Oleh: Fahmy Farid Purnama
Prolog
Agama, Islam khususnya, tidak bisa hanya dipandang sebatas dogma
teologis ataupun abstraksi pemikiran belaka. Islam harus juga menjadi
tenaga kebudayaan, memberi arti kreatifitas sekaligus mendorong manusia
untuk menyingkap rahasia-rahasia di balik segala penciptaan. Agama tidak
hanya menegaskan titah ‘langit’, ia juga harus mewakili sekaligus
proyeksi gagasan ‘bumi’; mendekatkan benggang yang menganga agar ‘bumi’
dan ‘langit’ supaya tidak sedemikian berjarak. Sehingga agama tidak
berhenti pada titik semangat ataupun ritual, namun terus bergerak menuju
titik yang paling mampu diabstraksi manusia melalui
penyingkapan-penyingkapan fenomena penciptaan.
Dalam perspektif Muhammed Iqbal, prilaku kehidupan religius sendiri
terpetakan kedalam tiga periode penting: keyakinan (al-îmân), pemikiran
(al-fikr), dan penyingkapan (al-istiksyâf). Pada
periode pertama, agama muncul sebagai totalitas lelaku, sebuah
penghambaan tanpa syarat atau landasan rasional apapun. Tapi jika
ditelisik dari pertumbuhan dan perkembangan batin individu, totalitas
penghambaan tadi akan diikuti oleh pengertian rasional terhadapnya,
sekaligus terhadap sumber paling otoritatif dari agama. Manusia kemudian
mencari landasan prilaku keberagamaan pada pembenaran-pembenaran
metafisis, atau semacam pandangan logis mengenai dunia (penciptaan),
dengan Tuhan sebagai bagian dari pandangan tersebut. Pada periode
terakhir, terjadi pembalikan kesadaran beragama, dari metafisika menuju
dimensi psikis manusia. Agama ditarik ke dalam ruang-ruang paling intim
dari manusia, mengembangkan hasrat untuk terlibat langsung dengan
realitas terakhir. Pada titik ini, manusia menemukan dirinya yang
merdeka, tidak berarti melepaskan diri dari belenggu dogma agama
(syari`at), tapi melakukan penelisikan secara kontinu untuk menyingkap
sumber paling otoritatif dari dan di dalam kesadaran dirinya.[2]
Gradualisasi dalam proses keterbentukan prilaku agama dalam
kesadaran diri manusia ini mendorong pembacaan manusia atas fenomena,
khususnya fenomena sosial, cenderung melahirkan pandangan beragam. Pada
titik ini, Yahya Muhammed dalam buku Al-Qathî`ah baina Al-Mutsaqqif
wa Al-Faqîh mencoba mendedah dua kecenderungan dalam melakukan
pembacaan realitas. Ia melacak metode dan struktur nalar seorang
cendikiawan/budayawan (mutsaqqif) dan seorang agamawan (faqîh)
yang memiliki ‘ketegangan’ tersendiri. Katakanlah, ada semacam
retakan-retakan epistemologi diantara keduanya, terutama retakan yang
dipicu oleh pijakan paradigmatik yang berbeda. Ketegangan ini ia geret
pada konteks legal hukum ketika membaca serta memberikan koridor tegas
atas prilaku manusia dalam realitas nyata melalui kacamata agama. Namun
sedemikian enigmatiknya sebuah realitas, menjadikan pembacaannya selalu
tidak memadai jika hanya berpijak pada pandangan literal teks agama. Ia
harus dipahami menggunakan pendekatan yang juga tak biasa.
Kesadaran batin memang penanda penting bagi manusia dalam setiap
laku beragama, kemudian juga iman yang menemukan
pembenaran-pembenarannya secara logis. Namun harus diingat pula bahwa
manusia tidak pernah sedemikian berjarak dengan realitasnya. Artinya,
kehidupan sosial menjadi entitas terdekat manusia dengan kenyataan,
bukan abstraksi rasional murni belaka. Realitas sendiri selalu meuncul
dalam perwatakan yang tak terduga, bahkan acap menipu. Untuk itu,
prilaku keberagamaan juga harus mampu direlasikan dalam pola kehidupan
nyata, bukan hanya kesadaran batin diri. Sehingga, meminjam perspektif
Gadamer, pernyataan religius (pemaknaan agama) tidak bisa hanya dipahami
sebagai dokumen historis, tapi juga harus dipahami dengan cara
bagaimana ia menunjukan pengaruh penyelamatannya.[3]
Sudah menjadi permasalahn klasik dalam tradisi legal hukum bahwa
hampir semua pakar di dalamnya berusaha mendamaikan antara tuntutan teks
dengan gejolak konteks yang ada. Maka, teks hukum tidak bisa hanya
dipahami sebagai kompilasi hukum yang ketat, baku, dan stagnan, tapi
juga harus mempertimbangkan pengaruh penyelamatannya secara riil ketika
diterapkan dalam menghukumi kasus tertentu. Dalam ruang-ruang legal
hukum inilah Yahya Muhammed menelusuri hingga titik yang paling asali;
stuktur epistemologi.
Memang, sebuah sikap ataupun perspektif tentu memuat ideologi
ataupun motif tertentu. Ia juga memiliki ruang abu-abu di antara dua
karakter yang silih bertegangan. Dalam hal ini, Yahya Muhammed tidak
sedang membincang muatan tersebut, namum melakukan pembacaan secara
lebih umum, dengan mengesampingkan tendensi ideologis atapun motif-motif
di dalamnya. Maka secara umum, buku Al-Qathî`ah baina Al-Mutsaqqif
wa Al-Faqîh sedang membincang retakan-retakan epistemologi paling
tajam antara seorang faqîh yang memulai pembacaan realitas dari
teks, dengan mutsaqqif yang mengambil kecenderungan berbeda;
memulainya dari konteks.[4]
Pijakan dan Arah Prilaku Peradaban
Manusia, dengan segala imajinasi serta arah kehendaknya, tentu
menjadi makhluk yang paling bertanggung jawab dalam mewajahkan agama;
santun, jenaka, bahkan keras. Tak ayal, agama—hampir—pasti muncul dalam
batas kultur dan kesadaran yang bergerak di sekelilingnya. Terjadi
persenyawaan yang sangat intim antara agama yang berada di luar batas
kesadaran manusia dengan perspektif manusia atas agama. Pada titik
inilah nampak semacam proses dialektis ketika gagasan agama mempengaruhi
sistem prilaku yang membentuk konstruk kebudayaan manusia.
Pastinya, proses mewajahkan realitas manusia harus memiliki argumen
dan pijakan paradigma yang jelas. Hanya saja, hal tersebut tidak bisa
serta-merta didominasi ataupun dimonopoli oleh sebuah kecenderungan
pespektif yang tunggal. Dalam spektrum yang paling asali, realitas
selalu menawarkan ruang-ruang bagi aktifitas interpretasi tanpa batas.
Realitas lebih membutuhkan suatu dasar rasional dan kontekstual daripada
hanya sekedar dogma agama. Ketika dasar pembacaan realitas berhenti
pada titik kesadaran dogmatik, pengetahuan justru telah digiring pada
watak ideologis, kemudian tersempitkan lagi pada watak sektarian (idiyûlûjiyâ
al-madzhab), bukan watak epistemologis dan kebermungkinan yang
terbuka. Kenyataan semacam tadi telah menggiring pada usaha pendedahan
dua kecenderungan yang mempunyai peranan penting sekaligus ‘paling
dekat’ dalam kehidupan manusia: faqîh dan mutsaqqif.
