Oleh: Layali Helwa
Prolog
Al-Qur’an adalah mukjizat agung yang berfungsi untuk memberi
petunjuk kepada manusia, seperti yang banyak terdapat dalam ayat-ayat
al-Qur’an. Masa kehidupan Rasulullah Saw., kebutuhan tentang tafsir
al-Qur’an belumlah begitu dibutuhkan, sebab apabila sahabat kurang
memahami ayat al-Qur’an, mereka dapat langsung menanyakan kepada
Rasulullah Saw., dalam hal ini Rasulullah Saw. selalu memberikan jawaban
yang memuaskan. Setelah Rasulullah Saw. wafat dan setelah Islam
melebarkan sayapnya ke luar jazirah Arab, kaum muslimin menghadapi
persoalan-persoalan baru. Persoalan baru itu akan dapat dipecahkan
apabila ayat al-Qur’an ditafsirkan dan diberi komentar untuk menjawab
persoalan-persoalan tersebut.
Problematika al-Qur’an terhadap isi dan kandungannya mulai muncul,
seiring dengan kadar pemahaman para sahabat dalam memahaminya. Tafsir
merupakan salah satu cabang ilmu yang mulia dan tinggi karena
pembahasannya berkaitan erat dengan kalâmullah. Oleh karena itu, ilmu ini sangat penting demi menjelaskan pesan-pesan Allah kepada umat manusia.
Tahu tentang sejarah penafsiran al-Qur’an merupakan pengetahuan
tersendiri. Untuk menelaahnya kita butuh penelitian dan pemahaman yang
mendalam. Dengan segala keterbatasan, penulis mencoba untuk meneliti
tema sejarah tafsir al-Qur’an sebisa mungkin. Untuk mencari pemahaman
terhadap pesan-pesan Allah Swt. dan membantu untuk menjelaskan peran dan
fungsi agama bagi umat manusia.
Nabi Muhammad Menjadi Pemain Utama dalam Menafsiri Wahyu Ilahi
Tafsir al-Qur'an adalah ilmu pengetahuan untuk memahami dan
menafsirkan yang bersangkutan dengan al-Qur-an dan isinya berfungsi
sebagai mubayyin (pemberi penjelasan), menjelaskan tentang arti
dan kandungan al-Qur’an, khususnya menyangkut ayat-ayat yang sukar
dipahami dan samar artinya. Dalam memahami dan menafsirkan al-Qur'an
tidak hanya diperlukan pengetahuan bahasa Arab saja, akan tetapi juga
berbagai macam ilmu pengetahuan yang menyangkut al-Qur’an dan isinya.[1]
Sebelum nabi Muhammad diutus, bangsa Arab masih belum terkondisikan
(dalam pandangan Islam), mereka masih belum mengerti tentang hukum.
Menjadikan berhala-berhala buatan sendiri sebagai Tuhan untuk disembah
dan dipuja. Selain itu mereka juga mengubur anak perempuan mereka
hidup-hidup, sebab dalam tradisi masyarakat Arab dahulu, anak perempuan
merupakan aib. Dan juga mereka melaksanakan tawwaf (mengelilingi Ka’bah)
dengan telanjang (tanpa menggunakan sehelai kain untuk menutup aurat)
masuk dalam kategori perbuatan yang dilakukan bangsa Arab dahulu, dan
masih banyak lagi selain ketiga contoh diatas. Semua itu merupakan
perbuatan-perbuatan yang dilakukan masyarakat Arab masa jahily. Hal ini
menunjukkan bahwa dalam pemikiran ataupun intelektual, dan cara berfikir
mereka belum tersusun rapih secara mantiq as-salîm. Contohnya
tidak adanya ketidakadilan dalam lingkungan sosial dan budaya yaitu
dengan memperlakukan kesewenang-wenangan kepada orang yang dianggap
tidak berguna, seperti membunuh anak perempuan walaupun itu anak
kandungnya sendiri, dan menyembah patung untuk membenahi akhlak kepada
yang menyembahnya.
