Oleh; Mamang M. Haerudin
Pengantar
Tak dapat disangkal, bahwa realitas kehidupan di dunia ini begitu
plural dan beraneka ragam. Oleh karena itu, konsekuensi logis dari
keberagaman adalah berbeda. Ya, menjadi berbeda merupakan sebuah hak,
selama keberbedaannya itu dilandasi tanggung jawab dan tidak mengganggu
orang lain. Namun selama ini, banyak orang menyikapi keberagaman hanya
dalam soal-soal yang masih parsial, tidak universal. Sebut saja, jika
dewasa ini orang hanya gencar membincangkan persoalan keberagaman
seputar identitas-identitas tertentu, misalkan keberagaman dalam
beragama dan berkeyakinan, suku, bahasa, adat-istiadat, dan lain
sebagainya. Itu semua memang penting, namun nampaknya ada yang lekang
dari perbincangan kita selama ini yakni tentang hak kedaulatan
seksualitas, terutama wacana seksualitas yang berkait kelindan dengan
komunitas Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender, selanjutnya LGBT.
Benar, dari sekian banyak ragam komunitas-minoritas yang lain,
problem komunitas LGBT merupakan salah satu komunitas yang hampir—untuk
enggan mengatakan selalu—dilupakan keberadaannya. Mereka adalah
komunitas minoritas, yang tidak jarang hak-haknya sebagai warga Negara
dipasung dan didholimi. Keberadaannya teramat sering dijustifikasi
sebagai komunitas manusia yang tak layak hidup di bumi, hidup
berdampingan layaknya dengan manusia “normal” lainnya. Mereka hidup
dalam keterasingan dan keterpinggiran.
Kemanusiaan, merupakan prinsip pokok dalam Islam yang harus selalu
dikedepankan. Islam melalui al-Qur’an, tidak hanya memuat ajaran yang
bersifat vertikal (ketuhanan/habl min Allah), melainkan juga memuat ajaran yang bersifat horizontal (kemanusiaan/habl min al-Nas).
Bahkan, ajaran kemanusiaanlah yang banyak sekali tertuang dalam
al-Qur’an itu. Hal demikian tak pelak, jika Islam memiliki cita-cita
sosial sebagai agama pelopor rahmatan lil’alamin, sebagai agama
yang bertekad menegakkan kasih sayang dan cinta terhadap sesama makhluk
Tuhan, terutama antar sesama manusia, termasuk komunitas LGBT di
dalamnya.
Bukanlah perkara mudah, di tengah masyarakat yang konstruksi
sosialnya berpegang teguh pada heteronormavitas (norma-norma orientasi
seksual hetero), berabad-abad lamanya komunitas LGBT dicap sebagai
komunitas manusia yang bukan hanya telah menyalahi norma keumuman dalam
masyarakat, melainkan pula dianggap telah menentang dan menyalahi kodrat
Tuhan. Sehingga akibatnya, keberadaan komunitas LGBT ini selalu
dipinggirkan dan direndahkan.
Melihat ketabuan dan kekeliruan seperti ini, saya merasa terpanggil
untuk kemudian, berupaya menduduk-perkarakan persoalan seputar
komunitas LGBT—sebagai manusia yang juga mempunyai kedudukan sederajat
dengan manusia-manusia lainnya— secara dingin dan tidak emosional, tentu
dengan perspektif kemanusiaan. Paling tidak, beberapa pertanyaan yang
urgen diajukan, diantaranya adalah bagaimana inherensi Islam dan prinsip
kemanusiaan? Bagaimana Islam relevan dengan wacana seksualitas? Apakah
Islam melegitimasi konstruksi sosial masyarakat yang meminggirkan
komunitas LGBT? Bagaimana interpretasi dan pandangan Islam soal
komunitas LGBT?.
Tulisan sederhana ini, sengaja saya hadirkan, tidak lain guna
mewujudkan prinsip kemanusiaan Islam yang universal dan tidak parsial.
Prinsip kemanusiaan yang menyeluruh, terutama sikap kemanusiaan yang
adil dan akomodatif terhadap komunitas LGBT. Tulisan ini juga hendak,
membongkar ketabuan seksualitas dan reinterpretasi terhadap teks
keagamaan yang kerap menyudutkan dan menyumpah serapah komunitas LGBT,
sebagai kaum yang—katanya—telah menyalahi kodrat Tuhan.
Islam dan Prinsip Kemanusiaan
Islam hadir untuk membebaskan umat manusia dari kondisi-kondisi
sosial yang timpang dan menindas. Islam menolak segala bentuk tirani,
eksploitasi, dominasi, dan hegemoni dalam pelbagai aspek kehidupan—baik
ekonomi, politik, budaya, jender, dan lain-lain. Ini dapat dilihat dari
banyaknya ayat al-Qur’an yang memerintahkan manusia untuk berbuat
keadilan dan menentang segala bentuk penindasan dan penghisapan.[1]
Dalam salah satu sabda Nabi Saw, menuturkan: “al-Islam salima al-Muslimin min lisanihi wa yadihi”
(orang Islam adalah orang yang (atas) kehadirannya membuat rasa aman
bagi orang lain (apapun identitasnya) baik dari ucapan maupun
tangannya).