Namun sebelum masuk jauh dalam pendedahan mekanisme analitik maupun
struktur nalar, batas abstraksi pengertian mutsaqqif yang
hendak dihadirkan menjadi penting. Sehingga melakukan studi komparatif
diantara keduanya bisa menemukan ruang analisa.
Jika meminjam analisa Al-Jabiri, seorang faqîh cenderung
berpijak pada watak nalar eksplikatif (al-`aql al-bayâniy).
Nalar eksplikasi sendiri secara sederhana bisa difahami sebagai
relasi pemaknaan yang terikat dengan penanda (dalîl) teks
dalam menyingkap suatu pemaknaan yang diinginkan. Penanda tersebut, yang
dalam konteks Islam merujuk pada Wahyu, difungsikan sebagai pijakan
dasar terkait bagaimana menguraikan sesuatu yang nampak problematis
sehingga menjadi terang.[5] Pada titik ini, fungsi teks menjadi kontrol
akal ketika mengabstraksi apa-apa yang bisa diindra. Keterikatan dengan
teks inilah yang menjadikan analisa seorang faqîh lebih
bersifat persepsi murni.[6] Yahya Muhammed sendiri, secara tersirat,
tidak keluar dari pemaknaan semacam ini dalam menguraikan tipikal
pemikiran seorang faqîh.
Berbeda dengan tradisi faqîh, mutsaqqif—sebagai
sebuah kecenderungan diskursif—memang istilah yang terbilang baru
muncul. Ia juga memiliki pengertian yang beragam. Dalam batas abstraksi
terjauh, seorang mutsaqqif merupakan antitesa dari faqîh yang
diwajahkan sebagai sosok terpelajar, dengan pengetahuan dan peta
pemikiran yang luas. Sedangkan faqîh lebih pada sosok terdidik
dengan kecenderung yang spesifik, juga metodologi ketat (model nalar bayâniy).
Identitas mutsaqqif tersebut telah membentuk kepribadian yang
cekatan dan lihai dalam menganalisa sekaligus pembasisan akar suatu
masalah, karena ia melihat suatu permasalahan dari sudut pandang yang
beragam. Ia menaruh perhatian yang cukup intens pada aspek-aspek
sosial-kemasyarakatan, dengan analisa yang selalu berpijak realitas
riil.[7] Sebelum melakukan studi perbandingan tersebut, Yahya Muhammed
melacak dasar-dasar argumentatif terlebih dahulu, sehingga keduanya bisa
dianalisa dalam satu konstruk pemikiran linear.
Jika ditelisik dari pijakan paling asali, baik faqîh
ataupun mutsaqqif mempunyai porsi yang sama dan setara. Pada
prinsipnya, pengetahuan manusia, seperti apapun kecenderungan yang
dimilikinya, selalu berpijak pada akal dan intuisi (al-`aql wa
al-wijdân). Pada titik ini, tidak jarang sebuah pengetahuan bermula
tidak dari dasar-dasar rasional yang sistematis, namun disingkap
melalui pembacaan-pembacaan intuitif. Maka, sikap yang dimunculkan oleh
keduanya tidak bisa dijustifikasi sebagai sikap yang paling otoritatif
dan manunggal terkait suatu keputusan dalam menyikapi gejolak sengkarut
sosial. Karena secara intuitif, baik faqîh ataupun mutsaqqif
mempunyai porsi yang sama.[8]
Adanya kesamaan porsi secara intuitif ini tentu menjadi penanda
penting terkait bagaimana manusia memahami segala penciptaan. Yahya
Muhammed kemudian mencontohkan bagaimana manusia memahami wujud dan
ke-Esa-an Tuhan melalui aktifitas intuitif, sebagai wujud batin yang
tidak memerlukan argumen rasional apapun, namun tentang iman yang
dipahami secara emosional. Dalam hal ini, terjadi pembalikan kesadaran
agama yang justru berpijak pada cara pandang intuitif. Ia kemudian
mengutip perspektif Emile Durkheim dalam buku The Origins of
Religion, bahwa pengetahuan rohani (spiritualitas) dan agama yang
membentuk struktur nalar masyarakat primitif, sama seperti potret
pemikiran logis masyarakat modern. Adapun perbedaan struktur
rasionalitas yang muncul tidak lebih tersebab perbedaan tingkat logika,
bukan terletak pada jenisnya.[9] Sikap Yahya Muhammed ini justru menjadi
pembenaran tersendiri bahwa tidak semua aspek agama merupakan wilayah
abstraksi rasional murni, bahkan pada titik bidik tertentu, nalar
intuitif justru menjadi pijakan penting dalam memaknai penciptaan.
Melalui kesadarannya, manusia menggerakan arah kehendak bebasnya menuju
ruang-ruang baru.
Jika meminjam analisa Sartre, struktur kesadaran manusialah yang
mempengaruhi cara bertindak, memaknai, ataupun menangkap suatu objek.
Mekanisme penangkapan sebuah objek sendiri, secara umum, memiliki dua
tipe; perseptif dan imajinatif. Tipe pertama (perseptif), seseorang
menempatkan suatu objek sebagai entitas yang benar-benar nyata dirasakan
(an act of perceiving). Ia bersinggungan langsung dengan objek
tersebut secara menyeluruh, kemudian menguraikannya dengan utuh,
sehingga kesadaran itu benar-benar merupakan kesadaran yang persis
mengenai objeknya. Sedangkan penangkapan yang bersifat imajinatif lebih
pada bagaimana menyentuh objek, namun dalam potretnya yang tidak
menyeluruh. Ia juga memasukan tindakan keyakinan (an act of belief) di
dalamnya, yakni dengan menempatkan objeknya dalam caranya sendiri
(pemahaman sendiri).[10]
Bisa ditegaskan, kesamaan antara faqîh dan mutsaqqif
terletak pada keterbatasannya dalam menguraikan fenomena yang tidak
bisa dilacak menggunakan nalar demonstratif (burhâniy), sebuah
fenomena yang hanya bisa disentuh oleh nalar intuitif. Agama, pada titik
tertentu, titik yang tidak bisa diabstraksi secara utuh oleh
rasionalitas, tentunya sebatas tentang apa yang diyakini. Iman mewujud
dalam batas-batas gerak intuitif manusia. Sehingga perbedaan yang muncul
dalam pola prilaku keberagamaan hanya terletak pada tigkat kesadaran
suatu peradaban, bukan serta-merta dibatasi oleh nalar demonstratif.
Sikap semacam inilah yang diyakini oleh Thabatabai’ dan Muhammad Baqir
Shadr.[11] Juga dalam konteks semacam ini Al-Ghazali mengatakan, “manusia
yang menyangka bahwa kasyf berpijak pada abstraksi dalil rasional murni
justru telah membatasi rahmat Tuhan yang teramat luas”.[12] Selalu
tersedia peluang dan ruang yang terbuka bagi imajinasi manusia,
mengingat bukankah rasionalitas manusia sendiri merupakan salah satu
bentuk pengejawantahan kosmologi purba?
