“Dan barangsiapa berhijrah di jalan Allah, niscaya mereka akan
mendapatkan di bumi ini tempat hijrah yang luas dan (rizki) yang banyak.
Barangsiapa yang keluar dari rumahnya dengan maksud berhijrah karena
Allah dan Rasul-Nya, kemudian kematian menimpanya (sebelum sampai ke
tempat yang dituju), maka sungguh, pahalanya telah ditetapkan di sisi
Allah. Dan Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang”. Q.S. al-Nisa’/4: 100.
Berbagai kegiatan peringatan Tahun Baru Hijriah secara umum
terpusat pada mewujudkan semangat kebangkitan dan perubahan. Kebangkitan
umat Islam abad 15 yang sudah ditancapkan tonggaknya sejak 33 tahun
lalu, setidaknya telah membawa hasil positif meskipun di sana sini masih
terjadi kekurangan-kekurangan dan anomali-anomali. Betapa kita melihat
terjadi kebangkitan umat pada aspek pendidikan, ekonomi, politik, dan
budaya. Dapat disaksikan dalam kurun waktu 33 tahun maraknya
sekolah-sekolah Islam unggulan, sekolah-sekolah Islam terpadu, bahkan
sekolah-sekolah negeri, swasta yang tidak berlebelkan Islam pun tidak
kalah Islaminya dalam mengatur dunia kependidikannya. Dalam aspek
ekonomi, kita dapat menyaksikan adanya kebangkitan itu. Maraknya model
perekonomian syariah dan kajian-kajian tentang ekonomi Islam. Betapa
dapat dilihat maraknya bank-bank Syariah, transaksi-transaksi Islami
yang menjauhkan dari praktik-praktik manipulasi dan ribawi. Bank dan
universitas menjadi tertinggal bila tidak membuka praktik atau kajian
tentang ekonomi Islam. Pada aspek politik, kita dapat saksikan etika
politik semakin dipraktikan bahkan oleh kelompok atau partai yang tidak
Islam sekalipun. Perilaku Islami semakin digemari. Tidak ada lagi Islam
pobia. Islam justru digandrungi, diminati, dikaji bahkan akhirnya
dijadikan keyakinan oleh sekian juta masyarakat Barat. Islam adalah icon
kebangkitan agama abad ini. Semakin Islam dibenci, semakin banyak orang
yang mencintai. Kebangkitan itu nyata adanya.
Kebangkitan itu terjadi karena ada upaya untuk berubah, upaya untuk
menjadi lebih baik. Tidak dapat dipungkiri bahwa Islam adalah agama
perubahan. Islam menjadi agent of change (agen perubahan) bagi
perilaku, cara pandang, dan cara hidup individu, masyarakat, dan
bangsa. Islam datang untuk merubah tradisi yang telah mendarah
mendaging, pikiran yang telah membatu, sikap hidup statis dan jumud,
tata nilai yang membelenggu, dan kebiasaan yang mengungkung. Islam
datang untuk membebaskan diri, masyarakat, dan bangsa dari belenggu,
ikatan, dan kungkungan menuju kepada kondisi dinamis, bergerak dan maju.
Secara keseluruhan, dalam pandangan Islam, perubahan itu terjadi min al-kufr ilâ al-îmân (dari kekufuran berubah menjadi keimanan), min al-syirk ila al-tauhîd (dari kemusyrikan berubah menjadi Tauhid), min al-dzulumât ilâ al-nûr (dari gelap menuju terang), dan perubahan min al-jâhiliyyah ilâ al-’âlimiyyah (dari kebodohan berubah menjadi pengetahuan).
Islam datang untuk merubah kufur menjadi iman. Islam datang untuk menjelaskan hakekat Tuhan, menjelaskan inti makna lâ ilâha illallâh
(tiada tuhan selain Allah). Semua manusia diajak untuk meyakini adanya
Sang Pencipta, Sang Pemelihara, mentaati apa yang diperintah dan
menjauhi segala yang dilarang. Penolakan terhadap keberadaan-Nya berarti
kufur, mengingkari, dan membangkang-Nya. Allah berfirman: ”Dia-lah
yang menciptakan kamu Maka di antara kamu ada yang kafir dan di antaramu
ada yang mukmin. dan Allah Maha melihat apa yang kamu kerjakan”. (Q.S. al-Taghâbun/64: 2). Firman yang lain: ”Tidak
ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); Sesungguhnya telah jelas
jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu barangsiapa yang
kufur (ingkar) kepada Thâghût dan beriman kepada Allah, Maka
Sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang
tidak akan putus. dan Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui”. (Q.S. al-Baqarah/2: 256). Thâghût
dimaksudkan sebagai segala bentuk sesembahan selain dari Allah SWT.