Berdasarkan sabda tersebut, Islam secara autentik, selain bermakna
sebagai kepasrahan, ketundukan, kedamaian, juga bermakna sebagai
keselamatan. Bagaimana Islam dirasakan aman bukan hanya oleh pemeluknya,
tetapi juga oleh orang-orang di sekitar yang berdampingan dan
mengelilinginya.
Tidak hanya itu, Nabi Muhammad Saw selalu menganjurkan umatnya untuk menyampaikan salam dengan ucapan: “assalamu’alaikum”
(keselamatan/ kedamaian atas kamu) ketika saling bertemu. Di antara
kewajiban seorang muslim adalah menyebarkan salam.[2] Hadirnya Islam,
sebagaimana misi yang diemban Nabi Muhammad di masa awalnya, adalah
hendak memitra-sejajarkan seluruh elemen masyarakat dari pelbagai suku,
agama, kepercayaan maupun identitas lainnya dalam satu bingkai
persatuan, yakni bersama mewujudkan prinsip kemanusiaan dalam kehidupan
sosial-masyarakat, tidak hanya dalam tataran wacana, tetapi juga dalam
tataran parksis keseharian.
Demikian juga cara hidup al-khulafa’ al-rasyidun (para
pengganti Nabi yang memperoleh petunjuk) dan para sahabat yang lain.
Mereka hidup bersama orang lain yang berbeda agama tanpa membedakan,
bersama orang miskin tanpa meminggirkan, bersama perempuan tanpa
merendahkan, bersama orang awam tanpa membodohi, bersama orang kecil dan
orang kulit hitam tanpa mengurangi hak-haknya dan seterusnya.[3]
Sebagaimana dalam sabda Nabi, dibanyak ayat al-Qur’an, Tuhan begitu
eksplisit menyeru hamba-hamba-Nya untuk dapat menegakkan prinsip
kemanusiaan. Beberapa di antaranya, seperti termaktub dalam QS.
al-Hujurat [49]: 13 menyerukan untuk bersikap koeksisten dan saling
menghargai, QS. al-Ghasyiah [88]: 22 menyerukan agar tidak berbuat
otoriter, QS. al-Anbiya’ [21]: 107 menyerukan bahwa Nabi Muhammad
sebagai sumber kasih sayang bagi sekalian alam semesta, QS. al-Hajj
[22]: 65 berseru bahwa Allah Mahapengasih, QS. al-Hujurat [49]: 11
menyeru tentang larangan menebar kebencian, QS. al-Qashash [28]: 77
menyeru tentang larangan berbuat kekerasan dan lain sebagainya.
Salah seorang ulama klasik terkenal, al-Ghazali (w. 505 H/1111 M),
memetakan konsep tentang prinsip kemanusiaan, yang kemudiaan dikenal
dengan Kulliyat al-Khamsah: pertama, perlindungan terhadap kebebasan beragama (hifzh al-Din). Kedua, perlindungan terhadap jiwa (hifzh al-Nafs). Ketiga, perlindungan terhadap akal pikiran (hifzh al-‘Aql). Keempat, perlindungan terhadap seksualitas dan reproduksi (hifzh al-Nasl). Dan, kelima, perlindungan terhadap hak milik (hifzh mal).
Dengan mencermati ini, menjadi manusia dengan orientasi selain
heteronormavitas adalah termasuk sebuah hal yang mesti dilindungi.
Nah, dari sumber-sumber pokok Islam (al-Qur’an dan hadits) serta
pandangan ulama klasik ini, terang berderang bahwa Islam amat teguh
dengan prinsip kemanusiaan. Konsekuensi logis dari prinsip kemanusiaan
adalah menjadi sebuah prestasi tersendiri jika di kalangan umat terjadi
semacam kompetisi sehat untuk berlomba-lomba menuju kebaikan,
sebagaimana tertera dalam seruan QS. al-Baqarah [2]: 148. Kebaikan yang
di peruntukkan tidak hanya untuk dirinya, melainkan untuk kemaslahatan
semua umat manusia. Sebagaimana wajarnya, orang yang berprestasi patut
diberi apresiasi dan penghargaan tinggi.
Dalam konteks kemanusiaan, setiap orang, apa pun identitasnya,
selama keberadaannya didedikasikan untuk kerja kebaikan maka, kita mesti
apresiatif untuk kemudian diteladani. Karena, Tuhan berpesan agar
mengutamakan kebaikan, dan Tuhan mencintai orang-orang yang berbuat
baik.[4] Sebagaimana lazimnya kebaikan yang dilakukan oleh kebanyakan
orang, kebaikan atau kerja-kerja sosial yang dilakukan oleh komunitas
LGBT sepatutnya mendapatkan apresiasi dan penghargaan tinggi. Ya,
menjadi LGBT tidak berarti tidak pernah berbuat kebaikan. Namun, patut
disayangkan, mindset kebanyakan orang masih terkelabui dan bias
terhadap kebaikan yang telah dilakukan oleh komunitas LGBT. Streotipe
yang terlanjur negatif, sudah mengelabui itu semua, dengan menganggap
“selamanya komunitas LGBT adalah sebuah tindak yang telah menyalahi
ketentuan Tuhan”, tanpa kecuali.