Berpijak pada cara pandang semacam inilah, Yahya Muhammed memandang
bahwa baik faqîh ataupun mutsaqqif mempunyai potensi
dan hak yang sama dalam menganalisa sengkarut sosial, sekaligus
menawarkan model hukum yang tepat untuk mengatasinya. Hanya saja,
terdapat retakan-retakan epistemologi yang justru menjadi pemicu
ketegangan di antara keduanya. Buku Al-Qathî`ah baina Al-Mutsaqqif
wa Al-Faqîh membidik dua aspek yang menjadi akar ketegangan serta
retakan-retakan epistemologi tadi, baik terkait mekanisme analisis
ataupun struktur nalar. Ia juga mencoba mengidentifikasi sekaligus
menawarkan paradigma baru hasil persenyawaan keduanya yang ia istilahkan
dengan al-mutsaqqif al-dîniy.[13]
Identifikasi Tradisi Faqîh dan Mutsaqqif
Sedemikian dekatnya persinggungan seorang faqîh dengan
realitas telah membentuk ruang keintiman tersendiri dalam proses
pembentukan kehidupan sosial, melebihi tradisi keilmuan Islam lainnya,
seperti filsafat, tashawuf, teologi, tafsir, ataupun hadits.[14] Fikih
dipandang memiliki relevansi sosiologis dan aplikasi praktis berkenaan
dengan norma prilaku dan tata peribadatan yang bisa diukur secara
lahirian. Tak heran fikih menjadi pijakan utama formulasi hukum.
Eksesnya, peranan strategis seorang faqîh dalam tradisi Islam
menjadikannya cukup menonjol dibanding peranan lain.
Mengacu pada kenyataan semacam itu, watak peradaban Islam, paling
tidak secara pengaruh umum dan fenomena kasat mata, boleh jadi dibentuk
oleh tiga unsur dasar: penguasa, faqîh, dan masyarakat umum.
Penguasa memainkan peranan dalam membentuk kecenderungan komunal suatu
peradaban. Faqîh berperan dalam wilayah keilmuan yang berkaitan
dengan permasalahan taklîfiyyah (tuntutan agama). Bahkan pada
titik-titik tertentu, seorang faqîh sering dijadikan alat
pembenaran-pembenaran kekuasaan menggunakan topeng agama, bahkan
ditanamkan secara dogmatik pada masyarakat umum. Kolaborasi kedua elemen
ini telah membentuk ortodoksi yang justru sering mematikan kreatifitas
manusia. Sehingga, masyarakat umum hanya memainkan peranan sebagai
seorang ‘objek’ yang harus taat pada penguasa dan pemuka agama secara
total (taklid buta).[15] Mereka tidak memerankan manusia dalam arti yang
positif, kreatif, maupun progresif.
Kemunculan al-kuttâb yang terwakilkan oleh Ibn Al-Muqaffa`
dan Ibn Khaldun telah menggeser lingkaran watak peradaban Islam tadi.
Keduanya mengkritik tradisi fuqahâ pada sisi paling
tendensiusnya. Bagi Ibn Al-Muqaffa`, pembacaan yang dilakukan para fuqahâ
sering abai terhadap hakikat manusia dan prinsip-prinsip keadilan
sosial. Sedangkan bagi Ibn Khaldun, analisa yang mereka tawarkan sering
berbenturan dengan watak realitas yang pada dasarnya senantiasa
berubah.[16] Adanya kecenderungan demikian—setidaknya—telah menghadirkan
perspektif baru. Lingkaran kesadaran proses pembentukan peradaban tidak
lagi dihegemoni oleh tiga otoritas, namun bergerak dari empat titik
dasar: penguasa, faqîh, al-kuttâb, dan masyarakat
umum. Peranan ini pula yang membuka jalan masuknya periode cendikiawan (daur
al-mutsaqqif) dalam suatu peradaban. Yahya Muhammed kemudian
mencoba menelisik sisi epistemologi seorang mutsaqqif yang
ditengarai terjadi semacam persaingan dan gesekan-gesekan tersendiri,
terutama pada beberapa aspek yang dipicu oleh perbedaan pijakan
paradigmatik keduanya.
Dalam konteks legal hukum masyarakat modern, peradaban Islam telah
mewariskan tradisi faqîh yang teramat melimpah. Namun munculnya
gerakan pembaharuan dan kebangkitan Arab telah memunculkan
gesekan-gesekan peradaban. Para tokoh yang berkecimpung dalam proyek
tersebut mulai menggugat kemapanan. Pendirian sekolah-sekolah umum,
universitas, juga analisa-analisa ilmiah yang berkembang di Barat mulai
diwacanakan, kemudian direalisasikan secara bertahap. Mereka juga mula
melakukan aktivitas penterjemahan, penyederhanaan studi gramatika,
pengadopsian wacana-wacana yang berkembang di Barat, hingga melakukan
pembacaan ulang terhadap turâts. Baik al-mutsaqqif
al-`ilmâniy maupun al-mutsaqqif al-dîniy telah menjadikan
peradaban barat sebagai ‘cermin’, namun tentunya dalam kapasitas dan
kualitas yang berbeda. Hal ini tentu menimbulkan reaksi yang cukup
tegang dari otoritas faqîh yang cenderung menjaga tradisi
secara total, bahkan terkadang membabi-buta. Mesir dan Syam merupakan
dua negara yang pertama kali terkena pengaruh tersebut, pengaruh yang
telah memicu ketegangan antara tradisi faqîh dan mutsaqqif.
Pada babakan tersebut, Al-Azhar mewakiti otoritas faqîh
yang lantang menyuarakan pemeliharaan tradisi secara total, dengan
menolak segala bentuk wacana dari Barat.
Gerakan pembaharuan dan kebangkitan ini juga telah memunculkan
beberapa pemikir sekuler, semisal; Nasif Al-Yaziji, Ahmad Faris
Al-Shidyaq, Butrus Al-Bustani, Adib Ishaq, Ya`qub Sharuf, Jurji Zaidan,
Syibli Syumail, Farah Anton, Jamil Sidqi al-Zahawi, Ahmad Luthfi
Al-Sayid, dan lainnya. Mereka getol mewacanakan kebebasan, kemajuan,
rasionalitas, serta wacana-wacana lainnya yang diadopsi dari tradisi
Barat secara total. Di antara sekolah yang cukup menonjol menyuarakan
gagasan orang-orang sekuler tadi adalah sekolah Butrus Al-Bustani.[17]
Orientasi al-mutsaqqif al-`ilmâniy sendiri selalu berbeda satu
dan lainnya, tergantung arah kecenderungan yang dikedepankannya. Yahya
Muhammed setidaknya memaparkan lima kecenderungan dasar yang dipakai
seorang sekuler: al-`ilmawiy (saintisme), al-mîtâfîziyâiy (metafisik),
al-dzarâi`iy (pragmatisme), al-`aqlâniy (rationalisme),
al-lâ `aqliy (irasionalisme).
Pertama, saintisme meyakini bahwa ilmu adalah satu-satunya
metode untuk memperoleh pengetahuan. Dalam konteks sosial, kebangkitan
peradaban tidak bisa dilakukan menggunakan jalan agama, namun harus
melalui pengetahuan (science). Ada semacam perspektif bahwa
agama hanyalah periode awal cara berfikir manusia yang cenderung
didominasi oleh mitologi dan takhayul. Semenjak munculnya peradaban
Yunani, filsafat kemudian mengambil alih fungsi agama tersebut sebagai
kerangka baru cara berfikir manusia, dengan mendasarkan pada metafisika.
Pada tahapan modern, peradaban harus berpijak pada pengetahuan, bukan
lagi metafisika.
Kedua, metafisika bisa diartikan sebagai studi tentang
realitas terakhir, realitas yang tidak terikat dengan ruang-waktu.
Artinya, realitas sebagaimana terbentuk dalam dirinya sendiri, terpisah
dari tampakan-tampakan yang bersifat ilusif yang terbentuk dalam
persepsi manusia. Metafisika sama sekali belum berhubungan rengan
fenomena partikular apapun, namun menggiringnya pada kajian secara
menyeluruh, koheren, dan konsisten tentang realitas sebagai suatu
keseluruhan yang utuh.
