al-Ijma’
Senin, 20 Oktober 2008
Mayoritas fuqaha dan ahli ushul mendefenisikan ijma’
sebagai kesepakatan seluruh ulama atas suatu persoalan hukum yang ada
pada masa tertentu setelah wafatnya Nabi. Mereka memposisikan ijma’
sebagai salah satu sumber hukum Islam. Karena definisi ijma’ yang
demikian, maka para ulama sampai pada kesimpulan bahwa ijma’ hanya bisa
terjadi pada masa sahabat saja, sedang setelahnya tidak mungkin.
Dengan demikian, pintu ijma’ telah tertutup rapat
dan mustahil untuk membukanya kembali. Pandangan seperti ini tidak
sepenuhnya salah jika kita merujuk pada konsep ijma’ yang diajukan oleh
mayoritas fuqaha dan ahli ushul. Tetapi ia juga bukan tanpa masalah,
sebab menutup pintu ijma’ juga sama dengan mempersempit ruang gerak
syura. Padahal syura merupakan ajaran yang sangat penting dalam Islam
yang semestinya harus dikembangkan, bukan malah dipersempit.
Jika kita tetap mempertahankan konsep ijma’ sebagaimana yang dipegangi oleh mayoritas fuqaha dan ahli ushul, rasanya tak mungkin untuk membuka kembali pintu ijma’. Kesadaran untuk selalu membuka pintu ijma’ pada dasarnya telah bisa kita lacak pada diri Muhammad ibn Ibrahim al-Mundzir al-Naisaburi atau yang lebih dikenal dengan nama Ibn al-Mundzir.
Kebanyakan sumber yang ada di tangan kita tidak menjelaskan kapan Ibn al-Mundzir lahir. Hanya saja menurut al-Zarkali, ia lahir kira-kira dipenghujung kematian Imam Ahmad ibn Hanbal, dan meninggal tahun 318 H di Makkah. Tokoh yang satu ini sebenarnya tidak memiliki darah intelektual, tak ada dari keluaranya yang dikenal karena keilmuannya. Sebab, keluarganya lebih suka mencari kekayaan duniawi dari pada ilmu pengetahuan.
Tetapi takdir berkata lain, Ibn al-Mundzir tidak mengikuti jejak keluarganya. Sebab, ia malah belajar ilmu-ilmu agama dan berhasil menguasainya dengan baik sehingga menghantarkan dirinya sebagai salah satu intelektual Muslim yang disegani. Ia mengembara ke Mesir untuk belajar hadits kepada Bakkar ibn Qutaibah (W. 270 H). Dan belajar fikih kepada Muhammad ibn ‘Abdlah al-Hakam (W. 268 H) seorang seorang mufti Mesir serta ber-talaqqi kepada ar-Rabi’ ibn Sulaiman (W. 270. H) yang merupakan sahabat sekaligus murid Imam Syafi’i. Setelah itu ia pergi ke Makkah dan belajar hadits kepada Muhammad Ibn Isma’il ash-Sha`i’ (W. 276. H). Di kota Makkah-lah Ibn al-Mudzir menghabiskan seluruh usiannya untuk menulis, mengajar, dan memberi fatwa sehingga ia menjadi Guru Besar Tanah Suci (Syeikh al-Haram al-Makki).
Dari tangan emasnya banyak lahir karya-karya bermutu, di antaranya ialah Tafsir al-Quran al-Karim, al-Sunan al-Mabsut, al-Awsath min al-Sunan wa al-Ijma’ wa al-Ikhtilaf, al-Isyraf, al-Iqna’, Itsbat al-Qiyas, Tasyrif al-Ghani ‘ala al-Faqir, Jami’ al-Adzkar, dan al-Ijma’.
Jika kita tetap mempertahankan konsep ijma’ sebagaimana yang dipegangi oleh mayoritas fuqaha dan ahli ushul, rasanya tak mungkin untuk membuka kembali pintu ijma’. Kesadaran untuk selalu membuka pintu ijma’ pada dasarnya telah bisa kita lacak pada diri Muhammad ibn Ibrahim al-Mundzir al-Naisaburi atau yang lebih dikenal dengan nama Ibn al-Mundzir.
Kebanyakan sumber yang ada di tangan kita tidak menjelaskan kapan Ibn al-Mundzir lahir. Hanya saja menurut al-Zarkali, ia lahir kira-kira dipenghujung kematian Imam Ahmad ibn Hanbal, dan meninggal tahun 318 H di Makkah. Tokoh yang satu ini sebenarnya tidak memiliki darah intelektual, tak ada dari keluaranya yang dikenal karena keilmuannya. Sebab, keluarganya lebih suka mencari kekayaan duniawi dari pada ilmu pengetahuan.