Melihat akutnya stereotipe seperti itu, menjadi sebuah keharusan
agar kita merekonstruksi (atau bahkan mendekonstruksi) cara pandang
sempit tersebut. Sebagaimana tadi telah dikemukakan, bahwa Islam dan
prinsip kemanusiaan, ibarat dua sisi mata uang logam yang tak dapat
dipisahkan. Begitu juga, dengan Islam dan prinsip kemanusiaan terhadap
komunitas LGBT, adalah siapapun, tidak dibenarkan untuk mendiskreditkan,
menyudutkan, menyumpah serapah atau apapun cara pandang negatif
lainnya, terhadap komunitas LGBT. Karena itu, kita harus waspada, boleh
jadi cara pandang negatif itu disebabkan karena kekeliruan dan ketabuan
yang bersumber dari diri kita sendiri.
Masyarakat kita, memang gandrung sekali dengan segala hal yang
berbau agama, tetapi tidak melulu berkorelasi lurus dengan kualitas
keberagamaan itu sendiri, dalam kehidupan sehari-hari. Masyarakat kita,
tak jarang terkungkung dalam kubangan simbolisasi, mengekspresikan
keberagamaan melalui bentuk luarnya, dengan hanya menonjolkan
simbol-simbol Islam. Sehingga, tak aneh jika dalam keberagamaan dalam
masyarakat kita lebih mementingkan aspek simbolik-ritual ketimbang
substantif-universal.
Dari sini, tampak sangat jelas, bahwa agama (Islam) telah
kehilangan makna subtantifnya, sebagai agama kemanusiaan. Padahal,
substansi Islam itu sendiri adalah memanusiakan manusia, yakni
mensejajarkan kedudukan manusia antar sesamanya, dengan penuh rasa
hormat menghormati dan menghargai. Hal ini bukan tanpa sebab, karena di
mata Tuhan, manusia apa pun identitasnya—suku, agama, budaya, orientasi
seksual atau lainnya—adalah sama dan sejajar. Sehingga itu, yang
membedakan manusia di hadapan Tuhan adalah (hanya) kualitas takwanya.
Belum selesai disini, meskipun dapat di katakan melalui takwa, berkenaan
dengan kualitas takwa, yang berhak menilai takwa itu sendiri bukan
manusia, tetapi itu urusan Tuhan sebagai pemegang hak prerogatifnya.
Membongkar Ketabuan Seputar Seksualitas
Kita hidup di tengah masyarakat, dan masyarakat dapat memengaruhi
sikap seksual kita. Seksualitas bukan hanya menyangkut perihal biologis,
tetapi merupakan konstruksi yang meliputi masalah etika, moral,
lingkungan sosial, dan budaya yang tercipta dari mitos seksual, nilai,
dan norma seksual dalam masyarakat.[5] Konstruksi semacam ini, cukup
jelas menunjukkan bahwa stereotipe negatif tentang komunitas LGBT, juga
berasal dari stigmatisasi berlebihan dari konstruksi masyarakat agama
yang heteronormatif.
Gayle Rubin, mencoba memberikan pengertian tentang heteronormavitas
tersebut, bahwa heteronormavitas memandang seksualitas yang normal,
baik, natural, dan ideal adalah heteroseksual, marital, reproduktif, dan
nonkomersial. Sebaliknya, homoseksual: gay atau lesbi dipandang
immoral, tidak religius, haram, penyakit sosial, menyalahi kodrat, dan
bahkan sekutu setan.[6]
Lebih parah lagi, masyarakat agama cenderung lebih tertarik pada
aspek-aspek susila ketimbang sosial. Tidak heran jika kalangan agama
lebih peka pada persoalan pornografi, prostitusi, homoseksualitas,
daripada problem sosial, seperti busung lapar, korupsi, kerusakan
lingkungan, dan trafficking (perdagangan anak dan perempuan).[7]
Melihat masih mengakar kuatnya konstruksi heteronormavitas—dalam
mewacanakan seksualitas—di masyarakat, maka langkah awal yang harus
segera diupayakan, saya kira adalah membongkar segala bentuk ketabuan
dan kekeliruan seputar diskursus seksualitas itu sendiri, secara ilmiah,
dingin, dan tentunya tidak emosional.
Baiklah, di sini saya harus memberikan pengertian seksualitas. Ya,
seksualitas adalah proses sosial yang banyak dipengaruhi oleh banyak
faktor, yang merujuk pada hasrat atau birahi yang ada pada diri manusia.
Ada yang rancu di peredaran masyarakat dalam menyoal seksualitas.
Seksualitas masih di persepsikan sebagai kenyataan sosial yang tabu dan
negatif jika dibincangkan secara terbuka. Nah, persepsi semacam ini yang
harus segera diluruskan, bahwa seksualitas adalah suatu hal yang
justru positif, yang harus dikomunikasikan secara jujur dan terbuka,
karena ia menyangkut jati dirinya masing-masing.
Sejauh amatan saya, tokoh yang peduli terhadap keberadaan komunitas
LGBT dalam konteks Indonesia, adalah Siti Musdah Mulia. Beliau adalah
Guru Besar di Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta.
Namun, dalam itikad baiknya itu, tak jarang beliau disumpah serapah
sebagai tokoh yang hendak merusak ajaran agama, Islam. Pendapatnya
ditentang, disalahpahami, bahkan dianggap kafir, hanya karena berbeda
pendapat dengan arus utama. Benar. Salah satu dari sekian banyak gagasan
beliau yang sering disalahpahami adalah soal prinsip kemanusiaan dalam
kepeduliannya terhadap komunitas LGBT.