Ketiga, pragmatisme meyakini bahwa kebenaran adalah apa
yang bernilai praktis dalam pengalaman hidup manusia. Ia harus dikaitkan
dengan konsekuensi-konsekuensi riil, sebagai pengejawantahan dari
praktek dan aksi yang bersifat tentatif dan asimtotis. Pragmatisme lebih
mengedepankan kemaslahatan sebagai satu-satunya pertimbangan sosial,
sekaligus mengesampingkan realitas diluar manusia. Bahkan pada titik
tertentu, menutup mata pada nilai-nilai etik.
Keempat, rasionalisme pada dasarnya merupakan pendekatan
filosofis yang menekankan akal budi (rasio) sebagai sumber utama
pengetahuan, semacam abstraksi murni ataupun sistem deduktif yang
terlepas dari pengamatan indrawi. Pemuja rasionalisme memposisikan akal
budi sebagai satu-satunya cara menyingkap hakikat, melakukan kritik,
hingga memutuskan model yang paling tepat dalam proyek kebangkitan
peradaban.
Kelima, irasionalisme secara epistemologis menekankan
bahwa realitas yang bisa ditangkap oleh pencerapan akal budi sejatinya
bersifat irasional; yaitu sejauh kesadaran diri dan model berfikir
manusia mencitrakannya. Dengan demikian, realitas tidak pernah bisa
ditangkap secara utuh oleh bentuk kegiatan manusia yang bersifat
konseptual. Gagasan irasionalisme sangat kental dengan prinsip-prinsip
eksistensialisme (al-wujûdiyyah).
Kecenderungan-kecenderungan yang dibawa oleh al-mutsaqqif
al-`ilmâniy tadi telah mewacanakan ketegangan dan persaingan dengan
tradisi faqîh. Namun bagi al-mutsaqqif al-dîniy,
semua itu sama sekali tidak serta merta harus dipertegangkan. Sebagai
contoh kasus, pegiat saintisme cenderung memandang bahwa gagasan agama
dengan ilmu pengetahuan merupakan dua entitas yang saling berlawanan.
Yahya Muhammed kemudian mengutip perkataan Ibn Hanbal (salah satu
otoritas yang mewakili tradisi faqîh) yang meyakini bahwa
manusia diperintahkan untuk mengambil pengetahuan dari ‘atas’, atau
penjelasan teks Wahyu. Padahal dalam perspektif al-mutsaqqif
al-dîniy, hal tersebut bukan didasari oleh adanya perbedaan
hakikat, namun lebih pada metode penyingkapan. Artinya, cara menyingkap
suatu fenomena dan rahasia-rahasia penciptaan, saintis lebih mendasarkan
pada metode penelusuran secara ilmiah, sedangkang faqîh mengambil
jalan penjelasan teks Wahyu. Begitu juga terkait perspektif bahwa akal
budi, sedari titik paling asali, bertentangan dengan agama yang
dicitrakan sebagai bentuk dari irasionalitas manusia. Hal ini lagi-lagi
dipicu oleh cara menyingkap, bukan hakikat perbedaan yang perlu
dipertentangkan.[18] Tradisi yang muncul dari kecenderungan sekuleristik
semacam ini hendak menutup pintu bagi realitas diluar kesadaran
manusia, seolah tidak ada peluang bagi agama dalam peradaban manusia.
Agama hanyalah sisa-sisa rasionalitas purba.
Pada titik ini, keduanya justru harus saling saling melengkapi.
Kemunculan al-mutsaqqif al-dîniy tentu menjadi penanda penting
dalam proses mendamaikan keduanya. Dengan berpijak pada agama, ia
memerankan fungsi sebagai sebagai kontrol sosial agar tidak ‘liar’ dan
memiliki kejelasan arah. Sedangkan prinsip-prinsip yang mereka adopsi
dari tradisi Barat menjadi sebagai kontrol—pemaknaan—agama supaya
dinamis, bukan statis apalagi anarkis. Sehingga agama, Islam khususnya,
tidak serta-merta bersifat dogma teologis belaka, namun bergerak menuju
fungsi tenaga kebudayaan, memberi arti kreatifitas sekaligus mendorong
manusia untuk menyingkap rahasia-rahasia di balik segala penciptaan.
Kecenderungan al-mutsaqqif al-dîniy ini telah memunculkan
pemikir-pemikir seperti; Rifa`ah Thahthawi, `Ali Mubarak, Khairuddin
Al-Tunisiy, Jamaluddin Al-Afghani, Abdurrahman Kawakibiy, Muhammad
Abduh, Muhammad Iqbal, dan lainnya. Mereka mencoba mendamaikan
ketegangan intelektual tadi. Rifa`ah Thahthawi sendiri, sebagai pemikir
yang muncul dari tradisi Al-Azhar, merupakan pelopor pemikir
kontemporer yang berhasil mendamaikan tradisi Arab dengan tradisi Barat,
merelasikan tradisi Al-Azhar dengan tradisi Barat secara proporsional.
Yahya Muhammed sendiri mencoba memunculkan identitas semacam ini.
Baginya, harus dilakukan pembacaan ulang terhadap agama, perluasan
sumber pengetahuan, pemunculan kembali semangat agama yang mengedepankan
kemaslahatan manusia, semangat hak asasi manusia dalam konteks
kehidupan berbangsa dan bernegara, fleksibilitas, dan lain sebagainya,
tanpa mencerabut dari prinsip ataupun nilai dasar agama. Dengan
demikian, agama tidak berhenti pada penjelasan Kitâbullah
al-tadwîniy (teks Wahyu), tapi mempertimbangkan juga Kitâbullah
al-takwîniy (penciptaan), sebagai kesatuan integral dari
perspektif peradaban.
Jika melakukan pembacaan inter-tekstual, proyek Yahya Muhammed ini
sendiri memiliki semangat yang sama dengan Muhammad Iqbal dalam buku Reconstruction
of Islamic Thought ketika membincang masalah ruh peradaban,[19]
ataupun Kuntowidjoyo dalam buku Islam Sebagai Ilmu.[20] Namun
apakah memang demikian adanya? Hal tersebut tentunya memerlukan
penjelasan lain, sebuah penjelasan yang bersifat epistemologis. Sehingga
setiap gagasan yang diwacanakannya tadi tidak berhenti pada titik
identifikasi tabiat dan model analisa saja, tapi masuk jauh ke dalam
struktur nalar. Yahya Muhammed sendiri menjelaskan hal tersebut ketika
membincang masalah retakan-retakan epistemologi yang bersifat struktural
(al-qathî`ah al-binyawiyyah).
Kerangka Struktur Nalar Faqîh dan Mutsaqqif
Bagi penulis, Abdul Majid Shagir termasuk sosok pemikir yang
berhasil memilah terlebih dahulu antara kuasa ideologis/politis dengan
kuasa ilmu (epistemologis) ketika menganalisa perkembangan pengetahuan
dalam buku Al-Ma`rifah wa Al-Sulthah. Kehati-hatian atau malah
bisa jadi ‘sikap apologetis’ coba dihadirkan Yahya Muhammed ketika
membincang al-qathî`ah al-binyawiyyah, dengan membatasi
analisanya pada aspek-aspek epistemologi dari faqîh dan mutsaqqif,
sekaligus menutup mata pada motif-motif politis ataupun ideologis.