Nabi Muhammad Saw. lahir untuk mengikis kebodohan bangsa Arab dan
umat manusia secara umum dengan cahaya iman dan ilmu. Oleh karena itu,
Allah Swt. menurunkan al-Qur’an kepada nabi terpilih, Muhammad Saw.
melalui perantara Malaikat Jibril untuk memberi petunjuk bagi manusia
agar mereka mengerti hukum-hukum atas problematika yang dialami
masyarakat. Dengan diturunkannya al-Qur’an, beliau banyak memberikan
pencerahan-pencerahan dan penjelasan atas semua permasalahan masyarakat
Arab pada saat itu.
Al-Qur’an merupakan kalâmullah yang sangat indah, walaupun
diturunkan menggunakan bahasa Arab dengan menyesuaikan kaidah-kaidahnya
dan tata bahasa orang Arab, tetapi tidak semua orang Arab bisa memahami
maknanya secara terperinci.[2] Begitu pula kandungan dan pesan yang
dibawa al-Qur’an cenderung baru bagi orang Arab, sehingga mereka merasa
asing dengan makna al-Qur’an, seperti halnya kisah-kisah nabi terdahulu,
isrâiliyyat.
Salah satu orang yang tidak menyetujui pendapat tersebut adalah
Ibnu Khaldun. Menurut Ibnu Khaldun semua sahabat memahami al-Qur’an
secara utuh dan sama. Sementara jauh sebelum Ibnu khaldun, Ibnu Qutaibah
sudah berpendapat bahwa kadar intelektual orang Arab dalam memahami
al-Qur’an berbeda-beda, baik dari segi gharîb maupun mutasyâbih. Bahkan sebagian sahabat lebih unggul dari pada yang lain.[3]
Ada beberapa sahabat yang salah menafsirkan al-Qur’an, kemudian
ditegur oleh nabi. Seperti dalam sebuah hadits, ada seorang laki-laki
bertanya kepada Nabi tentang ayat al-Qur’an surat al-An’âm ayat 82[4]:
“Ya Rasulullah, siapa diantara kita yang tidak
pernah melakukan kedzaliman pada diri kita sendiri?, kemudian Rasul
menjawab “Sungguh bukan itu yang seharusnya kalian artikan, bukankah
kalian mendengar perkataan seorang hamba saleh; “Sungguh syirik itu
suatu kedzaliman yang besar”. Jadi maksud dari dzalim diatas adalah syirik.[5]
Terkadang di dalam al-Qur’an itu antara satu ayat dengan yang
lainnya saling menafsirkan. Tipe semacam ini biasa disebut dengan tafsir
al-Qur’ân bi al-Qur’ân. Namun tidak diragukan kalau sebagian banyak dari sahabat memahami al-Quran secara global terutama ayat-ayat muhkam
yang kebanyakan turun di Mekah seperti ayat-ayat yang berbicara tentang
ketuhanan (teologi), contohnya dalam surat al-An’âm tadi.[6]
Dalam al-Qur’an Allah Swt. Berfirman: “Dan Kami turunkan
az-zikr (al-Qur’an) kepadamu agar engkau menerangkan kepada manusia apa
yang diturunkan kepada mereka (yakni perintah, larangan, aturan, dan
sebagainya) yang ada dalam al-Qur’an dan agar mereka memikirkan”[7].
Yang menjadi pertanyaan adalah apakah nabi Muhammad Saw. menjelaskan
kepada sahabat “semua perkara” yang terdapat dalam al-Qur’an baik secara
kosakatanya maupun strukturnya? Ataukah Nabi hanya menjelaskan
sebagiannya saja?
Ulama berbeda pendapat dalam hal nabi Muhammad menjelaskan semua
isi dalam al-Qur’an atau tidak. Sebagian mengatakan bahwa Rasulullah
Saw. menjelaskan semua makna al-Qur’an kepada para sahabat, seperti
menjelaskan lafadz-lafadznya. Menurut Para ulama mengatakan bahwa
pendapat ini milik Ibnu Taimiyah, dengan menggunakan dalil pada ayat
diatas. Sedang sebagian lagi mengatakan bahwa Rasulullah Saw. tidak
menjelaskan makna-makna al-Qur’an kecuali hanya sedikit. Pendapat ini
menurut Imam As-Suyuthi.[8] Mereka menggunakan dalil dalam ayat: “Kitab (al-Qur’an) yang Kami turunkan kepadamu penuh berkah agar mereka menghayati ayat-ayatnya”.[9]
Keduanya sama-sama menghadirkan dalil naqli (teks). Namun bila
mengamati secara mendalam, seorang pengkaji pasti akan memilih pendapat
kedua: Nabi menjelaskan sebagiannya saja. Karena problem manusia tidak
pernah usai, maka al-Qur’an selalu membutuhkan penafsiran ulang.