Menurut Musdah, seksualitas mencakup aspek yang sangat luas, yaitu
pembicaraan tentang jenis kelamin biologis, identitas gender (jenis
kelamin sosial), orientasi seksual, dan perilaku seksual. Sehingga
dengan begitu, dari setiap pembicaraan tentang seksualitas; jenis
kelamin biologis, jenis kelamin sosial, orientasi seksual, dan perilaku
seksual, mempunyai pengertian dan cakupan yang berbeda. Jenis kelamin
biologis ini yang kemudian melahirkan pola laki-laki dan perempuan,
sedangkan berkaitan dengan identitas gender (jenis kelamin sosial)
terbagi menjadi tiga pola; perempuan dengan identitas feminimnya,
laki-laki dengan identitas maskulinnya, dan transgender dengan identitas
keduanya. Dan, transgender sendiri itu yang kemudian melahirkan;
laki-laki keperempuanan (banci atau waria) dan perempuan
kelaki-lakian.[8]
Berkaitan dengan studi komunitas LGBT, kita juga harus dapat
membedakan mana itu orientasi seksual dan mana itu perilaku seksual.
Orientasi seksual merujuk pada kapasitas dan potensi
seseorang—sebagaimana fitrahnya—yang memiliki orientasi tertentu
berhubungan dengan ketertarikan emosi, rasa cinta, sayang, dan hubungan
seksual. Dan, perlu ditegaskan bahwa orientasi seksual ini bersifat
kodrati, artinya ia bukan sebuah kapasitas yang dapat dikonstruk secara
sosial dan ia tidak dapat dirubah. Memahami bahasan tentang orientasi
seksual ini, yang kemudian akan mengantarkan kita pada beberapa jenis
atau variasi tentang pelbagai macam orientasi seksual yang ada pada diri
manusia, antara lain; Pertama, orientasi seksual yang bersifat heteroseksual (hetero); Kedua, orientasi seksual yang bersifat homoseksual (homo); Ketiga, orientasi seksual yang bersifat biseksual (bisek); dan Keempat, orientasi seksual yang bersifat aseksual (asek).
Sampai pada titik ini, kita juga harus memahami berbagai varian
dari orientasi seksual yang ada. Sehingga, dari berbagai jenis orientasi
seksual tersebut, heteroseksual mempunyai pengertian tatkala seseorang
tertarik pada lain jenis (laki-laki tertarik pada perempuan ataupun
sebaliknya). Dinamakan homoseksual tatkala seseorang tertarik pada
sesama jenisnya (laki-laki tertarik pada laki-laki, atau sebaliknya
perempuan tertarik pada perempuan [yang lazim disebut gay]). Sedangkan
biseksual, tatkala seseorang mempunyai orientasi seksual ganda, dalam
arti ia tidak hanya tertarik pada lawan jenis, melainkan pula (di saat
yang bersamaan) tertarik pada sesama jenis. Adapun aseksual, yakni
tatkala seseorang tidak mempunyai orientasi seksual, karena ia sama
sekali tidak tertarik pada lawan maupun sesama jenisnya.
Adalah berbeda dengan perilaku seksual. Perilaku seksual adalah
cara seseorang (laki-laki atau perempuan) dalam mengekspresikan dan
melampiaskan hasrat atau birahi dalam bentuk yang konkrit di dalam
hubungan seksualnya. Dengan demikian sangatlah berbeda, orientasi
seksual dan perilaku seksual. Sementara orientasi seksual bersifat
kodrati, perilaku seksual adalah kebalikannya, tidak bersifat kodrati,
oleh karena dapat dipelajari dan dikonstruksi. Beberapa bentuk perilaku
seksual diantaranya, oral seks dan anal seks (sodomi).
Memahami berbagai cakupan dalam diskurus seksualitas dan komunitas
LGBT memang bukan perkara yang mudah. Sebab, selain konstruksi
heteronormavitas begitu akut di kehidupan masyarakat, juga diakibatkan
relasi gender yang sangat timpang, dimana relasi gender yang masih
mengakar kuat di tengah masyarakat masih dihegemoni oleh ideologi
patriarkhi, dimana perspektif kelaki-lakian selalu menjadi perspektif.
Sebagai pertimbangan dalam memahami dan memanusiakan komunitas
LGBT, saya mempunyai pengalaman menarik, yakni tatkala saya dapat
berkomunikasi langsung dengan komunitas LGBT, ia menamakan komunitasnya
dengan Institut Pelangi Perempuan (IPP). Saya memang tidak banyak tahu
soal komunitas IPP ini, namun sedikit banyaknya pengalaman merekalah
yang juga telah menguatkan saya bahwa mereka (komunitas LGBT) juga
manusia, yang mempunyai perasaan dan hati nurani, untuk dapat berbaur
secara normal dengan manusia-manusia dengan orientasi seksual lainnya.