Sehingga apa yang sedang dianalisanya bukan sedang melakukan
pengkotak-kotakan secara tendensius ataupun pembacaan fragmentatif,
namun melacak keduanya dari sisi paling tendensius. Pertimbangannya,
setiap gagasan yang muncul, tentunya memiliki ‘titik radikal’, ego,
hingga motif tertentu. Titik inilah yang sering memunculkan apa yang
disebut ‘klaim’. Maka, baik faqîh maupun mutsaqqif—pada
titik paling radikal dan statis—memiliki standar-standar baku yang
cenderung bermain dalam ruang-ruang tertutup. Hal ini diasumsikan
menjadi pemicu ketegangan-ketegangan diantara keduanya.
Untuk melacak ruang ketegangan tersebut, Yahya Muhammed tidak
menggunakan pendefinisian ataupun identifikasi menggunakan lawan kata
(antonim), mengingat perbedaan karakter nalar faqîh dan nalar mutsaqqif
tidak terbentuk secara sempurna dan mutlak. Pada momen tertentu,
seorang mutsaqqif kadang muncul dalam perwatakan faqîh, begitu
juga sebaliknya.[21] Dengan demikian, ia menelisik menggunakan
pendekatan kualitatif (al-manhaj al-kaifiy), bukan kuantitatif (al-manhaj
al-kammiy).[22] Pilihan ini didasarkan pada kenyataan bahwa
formulasi nalar faqîh dibentuk oleh tradisi keilmuan yang cukup
lama dan mengakar kuat, terutama keterkaitannya dengan epistemologi bayâniy,
dengan teks sebagai acuan pertamanya.
Teks, yang dalam tradisi faqîh tertuju pada Al-Qur’an dan
Sunnah, menjadi unsur terpenting dalam proses membangun suatu peradaban.
Bahkan menjadi adagium tersendiri; “Seandainya tidak ada teks, tak
pernah akan ada faqîh”. Fakta-fakta semacam ini tentu akan
memudahkan identifikasi tradisi fuqahâ daripada tradisi mutsaqqif
yang mengambil jalan berbeda. Ia lebih terikat dengan fenomena
hingga titik yang paling partikular. Ia lebih banyak terlibat langsung
dengan penanda objek riil (dalâlah al-maudlû` al-khârijiy) daripada
penanda makna teks (dalâlah al-nash). Tak ayal, identifikasi
atas tradisi keilmuan yang ditawarkan oleh mutsaqqif akan
sangat beragam, sebanyak ragam fenomena yang berhasil mereka kaji.
Walaupun demikian, pada titik tertentu, dengan menggunakan pendekatan
kualitatif ini tentunya, Yahya Muhammed melihat ada kecenderungan yang
identik (persis) di dalam tradisi mutsaqqif itu sendiri. Dengan
demikian studi perbandingan antara nalar faqîh maupun mutsaqqif
menjadi mungkin.[23]
Dalam mengurai struktur nalar faqîh maupun mutsaqqif, Yahya
Muhammed membidik dari tiga aspek dasar. Pertama, sumber asasi
pengetahuan (al-mashdar al-ma`rifah) yang membincang masalah
akar kemunculan setiap pengetahuan. Dalam buku ini ia petakan kedalam
tiga macam: teks, konteks, dan akal.[24] Kedua, mekanisme
pengetahuan (âliyat al-ma`rifah) yang membincang metode
formulasi dan pembasisan suatu pengetahuan, semacam cara menyingkap dan
mengaplikasikannya. Ketiga, hasil serta orientasi pengetahuan (muwalladât
wa muwajjahât al-ma`rifah).[25]
Harus disadari bahwa teks Wahyu dan konteks (penciptaan) merupakan
pengejawantahan dari Kitâbullah al-tadwîniy dan Kitâbullah
al-takwîniy. Keduanya tentu mempunyai porsi yang sama sebagai
sumber pengetahuan. Walaupun demikian, jika ditinjau dari segi al-mashdar
al-ma`rifah, faqîh maupun mutsaqqif berangkat
dari pijakan paradigma yang berbeda. Terjadi semacam stratifikasi yang
tidak bisa didamaikan oleh masing-masing kecenderungan. Seorang faqîh
lebih memprioritaskan Kitâbullah al-tadwîniy, sedangkan mutsaqqif
justru mempunyai totalitas terkait Kitâbullah al-takwîniy.
Secara umum, struktur kesadaran nalar faqîh telah
mendudukan teks Wahyu pada posisi teratas, tanpa melibatkan sumber
pengetahuan lainnya. Pada titik ini, realitas seolah-olah menghilang
dari kesadarannya (al-jânib al-la syu`uriy). Dengan demikian,
teks Wahyu telah diposisikan sebagai sumber formulasi pengetahuan (al-jânib
al-syu`ûriy).[26] Keterikatan seorang faqîh dengan
realitas hanya terjadi pada momen-momen tertentu, semisal adanya
kebutuhan mendesak ataupun dalam kondisi darurat. Realitas menjadi
sebatas nalar tidak sadar dari seorang faqîh. Ia tidak memiliki
sensitifitas konteks yang cukup mumpuni (kurang penting). Jikapun
konteks dijadikan pertimbangan, itu hanya dijadikan sumber sekunder. Hal
ini bisa dilajak dari bagaimana seorang faqîh menganalisa
setiap fenomena yang tidak ditemukan dalam teks, dengan langsung
menggunakan pendekatan analogi (qiyâs), tanpa ada pertimbangan
realitas ataupun gejolak semacam apa yang dihadapi oleh masyarakat.
Struktur nalar faqîh cenderung bermula dari teks, dan kembali
ke teks.
Berbeda dengan kecenderungan mutsaqqif al-dîniy yang
justru menjadikan konteks sebagai pijakan awal formulasi pengetahuan.
Artinya, teks lebih diposisikan sebagai sumber pengetahuan yang
memerankan fungsinya sebagai kontrol dan nilai esensial dari suatu
ajaran, sehingga orientasinya tidak ‘liar’ dan memiliki kejelasan arah.
Fungsi formulasi hingga titik paling partikular justru berangkat dari
konteks. Mutsaqqif tidak memahami teks secara literal, namun
masuk pada kandungan universalnya, sebagai bentuk pengejawantahan dari mashâlih
al-mujtama` (kemaslahatan sosial).[27] Sehingga watak hukum tidak
hanya tertuju pada bentuk literalnya saja, namun juga bergerak
tertuju pada isyarat teksnya (isyârat al-nash), bahkan menjadi
pijakan utama.[28]
Pada titik lain, ketegangan keduanya juga terjadi pada tataran âliyat
al-ma`rifah. Mekanisme pemunculan pengetahuan ataupun
analisa-analisa sosial yang berpijak pada konteks dan penalaran atasnya,
bagi seorang faqîh, sangat rentan dengan hawa nafsu manusia.
Akal juga sama sekali tidak bisa dijadikan pijakan dalam untuk menemukan
hakikat kemaslahatan manusia, mengingat pada moment tertentu hanya akan
menjerumuskan pada penghapusan nilai-nilai syari`at. Untuk itu, seorang
faqîh memijakan analisanya pada sumber paling otoritatif dan
‘terbebas’ dari hawa nafsu; yaitu teks Wahyu. Tak ayal, realitas bagi
seorang faqîh justru menjadi objek hukum, bukan subjek yang
turut menawarkan perspektif bagi manusia.[29] Sedangkan mekanisme
pemunculan pengetahuan seorang mutsaqqif lebih dibatasi oleh
pergerakan konteks sebagai pijakan asali formulasi nalar.[30] Maka yang
menjadi penting untuk diidentifikasi di sini terkait cara berfikir
esensialis (al-tafkîr al-mâhuaiy) dengan kontekstualis (al-waqâi`iy).