Islam datang untuk merubah sikap manusia yang dahulu menolak,
mengingkari, mengabaikan, bahkan menentang Tuhan, menjadi mengakui,
berserah diri, setia, dan mematuhi-Nya. Banyak manusia yang tadinya kufur i’tiqâdî (menolak keberadaan Allah), atau kufur ni’mah
(mengingkari kenikmatan yang diberikan Allah), berobah menjadi mukmin
sejati, mengakui keberadaan-Nya dan mensyukuri nikmat yang diberikan
kepadanya.
Islam datang untuk merubah syirik menjadi tauhid. Kita paham
kondisi masyarakat Quraisy sebelum Islam dengan tradisi kemusyrikannya
(paganisme). Selain menyembah Allah, mereka mengakui keberadaan
tuhan-tuhan lain yang diyakini dapat mempengaruhi pola hidupnya. Maka
mereka membuat patung-patung untuk disembah selain Allah. Di satu sisi
menyembah Allah, tapi di sisi lain memohon kesejahteraan, rizki, dan
kesehatan kepada selain Allah. Patung-patung yang disembah itu kemudian
berkembang tidak saja berupa batu, tapi bisa juga dalam bentuk
tumbuh-tumbuhan, binatang, makanan, kekayaan, dan harta benda. Islam
datang untuk menghapuskan bentuk perselingkuhan terhadap Allah itu,
dimana disatu sisi mengakui Allah, tapi secara diam-diam mengakui pula
tuhan yang lain. Allah berfirman: ”... Apakah Sesungguhnya kamu
mengakui bahwa ada tuhan-tuhan lain di samping Allah?" Katakanlah: "Aku
tidak mengakui." Katakanlah: "Sesungguhnya Dia adalah Tuhan yang Maha
Esa dan Sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kamu persekutukan
(dengan Allah)". (Q.S. al-An’âm/6: 19). Manusia hanya disuruh menyembah kepada Tuhan yang Esa, tidak untuk menyekutukan-Nya: ”...
Katakanlah "Sesungguhnya aku hanya diperintah untuk menyembah Allah dan
tidak mempersekutukan sesuatupun dengan Dia. Hanya kepada-Nya aku seru
(manusia) dan hanya kepada-Nya aku kembali". (Q.S. al-Ra’d/13: 36).
Islam datang untuk merubah gelap menjadi terang. Islam datang
sebagai obor yang menyinari hati, pikiran dan jiwa sehingga terang
bercahaya. Islam adalah cahaya dan Tuhan itu sendiri adalah cahaya di
atas segala cahaya (nûr ’alâ nûr). Cahaya Tuhan bersinar begitu terang menembus menyinari siapa saja yang dikehendaki-Nya. ”Perumpamaan
cahaya Allah, adalah seperti sebuah lubang yang tak tembus, yang di
dalamnya ada pelita besar. pelita itu di dalam kaca (dan) kaca itu
seakan-akan bintang (yang bercahaya) seperti mutiara, yang dinyalakan
dengan minyak dari pohon yang berkahnya, (yaitu) pohon zaitun yang
tumbuh tidak di sebelah timur (sesuatu) dan tidak pula di sebelah
barat(nya), yang minyaknya (saja) hampir-hampir menerangi, walaupun
tidak disentuh api. Cahaya di atas cahaya (berlapis-lapis), Allah
membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang Dia kehendaki, dan Allah
memperbuat perumpamaan-perumpamaan bagi manusia, dan Allah Maha
mengetahui segala sesuatu. (Q.S. al-Nûr/24: 35).
Untuk merubah gelap menjadi terang, Allah menurunkan al-Quran
sebagai pedoman hidup, siapa yang berpegang teguh kepadanya akan
bersinar hidupnya, siapa yang mengabaikan al-Quran akan gelap gulita
jiwa dan kehidupannya. ”Alif, laam raa. (ini adalah) kitab yang Kami
turunkan kepadamu supaya kamu mengeluarkan manusia dari gelap gulita
kepada cahaya terang benderang dengan izin Tuhan mereka, (yaitu) menuju
jalan Tuhan yang Maha Perkasa lagi Maha Terpuji”. (Q.S. Ibrâhîm/14:
1). Kondisi gelap tentu berbeda dari kondisi terang. Gelap tidak dapat
melihat apa-apa, sedangkan suasana terang akan menampakkan segala
kebenaran. ”Dan tidak (pula) sama gelap gulita dengan cahaya, dan tidak (pula) sama yang teduh dengan yang panas” (Q.S. Fâthir/35: 20-21).
