia bergerak. Pemikir
kontemporer Mohammad Arkoun mengatakan; ‘Apakah jika manusia memikirkan
manusia akan mengurangi kuasa Tuhan?’ Dengan demikian, manusia berpikir
untuk kemaslahatan manusia, tidak bersandar dan berpasrah diri kepada
Tuhan tanpa usaha apapun. Dalam penerapannya, konsep maqâshid al-Syarîah
bergantung pada teritorial dan kasus-kasus yang ada dalam sebuah lokal
suatu komunitas. Karena dengan demikian, kita dapat meneropong
stabilitas masyarakat dan kemudian membacanya dari kacamata maqâshid
al-Syarîah. Seperti kasus pacaran antara remaja dan pelacur sebagai
profesi suatu komunal.
“Manusia akhir zaman mendapatkan banyak
kutukan”, ungkap rekan Fahim Khasani ketika memulai menyampaikan
wacananya. Sudah akhir, banyak mendapatkan kesusahan yang tidak terkira.
Itulah nasib umat akhir zaman yang tidak berumur panjang untuk
memperbaiki dan menyempurkan apa yang diyakini dan dilakukan sejak
baligh. Pada dasarnya manusia memiliki banyak cobaan dalam hidupnya,
terutama dalam beragama. Mengapa beragama-pun seakan manusia tidak
diberi kebahagiaan dalam hidup yang hanya sebentar ini?. Manusia harus
memilih lagi supaya selalu sejalan dengan apa yang diperintahkan Tuhan
melalui teks-teksNya. Maka dari itu, wacana beragama yang muncul dari
teks ini sebaiknya dibaca melalui kacamaa teks juga. Eksperimen
pembacaan fikih melalui kacamata tafsir. Baginya, pembacaan fikih harus
melalui dalil-dalil pembenaran melalui teks-teks keagamaan (al-Naql) dan
akal (al-‘Aql). Hal ini didasarkan pada pembenaran yang dilakukan oleh
kaum Ahlu al-Sunnah ketika bertikai dengan kaum Mu’tazilah. Pembenaran
yang digunakan oleh Mu’tazilah melalui konsep baik dan buruk (al-Hasan
dan al-Qubh) yang disandarkan pada akal semata. Oleh sebab itu, bagi
rekan Fahim, tercapainya kemaslahatan dapat dicapai melalui pembenaran
pembacaan fikih diatas seraya melihat bagaimana realitas merayap dalam
konteks dewasa ini.
Bagi saya, hukum bukan merupakan
masalah benar ataupun salah. Karena hukum banyak dipengaruhi oleh
kondisi politik yang tidak mendukung komunitas kecil. Bahkan mereka
menjadi korban dari adanya hukum kesepakatan yang ditetapkan. Maka,
untuk menghindari kedhaliman yang dilakukan oleh para pembesar, Islam
mengedepankan kaidah “Al-Aslu fi al-Asyâi al-Ibâhah” dalam memandang
sebuah tradisi maupun adat yang belum disimpulkan hukumnya oleh para
Mujtahid Fikih. Karena pada intinya, segala kemaslahatan yang
disandarkan pada hukum agama, harus terealisasi pada setiap segment
masyarakat, borjuis maupun proletar. Pada hakikatnya, maqâshid
al-Syarîah telah masuk dalam setiap segment masyarakat sehingga mampu
menggerakkan kesadaran sosial secara individu untuk merealisasikann ya. Walhasil, dialektika sosial maupun
dialektika ilmu dapat berjalan beriringan menuju masyarakat moderat yang
dinamis dengan konsep maqâshid al-Syarîah.
Pamungkas
Problematika konsep dalam maqâshid al-Syarâh maupun kontekstualnya
terhadap realita merupakan wacana yang tidak henti-hentinya diwacanakan
pemikir-pemikir sekarang
ini. Usaha ini dilakukan demi menghasilkan sebuah natijah baru dari
peliknya membumikan kaidah-kaidah yang telah dikonsepkan oleh
ulama-ulama klasik. Meskipun demikian, kebenaran yang tidak bisa hindari
dari berbagai polemik yang ada dalam tema maupun tulisan yang diangkat
oleh pemakalah adalah mengambil manfaat dari yang telah dikonsepkan
ulama klasik dan dibaca ulang oleh ulama kontemporer. Sekian.
Setelah rekanita Syifa Fauziah menanggapi beberapa saran dari mizanis,
kajian reguler al-Mîzân Study Club telat usai dan dibubarkan tepat pada
pukul 23.30 waktu Cairo (LCT) pada hari Sabtu, 10 Maret 2012. Kajian
kali ini bertempat di rumah rekan Ahmad Syafiuddin di Bawabbah 3, Hay
Asir, Nasr City, Cairo. Agenda kajian kali ini telah disapa musim semi
dengan angin sepoi-sepoinya,
karena bulan Kajian kali ini bertempat di rumah rekan Ahmad Syafiuddin
di Bawabbah 3, Hay Asir, Nasr City, Cairo. Februari telah melambaikan
tangan dan menyambut sapaan bulan Maret. Wallâhu A’lamu bi al-Shawâb.
Reportase:
Andi Luqman Qosim
Madrasah, 14
Maret 2012
Pukul 20.41 (LCT)
[http://m.facebook.com/notes/?id=100000864540857&p=10&last=1333146725&isprev=0&refid=21]