Sederhananya, cara berfikir esensialis mengacu pada aspek-aspek
permanen dan universal. Sedangkan cara berfikir kontekstualis lebih
pada aspek yang berubah-ubah, parsial, ataupun fenomenal.[31] Sebagai
permisalan, teks Wahyu menjelaskan secara gamblang untuk memerangi
orang-orang musyrik, kecuali perempuan dan anak-anak. Dari wacana
tersebut bisa ditarik prinsip-prinsip universal menggunakan cara
berfikir esensialis bahwa, kapan-kali seorang muslim menemukan laki-laki
musyrik yang sudah dewasa (al-bhulûgh), maka ia wajib memeranginya.
Kewajiban tersebut sama sekali tidak mempertimbangan konteks apapun. Di
sisi lain, pemunculan wacana menggunakan cara berfikir kontekstualis
akan menjadi sangat berbeda. Ada pertimbangan-pertimbangan sosiologis
yang juga dilibatkan ketika melakukan pembacaan teks Wahyu. Artinya,
memang benar memerangi orang musyrik itu merupakan keharusan, namun
manusia juga dituntut untuk mengedepankan nilai-nilai toleransi maupun
humanisasi.[32] Sehingga setiap individu perlu memiliki kemampuan
abstraksi dan pertimbangan matang agar sehingga setiap peranan dalam
setiap tatanan sosial, secara tidak langsung, akan menemukan cara
bagaimana membatasi diri.[33]
Sedangkan pada tataran muwalladât wa muwajjahât al-ma`rifah, struktur
nalar cenderung bersifat harfiyyah (literal). Sehingga
sejauh apapun penalaran yang digunakan, ia akan dibatasi oleh proyeksi
teks dalam membaca fenomena hingga titik paling partikular. Tak ayal,
pengetahuan yang dimunculkannya cenderung bersifat parsial (juziyyah)
dan fragmentatif (tajzîiyyah), tanpa mampu menyentuh
unsur-unsur universal dari teks. Sehingga bisa ditegaskan bahwa struktur
nalar faqîh bersifat bayâniy yang berusaha
menjelaskan maksud teks, sekaligus mengaplikasikannya dalam realitas
nyata, tanpa perduli kesadaran, arah prilaku, maupun arah kehendak dari
suatu peradaban; bahwa pertimbangan atau ungkapan apapun harus dilihat
dari keumumannya, tidak dilihat dari kekhususan sebab-sebab yang
mendasarinya.[34]
Kecenderungan al-mutsaqqif al-dîniy justru menjadikan teks
Wahyu, konteks, dan akal sebagai unsur pembentuk suatu peradaban,
saling mengisi dan memadatkan rongga-rongga menganga diantara ketiganya.
Teks Wahyu tidak dipahami secara parsial dan fragmentatif, namun
dibidik dari gagasan-gagasan universalnya. Akal, selain sebagai
perangkat untuk menganalisa, difungsikan sebagai penyingkap setiap
keragaman fenomena penciptaan. Sedangkan keragaman konteks menjadi dan
fenomena penciptaan menjadi landasan penyingkapan pengetahuan (emedan
eksperimen) hingga titik yang paling partikular.[35] Dengan demikian,
agama di hadapan mutsaqqif al-dîniy mempunyai arti kreatifitas,
bukan reaktif, tapi pro-aktif.
Epilog
Setidaknya, buku ini mengajarkan kita untuk tidak menyikapi
fenomena apapun secara emosional, sentimentil, dan tergesa-gesa, namun
mampu dihadirkan secara analitis. Sebuah analisa atas kecenderungan
tertentu, tidak bisa serta-merta dibaca menggunakan
pembenaran-pembenaran atas arogansi kultural, egoisme sektarian,
sentimen ideologi, hingga narsisme identitas. Memang, setiap gagasan
yang muncul, kalau mau jujur, tentunya memiliki ‘titik radikal’, ego,
hingga motif tertentu. Titik inilah yang sering memunculkan apa yang
disebut ‘klaim’. Maka, istilah-istilah yang provokatif, justifikatif dan
cenderung menyudutkan beberapa kelompok sepantasnya dihindari.
Dalam hal inilah, Yahya Muhammed berhasil mendedah setiap kecenderungan
yang muncul secara ilmiah.
_________________________________
[1] Dipresentasikan dalam acara Bedah Buku kerjasama Al-Mîzân
Study Club dengan Kekeluargaan Kemass dan Perpustakaan
Abdusshamad Al-Palimbani, Selasa, 11 September 2012
[2] Dalam bukunya, Iqbal bukan sedang melakukan pengkotakan prilaku
keberagamaan, namun mencoba mendamaikan antara iman, rasionalitas dan
penyingkapan. Sehingga agama tidak menjadi statis, tidak pula liar.
Lihat: Muhammad Iqbal, Tajdîd Al-Tafkîr Al-Dîniy, diterjemahkan
dari judul aslinya: The Reconstructions of Religious Thought in
Islam oleh Abbas Mahmud, Dar Al-Hidayah, Kairo, cet. II,
2000, h. 214
[3] Hans-George Gadamer, Kebenaran dan Metode, diterjemahkan
dari judul aslinya: Truth and Method oleh Ahmad Sahidah, Pustaka
Pelajar, Yogyakarta, cet. II, 2010, h. 371
[4] Harus ada ketegasan terlebih dahulu di sini bahwa kecenderungan
seorang faqîh yang memulai analisanya dari teks, bukan berarti
mereka abai terhadap konteks yang ada. Namun dipahami sebagai sisi
diskursif yang dipahami secara sadar (al-jânib al-syu`ûriy).
Sedangkan konteks cenderung menjadi sisi tak sadar (al-jânib
al-lâ-syu`ûriy). Sedangkan seorang mutsaqqif justru
mengambil kecenderungan berbeda.
[5] Dalam pemaknaan Al-Syafi`i, bayân sendiri merupakan isim
jâmi` (kata plural/kata benda lebih dari dua item) yang
menunjukan substansi pemaknaan secara universal (mujtami`ah
al-ushûl), juga menyimpan cabang pemaknaan yang kompleks (mutasya`ibah
al-furû`). Secara umum, metode ini digunakan untuk menyingkap
relasi kata dan makna yang digali dari petanda-petanda dalam teks.