Pemahaman tafsir al-Qur’an dengan al-Qur’an membutuhkan tadabbur
yang panjang, lalu harus mengetahui makna al-Qur’an dan tidak serta
merta berdiri atas penglihatan sekejap mata atau pembacaan sekilas, yang
bisa diketahui oleh para intelektual dan peneliti khusus.[10] Dengan
demikian perbedaan tingkat intelektual sahabat kerap menjadi sumber
perselisihan dalam hal menafsiri al-Qur’an. Perselisihan itu sanggup
diredam oleh sebab Nabi Muhammad Saw. masih ada, Nabi menjadi rujukan
utama dalam menafsiri al-Qur’an.
Sahabat dan Tafsir Al-Qur'an
Sahabat memahami al-Qur'an dengan pemahaman yang berbeda-beda.
Meskipun bahasa Arab digunakan oleh para sahabat tetapi tingkat
pemahaman mereka berbeda-beda, seiring dengan pengetahuan yang mereka
miliki. Faktornya ada yang tahu banyak tentang sastra jahily dan
mengetahui kosakata asing, sehingga bisa membantu mereka dalam memahami mufradât
(kosa kata) al-Qur’an. Begitu pula orang yang sering berinteraksi
dengan Nabi Muhammad Saw. selalu berada disampingnya dan menyaksikan asbâb al-nuzûl (sebab-sebab turun)-nya al-Qur’an.[11]
Tidak semua teks al-Quran mampu ditafsiri secara terperinci oleh
sahabat, khususnya menyangkut ayat-ayat yang sukar dipahami dan samar
artinya. Dalam memahami dan menafsirkan al-Qur'an, bukan hanya
pengetahuan bahasa Arab saja yang diperlukan, akan tetapi juga pelbagai
macam ilmu pengetahuan yang menyangkut al-Qur-an dan isinya, bahkan
kitab-kitab bahasa Inggris dan Persia saja tidak bisa langsung dipahami
dengan sendirinya. Karena untuk memahami suatu tulisan tidak hanya
menggunakan unsur bahasa saja, tetapi dibutuhkan tingkatan kemampuan
berfikir dan tingkatan akal untuk mendalaminya. Karena itu, tidak semua
orang bisa memahami semua lafadz dalam al-Qur’an.
Contohnya seperti hadits dari Anas bin Malik, ada seorang laki-laki
bertanya kepada Umar bin Khattab tentang Firman Allah Ta’ala yang
bunyinya: “Wa fâkihatan wa abbâ”, Ia bertanya: “Apakah yang dimaksud dengan lafadz abb”? Sahabat Umar menjawab: “Nahainâ ‘an at takalluf wa at ta’ammuq” (Kami melarang membebani dan mendalami)”.
Jawaban dari ayat tersebut merupakan jawaban yang mudah dipahami oleh
orang tadi, karena Umar menyesuaikan siapa yang diajak bicara dengan
menggunakan bahasa yang mudah dipahami. Laki-laki tersebut melanjutkan
lagi: “Kami tahu kemampuan Umar, tetapi bagaimana dengan sahabat yang lainnya?”. Banyak dari para sahabat yang hanya mengetahui secara global, seperti Firman Allah: “Wa fâkihatan wa abbâ”. Para sahabat banyak memaknainya dengan: “Dan banyaknya nikmat Allah”. Tidak banyak yang bisa memaknai secara terperinci (seperti Umar).[12] Ini
menunjukkan tingkat pemahaman para sahabat dalam menafsiri al-Qur’an
berbeda-beda, seperti yang disebutkan dalam hadits diatas.
