Judul: Jejak Sufi: Membangun Moral Berbasis Spiritual
Penulis: Ahmad Kafabihi, dkk
Penerbit: Lirboyo Press, Kediri Jawa Timur
Cetakan I: Juni, 2011
Tebal: xxii + 298 halaman
Peresensi: Zainal Fanani (Mahasiswa jurusan Syari'ah Universitas Al-Ahgaff, Hadramaut, Yaman)
Tasawuf selama ini oleh sebagian pengamat—khususnya para orientalis—hanya dijadikan objek kajian untuk memperteguh tesisnya yang ingin menyatakan bahwa tradisi Islam hanyalah copy paste dari tradisi di luar Islam (Kristen, Yunani, Hindu,dll), di satu sisi. Sementara itu, pada sisi yang lain, sebagian golongan--yang kemudian lebih dikenal dengan ideologi puritanisasinya—memandang tasawuf bukanlah sebagai 'anak kandung' Islam. Hal ini lebih ditengarai karena istilah "tasawuf" sendiri tidak dikenal pada masa Rasulullah dan Sahabat. Ekses dari paham ini cukup serius, mereka tidak segan-segan melabeli bid'ah, musyrik, dan kafir kepada kelompok sufi yang merupakan representasi dari tasawuf.
Selain dua problem besar di atas, tasawuf juga selalu dipersepsikan sebagai pemicu stagnasi atau kemunduran yang sedang terjadi dalam dunia Islam.Tuduhan semacam ini harap dimaklumi, mengingat dalam konsep tasawuf banyak tuntunan yang menganjurkan untuk hidup zuhud (mengasingkan diri), tawakkal (nerimo ing pandum), dan tawadlu'.
Dari ilustrasi di atas tampak sekali bahwa tasawuf hanya dipahami secara "serampangan". Baik melalui pendekatan teori borrowing and influence (meminjam dan keterpengaruhan) yang digunakan oleh para sarjana orientalis. Atau dengan mengedepankan pemahaman tradisionalis an sich, seperti yang didakwahkan kalangan Salafi-puritan,i hanya akan mengantarkan tasawuf tercerabut dari akar tradisinya. Sedangkan melalui perspektif materialistik justru menjadikan tasawuf kehilangan relevansinya.
Selama ini dalam dunia tulis-menulis yang berkaitan dengan tasawuf, masih didominasi oleh akademisi di luar Pesantren. Masih sedikit para santri pondok pesantren yang menulis diskursus seputar tasawuf. Baru-baru ini telah terbit buku hasil kajian ilmiah seputar tasawuf yang ditulis oleh santri-santri yang tergabung dalam Team Karya Tulis Purna Siswa 2011 Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri. Sebuah hasil kajian dari kerja intelektual yang ditulis bukan atas dorongan akademik melainkan lebih karena -sedikit meminjam istilahnya Ahmad Baso—memposisikan dirinya sebagai subyek atau fa'il, bukan sebagai obyek atau maf'ul. Buku itu diberi judul: "Jejak Sufi, Membangun Moral Berbasis Spiritual."
Dalam buku ini, penulis hendak mengelaborasi genealogi atau akar sejarah tasawuf mulai dari awal kemunculannya, masa perkembangan, sampai pada masa pertumbuhan. Pembaca juga dimudahkan dengan disertakannya periodesasi kurun hidup para sufi dalam buku ini. Selain dari pada itu, penulis juga berusaha mensinergikan kesenjangan yang terjadi antara dunia tasawuf dengan syari'at. Corak tasawuf seperti: sunni, falsafi, dan salafi beserta para tokohnya pun tidak lepas dari kajian penulis buku ini.
Selanjutnya penulis juga membandingkan antara tasawuf dengan tarekat. Menurut penulis, kemunculan tarekat lebih dipicu oleh perbedaan tata cara para tokoh sufi terdahulu dalam menempuh jalan keruhanian. Dalam banyak hal, buku ini juga bisa dikatakan "cukup" berhasil dalam mengungkap urgensi tarekat di era kekinian serta menjadikannya sebagai alat perubahan, setidaknya dalam hal Islamisasi, politik, anti kolonialisme, bahkan sampai pada penyembuhan terhadap korban narkotika.
Kemasan bahasa yang sederhana tetapi berbobot juga menjadikan buku ini semakin bernilai lebih. Dikatakan 'bernilai lebih' karena akan membantu para pembaca untuk memahami istilah-istilah yang terdapat dalam kamus kaum sufi, misalnya: jadzhab, syatahat, maqâmât, ahwâl, muqârabah, mahabah, dll.