Islam datang untuk merubah al-jâhiliyyah (kebodohan) menjadi al-’âlimiyyah
(pengetahuan). Masyarakat sebelum Islam disebut sebagai masyarakat
jahiliyah, tidak saja dimaknai sebagai masyarakat yang tidak memiliki
ilmu pengetahuan, tapi dimaksudkan sebagai masyarakat yang tidak dapat
menerapkan ilmu pengetahuan untuk tujuan-tujuan membangun peradaban,
membentuk perilaku, dan mempertinggi martabat. Abu Sofyan, pemimpin
Quraisy, adalah pemimpin masyarakat jahiliyah itu. Bukanlah dimaksudkan
Abu Sofyan tidak mempunyai ilmu dan keahlian. Dia adalah politisi hebat
yang berhasil menaklukkan suku-suku Arab lainnya tunduk dalam
kekuasaannya. Dia disebut pemimpin Jahiliyyah karena kekuasaan yang
dimiliki tidak untuk kesejahteraan dan keadilan masyarakat, melainkan
untuk menguasai, mendominasi dan menindas, untuk menginjak dan
mengerdilkan mereka.
Maka al-Quran menyebutkan kategori jahiliyyah ke dalam empat aspek: 1). Zann al-Jâhiliyyah
(prasangka Jahiliyyah), yaitu ketika seseorang memiliki prasangka buruk
kepada Allah, maupun manusia (Q.S. Alî ’Imrân/3: 154). 2). Hukm al-Jâhiliyyah
(hukum jahiliyyah), yaitu hukum, undang-undang, peraturan yang dibuat
tidak berdasar keadilan dan kepentingan manusia secara umum, tapi untuk
kepentingan pribadi, keluarga, kelompok, atau golongannya (Q.S.
al-Mâ’idah/5: 50). 3). Tabarruj al-Jâhiliyyah (busana
jahilyah), yaitu ketika seseorang atau masyarakat mengikuti mode yang
mengumbar aurat, menampakkan bagian-bagian sensual, untuk membangkitkan
nafsu syahwat (Q.S. al-Ahzâb/33: 33). 4). Hamiyyah al-Jahiliyyah
(kecongkakan jahiliyah), yaitu ketika seseorang sombong, congkah dan
angkuh dengan harta yang dimiliki, ilmu yang diraih, atau kekuasaan yang
dalam genggaman (Q.S. al-Fath/48: 26).
Hijrah Konsep Perubahan sebagai solusi
Di dalam al-Quran, kata-kata hijrah dengan berbagai derifasinya
disebutkan sebanyak 31 kali. Al-Quran terkadang menyebutkankannya untuk
menunjuk pada perintah merubah perilaku (meninggalkan perbuatan keji
menuju perbuatan baik), seperti yang terdapat dalam Q.S.
al-Muddatsir/74: 5: “dan hijrahlah (tinggalkanlah) segala (perbuatan)
yang keji”. Hijrah juga dimaknai sebagai pindah (menghindari) dari
orang-orang jahat, seperti: “Dan bersabarlah (Muhammad) terhadap apa
yang mereka katakan dan hijrahlah (tinggalkanlah) mereka dengan cara
yang baik”. (Q.S. al-Muzammil/73: 10). Hijrah juga digunakan guna
mendidik isteri ketika mulai tidak taat kepada suami:
“Perempuan-perempuan yang kamu khawatirkan akan nusyuz, hendaklah kamu beri nasihat kepada mereka, hijrahlah (tinggalkanlah) mereka dari tempat tidur”. (Q.S. al-Nisa’/4: 34).
Dalam sejarah Islam awal, hijrah dilakukan oleh Rasulullah Saw. dan
para shahabatnya beberapa kali, puncaknya adalah hijrah ke Yatsrib
(nama asli sebelum akhirnya diganti oleh Nabi dengan nama al-Madinah
al-Munawwarah). Hijrah itu dilakukan tidak sekedar pindah tempat dari
Makkah ke Madinah, bahkan tidak sekedar mendapatkan tujuan duniawi, tapi
ada tujuan utama yaitu untuk mencari keridhaan Allah dan Rasul-Nya.
Itulah maka ada hadits terkenal tentang pentingnya memasang niat pada
setiap pekerjaan, termasuk niat dalam berhijrah. Bila hijrah yang
dilakukan demi Allah dan dan Rasul-Nya, maka akan mendapatkan pahala
kebaikan dari Allah dan Rasul-Nya. Tapi bila tujuannya hanya ingin
mendapatkan kesenangan duniawi (dalam hadits itu disebutkan ingin
mendapatkan seorang gadis yang hendak dinikahinya), maka dia hanya akan
mendapatkan apa yang diinginkannya itu.