Para sahabat ketika sulit menemukan hukum yang ditanyakan
masyarakatnya, mereka akan bermusyawarah kepada sahabat yang lain untuk
memecahkan permasalahan yang ada dengan cara berijtihad untuk
mengetahui mufradât bahasa Arab yang masih asing, karena hal ini membantu sahabat dalam memahami ayat-ayat al-Qur’an.
Mengetahui kebiasaan orang Arab membantu para sahabat untuk
memudahkan mereka mencerna ayat-ayat al-Qur’an yang ada hubungannya
dengan adat mereka, semisal dalam Firman Allah Swt. yang berbunyi: “Sesungguhnya pengunduran (bulan haram itu) hanya menambah kekafiran”[13],
ayat ini tidak bisa dipahami kecuali orang yang mengetahui kebiasaan
orang Arab jahily ketika turunnya al-Qur’an, atau cara penafsirannya
adalah melalui berita yang berasal dari orang-orang Yahudi dan Nasrani
di waktu turunnya al-Qur’an untuk mengisyaratkan perilaku mereka dan
bisa dengan mudah menentangnya.[14] Utsman bin Affan, Abdullah bin
Mas’ud, dan sahabat yang lain ketika mereka mendapatkan pelajaran dari
Nabi, mereka tidak akan melewati atau meneruskan ayat selanjutnya sampai
benar-benar mendalami maknanya dan mengamalkannya, maka dari itu mereka
membutuhkan waktu lama untuk menghafal karena sekaligus memahaminya.
Itu merupakan salah satu bentuk metode sahabat dalam menafsiri
al-Qur’an.[15]
Setiap perkataan baik syair atau kalam tidak bisa hanya mengetahui
lafadznya saja, tetapi juga harus mengetahui maknanya. Begitu juga
dengan orang yang biasanya membaca suatu buku, seperti buku kedokteran
atau ilmu hitung tidak akan bisa dijelaskan kecuali ia paham, maka
bagaimana dengan kalâmullah yang menjadi pedoman manusia sekaligus menjadi kunci keselamatan dan kebahagian mereka? Ibnu Taymiyyah dalam bukunya Muqaddimah fî Ushûl at-Tafsîr berpendapat
bahwa al-Qur’an pun sama dengan syair atau semacamnya, ia membutuhkan
pemahaman yang mendalam, memahami lafadz-lafadznya dan mentadaburinya,
karena mentadabburi al-Qur’an lebih utama – dari yang lainnya-.[16]
Perbedaan antar sahabat dalam menafsiri al-Qur’an sangat sedikit,
itu karena sahabat mendapatkan riwayat langsung dari Nabi, berbeda
halnya dengan tabi’in yang lebih banyak perbedaan dan pertentangan.
Karena itu masa sahabat merupakan masa yang paling utama setelah masa
nabi. Seperti tertera dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam
Bukhari-Muslim:[17]
عن رسول الله صلى الله عليه وسلم أنه قال: "خير القرون قرني، ثم الذين يلونهم، ثم الذين يلونهم" الحديث.
Para mufassir dari kalangan sahabat memang tidak banyak,
diantara mereka ada yang mendengar langsung dari Nabi dan ada pula yang
mendengar tidak langsung (mendengar dari sahabat yang lain). Diantara
para sahabat yang paling masyhur dalam bidang tafsir yaitu; Khulafaur
Rasyidin, Ibnu Mas’ud, Ibnu ‘Abbas, Ubay bin Ka’ab, Zaid bin Tsabit, Abu
Musa al-Asy’ari, dan Abdullah bin Zubair.
Corak penafsiran para sahabat sangat beragam. Ibnu Abbas misalnya,
memakai metode menafsiri al-Qur’an secara langsung dari Nabi, dan
berijtihad sesuai dengan permasalahan yang ada. Asbâb al-Nuzûl juga membantu dalam memahami al-Qur’an. Ia juga kadang merujuk ke Ahlu al-Kitâb sebagai
sumber tafsir dengan tetap berusaha tidak keluar dari konteks
al-Qur’an. Terkadang Ibnu Abbas ketika kesulitan memahami kesamaran
lafadz-lafadz al-Qur’an, ia akan merujuk ke syair jahily (syair
pra-Islam).