Tetapi takdir berkata lain, Ibn al-Mundzir tidak mengikuti jejak keluarganya. Sebab, ia malah belajar ilmu-ilmu agama dan berhasil menguasainya dengan baik sehingga menghantarkan dirinya sebagai salah satu intelektual Muslim yang disegani. Ia mengembara ke Mesir untuk belajar hadits kepada Bakkar ibn Qutaibah (W. 270 H). Dan belajar fikih kepada Muhammad ibn ‘Abdlah al-Hakam (W. 268 H) seorang seorang mufti Mesir serta ber-talaqqi kepada ar-Rabi’ ibn Sulaiman (W. 270. H) yang merupakan sahabat sekaligus murid Imam Syafi’i. Setelah itu ia pergi ke Makkah dan belajar hadits kepada Muhammad Ibn Isma’il ash-Sha`i’ (W. 276. H). Di kota Makkah-lah Ibn al-Mudzir menghabiskan seluruh usiannya untuk menulis, mengajar, dan memberi fatwa sehingga ia menjadi Guru Besar Tanah Suci (Syeikh al-Haram al-Makki).
Dari tangan emasnya banyak lahir karya-karya bermutu, di antaranya ialah Tafsir al-Quran al-Karim, al-Sunan al-Mabsut, al-Awsath min al-Sunan wa al-Ijma’ wa al-Ikhtilaf, al-Isyraf, al-Iqna’, Itsbat al-Qiyas, Tasyrif al-Ghani ‘ala al-Faqir, Jami’ al-Adzkar, dan al-Ijma’.
Melalui salah satu karyanya yang berjudul
al-Ijma’, Ibn al-Mundzir secara eksplisit ingin menyatakan
bahwa ijma’ bukan semata konsensus semua ulama, tetapi ia juga merupakan
kesepakatan mayoritas ulama. Dalam buku ini kita akan disuguhkan
masalah-masalah fikih yang disepakati oleh mayoritas ulama.
Karya Ibn al-Mundzir ini menghimpun 765 ijma’ dan tidak semuanya adalah kesepakatan seluruh ulama, tetapi juga kesepakatan mayoritas ulama. Misalnya adalah kesepakatan para ulama kecuali al-Hasan al-Bashri bahwa mandi untuk ihram adalah tidak wajib. [H. 49]. Dan kesepakatan mereka kecuali Sa’id bin al-Musayyab tentang keharaman sembelihan orang Majusi. [H. 58].
Berbeda dengan Maratib al-Ijma’ karya Ibn Hajm, di mana masalah-masalah yang pun yang memperselisihkannya. Inilah yang menjadi sasaran kritik Ibn Taimiyyah sebagiaman dikatakan oleh DR. Fuad Abd al-Mun’im Ahmad dalam pengantar buku al-Ijma’ (H. 14).
Jadi, buku ini lebih tepat disebut sebagai kumpulan kesepakatan mayoritas ulama, bukan kumpulan ijma’ dalam pengertian sebagai kesepakatan seluruh mujtahid atas hukum sesuatu persoalan yang ada setelah Nabi wafat.
Pandangan implisit Ibn al-Mundzir ini berseberangan dengan pandangan mayoritas ulama tentang ijma’. Mereka mendefiniskan ijma’ sebagai kesepakatan seluruh ulama. Konsekuensi dari pandangan ini adalah adanya ketertutupan pintu ijma’ setelah masa sahabat. Sebab, setelah era sahabat para ulama yang dimiliki umat Islam sudah sangat banyak dan tersebar di pelbagai daerah. Keadaan ini jelas tidak memungkin mereka untuk melakukan kesepakatan bersama dalam satu persoalan hukum.
Dengan kata lain, pada mulanya ijma’ adalah sumber hukum (bagi yang menganggapnya) atau salah satu metode untuk menetapkannya adalah sesuatu yang dinamis. Namun dalam perjalanannya ia kemudian dimandegkan oleh generasi setelah sahabat.
Jika kita mengikuti nalar ijma’ mayoritas ulama maka ketertutupan pintu ijma’ adalah sebuah keniscayaan. Tetapi hal ini akan mengakibatkan pada statisitas ijma’ sebagai hal yang dianggap oleh mayoritas ulama sebagai sumber hukum. Padahal sejatinya sebagai sumber hukum —menurut mayoritas ulama—, ijma’ haruslan dinamis dan produktif dalam menghasilkan ketetapan-ketetapan hukum yang tidak ditemukan baik dalam al-Qur`an maupun Sunnah.
Untuk keluar dari problem ini, maka gagasan Ibn al-Mundzir yang secara implisit mendefinisikan ijma’ sebagai kesepakatan mayoritas ulama perlu untuk diapresiasikan. Sebab, mustahil untuk mendinamiskan kembali dan memproduktifkan ijma’ sebagaimana yang pernah terjadi pada era sahabat tanpa upaya untuk membongkar maknanya dan mengembalikan peran yang pernah dimainkannya.
Pada titik ini—menurut hemat saya—gagasan Ibn al-Mundzir menemukan relevansinya. Melalui bukunya, ia ingin ingin menegaskan jika dirinya sedang menabrak mainstream dan berusaha sekuat tenaga untuk membuka pintu ijma’ yang telah ditutup rapat sebagai upaya untuk mengembalikannya kepada keadaan semula.
