Oleh: Jum'an
The Bucket List adalah film
drama-komedi tentang perjalanan terakhir dua orang penderita kanker yang
sudah divonis bahwa ajal mereka sudah dekat. Carter (diperankan oleh
Morgan Freeman) seorang montir yang penyabar dan Edward (Jack Nicholson)
milyuner nyentrik, berada sekamar dirumah sakit setelah keduanya
didiagnosa menderita kangker paru-paru terminal. Awalnya mereka saling
tidak suka, tapi kemudian menjadi bersahabat seiring dengan waktu
perawatan mereka. Edward sangat menikmati Kopi Luwak dari Sumatera salah
satu kopi termahal didunia. Dikisahkan, mereka kemudian bersepakat
memutuskan untuk menikmati sisa umur mereka dengan bersenang-senan g bersama, melakukan hal-hal yang mereka
dambakan sebelum ajal tiba. Merekapun mulai petualangan dan tamasya
keliling dunia. Terjun payung bersama, saling memacu mobi balap, terbang
di atas Kutub Utara, makan malam di restoran mewah Chevre d'Or di
Perancis, mengunjungi Taj Mahal, naik motor diatas Great Wall China,
melihat Taman Safari Singa di Afrika dan piramida di Mesir dan banyak
lagi.
Diantara kita mungkin ada yang pernah mendapat
pertanyaan: apakah yang akan anda lakukan bila anda diberitahu bahwa
hidup anda tinggal enam bulan lagi. Entah bagaimana anda menjawabanya.
Tetapi jawaban orang terhadap pertanyaan seperti ini bermacam-macam. Dari ingin segera menikah, pergi ketanah
suci, melihat Tujuh Keajaiban Dunia atau seperti yang dilakukan oleh
Carter dan Edward dengan bucket listnya. Tergantung siapa anda. Tetapi
bagaimana kalau pertanyaan itu dirubah menjadi: apakah yang anda
kerjakan bila diberitahu hidup anda tinggal dua atau tiga jam lagi?
Ah..... ini menakutkan! Toh jawaban orang tetap berbeda-beda. Tetapi
tidak lagi terpikir tentang menikmati kopi luwak atau pergi ketanah
suci, apalagi menikah (lagi!). Mungkin jawaban kita: Saya ingin
dekat-dekat dengan ibu saya. Saya akan memeluk isteri saya erat-erat.
Saya akan bersujud, tobat dan mohon ampun.
Dr. Omid Safi,
dosen tasauf dan sejarah Islam pada Univ. North Carolina, pernah
mengedarkan kedua seperti itu dikalangan mahasiswanya (di Amerika
tentunya) dengan sifat mereka yang beragam. Ia mencatat diantaranya,
ketika kesadaran bahwa waktu kita di dunia ini sangat terbatas menjelma
menjadi betapa berharganya setiap tarikan nafas, orang tidak lagi
memikirkan "ingin pergi kemana" tetapi justru beralih fokus kepada
"ingin bersama siapa"- seperti ibu, isteri atau Tuhan. Kita berpindah
dari apa yang ingin kita kerjakan dan mulai merenungkan bagaimana kita
jadinya nanti. Ironisnya, dengan merenungkan kematian kita memperoleh
jawaban tentang hidup yang lebih bermakna.
Rasulullah pernah
bersabda: “Berbuatlah untuk duniamu seakan-akan engkau akan hidup
selamanya, dan bersiaplah untuk akhiratmu seolah-olah engkau akan mati
besok. Mati besok? Besok itu hanya 24 jam, hanya satu malam lagi! Apa
yang paling baik, paling bermakna, paling nikmat, paling bermanfaat
yang dapat dikerjakan dalam waktu sependek itu? Mau duduk terus diatas
sajadah? Tetapi siapa tahu umur kita masih panjang! Lihatlah! Paman kita
juga masih segar bugar. Oh, alangkah keramatnya nafas yang terbatas
ini. Kita tidak pernah tahu kapan ajal tiba, hanya pedoman Rasulullah
saw inilah mungkin satu-satunya jalan untuk menempuh hidup yang
bermakna.