Misalnya dalam ayat: "Wabtaghû ilaihi al wasîlah”. Ibnu Abbas memahaminya dengan makna al-hâjat (kebutuhan). Kemudian ia ditanya oleh Nafi’, “Apakah orang Arab mengetahui itu?”, Ibnu Abbas menjawab, “Ya, tidakkah kamu mendengar ‘Antarah (salah satu penyair jahily) mengatakan dalam syairnya;
ان الرجال لهم اليك وسيلة # ان يأخذوك نكحلى وتخضبى؟
“Laki-laki itu punya kebutuhan buat kamu (wanita), jika ia memintamu maka gunakanlah celak dan warnai kukumu.”[18] Maksudnya berhiaslah.
Ragam Tafsir Al-Qur’an Masa Tabi’in
Pada masa Nabi dan sahabat, riwayat dari mereka tidak mencakup semua ayat-ayat al-Qur’an, karena mereka menafsiri ayat ghumûd (samar) dan sulit untuk dipahami saja. Semakin jauh manusia dari masa Nabi dan masa sahabat, maka ghumûd-nya semakin banyak. Oleh karena itu, tugas tabi’in
untuk menafsiri al-Qur’an menjadi penting untuk menyempurnakan sebagian
kekurangan itu. Bertambahnya penafsiran menunjukkan banyaknya ghumud yang belum dipahami para tabi’in.[19]
Sebagaimana di masa sahabat sudah terjadi perbedaan pendapat dalam
ragam penafsiran al-Qur’an, demikian juga pada masa tabi’in. Beberapa
pembesar tabi’in yang berguru langsung pada para sahabat berhasil
menjadi mufassir-mufassir handal sebagai penerus guru-gurunya. Pada masa
tabi’in ini, kajian tafsir memunculkan beberapa tokoh diantaranya;
Sa’id bin Jabir, Mujahid bin Jabar, ‘Ikrimah, Thowus bin Kaysan
al-Yamani, dan ‘Atha’ bin Ubay Rabah. Mereka semua para tabi’in yang
meneruskan, menyebarkan dan mengajarkan tafsir di madrasah Ibnu Abbas
yang bertempat di Mekah. Madrasah Ibnu Abbas juga memiliki karakter
tersendiri, seperti yang disebutkan diatas; Ibnu Abbas seringkali
merujuk pada syair-syair jahily. Dimana kecerdasan Ibnu Abbas dalam
menafsirkan al-Qur’an tidak terlepas begiu saja dari do’a Nabi: “Ya Allah, pahamkanlah dia (Abdullah bin abbas) tentang agama, dan ajarilah dia cara mentakwil”.[20]
Diantara sebagian tabi'in yang belajar tafsir kepada sahabat, salah
satunya bernama Mujahid yang menjadi budak milik Ibnu Abbas, ia
berkata: “Saya berguru al-Qur'an kepada Ibnu Abbas, kemudian
meneliti setiap ayat dan menanyakannya. Maka tidak heran at-Tsauri
berkomentar: jika kamu mendapati tafsiran dari Mujahid maka sudah cukup”. Karena itu imam Syafi’i dan imam Bukhari -dalam penafsiran al-Qur’an- berpedoman pada Mujahid sebagai rujukan.[21]
Kemudian madrasah Abdullah bin Mas’ud yang bertempat di Iraq. Abdullah bin Mas’ud adalah salah satu mufassir al-Qur’an terhebat. Di samping Ibnu Mas’ud ada banyak mufassir
dari kalangan sahabat, tapi kepakaran Ibnu Mas’ud dalam bidang ini
melampaui yang lain. Oleh karena itu banyak riwayat atau
pemikiran-pemikirannya yang dijadikan rujukan untuk menafsiri al-Qur’an.