Dalam kesempatan pertemuan itu, mereka memperkenalkan diri sebagai
komunitas perempuan dari berbagai latarbelakang, yang mempunyai
orientasi homoseksual, alias gay. Mereka mencintai sesama jenis
(perempuan mencintai perempuan), menjalani kehidupan sehari-hari seperti
layaknya manusia pada umumnya. Mulai dari pacaran, menikah, hingga
berhubungan seksual. Awalnya saya memang merasa “jijik” dengan segala
penuturan jujur mereka. Saya sendiri bisa memaklumi mengapa saat itu
saya merasa risih, penyebab utamanya paling tidak bahwa saya ini
terstigmatisasi dengan pola heteronormavitas. Namun, ada keterharuan
saat saya melihat aktivitas-aktivitas lain yang mereka lakukan, yakni
saat mereka getol melakukan kerja-kerja dan bhakti sosial. Mereka sangat
peka terhadap lingkungan sekitar, memberikan penyuluhan, berbagi dengan
masyarakat yang tidak mampu, dan kerja-kerja sosial lainnya.
Dalam sebuah kata pengantarnya “Memilih “Diam” Tidak Memulihkan
Keadaan”—dalam buku Pelangi Perempuan: Kumpulan Cerpen dan Puisi Lesbian
Muda Indonesia—Kamilia Manaf (perempuan cantik, Koordinator Institut
Pelangi Perempuan) mengungkapkan bahwa pilihan “diam” dalam menyikapi
realitas di tengah kehidupan yang heteronormatif itu, ternyata sama
sekali tidak berdampak positif terhadap komunitasnya, yang ada justru
memperburuk suasana. Pelbagai tindak diskriminatif terhadap perempuan
lesbian, terus terjadi; pemukulan, paksaan, menikah bahkan sampai pada
perkosaan sebagai dalih mengembalikan orientasi seksual mereka kembali
menjadi “normal” seperti kehendak masyarakat heteronormatif yang selalu
menganggap orientasi seksual selain heteroseksual adalah amoral dan
abnormal.[9]
Dalam kata pengantarnya yang lain—masih dalam buku; Pelangi
Perempuan—Mariana Amiruddin[10], juga memberikan advokasi terhadap
komunitas ini, sekaligus mengungkapkan keprihatinan terhadap gerakan
feminisme, dimana, meskipun gerakan-gerakan perempuan (feminisme) makin
meningkat, akan tetapi masih lekang advokasinya terhadap komunitas
lesbian. Berikut pernyataannya:
“Siapa pun mengerti bahwa “jatuh cinta” itu tak mungkin di-create
oleh siapa pun. Ia hadir dari sesuatu yang sangat privasi, personal,
dan individual, sama seperti bagaimana kita percaya dengan Tuhan yang
kita yakini. Sangat aneh bila gerakan perempuan ternyata “tidak juga”
menyambut isu-isu lesbian, sementara pengalaman tentang ketertindasan
seharusnya menjadi pengalaman atas solidaritas dan kekuatan; menjadikan
hidup ini lebih baik, jauh dari rasa ketakutan dan hinaan”.[11]
Melihat akutnya persoalan seputar seksualitas dan komunitas LGBT
ini, Musdah Mulia “berani” menegaskan; masalahnya, sebagian besar
manusia tidak punya keberanian menghadapi “realitas lain” ini. Padahal,
mereka yakin menjadi seorang homoseksual (gay atau lesbian) adalah
kodrat ilahi yang dalam bahasa agama disebut sunnatullah, bukan
hasil konstruksi manusia. Yang merupakan konstruksi manusia hanyalah
perilaku seksualnya, bukan orientasi seksualnya.[12]
Melalui uraian dan permenungan ini, maka sejak saat itu, saya
tersadarkan bahwa komunitas LGBT bukan hanya sebuah komunitas yang
merupakan—meminjam istilah Siti Musdah Mulia—sunnatullah (atas
orientasi seksualnya), tetapi juga komunitas manusia yang mempunyai
kepedulian dan jiwa sosial yang tinggi, bahkan bisa jadi lebih tinggi
daripada kepedulian dan jiwa sosial kita pada umumnya. Dengan demikian,
saya berharap jika dewasa ini semakin banyak orang memahami betapa
mereka (komunitas LGBT) juga memiliki hak-hak yang sama sebagai warga
Negara Indonesia, yang harus diperlakukan sama dihadapan hukum apapun;
hukum sosial, hukum positif maupun hukum agama.
Al-Qur’an: Interpretasi Kemanusiaan untuk Komunitas LGBT
Boleh jadi, ketabuan dan kekeliruan pandangan arus utama masyarakat
dalam melihat keberadaan komunitas LGBT adalah karena ketimpangan dan
ketidakcermatan dalam membaca (menginterpretasi dan mengeksplorasi) teks
keagamaan, terutama al-Qur’an. Hal senada diutarakan Musdah Mulia,
bahwa agama (telah) berubah menjadi dalil-dalil eksakta yang sangat
rigid: kalau bukan halal, pasti haram.[13]
Melakukan interpretasi ulang, adalah sebuah keharusan. Mengingat
sumbangsih interpretasi eksklusif kaum agamawan terhadap teks-teks
keagamaan selama ini cukup berdampak besar. Bahkan, dalam hemat saya,
interpretasi eksklusif kaum agamawan ini menduduki tingkat pertama dan
utama, yang telah berimplikasi dan menyebabkan peminggiran dan
pengisolasian komunitas LGBT di tengah-tengah masyarakat luas.
