Oleh Al-Mizan Study Club's
Konsep wihdatul wujud bermula, seperti disinyalir oleh Abdurrahman
Badawi, sejak masa Yunani kuno. Pemaknaan sesungguhnya masih kabur
sehingga asumsi-asumsi para tokoh Islam membentuk paradigma problematik.
Paham wihdatul wujud dimulai dari kerumitan bahasa, bagi pembicara dan
pendengar sekaligus. Karena bahasa tak melulu datang dari kecerdasan.
Wihdatul wujud sebuah pengalaman yang tak dapat diwakili lisan. Ibn
Arabi pernah menyatakan “Jika kamu merasakan [mengalami] ekstase
[pemahaman] wihdatul wujud, maka itulah puncak pengalaman sebagai
makhluk yang tak ada lagi maqam tertinggi”[1]
Al-Ghazali
dan Ibn Arabi adalah dua master sufi yang karya-karyanya masih bertutur
lekat dengan kita. Tak terhitung berapa baris kata Ibn Arabi dan Imam
Al-Ghazali yang mengindikasikan
paham wihdatul wujud. Buku-buku semacam Ihya Ulumudin, Ma’arij Al-Quds
dan Misykat Al-Anwar yang ditulis Al-Ghazali atau Al-Futuhat
Al-Makkiyah, Fushus Al-Hikam yang ditulis Ibn Arabi memuat beberapa teks
yang bisa memendarkan dua kemungkinan: pertama, sejumlah teks itu bisa
menjadi khazanah melimpah untuk dikaji lebih mendalam maksud
esoterisnya. Kedua, bisa menjadi petaka bagi penulis akibat pembacaan
lugu dan semena-mena.
Simak salah satu baris teks Ihya
Ulumudin karya Al-Ghazali berikut “Barangsiapa yang mengenal Tuhannya
maka akan melihatnya dalam setiap sesuatu. Karena semua sesuatu
berasal-kembali -karena-dan
miliknya. Dialah esensi semua itu.”[2] Atau teks Ibnu Arabi dalam
Al-Futuhat Al-Makkiyah “Mahasuci Dzat yang menciptakan segala sesuatu
dan Dialah sesuatu itu”.[3] Kedua teks ini mewartakan pada kita puncak
intuitif yang dicapai oleh kedua master sufi.
Dalam menyikapi
syatahât sufiyah (ungkpan berlebihan kaum sufi), para ulama terbagi
dalam tiga kelompok: pertama menolak seluruhnya dan menganggapnya
sebagai perilaku heretik bahkan ateistis dan kafir. Kedua, kelompok yang
berempati dan berusaha menyelami kesadaran sang master sufi untuk
menghadirkan takwil yang dianggapnya paling obyektif. Ketiga, adalah
kelompok yang bersikap tidak memihak (tawaqquf) seperti mayoritas ulama
Yaman.
Pergulatan pemikiran antara ketiga kelompok masih
terus menghiasi cara pandang umat Islam secara umum. Dalam buku Syarh
Kalimât Sufiyah Arrad ‘Ala Ibn Taimiyah, Syeikh Mamud Al-Ghurab (seorang
pakar Ibn Arabi kontemporer) menyebut Ibn Taimiyah tidak pernah membaca
karya-karya Ibn Arabi atau membacanya tapi tidak teliti. Al-Ghurab
menyajikan data bahwa tuduhan-tuduhan nya terhadap Ibn Arabi sama sekali tidak
mendasar bahkan terkesan mengada-ada.
Secara terminologis, seperti
kesaksian Al-Ghurab, Ibn Arabi tak pernah menulis kata wihdatul wujud
dalam semua karyanya. Bahkan Ibn Arabi memberi garis pemisah yang cukup
tegas antara wilayah Tuhan dan wilayah hamba. Konsep manunggaling kawulo
gusti tak dapat dibenarkan kecuali dalam tataran sifat dan asmaNya.
Apapun dan bagaimanapun asumsi yang hadir mengenai konsep
wihdatul wujud tak bisa meluluhkan kita untuk menjustifikasi secara
subjektif. Terlepas dari itu, tawaran untuk mengkajinya secara
komprehensif amat ideal. Terlebih lagi bila mempertimbangka n betapa pengaruh konsep ini sempat
merambah seluruh penjuru dunia. Beberapa karya orientalis barat seperti
buku-buku yang ditulis Baruch Spinoza (1677 M) terasa amat kental
keterpengaruhan nya,
atau beberapa master sufi tanah air semisal Hamzah Fansuri (1590 M),
yang dalam disertasi doktoral Sayed Naguib Alatas disebut sebagai bapak
sastra modern Melayu, juga pengagum Ibn Arabi beserta konsep-konsep yang
dikembangkannya . []
[1] 41
[2] Ihya Ulumudin, Darul Ma’rifah Beirut,
jilid I, hal. 283
[3] Al-Futuhat Al-Makkiyah
[http://m.facebook.com/notes/?id=100000864540857&refid=17]