Meskipun secara eksplisit buku ini tidak mengajukan sanggahan atau kritik balik terhadap kalangan yang meragukan eksistensi tasawuf, tetapi lebih dari itu, buku ini sengaja didesain sebagai — bahasanya Kiai Said Aqil dalam pengantar— sebuah upaya kritik sosial dalam kehidupan masyarakat yang belakangan ini lebih mengarah pada perilaku konsumerisme, hedonisme, dan materialisme. Maka, dengan cara ini tasawuf akan selalu kontekstual dalam segala ruang dan waktu.
Karena sangat urgennya tasawuf dalam kehidupan sosial, Mbah Sahal—sapaan akrab KH MA Sahal Mahfudh— dalam pengantar buku ini menyatakan: "Di era globalisasi seperti sekarang ini, tasawuf adalah aspek yang sangat penting dalam kehidupan kita. Tasawuf adalah inspirasi dan spiritualitas yang dapat menjamin kebenaran dan kebersihan segala amaliah kita. Tasawuf sebagai perilaku sudah melampaui ukuran benar dan salah, halal dan haram. Dengan demikian dia tidak akan mengklaim kebenaran hanya dengan dasar dalil dan argumentasi sebagaimana yang sering terjadi akhir-akhir ini."
KH Ahmad Idris Marzuqi, pengasuh pesantren Lirboyo, dalam kata sambutannya menuliskan: "Buku ini sangat layak untuk dibaca oleh para pengkaji tasawuf dan peminat kajian keislaman lainnya. Karena di samping isinya yang sarat dengan pendapat-pendapat Ulama al-Salaf al-Salih, bahasanya juga sederhana dan mudah dipaham."
Senada dengan Kiai Idris, Kiai Said Aqil yang juga menegaskan: "Kehadiran buku yang tengah kita baca ini diharapkan mampu menjadi jembatan agar lebih mudah memahami dan mengamalkan tasawuf dalam keseharian kita". Dengan demikian, berarti buku ini semacam 'ensiklopedia' bagi siapa saja yang ingin mengkaji tasawuf beserta seluk beluknya.*
Baca juga di : http://www.nu.or.id/ a,public-m,dinamic-s,detail -ids,12-id,34786-lang,id-c ,buku-t,Urgensi+Tasawuf+di +Era+Globalisasi-.phpx
dan http://www.kenkiai.com/ 2011/08/ turats-purna-siswa-2011-mhm -lirboyo.html
Penulis: Ahmad Kafabihi, dkk
Penerbit: Lirboyo Press, Kediri Jawa Timur
Cetakan I: Juni, 2011
Tebal: xxii + 298 halaman
Peresensi: Zainal Fanani (Mahasiswa jurusan Syari'ah Universitas Al-Ahgaff, Hadramaut, Yaman)
Tasawuf selama ini oleh sebagian pengamat—khususnya para orientalis—hanya dijadikan objek kajian untuk memperteguh tesisnya yang ingin menyatakan bahwa tradisi Islam hanyalah copy paste dari tradisi di luar Islam (Kristen, Yunani, Hindu,dll), di satu sisi. Sementara itu, pada sisi yang lain, sebagian golongan--yang kemudian lebih dikenal dengan ideologi puritanisasinya—memandang tasawuf bukanlah sebagai 'anak kandung' Islam. Hal ini lebih ditengarai karena istilah "tasawuf" sendiri tidak dikenal pada masa Rasulullah dan Sahabat. Ekses dari paham ini cukup serius, mereka tidak segan-segan melabeli bid'ah, musyrik, dan kafir kepada kelompok sufi yang merupakan representasi dari tasawuf.
Selain dua problem besar di atas, tasawuf juga selalu dipersepsikan sebagai pemicu stagnasi atau kemunduran yang sedang terjadi dalam dunia Islam.Tuduhan semacam ini harap dimaklumi, mengingat dalam konsep tasawuf banyak tuntunan yang menganjurkan untuk hidup zuhud (mengasingkan diri), tawakkal (nerimo ing pandum), dan tawadlu'.
Dari ilustrasi di atas tampak sekali bahwa tasawuf hanya dipahami secara "serampangan". Baik melalui pendekatan teori borrowing and influence (meminjam dan keterpengaruhan) yang digunakan oleh para sarjana orientalis. Atau dengan mengedepankan pemahaman tradisionalis an sich, seperti yang didakwahkan kalangan Salafi-puritan,i hanya akan mengantarkan tasawuf tercerabut dari akar tradisinya. Sedangkan melalui perspektif materialistik justru menjadikan tasawuf kehilangan relevansinya.