Beberapa sitiran ayat al-Qur’an yang sering dijadikan sumber
legitimasi untuk menyudutkan komunitas LGBT, di antaranya adalah QS.
al-Naml [27]: 54-58; “Dan (ingatlah kisah) Luth, ketika dia berkata
kepada kaumnya, “Mengapa kamu mengerjakan perbuatan fahisyah (keji),
padahal kamu melihatnya (kekejian perbuatan maksiat itu)?. Mengapa kamu
mendatangi laki-laki untuk (memenuhi) syahwat (mu), bukan (mendatangi)
perempuan? Sungguh, kamu adalah kaum yang tidak mengetahui (akibat
perbuatanmu). Maka Kami selamatkan dia dan keluarganya, kecuali
istrinya. Kami telah menentukan dia termasuk orang-orang yang
tertinggal. Dan Kami hujani mereka dengan hujan (batu), maka sangat
buruklah hujan (yang ditimpakan) pada orang-orang yang diberi peringatan
itu”.
Lalu, QS. al-‘Araf [7]: 80-81; “Dan (Kami telah mengutus) Luth,
ketika dia berkata kepada kaumnya, “Mengapa kamu melakukan perbuatan
keji, yang belum pernah dilakukan oleh seorang pun sebelum kamu (di
dunia ini). Sungguh, kamu telah melampiaskan syahwatmu kepada sesama
lelaki bukan kepada perempuan. Kamu benar-benar kaum yang melampaui
batas.”
Kemudian, QS. Hud [11]: 77-83; “Dan ketika para utusan Kami
(para malaikat) itu datang kepada Luth, dia merasa curiga dan dadanya
merasa sempit karena (kedatangan)nya. Dia (Luth) berkata, “Ini hari yang
sangat sulit”. Dan kaumnya segera datang kepadanya. Dan sejak dahulu
mereka selalu melakukan perbuatan keji. Luth berkata, “Wahai kaumku!
Inilah puteri-puteri (negeri)ku mereka lebih suci bagimu, maka
bertakwalah kepada Allah dan janganlah kamu mencemarkan (nama)ku
terhadap tamuku ini. Tidak adakah di antaramu orang yang pandai?”.
Mereka menjawab, “Sesungguhya engkau pasti tahu bahwa kami tidak
mempunyai keinginan (syahwat) terhadap puteri-puterimu; dan engkau tentu
mengetahui apa yang (sebenarnya) kamu kehendaki”. Dan (Luth) berkata,
“Sekiranya aku mempunyai kekuatan (untuk menolakmu) atau aku dapat
berlindung kepada keluarga yang kuat (tentu aku lakukan)”. Mereka (para
mailkat) berkata, “Wahai Luth! Sesungguhnya kami adalah para utusan
Tuhanmu, mereka tidak akan dapat mengganggu kamu, sebab itu pergilah
bersama keluargamu pada akhir malam dan jangan ada seorangpun diantara
kamu yang menoleh kebelakang, kecuali istrimu. Sesungguhnya dia akan
(juga) ditimpa (siksaan) yang menimpa mereka. Sesungguhnya saat
terjadinya siksaan bagi mereka itu pada waktu subuh. Bukankah Subuh itu
sudah dekat?”. Maka ketika keputusan Kami datang, Kami
menjungkirbalikkan negeri kaum Luth, dan Kami hujani mereka mereka
bertubi-tubi dengan batu dari tanah yang terbakar. Yang diberi tanda
oleh Tuhanmu. Dan siksaan itu tiadalah jauh dari orang dholim”.
Dan, QS. al-Syu’ara [26]: 160-175; “Kaum Luth telah mendustakan
para rasul. Ketika saudara mereka Luth berkata kepada mereka, “Mengapa
kamu tidak bertakwa?”. Sungguh, aku adalah rasul kepercayaan (yang
diutus) kepadamu. Maka bertakwalah kepada Allah dan taatlah padaku. Dan
aku tidak meminta imbalan kepadamu atas ajakan itu; imbalanku hanyalah
dari Tuhan seluruh alam. Mengapa kamu mendatangi jenis laki-laki di
antara manusia”.
Sebelum menjelaskan lebih lanjut tentang beberapa ayat diatas,
kiranya akan saya hadapkan dengan ayat dalam QS Al-Nur [24]: 35,
dinyatakan bahwa Tuhan adalah cahaya langit dan bumi. Ayat ini
dapat dipahami secara eksplisit, bahwa Al-Qur’an adalah manifestasi
ajaran Tuhan yang mempunyai peranan sebagai dua cahaya, cahaya-Nya di
langit dan di bumi. Berkenaan dengan cahaya-Nya di bumi, Al-Qur’an
seyogianya dapat menjadi penerang bagi segala bentuk kegelapan,
mengangkat harkat dan martabat manusia—apa pun identitasnya, termasuk
berbeda orientasi seksualnya—serta memberikan direksi
perubahan-perubahan sosial. Dengan kata lain, umat Islam mempunyai
tanggung jawab yang sangat besar untuk menerjemahkan pesan-pesan Tuhan,
selain untuk terang langit juga terang bumi. Dan kaitannya dengan
diskursus LGBT, menginsyaratkan bahwa manusia dalam melakukan
interpretasi al-Qur’an harus dapat mengakomodir keberadaan mereka itu.
Makanya, Musdah berpendapat bahwa LGBT—sebagai manusia yang sama dan setara dihadapan Tuhan—merupakan sunnatullah (alamiah), sebagai ketentuan murni dari Tuhan, dan bukan konstruksi sosial. Penting juga dikemukakan, bukankah Islam itu rahmatan lil’alamin (mengasihi seluruh penghuni semesta)? Kalau kita sepakat menyatakan bahwa Islam adalah agama rahmatan lil’alamin, maka rahmat bagi komunitas LGBT pun menjadi niscaya.
