Oleh: Jum'an
Januari 1920. Amandemen ke 18
Konstitusi Amerika mulai berlaku. Isinya, melarang penjualan, pembuatan
atau pengangkutan alkohol. Ini dielu-elukan oleh kaum agama dan moralis
sebagai langkah positif untuk membersihkan masyarakat dari kejahatan
akibat minuman keras (miras). Pendeta fanatik Billy Sunday mengobarkan
semangat umatnya dengan ramalan yang optimis: "Zaman air mata segera
berakhir. Daerah kumuh tinggal kenangan. Kita akan mengubah penjara
menjadi pabrik dan sel-sel menjadi lumbung gandum. Kaum pria akan
melangkah tegak, wanita akan tersenyum dan anak-anak akan tertawa.
Neraka akan kita kontrakkan untuk selamanya...... ..." Upaya melarang minuman keras sudah
ada sejak berabad-abad; yang secara tradisional dipelopori oleh pemimpin
agama. Pada abad 19, kaum wanita ikut pula terjun dalam gerakan anti
miras. Mereka cemas dengan akibat alkohol pada suami dan anak-anak
mereka. Tidak jarang gerakan itu dilakukan dengan kekerasan. Carrie
Amelia Nation adalah pimpinan kelompok wanita radikal anti alkohol
terkenal pada zamannya. Wanita tinggi besar ini dengan kampak ditangan,
menyerbu dan merusak bar dan salon penjual miras. Kelompok yang lain
melobi pemerintah untuk mendesakkan pelaksanakan larangan itu. Akhirnya
Amandemen ke18 itu diratifikasi dan larangan itu dikuat-kuasakan pada tingkat federal. Setiap minuman yang
mengandung lebih dari 0,5 persen alkohol dilarang di AS.
Tetapi akibat yang tidak terduga dari larangan yang bercita-cita mulia
itu belakangan menjadi bencana bagi Amerika. Menurut sasterawan Mark
Twain larangan itu adalah awal kebiasaan baru mabuk di belakang pintu
dan tempat gelap ... Larangan itu tidak menyembuhkan ataupun mengurangi
kegemaran pada alkohol. Penyulingan alkohol dirumah-rumah dan
penyelundupan serta merta berkembang bersamaan dengan dimulainya
larangan itu. Toko-toko mulai menjual alat penyuling portabel. Miras
selundupan membanjir dipasar gelap. Dokter mulai meresepkan alkohol
untuk "tujuan pengobatan." Dengan menyuling sendiri orang menambahkan
bumbu-bumbu dlm alkohol mereka dan yang sering menimbulkan keracunan.
Dengan dilarang lebih banyak orang ingin mencoba. Orang yang tak pernah
minum, sekarang bergabung dalam petualangan melanggar hukum. Bar
berganti menjadi "speakeasies" (warung remang-remang), tempat minum yang tersamar. Penyelundupan
minuman yang lebih keras meningkat dan bahaya kesehatan para peminumnya
meningkat. Geng lokal yang berbisnis prostitusi, perjudian dan pemerasan
berkembang menjadi sindikat kejahatan besar-besaran begitu memasuki
bisnis miras ilegal. Keuntungan besar hasil kejahatan itu, sebagian
mengalir ke kantong politisi dan aparat penegak hukum dalam bentuk suap
atau pemerasan. Polisi jadi enggan bertindak. Selain itu, banyak
politisi secara terbuka menentang larangan minuman keras itu.
Akhir 1920-an, banyak pendukung anti alkohol mengakui kesalahan mereka
dan mulai minta untuk dicabut. Banyak pengakuan mengenai banyaknya efek
larangan miras yang merugikan masyarakat, termasuk timbulnya kematian
dan penyakit, kejahatan dan kekerasan. Tujuh juta orang menandatangani
petisi mengecam larangan miras dengan efek buruknya. Ketika terjadi
depresi hebat tahun 1930an, lebih banyak lagi orang Amerika bergabung
dalam protes terhadap larangan miras. Dikota-kota besar, orang berpawai
membawa poster "We Want Beer" untuk menuntut dicabutnya larangan miras
itu. Akhirnya, pada Desember 1933 Amandemen ke 21 diberlakukan, yang
mengakhiri larangan terhadap minuman keras. Larangan terhadap minuman
keras telah gagal. Yang tertinggal sekarang hanya "dilarang mengemudi
dalam keadaan mabuk.."
Sampai saat ini AS dikenal galak,
bahkan menyokong negara lain menghadapi perang anti-narkoba. Tetapi
dalam KTT nagara-negara Amerika di Cartagena Colombia April 2012, para
pemimpin Amerika Latin menyatakan bahwa perang anti-narkoba telah gagal.
Presiden Guatemala Otto Perez Molina yakin pendekatan baru sangat
dibutuhkan. Sebagai mantan intelijen militer yang berhadapan langsung
dengan kekuatan kartel narkoba, Molina mengajak sesama pemimpin Amerika
Latin untuk mendukung rencana keamanan baru yang akan mengakhiri
larangan terhadap narkoba. "Perang anti-narkoba saat ini didasarkan pada
premis yang salah, yaitu keyakinan bahwa narkoba akan bisa diberantas."
Pérez Molina mengakui bahwa membebaskan konsumsi, produksi dan
perdagangan narkoba adalah tidak bertanggung jawab. Yang diperlukan
adalah kebijaksanaan yang lebih liberal. Dia menegaskan, Larangan telah
gagal dan cara alternatif harus ditemukan. Guatemala mengusulkan untuk
tidak pandang ideologi dalam kebijakan obat terlarang, baik regulasi
atau liberalisasi. Presiden Meksiko, Felipe Calderon, menyerukan debat
nasional tentang pembebasan larangan itu. Juan Manuel Santos, presiden
Kolombia, mengatakan bahwa jika legalisasi narkoba dapat menjinakkan
kekuatan kartel, dan dunia menilainya sebagai solusi, dia akan
menyambutnya...
Demikianlah setelah kalah dalam perang
anti-alkohol kini saatnya nagara-negara Amerika Latin mengaku kalah
dalam perang anti-narkoba. Mungkin kelak yang tinggal hanya "dilarang
menyuntik di jalanan" saja, yang tidak mustahil akan merembet kenegeri
kita. Nauzubillah