Tidak mudah seseorang untuk meninggalkan kampung halamannya menuju
kepada suatu tempat yang asing baginya. Berbagai kendala dihadapi ketika
sampai di tempat baru itu, keterasingan, serba kekurangan dan
keterbatasan. Dia belum mengenal orang-orang disekitarnya, maka harus
melakukan adaptasi. Dia tidak memiliki harta benda yang dijadikan
tumpuhan hidupnya di tempat baru itu. Dia belum memiliki teman yang
banyak sebanyak di tempat asalnya, maka gerakannya serba terbatas dan
sempit. Namun sebagaimana disebutkan dalam Q.S. al-Nisa’/4: 100 di atas,
Allah memberikan jaminan-Nya yang tegas. Buya Hamka menjelaskan, bila
saja ada rasa takut dalam perjalanan hijrah, misalnya dari Makkah ke
Madinah, maka Allah telah memberikan hamparan bumi tempat berlindung.
Sesampai di tempat yang baru itu, kesempitan dan kesusahan akan berubah
menjadi kelapangan dan kemudahan. Kalau selama ini dada tertekan, dan
siang malam selalu terancam, maka setelah hijrah, di tempat kediaman
yang baru itu semuanya akan hilang. (Hamka, Tafsir Al-Azhar, 1984: 225).
Di balik kesusahan itu ada cita-cita tinggi yang hendak
diperjuangkan. Maka seorang yang berhijrah berupaya keras untuk dapat
bangkit di tengah suasana terasing itu. Dia bekerja keras untuk
mendapatkan harta, berkenalaan dengan banyak orang untuk menunjang
usahanya itu, belajar dari para ahli untuk mengenali lingkungannya. Nabi
Muhammad Saw dan para shahabat pada hari-hari pertama di Madinah juga
mengalami hal di atas. Mereka datang tanpa harta benda dan sanak famili.
Mereka memulai babak kehidupan baru dalam rangka menyongsong kehidupan
yang lebih cerah. Mereka meninggalkan kehidupan di Makkah yang terus
menerus berada dalam rongrongan dan penindasan para penguasa Musyrikin
Quraisy.
Shuhaib adalah salah seorang shahabat Rasulullah Saw yang
terkemuka. Sejak sebelum hijrah, Shuhaib dikenal sebagai shahabat yang
kaya raya. Ketika perintah hijrah ke Madinah, dia meninggalkan Makkah
dengan seluruh hartanya. Di Madinah dia memulai kehidupan baru,
berhasil, bahkan lebih kaya daripada ketika masih di Makkah. Demikian
halnya shahabat Rasulullah lainnya, seperti Abdurrahman bin Auf. Seluruh
kekayaannya ditinggalkan di Makkah demi mengikuti perintah Rasulullah
Saw. Ketika ada kaum Anshar yang mencoba menyantuni, Abdurrahman bin Auf
menolak dengan mengatakan: Terimakasih, tunjukkan saja kepadaku, di
mana pasar. Aku tahu apa yang akan aku kerjakan”. Tidak beberapa lama,
Abdurrahman bin ‘Auf dikenal sebagai pendatang terkaya di Madinah.
Demikian halnya dengan para sahabat lain, seumpama Abu Bakar, Umar bin
al-Khattab, Usman, Ali, Khalid bin al-Walid, Sa’ad bin Abi Waqqash, Amer
bin al-Ash. Mereka dan ribuan sahabat lain menerima janji dan jaminan
Allah itu, mendapat perlindungan di muka bumi, mendapatkan kehidupan
yang lebih lapang. Dari tangan mereka umat Islam berkembang luas
membangun peradaban yang tinggi. (Hamka, Tafsir Al-Azhar, 1984: 225-226).
Kerjasama dan Tolong Menolong Dalam Proses Perubahan.
Ketulusan dalam berhijrah semata dalam rangka mencari keridhaan
Allah membawa hasil yang nyata. Allah akan memberikan pahala bagi siapa
yang sungguh-sungguh dalam menegakkan agama-Nya. Allah tidak akan
menelantarkan hambanya yang setia, melakukan pekerjaannya dengan
sungguh-sungguh. Allah berfirman: "Barangsiapa yang mengerjakan amal
shaleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka
sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan
sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang
lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan".(Q.S. al-Nahl/16: 97). Dan disebutkan dalam ayat lain: "Sesungguhnya
orang-orang yang beriman, orang-orang yang berhijrah dan berjihad di
jalan Allah, mereka itu mengharapkan rahmat Allah. Dan Allah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang". (Q. S. al-Baqarah/2: 218).