Berdasarkan beberapa ayat yang telah dikemukakan di atas, ada
beberapa poin penting yang dapat disimpulkan bahwa ayat-ayat tersebut
berbicara seputar; Nabi Allah Luth As dimandati sebagai utusan dan
penyampai risalah sebagaimana peran Nabi-nabi selainnya; bersumber dari
wahyu Tuhan bahwa Nabi Luth hendak menyerukan kepada seluruh umat
manusia agar menjunjung tinggi nilai-nilai ketuhanan (tauhid) dan
nilai-nilai kemanusiaan (sosial), namun, betapapun ajaran-ajarannya itu
luhur, Nabi Luth sama sekali tidak pernah memaksakan apalagi berbuat
kekerasan; di ayat itu juga diberitakan adanya sebuah pembangkangan
serta kedholiman sehingga Tuhan menimpakan azabnya yang pedih (bukan
hanya kepada kaum sodom, melainkan pula pada masyarakat lain pada
umumnya, sebagai contoh yakni istrinya Nabi Luth yang tidak lesbian atau
tidak melakukan sodomi); lebih lanjut, realitas sosial masyarakat saat
itu mencerminkan fakta seputar seksualitas terutama menyangkut soal
perilaku seksual (ingat, bukan orientasinya) yang amat menyimpang, mulai
dari adanya unsur pemaksaan, penindasan, penganiayaan, dan
perilaku-perilaku seksual yang sarat dengan kekerasan, dan di antara
perilaku menyimpangnya itu adalah sodomi yang keterlaluan; sehingga
penimpaan azab Tuhan itu tidak hanya berlaku pada kaum Nabi Luth saja,
melainkan jauh sebelumnya, juga telah menimpa kaum Nabi-nabi lain
sebelumnya seperti azab-azab yang menimpa kaum Nabi Hud, Nuh, Shalih,
Syu’aib, dan lainnya yang menyimpang; dan terakhir, bahwa dalam ayat
tersebut, tidak ada perintah Tuhan untuk meminggirkan dan merendahkan
kaum homo (atau LGBT pada luasnya), apalagi perintah untuk memberontak
atau sampai membunuhnya, sekali lagi saya tegaskan tidak ada.
Nah, dengan demikian, persepsi arus utama dalam menyoal kaum Nabi
Luth yang sering disandingkan dengan azab pedihnya itu, substansinya
bukan karena soal orientasi dan identitas gender, melainkan berlaku
kepada siapapun umatnya (entah ia memiliki heteronormavitas atau
lainnya) yang berbuat kerusakan di muka bumi, maka secara otomatis murka
berupa azab Tuhan pasti berlaku. Karena Tuhan tidak menyukai
orang-orang yang berbuat kerusakan.
Untuk Kehidupan Adil dan Akomodatif
Islam dan prinsip kemanusiaan, tidak lain adalah sebuah kesatuan
untuk mewujudkan cita-cita sosialnya dalam mewujudkan kehidupan yang
adil dan akomodatif. Adil dan akomodatif terhadap siapa pun dan apa pun
identitasnya, termasuk keadilan dan akomodatif bagi komunitas LGBT. Ya,
di bawah ini adalah beberapa kesimpulan, atas uraian sederhana di atas,
dalam mewujudkan kehidupan adil dan akomodatif itu.
Pertama, merekonstruksi dan mengkontekstualisasi
interpretasi atas teks-teks keagamaan yang rigid dan ekslusif, menjadi
lentur dan inklusif. Terutama, berkenaan dengan banyak ayat yang
menyorot seputar diskursus realitas kaum Nabi Luth As. Karena
interpretasi rigid dan eksklusif ini, begitu mengakar kuat—tidak hanya
dalam masyarakat awam, melainkan dalam masyarakat cendekiawan juga—dalam
budaya menginterpretasikan teks-teks keagamaan.
Kedua, merubah budaya atau tradisi dalam masyarakat,
terutama dalam soal relasi gender yang timpang. Yakni tentang cara
pandang di sebagian besar masyarakat yang selalu menjadikan perempuan
sebagai objek seksual. Dan juga, bersikap terbuka dalam memahami
pelbagai macam orientasi seksual yang tidak hanya heteroseksual (dengan
paradigmanya heteronormavitas), melainkan juga terbuka terhadap
orientasi seksual; homoseksual, biseksual, dan aseksual.
Ketiga, memperkuat gagasan dan gerakan yang berkenaan
langsung dengan seksualitas ke tengah masyarakat, terutama masyarakat
awam. Beberapa di antaranya, selain menyangkut orientasi seksual, juga
menyangkut soal pemahaman seksualitas yang lain seperti: perilaku
seksual, identitas gender, transgender, dan lain sebagainya.
Keempat, mengaspirasikan gagasan dan gerakan ke jalur
struktural, yakni dengan mengupayakan sebuah kebijakan publik dan
regulasi kepada pemerintah, yang khusus mengatur dan mengakomodir
hak-hak manusia, yang langsung bersentuhan dengan hak-hak komunitas
LGBT, untuk dapat diterima dan berkehidupan layak dengan masyarakat luas
pada galibnya.