Lantas dalam konteks Ushul Fikih, pendekatan bayân ini
digunakan Al-Syafi`i yang terangkum ke dalam empat perwatakan: Pertama,
sebentuk pemaparan hukum yang hadir secara tegas dalam teks
Al-Qur`an, tanpa memerlukan penjelasan lanjut (teks eksplisit). Ketika
perwajahannya seperti ini, maka konsekuensi hukum berhenti pada tataran
literal (dzâhir). Kedua, sebentuk pemaparan tegas teks
Al-Qur`an, namun memerlukan penjelasan lanjutan dalam menyempurnakan
pemaknaannya. Ketiga, sebentuk pemaparan hukum yang dimunculkan
dari pemaknaan umum teks Al-Qur`an (mujmalah), lantas
perinciannya dipaparkan Nabi Saw.. Keempat, sebentuk pemaparan
hukum yang hanya dijelaskan Sunnah. Kelima, ijtihad (dalam
pemaknaan Imam Syafi`i yang merujuk pada model qiyâs) dengan
menggali langsung pada Al-Qur`an dan Sunnah. Selengkapnya lihat:
Muhammad ibn Idris Al-Syafi`i, Al-Risâlah, diulas dan
dikomentari oleh Abd Al-Fath Kabbarah, Dar al-Nafais, Beirut, cet. I,
1999, h. 35-38
[6] Mohammad Abied Al-Jabiri, Bunnyah Al-Aql Al-Arabiy,
Markaz Dirasat Al-Wahdah Al-`Arabiah, Beirut, cet. I, 2007, h. 13
[7] Yahya Muhammed, Al-Qathî`ah baina Al-Mutsaqqif wa Al-Faqîh,
Al-Intisyâr Al-`Arabiy, Libanon, cet. I, tt, h. 37-39
[8] Ibid., h. 15
[9] Ibid., h. 16-17
[10] Sayyidati Muniroh, Filsafat Eksistensialisme Jean-Paul
Sartre, Kanisius, Yogyakarta, cet. I, 2011, h. 153
[11] Yahya Muhammed, Al-Qathî`ah baina Al-Mutsaqqif wa
Al-Faqîh, op. cit., h. 18-19
[12] Abu Hamid Al-Ghazali, Al-Munqidz min Al-Dlalâl, Al-Hikmah,
Damaskus, cet. I, 1994, h. 45. Secara umum, al-kasyf merupakan
proses penyingkapan yang berpijak pada al-`aql al-`irfâniy
(nalar intuitif)
[13] Secara umum, kecenderungan mutsaqqif yang memulai
pembacaan fenomena sosial dari konteks ini terpetakan ke dalam dua
identitas dasar: al-mutsaqqif al-dîniy yang masih mengikatkan
diri dengan nilai-nilai agama, dan al-mutsaqqif al-`ilmâniy
(sekuler) yang justru tidak terikat dengan nafas agama apapun. Identitas
mutsaqqif terakhir inilah yang sering bersitegang dengan
kecenderungan seorang faqîh secara frontal. Katakanlah
sekuler yang berpijak pada totalitas konteks, tanpa mempertimbangkan
teks, menggiringnya pada perspektif liberalisasi manusia yang paling
radikal. Sedangkan faqîh yang keukeuh dengan pijakan
teksnya yang justru mematikan dialektika manusia itu sendiri. Lihat:
Yahya Muhammed, Al-Qathî`ah baina Al-Mutsaqqif wa Al-Faqîh, op.
cit., h. 39
[14] Bagi Yahya Muhammed, tradisi filsafat, tashawuf, teologi,
tafsir, ataupun hadits sama sekali tidak bersinggungan secara langsung
dengan struktur sosial. Pertimbangannya, tradisi filsafat hanya bisa
dicerap setiap personal yang memiliki daya pikir yang tinggi, melewati
batas-batas rasionalitas masyarakat awam. Tradisi tashawuf, pada titik
tertentu, cenderung memisahkan diri realitas. Tradisi teologi lebih pada
abstraksi murni yang jauh dari sengkarut sosial. Serta tradisi tafsir
dan hadits cenderung berdialektida dalam tataran teks an sich, menjauh
dari pengejawantahan arah kehendak manusia. Lihat: Ibid., h.
40
[15] Jika mengikuti bangunan logika Yahya Muhammed yang mengutip
Al-Amidiy dan Al-Syaukaniy, maksud taklid di sini sebagai keyakinan atau
kepercayaan atas suatu paham (pendapat) ahli hukum tanpa mengetahui
dasar atau alasannya. Sehingga faqîh yang dimaksud oleh Yahya
Muhammed dibatasi ketika otoritas yang dimilikinya mengalami semacam
formalisasi yang menimbulkan ortodoksi prilaku beragama yang cenderung
hegemonial (harakah al-taqlîd wa al-jumûd al-madzhabiy). Lihat:
Yahya Muhammed, Al-Ijtihâd wa Al-Taqlîd wa Al-Itibâ` wa Al-Nadhar, Al-Intisyâr
Al-`Arabiy, Libanon, cet. I, 2000, h. 91
[16] Ibid., h. 41
[17] Ibid., h. 44-45
[18] Selengkapnya lihat: Ibid., h. 50-59. Lihat juga:
Lorens Bagus, Kamus Filsafat, PT Gramedia Pustaka Utama,
Jakarta, cet IV, 2005, h. 371, 624, 877, 929, dan 966
[19] “Muhammad saw. telah naik ke langit tertinggi lalu kembali
lagi. Demi Allah aku bersumpah, seadnainya aku telah mencapai tempat
itu, aku tidak akan kembali lagi”. Iqbal menukil pernyataan ini
dari Abdul Quddus (seorang sufi dari Ganggah). Bagi dia, satu kalimat
ini mengandung perspektif sekaligus konsekuensi yang sangat tajam. Ada
semacam perbedaan psikologis antara kesadaran profetik/kenabian (prophetic
consciousness) dengan kesadaran mistik (mystic consciousness).
Manusia yang menapaki lorong-lorong mistisisme pastilah enggan kembali
lagi dari suasana syahdu, ketentraman jiwa yang ia peroleh dari
‘pengalaman tunggal’ (unitary experience) itu. Tapi kembalinya
seorang nabi mengandung nilai lebih bagi tatanan sosial dan kebudayaan
manusia. Ia menyisipkan diri dalam ruang-waktu untuk menjaga laku
sejarah manusia, sekaligus menciptakan satu dunia ideal yang baru.
Kembalinya nabi ke bumi selalu memberi arti kreatif. Semangat
kreatifitas inilah yang hendak diwacanakan oleh Iqbal, sehingga agama ia
citrakan sebagai kemungkinan yang terbuka, bukan hanya tentang ‘langit,
namun juga ‘bumi’. Lihat: Tajdîd Al-Tafkîr Al-Dîniy, op., cit,
h. 147-148
[20] Menurut Kuntowijoyo, selama ini ada dua model pembacaan utama
terkait bagaimana mencari pembenaran-pembenaran prilaku manusia dalam
teks Wahyu, yaitu Dekodifikasi (penjabaran) dan Islamisasi. Kedua model
ini cenderung berusaha mengembalikan segala fenomena kepada teks.
Dekodifikasi sendiri merupakan usaha menjaga Islam tetap pada asasnya.
Hal ini dilakukan supaya ilmu agama tetap konsisten, tidak tercerabut
dari akarnya. Al-Qur’an dan Sunnah kemudian dijabarkan (dekodifikasi) ke
dalam ilmu-ilmu agama, seperti tafsir, tashawuf, hingga fikih. Dengan
kata lain, hadir semacam pembacaan sebuah [T]eks (Al-Qur’an dan Sunnah)
dijabarkan ke dalam [t]eks (tafsir, tashawuf hingga fikih). Sedangkan
Islamisasi merupakan model pembacaan yang berusaha mengembalikan
pengetahuan pada nilai-nilai teologis (tauhid), sebagai potret kesatuan
pengetahuan, kesatuan kehidupan dan kesatuan sejarah. Artinya terjadi
semacam gerakan pembacaan yang dimulai dari konteks kepada teks, dengan
mengembalikan ilmu pengetahuan pada pusatnya, tauhid. Gerakan Islamisasi
pertama kali dimunculkan oleh Ismail Raji Al-Faruqi pada tahun 1980-an.
Tapi sebelumnya sudah dicetuskan oleh Naquib Al-Attas dari Malaysia.
Kuntowijoyo sendiri menawarkan model pembacaan Demistifikasi, sebagai
upaya menghubungkan kembali jarak yang terbentuk akibat ketegangan teks
dan konteks, sehingga ada relasi yang sangat intim antara keduanya.
Keterangan lebih lengkap lihat: Kuntowijoyo, Islam Sebagai Ilmu:
Epistemologi, Metodologi dan Etika, Tiara Wacana, Yogyakarta, cet.