Hal itu karena dilihat dari permasalahan khilaf dan ia adalah orang
yang meletakkan asas-asas istidlâl birra’yi atau tafsir birra’yi. Sehingga salah seorang ulama berkata: “Ibnu Mas’ud adalah orang yang banyak menafsiri al-Qur’an dengan pendapatnya yang kemudian diwariskan kepada ulama Iraq”. Dari sana muncul beragam penafsiran al-Qur’an karena didominasi oleh nalar. Diantara murid-muridnya: ‘Al-qamah bin Qays, Masruq, al-Aswad bin Yazid, Marah al-Hamdâni, ‘Amir as-Sya’bani, Hasan al-Basri dan yang terakhir adalah Qatadah.[22]
Tidak hanya di Mekah dan di Iraq, di Madinah juga terdapat madrasah
serupa yang didirikan oleh Ubay bin Ka’ab bersama murid-muridnya; Abu
al-‘Aliyah, Muhammad bin Ka’ab al-Qurdzi, dan Zaid bin Aslam.
Penafsiran al-Qur’an bila dicermati lebih dalam juga dipengaruhi
oleh iklim geografis, politik, dan lain-lain. Sebagaimana madrasah Ibnu
Mas’ud cenderung didominasi oleh akal. Begitu juga dengan madrasah Ibnu
Abbas yang memiliki pendekatan unik berupa menggunakan lafadz-lafadz
dalam syair jahily sebagai salah satu rujukan –untuk menafsirkan ayat
al-Qur’an-.
Epilog
Setelah kita amati beragam corak penafsiran dari masa sahabat ke
masa tabi’in, kita semakin yakin bahwa ayat-ayat al-Qur’an selalu dan
akan terus membutuhkan penafsiran. Hal ini sebagai pembuktian untuk umat
Islam sendiri khususnya, bahwa al-Qur’an bisa melintasi ruang dan
waktu. Sehingga risalah Tuhan bisa dipahami dan diamalkan oleh setiap
anak zaman, kapan dan di manapun. Wallâhu a’lam.
Layali Hilwa
Mahasiswi Fakultas Ushuluddin
Universitas Al-Azhar Kairo
[1] M. Husein Adz-Dzahabi, at-Tafsîr wa al-Mufassirûn jilid I, Dâr al-Hadîts, Cairo, 2005, hlm. 17
[2] Dr. Abdullah Sahhata, Ulûm at-Tafsîr, Dâr al-Syurûq, Cairo, cet. I, 2001, hlm. 12
[3] Ibid, hlm. 12
[4] الَّذينَ ءامَنوا وَلَم يَلبِسوا إيمٰنَهُم بِظُلمٍ أُولٰئِكَ لَهُمُ الأَمنُ وَهُم مُهتَدونَ
[5] Mana’ al Qattan, Mabâhits fî Ulûm al-Qur’ân, Cairo, Cet. XIV, 2001, hlm. 327
[6] Ibid, hlm. 197
[7] Q.S. An-Nahl: 44
[8] M. Husein Adz-Dzahabi, Op. Cit., hlm. 46. lihat juga: Muqaddimah fi Ushûl at-Tafsîr karya Syaikh al-Islam Ahmad bin Abdu al-Halim bin Taimiyyah, Maktabah al-Ma'arif, Riyadh, cet. I, 2010, hlm. 21
[9] Q.S. Shad : 29
[10] Dr. M. Husein Adz-Dzahabi, Op. Cit., hlm. 40
[11] Ahmad Amin, Fajru al- Islâm, Maktabah an-Nahdlah al-Mashriyyah, Cairo, Cet XV, 1994, hlm. 196
[12] Ahmad Amin, Op. Cit., hlm. 197-198
[13] Q.S. At-Taubah : 37
[14] Dr. M. Husein Adz-Dzahabi, Op. Cit, hlm. 53-54
[15] Syaikh al-Islam Ahmad bin Abdu al Halim, Muqaddimah fî Ushûl at-Tafsîr, Cet. I, Cairo, 2010, hlm. 21
[16] Ibid, hlm. 22
[17] Ibid, hlm. 22
[18] Dr. M. Husein Adz-Dzahabi, Op. Cit., hlm. 69-70
[19] Ibid, hlm. 92
[20] Ibid. hlm. 48
[21] Ibnu Taimiyyah, Op.Cit., hlm. 23
[22] M.Husein Adz-Dzahabi, Op. Cit.,hlm. 107-115