Selama ini dalam dunia tulis-menulis yang berkaitan dengan tasawuf, masih didominasi oleh akademisi di luar Pesantren. Masih sedikit para santri pondok pesantren yang menulis diskursus seputar tasawuf. Baru-baru ini telah terbit buku hasil kajian ilmiah seputar tasawuf yang ditulis oleh santri-santri yang tergabung dalam Team Karya Tulis Purna Siswa 2011 Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri. Sebuah hasil kajian dari kerja intelektual yang ditulis bukan atas dorongan akademik melainkan lebih karena -sedikit meminjam istilahnya Ahmad Baso—memposisikan dirinya sebagai subyek atau fa'il, bukan sebagai obyek atau maf'ul. Buku itu diberi judul: "Jejak Sufi, Membangun Moral Berbasis Spiritual."
Dalam buku ini, penulis hendak mengelaborasi genealogi atau akar sejarah tasawuf mulai dari awal kemunculannya, masa perkembangan, sampai pada masa pertumbuhan. Pembaca juga dimudahkan dengan disertakannya periodesasi kurun hidup para sufi dalam buku ini. Selain dari pada itu, penulis juga berusaha mensinergikan kesenjangan yang terjadi antara dunia tasawuf dengan syari'at. Corak tasawuf seperti: sunni, falsafi, dan salafi beserta para tokohnya pun tidak lepas dari kajian penulis buku ini.
Selanjutnya penulis juga membandingkan antara tasawuf dengan tarekat. Menurut penulis, kemunculan tarekat lebih dipicu oleh perbedaan tata cara para tokoh sufi terdahulu dalam menempuh jalan keruhanian. Dalam banyak hal, buku ini juga bisa dikatakan "cukup" berhasil dalam mengungkap urgensi tarekat di era kekinian serta menjadikannya sebagai alat perubahan, setidaknya dalam hal Islamisasi, politik, anti kolonialisme, bahkan sampai pada penyembuhan terhadap korban narkotika.
Kemasan bahasa yang sederhana tetapi berbobot juga menjadikan buku ini semakin bernilai lebih. Dikatakan 'bernilai lebih' karena akan membantu para pembaca untuk memahami istilah-istilah yang terdapat dalam kamus kaum sufi, misalnya: jadzhab, syatahat, maqâmât, ahwâl, muqârabah, mahabah, dll.
Meskipun secara eksplisit buku ini tidak mengajukan sanggahan atau kritik balik terhadap kalangan yang meragukan eksistensi tasawuf, tetapi lebih dari itu, buku ini sengaja didesain sebagai — bahasanya Kiai Said Aqil dalam pengantar— sebuah upaya kritik sosial dalam kehidupan masyarakat yang belakangan ini lebih mengarah pada perilaku konsumerisme, hedonisme, dan materialisme. Maka, dengan cara ini tasawuf akan selalu kontekstual dalam segala ruang dan waktu.
Karena sangat urgennya tasawuf dalam kehidupan sosial, Mbah Sahal—sapaan akrab KH MA Sahal Mahfudh— dalam pengantar buku ini menyatakan: "Di era globalisasi seperti sekarang ini, tasawuf adalah aspek yang sangat penting dalam kehidupan kita. Tasawuf adalah inspirasi dan spiritualitas yang dapat menjamin kebenaran dan kebersihan segala amaliah kita. Tasawuf sebagai perilaku sudah melampaui ukuran benar dan salah, halal dan haram. Dengan demikian dia tidak akan mengklaim kebenaran hanya dengan dasar dalil dan argumentasi sebagaimana yang sering terjadi akhir-akhir ini."
KH Ahmad Idris Marzuqi, pengasuh pesantren Lirboyo, dalam kata sambutannya menuliskan: "Buku ini sangat layak untuk dibaca oleh para pengkaji tasawuf dan peminat kajian keislaman lainnya. Karena di samping isinya yang sarat dengan pendapat-pendapat Ulama al-Salaf al-Salih, bahasanya juga sederhana dan mudah dipaham."
Senada dengan Kiai Idris, Kiai Said Aqil yang juga menegaskan: "Kehadiran buku yang tengah kita baca ini diharapkan mampu menjadi jembatan agar lebih mudah memahami dan mengamalkan tasawuf dalam keseharian kita". Dengan demikian, berarti buku ini semacam 'ensiklopedia' bagi siapa saja yang ingin mengkaji tasawuf beserta seluk beluknya.*
Baca juga di : http://www.nu.or.id/
dan http://www.kenkiai.com/