II, 2006, h. 5-10
[21] Yahya Muhammed mencontohkan bagaimana sosok Muhammad Abduh, di
mata Tayyeb Tizini yang memiliki kecenderungan Marxis itu, dicitrakan
sebagai sosok ortodoks. Padahal di mata lainnya, ia justru dipandang
sebagai tokoh liberal. Lihat: Yahya Muhammed, Al-Qathî`ah baina
Al-Mutsaqqif wa Al-Faqîh, op. cit., h. 48
[22] Kualitas adalah ketertentuan objek, dengan mendudukan objek
kajian sebagai objek itu sendiri, bukan objek lain, juga berbeda dengan
objek lainnya. Pendekatan kualitatif terikat kepada objek sebagai
keseluruhan. Pendekatan kualitatif lebih beroriantasi pada gejala-gejala
yang bersifat alamiah dari suatu objek, baik berhubungan dengan sifat,
atribut, ataupun karakteristik suatu objek. Yahya Muhammed sendiri, pada
tahapan pertama, melakukan abstraksi terkait setiap kondisi riil suatu
tatanan sosial beserta elemen-elemen yang mempengaruhinya. Setelah itu
dilakukan analisa mendalam untuk mengidentifikasi semua unsur pembentuk
tadi. Selengkapnya lihat: Yahya Muhammed, Al-Qathî`ah baina
Al-Mutsaqqif wa Al-Faqîh, op. cit., h. 89-90. Lihat juga: Lorens
Bagus, Kamus Filsafat, op., cit, h. 505
[23] Yahya Muhammed, Al-Qathî`ah baina Al-Mutsaqqif wa
Al-Faqîh, op. cit., h. 94-95
[24] Identifikasi ketiga unsur ini ia jelaskan lebih jauh dalam
buku Jadaliah Al-Khithâb wa Al-Wâqi`. Yahya Muhammed
menjelaskan bahwa teks Wahyu, meskipun dalam dogma Islam diposisikan
sebagai wicara Tuhan yang berbeda dengan wicara manusia, tapi
bagaimanapun juga kenyataannya menggunakan bahasa yang digunakan manusia
yang notabene sangat dipengaruhi oleh pemaknaan-pemaknaan
`urfiyyah. Jika merujuk pada pemetaan yang dilakukan Al-Razi
dalam buku Al-Mahshûl fî ‘Ilm Ushûl Al-Fiqh, sikap
Yahya Muhammed ini mempunyai kecenderungan yang sama dengan perspektif
bahwa makna kata bisa hadir dalam watak yang determinan (yaqîniyyah)
tidak bisa dengan sendirinya, tapi selalu melalui
pemaknaan-pemaknaan yang tersepakati bersama secara turun-temurun (tawâtur) dan
persaksian terhadap kontes (musyâhadah), ataupun melalui
simbol-simbol yang bisa diindra terlebih dahulu. Sehingga upaya
pemunculan makna selalu didasarkan pada bagaimana manusia melakukan
pencerapan fenomena kesehariannya, kemudian dibahasakan (ishthilâhiy).
Lain pada itu, kenyaraan kehidupan sosial menjadi entitas terdekat
manusia dengan kenyataan. Ia adalah realitas paling nyata dari kesadaran
manusia. Sehingga, setiap aspek manusia selalu dibatasi oleh
realitasnnya tersebut, baik pola pikir, intuisi maupun kesadarannya.
Sedangkal akal memiliki kemampuan abstraksi, baik pada tataran abstaksi
akal budi murni, realitas, maupun metafisik. Selengkapnya lihat: Yahya
Muhammed, Jadaliah Al-Khithâb wa Al-Wâqi`, Al-Intisyâr
Al-`Arabiy, Libanon, cet. I, 2002, h. 15, 25 dan 30. Bandingkan dengan:
Fakhruddin Al-Razi, Al-Mahshûl fî ‘Ilm Ushûl Al-Fiqh, Dar
Al-Salam, Kairo, cet. I, 2011, vol. I, h. 138-139
[25] Yahya Muhammed, Al-Qathî`ah baina Al-Mutsaqqif wa
Al-Faqîh, op. cit., h. 97
[26] Padahal, kenyataan krusial bahwa teks Wahyu, baik Al-Qur’an
maupun Hadits, tidak bisa meng-cover ragam fenomena keseharian
manusia hingga bentuknya yang paling partikular dan unik sesuai dengan
kesadaran masanya. Hal ini bahkan jauh hari telah ditegaskan ulama
semisal Ibn Miskawaih dalam Al-Hawâmil wa Al-Syawâmil hingga
Al-Ghazali dalam Fadlâih Al-Bâthiniyyah. Namun jangan dipahami
bahwa keterbatasan teks Wahyu ini semerta menciutkan atau bahkan
menghilangkan sifat dasarnya yang sakral itu. Karena jika kita pinjam
analisa filsafat linguistika, keterbatasan bahasa dalam
mengartikulasikan ragam fenomena manusia mempertimbangkan pengalaman
nyata selalu lebih luas, lebih dalam dan lebih rumit dari sekedar apa
yang terbahasakan. Tak ayal, fenomena yang terbahasakan pada dasarnya
sedang mengalami semacam penciutan pengalaman. Bahasa sepenuhnya
kesulitan memotret keragaman itu dalam bentuk yang paling utuh, atau
bahkan memang tidak bisa!
[27] Selengkapnya bisa di lihat: Ibid., h. 101-110
[28] Keberhasilan Al-Syatibiy dalam memasukan unsur etik dalam
formulasi nalar fikih, sehingga teks tidak dipahami sebatas bentuk
literalnya saja, namun juga mempertimbangkan kandungan isyarat
di dalamnya ini berhasil dipetakan oleh Taha Abdurrahman dalam buku Tajdîd
Al-Manhaj fî Taqwîm Al-Turâts
[29] Dalam perspektif Izzuddin ibn `Abd Al-Salam, ketika
kemaslahatan manusia bersifat duniawi, akal mempunyai porsi yang cukup
krusial, bahkan menjadikan tradisi, penelitian, hingga asumsi-asumsi
sebagai pijakannya. Selengkapnya lihat: Ibid., h. 114-115.
Bandingkan dengan Izzuddin ibn `Abd Al-Salam, Al-Qawâ`id Al-Kubrâ;
Qawâid Al-Ahkâm fî Ishlâh Al-Anâm, Dal Al-Qalam, Damaskus, vol. I,
h. 13
[30] Ibid., h. 117
[31] Yahya Muhammed, Jadaliah Al-Khithâb wa Al-Wâqi`, op.
cit., h. 51
[32] Ibid., h. 53-54
[33] Bagi Yahya Muhammed, pertentangan wacana yang secara kasat
mata muncul dari teks Wahyu bukan menjadi permasalahan mendasar,
mengingat nilai-nilai esensial yang silih bertentangan tadi memungkinkan
terjadi. Sehingga yang perlu mendapat perhatian bukan pada
pertentangannya, namun kesiapan sosial (konteks). Karena hal tersebuj
pada dasarnya dipicu oleh konteks yang beragam dan senantiasa berubah.
Maka sejatinya setiap peranan harus memiliki kemampuan abstraksi dan
pertimbangan. Ibid., h. 60
[34] Yahya Muhammed, Al-Qathî`ah baina Al-Mutsaqqif wa
Al-Faqîh, op. cit., h. 124-125
[35] Selengkapnya lihat: Ibid., h. 127, 132, dan 133
==============
Makalah Pertama Acara Bedah Buku;
Kerjasama Al-Mîzân Study Club dengan KEMASS dan Perpustakaan Abdusshamad
Al-Palimbani