Upaya Ibn al-Mundzir untuk membuka kembali pintu ijma’ pada dasarnya adalah upaya untuk mengembalikan ruh syura. Sebab, penutupan pintu ijma’ sama artinya menutup pintu syura yang merupakan salah satu dari nilai Islam yang sangat penting.
Karya Ibn al-Mundzir ini menghimpun 765 ijma’ dan tidak semuanya adalah kesepakatan seluruh ulama, tetapi juga kesepakatan mayoritas ulama. Misalnya adalah kesepakatan para ulama kecuali al-Hasan al-Bashri bahwa mandi untuk ihram adalah tidak wajib. [H. 49]. Dan kesepakatan mereka kecuali Sa’id bin al-Musayyab tentang keharaman sembelihan orang Majusi. [H. 58].
Berbeda dengan Maratib al-Ijma’ karya Ibn Hajm, di mana masalah-masalah yang pun yang memperselisihkannya. Inilah yang menjadi sasaran kritik Ibn Taimiyyah sebagiaman dikatakan oleh DR. Fuad Abd al-Mun’im Ahmad dalam pengantar buku al-Ijma’ (H. 14).
Jadi, buku ini lebih tepat disebut sebagai kumpulan kesepakatan mayoritas ulama, bukan kumpulan ijma’ dalam pengertian sebagai kesepakatan seluruh mujtahid atas hukum sesuatu persoalan yang ada setelah Nabi wafat.
Pandangan implisit Ibn al-Mundzir ini berseberangan dengan pandangan mayoritas ulama tentang ijma’. Mereka mendefiniskan ijma’ sebagai kesepakatan seluruh ulama. Konsekuensi dari pandangan ini adalah adanya ketertutupan pintu ijma’ setelah masa sahabat. Sebab, setelah era sahabat para ulama yang dimiliki umat Islam sudah sangat banyak dan tersebar di pelbagai daerah. Keadaan ini jelas tidak memungkin mereka untuk melakukan kesepakatan bersama dalam satu persoalan hukum.
Dengan kata lain, pada mulanya ijma’ adalah sumber hukum (bagi yang menganggapnya) atau salah satu metode untuk menetapkannya adalah sesuatu yang dinamis. Namun dalam perjalanannya ia kemudian dimandegkan oleh generasi setelah sahabat.
Jika kita mengikuti nalar ijma’ mayoritas ulama maka ketertutupan pintu ijma’ adalah sebuah keniscayaan. Tetapi hal ini akan mengakibatkan pada statisitas ijma’ sebagai hal yang dianggap oleh mayoritas ulama sebagai sumber hukum. Padahal sejatinya sebagai sumber hukum —menurut mayoritas ulama—, ijma’ haruslan dinamis dan produktif dalam menghasilkan ketetapan-ketetapan hukum yang tidak ditemukan baik dalam al-Qur`an maupun Sunnah.
Untuk keluar dari problem ini, maka gagasan Ibn al-Mundzir yang secara implisit mendefinisikan ijma’ sebagai kesepakatan mayoritas ulama perlu untuk diapresiasikan. Sebab, mustahil untuk mendinamiskan kembali dan memproduktifkan ijma’ sebagaimana yang pernah terjadi pada era sahabat tanpa upaya untuk membongkar maknanya dan mengembalikan peran yang pernah dimainkannya.
Pada titik ini—menurut hemat saya—gagasan Ibn al-Mundzir menemukan relevansinya. Melalui bukunya, ia ingin ingin menegaskan jika dirinya sedang menabrak mainstream dan berusaha sekuat tenaga untuk membuka pintu ijma’ yang telah ditutup rapat sebagai upaya untuk mengembalikannya kepada keadaan semula.
Upaya Ibn al-Mundzir untuk membuka kembali pintu ijma’ pada dasarnya adalah upaya untuk mengembalikan ruh syura. Sebab, penutupan pintu ijma’ sama artinya menutup pintu syura yang merupakan salah satu dari nilai Islam yang sangat penting.
Ayat di atas dengan tegas memerintahkan kepada umat Islam untuk melakukan syura dalam pelbagai persoalan yang terkait dengan kemaslahatan publik atau menyangkut urusan bersama. Dalam konteks hukum, syura berarti adalah pencarian bersama ketetapan hukum pelbagai kasus yang dihadapi masyarakat.
Dengan demikian jika kita mengacu pada pandangan mayoritas ulama tentang dengan pandangan implisit Ibn al-Mundzir maka kemungkinan besar ijma’ dapat terjadi pada saat ini. Dan ijma’ —bagi kalangan yang menjadikannya sebagai sumber hukum— akan menjadi sumber yang dinamis dan produktif sebagaimana terjadi para era sahabat.
Tentang Buku
Judul | : | al-Ijma’ | ||||||||
Penulis | : | Ibn al-Mundzir | ||||||||
Penerbit | : | Ri`asah al-Mahakam asy-Syar’iyyah | ||||||||
wa as-Su`un ad-Diniyyah-Qatar | ||||||||||
Penyunting | : | DR. Fuad Abd al-Mun’im Ahmad | ||||||||
Cet. | : | Ke - 3 tahun 1407 H/ 1978 M | ||||||||
Tebal | : | 158 halaman |