Apa yang dirasakan oleh Nabi dan para shahabat selesai melakukan
hijrah adalah sebuah karunia dan rahmat Allah (Q.S. al-Baqarah/2: 218,
al-Taubah/9: 20). Mereka di Madinah disambut dengan tangan terbuka penuh
keceriaan oleh sebagian besar warga Madinah (kaum Anshar). Kaum Anshar
membantu Nabi dan para shahabat yang berhijrah (kaum Muhajirin) ke
Madinah, segala keperluan yang mereka butuhkan; makanan, minuman, tempat
tinggal, bahkan pekerjaan dan usaha yang mereka inginkan untuk menopang
hidupnya. Agar di kemudian hari mereka tidak terus menerus hidup dalam
pemberian orang. Kata-kata kaum Anshar kepada kaum Muhajirin: ”Diyârunâ diyârukum, wa amwâlunâ amwâlukum, wa tijâratunâ tijâratukum, wa nahnu jamî’an ahlukum wa ashdiqâukum
(rumah-rumah kami adalah rumah-rumah kalian, harta benda kami adalah
harta benda kalian, perdagangan kami adalah kongsi antara kami dan
kalian. Kami semua adalah keluarga dan teman-teman kalian)”. Kaum
Muhajirin dan kaum Anshar saling kasih mengasihi, cinta mencintai,
tolong menolong menggalang ukhuwwah dan persatuan kokoh, hingga akhirnya
Madinah menjadi negeri yang sejahtera, makmur, penuh keadilan di bawah
kepemimpinan Rasulullah Saw. Dari peristiwa hijrah itu, Islam berkembang
meluas ke segala penjuru dunia, menembus ras, bangsa, agama dan
wilayah. Bahkan dengan semangat hijrah itu pula umat Islam pernah
mengalami kejayaan hingga menjadi super power dunia. Dengan
semangat hijrah, umat Islam membangun peradaban baru mengungguli
peradaban yang ada pada waktu itu. Dengan semangat hijrah pula mereka
bangkit melawan segala penindasan, kediktatoran, dan keserakahan.
Oleh karena itu, hijrah tidak saja dipahami sebagai perpindahan
dari suatu tempat ke tempat yang lain, tetapi lebih dari itu, mengandung
makna perpindahan dari suatu kondisi kepada kondisi lain, satu situasi
kepada situasi lain. Secara keseluruhan, hijrah dapat dilakukan dalam
tiga bentuk, yaitu: hijrah jasadiyyah (perpindahan fisikal), hijrah qalbiyyah (perpindahan hati), dan hijrah aqliyyah (perpindahan intelektual). Hijrah Jasadiyyah
adalah perubahan fisikal dari satu tempat ke tempat lain untuk
mendapatkan kehidupan yang lebih baik, dan lebih diridhai Allah. Hijrah Qalbiyyah
adalah upaya mengadakan perubahan sikap hati menuju yang lebih baik;
merubah sifat hati yang suka membenci menjadi suka mencintai, mendengki
menjadi mengasihi, kikir menjadi dermawan, sombong menjadi bersahaja,
malas menjadi bersemangat, tinggi hati menjadi rendah hati, egoistis
menjadi altruistis. Hijrah Aqliyyah adalah upaya mengadakan
perubahan secara intelektual, dari kebodohan menuju kepandaian, selalu
membaca, selalu ingin tahu yang sebelumnya masa bodoh, belajar dan terus
belajar memperbaiki kualitas intelektual, berkarya dan terus produktif
berkarya membangun peradaban mewujudkan kejayaan Islam.
Hijrah adalah konsep dinamisme dalam Islam, dimana Islam
mengajarkan umatnya untuk terus menjadi, berubah, berkembang, dan maju,
menjadi lebih baik dari sebelumnya. Islam membenci mereka yang menjadi jumud
(statis), mundur, diam, pasif, tidak produktif. Umat Islam seharusnya
menjadi umat yang maju, bukan umat yang mundur. Mereka adalah umat yang
rajin dan gigih bukan umat yang malas, umat yang penuh pencerahan bukan
umat yang berada dalam kegelapan. Semoga tahun baru hijriyah 1434 ini
mengingatkan kita tentang pentingnya belajar dari ajaran dinamisme dalam
Islam. Perubahan untuk kebangkitan dan kejayaan Islam.
Penulis :
Dr. H. Shobahussurur, M.A.
Anggota Dewan Pakar Masjid Raya Bani Umar