Oleh: Jum'an
Mungkin ini sebuah aib, tetapi
karena rasanya manusiawi, biar saya akui saja. Bahwa saya mengalami
problim kesepian dalam hidup. Banyak faktor-faktor penyebab yang melekat
pada diri saya, seperti usia dengan macam-macam implikasinya dan juga
faktor-faktor pribadi lainnya. Kesepian itu rasanya seperti silih
berganti antara rasa tidak bahagia, tertekan dan dongkol dikarenakan
hasrat akan suasana keakraban yang tak terpenuhi. Orang yang kesepian
merasakan ketidak-bahagia an
itu sebagai ancaman dan menghadapinya dengan pasif seperti tak kuasa
melawan. Bukan sebagai tantangan untuk memecahkan masalah. Oleh sebab
itu kesepian bukan saja terasa menyakitkan tetapi makin merasuk dan
menjadi penyebab gangguan kesehatan lainnya seperti depresi, masalah
tidur, obesitas, gangguan daya ingat dan daya piker dan hipertensi.
Tetapi setidak-tidakny a
saya sudah belajar dari penderitaan-pen deritaan yang saya alami sebelumnya. Bahwa
rasa sakit selain merupakan penderiataan, juga menjadi petunjuk bahwa
ada kerusakan ditubuh kita dan mendorong kita berupaya untuk mencari
kesembuhan. Begitu pula kesunyian ini, betapapun menyakitkan, saya
anggap sebagai mekanisme psikologis yang memberi isyarat bahwa saya
mengalami isolasi dan memotivasi untuk membebaskan diri. Oleh karena itu
saya berusaha (berlebihan kalau saya katakan berjuang) untuk
menghadapinya. Hasilnya tidak menang mutlak, tidak pula kalah total.
Kenyataannya bukan seperti peperangan yang dapat dimenangkan sekali
tempur, tetapi seperti keamanan yang harus dijaga terus menerus. Karena
kesepian itu subyektif, upaya sayapun subyektif menurut kemampuan
pribadi. Saya tidak punya senapan tetapi punya parang. Pukulan saya
tidak keras tetapi saya pandai bersembunyi dan mengelak. Begitu
ibaratnya.
Agama tentu saja merupakan andalan saya.
Orang tua sedikit banyak sudah dapat meresapi arti "alaa bidzikillahi
tatmainnul qulub - bukankah dengan mengingat Allah hati akan tenang?"
Itu merupakan pembebasan dari kesunyian yang cukup dominan.
Bersosialisasi saya anggap bukan bidang saya lagi, karena mobilitas
fisik saya rendah dan saya kurang menikmati suasana bekumpul-kumpul . Rasanya tak mampu dan tak perlu lagi
mencari teman baru. Kerja kantoran sampai tua lebih-lebih lagi
mengisolasi diri dari masyarakat bahkan keluarga. Potensi yang masih
terbuka hanya komunikasi melalui dunia maya. Kalau mau saya masih bisa
mengumpulkan banyak teman, bahkan ber narsis-narsis kalau tega. Media
sosial seperti facebook, twitter dll terbuka untuk komunikasi instan dan
total, tak terbatas oleh waktu atau tempat.
Menurut survei
Asosiasi Pensiunan Amerika 2010, lebih dari sepertiga warga Amerika usia
45 tahun keatas mengaku kesepian. Angka itu 13% lebih tinggi dari 10
tahun sebelumnya. 25 tahun lalu, 10% orang Amerika mengaku tidak punya
teman dekat satupun dan 15% mengaku hanya punya satu teman baik untuk
mendiskusikan hal-hal penting. Ketika penelitian yang sama diulang pada
tahun 2004, 25% responden mengatakan mereka tidak punya teman dekat
untuk diajak bicara, dan 20% hanya punya satu teman dekat. Bagi kita
angka-angka itu menunjukkan makin banyak orang kesepian bukan saja di
Amerika, mungkin juga dikota-kota sebesar Jakarta dimana-mana.
Keanehannya, peningkatan kesepian itu terjadi bersamaan dengan era
komunikasi melalui jejaring sosial yang meningkat tak terkira pesat.
Jangan-jangan ada hubungan antara meningkatnya kesepian dan meningkatnya
hubungan lewat internet. Mengapa orang makin kesepian, padahal mereka
makin terhubung dengan seluruh dunia melalui teknologi? Masalah
"paradoks internet" ini dibahas dengan menarik dalam tulisan Stephen
Marche "Is Facebook Making Us Lonely?" Pengguna Facebook, Twitter, game
online dll lebih banyak kontak dengan orang-orang luar, dengan
mengorbankan hubungan keluarga - atau orang yang memiliki hubungan
keluarga yang memang tidak bahagia mencari persahabatan melalui cara
lain.
Menurut Marche koneksi melalui jejaring sosial itu
bukanlah hal yang sama seperti ikatan pertemanan, dan koneksi instan
bukanlah penyelamatan, bukan jaminan untuk lebih bahagia. Penawar
kesepian tidak cukup sekedar terhubung dengan banyak orang, yang
kebanyakan tak pernah kita temui secara langsung. Dalam penelitian yang
terkenal dilakukan tahun 1950, ketika anak monyet diberi pilihan antara
"induk" yang terbuat dari gulungan kabel dan satu yang terbuat dari
kain lembut, anak monyet lebih memilih pengganti yang halus dan empuk
meskipun ia tidak mengeluarkan susu, dan terutama ketika mereka takut
dan perlu penghibur.Mungk in
kesepian akan terus bertambah jika manusia tidak menyadari pentingnya
hubungan dengan cara lama dengan menyentuh dan disentuh, saling
merangkul, duduk di pangkuan, bersalaman, membelai dan menimang dan jika
tidak dengan manusia lain, bahkan hewan piaraan akan lebih baik dari
laptop anda. Karena itu pilihlah kucing, jangan Laptop.