Empat upaya di atas, saya usulkan sebagai kesimpulan uraian
sederhana yang telah saya eksplorasi, sebagai upaya dalam memanusiakan
komunitas LGBT untuk kehidupan adil dan akomodatif.
Penutup
Meskipun saya telah menyimpulkan beberapa upaya, tetap saja
diperlukan penghayatan yang tekun dan dingin, dalam merekonstruksi
pandangan diskriminatif arus utama selama ini, sebab (lagi-lagi),
perkara semacam ini bukan hanya masih menjadi persoalan (yang dianggap)
menyimpang bagi kelompok masyarakat awam, melainkan para
cendikiawan-cerdas pun tak jarang masih terpengaruh oleh pandangan
diskriminatif ini.
Oleh karena itu, dibutuhkan kajian-kajian ilmiah lebih lanjut dan
kontinyu, agar dapat menciptakan sebuah paradigma baru dalam membaca
setiap apa pun problematika yang mendera, khususnya terkait dengan
diskursus LGBT. Membaca ulang sumber-sumber otoritatif di sini menjadi
keharusan, sebagaimana spiritnya yang dapat menerangi segala bentuk
kegelapan (dalam bentuk) pemahaman, menuju cerah dan mencerahkan.
Karena, suatu hal yang mustahil jika al-Qur’an ataupun hadits
melegitimasi tindak diskriminatif dan kekerasan, hanya karena mereka
(komunitas LGBT) berbeda orientasi seksualnya dengan kebanyakan.
Demikian. Wallahu ‘alam bi al-Shawab.
Rujukan
Abdul Moqsith Ghazali, “Aswaja dan Implementasi Kemaslahatan Publik”. Jurnal Taswirul Afkar, edisi No. 19 (Jakarta: LAKPESDAM NU, 2006).
Annastasia Melliana S, Menjelajahi Tubuh Perempuan dan Mitos Kecantikan. Cet. I, (Yogyakarta: LKiS, 2006).
Gayle Rubin, Thinking Sex: Notes for a Radical Theory of The Politics of Sexsuality. (Boston and London, 1984), hlm.
Husein Muhammad, Spiritualitas Kemanusiaan: Perspektif Islam Pesantren. Cet. I, (Yogyakarta: Pustaka Rihlah, 2006).
Kamilia Manaf, Memilih “Diam” Tidak Memulihkan Keadaan” dalam Kata Pengantar, Pelangi Perempuan: Kumpulan Cerpen dan Puisi Lesbian Muda Indonesia, ibid.
Mariana Amiruddin, Lesbian, Inspirasi Bagi Gerakan Perempuan, dalam Kata Pengantar Buku Pelangi Perempuan.
Siti Musdah Mulia, Islam Ramah Terhadap Lesbian, dalam Kata Pengantar, Cet. I, (Pelangi Perempuan. Jakarta: Institut Pelangi Perempuan, 2008).
Siti Musdah Mulia, Islam dan Hak Asasi Manusia: Konsep dan Implemetasinya. Cet. I, (Yogyakarta: Naufan Pustaka, 2010).
*) Makalah disampaikan pada Diskusi Komunitas MB2 [Melek
Bengi-bengi], Pesantren Babakan Ciwaringin, Kabupaten Cirebon. Kamis
malam Jum’at, 4 Oktober 2012.
[1] Abdul Moqsith Ghazali, “Aswaja dan Implementasi Kemaslahatan Publik”. Jurnal Taswirul Afkar, edisi No. 19 (Jakarta: LAKPESDAM NU, 2006), hlm. 109.
[2] Husein Muhammad, Spiritualitas Kemanusiaan: Perspektif Islam Pesantren. Cet. I, (Yogyakarta: Pustaka Rihlah, 2006), hlm. 7.
[3] Ibid, hal. 8.
[4] Lihat, QS. al-Baqarah [2]: 195 dan QS. al-Nahl [16]: 128.
[5] Annastasia Melliana S, Menjelajahi Tubuh Perempuan dan Mitos Kecantikan. Cet. I, (Yogyakarta: LKiS, 2006), hlm. 129.
[6] Gayle Rubin, Thinking Sex: Notes for a Radical Theory of The Politics of Sexuality. (Boston and London, 1984), hlm. 267-312.
[7] Siti Musdah Mulia, Islam Ramah Terhadap Lesbian, dalam Kata Pengantar, Cet. I, (Pelangi Perempuan. Jakarta: Institut Pelangi Perempuan, 2008), hlm. 15.
[8] Siti Musdah Mulia, Islam dan Hak Asasi Manusia: Konsep dan Implemetasinya. Cet. I, (Yogyakarta: Naufan Pustaka, 2010), hlm. 286.
[9] Kamilia Manaf, Memilih “Diam” Tidak Memulihkan Keadaan” dalam Kata Pengantar, Pelangi Perempuan: Kumpulan Cerpen dan Puisi Lesbian Muda Indonesia, ibid., hlm. 8.
[10] Saat menulis kata pengantar ini selaku Direktur Eksekutif Yayasan Jurnal Perempuan.
[11] Mariana Amiruddin, Lesbian, Inspirasi Bagi Gerakan Perempuan, dalam Kata Pengantar Buku Pelangi Perempuan, ibid, hlm. 11-12.
[12] Siti Musdah Mulia, Ibid., hlm. 14.
[13] Ibid, hlm. 16.
[ http://goo.gl/tm4MI]