KONFERENSI Wilayah (Konferwil) Nahdlatul Ulama (NU) Jawa Timur
di Lebo, Sidoarjo, hari ini hingga lusa menyita perhatian banyak
kalangan. Selain karena posisi strategis NU di Jatim dan dalam konteks
nasional, momen lima tahunan ini beriringan dengan berbagai momen
politik.
Tidak bisa dimungkiri, beberapa kelompok kepentingan eksternal yang
terkait dengan pemilihan gubernur (pilgub) dan Pemilu 2014 telah lama
”mengintip” dinamika internal NU. Saat ini, mereka berusaha masuk dan
memengaruhi suasana, termasuk agenda pemilihan rais syuriah dan ketua
tanfidziyah lima tahun ke depan. Para peserta konferensi seyogianya
mengingat beberapa tantangan NU ke depan. Dengan demikian, godaan dan
pengaruh yang masuk dapat difilter, sehingga tidak merugikan jangka
panjang.
Menurut saya, ada tiga tantangan dan sekaligus agenda besar NU Jatim
ke depan. Tiga tantangan tersebut terutama terkait dengan arus
globalisasi yang mewujud dalam invasi kultural dan ekonomi dalam kemasan
pasar bebas. Tiga agenda itu adalah penguatan kelembagaan, kaderisasi,
dan kemandirian ekonomi.
Agenda pertama terkait dengan adagium bahwa ”NU adalah pesantren
besar dan pesantren adalah NU kecil”. Dengan kata lain, penguatan
kelembagaan NU diyakini membawa implikasi pada penguatan kelembagaan
pesantren. Tanpa itu, NU dan pesantren bisa jadi akan menjadi buih di
tengah lautan. Tampak besar di permukaan, tapi sebenarnya mudah
terombang-ambing gelombang.
Penguatan kelembagaan juga diperlukan untuk memperkukuh infrastruktur
internal NU. Sebagaimana kelembagaan pesantren telah mengalami
perubahan dan penguatan secara gradual, kelembagaan NU juga harus
diperkuat dengan arahan yang jelas. Di lingkungan pesantren, posisi kiai
(pimpinan pesantren) tetap menjadi sentral, namun struktur
kelembagaannya juga telah diperkuat dengan organisasi dan administrasi
modern.
Dalam konteks NU, posisi syuriah sebagai pemimpin tertinggi dan panduan moral nahdliyin
perlu terus diperkuat dari berbagai sisi. Pada saat yang sama,
penguatan struktur tanfidziyah sebagai pelaksana kebijakan syuriah juga
harus dilakukan secara simultan. Sebagaimana di pesantren, posisi
syuriah harus menjadi sentral dan kunci, sedangkan tanfidziyah menjadi
pelaksana teknis kebijakan syuriah.
Mengutip pendapat KH Hasyim Muzadi, penguatan syuriah bisa dilakukan dengan menggabungkan lima unsur di dalamnya. Yaitu: (1) fuqaha’ (ahli fikih) yang menerjemahkan hukum syar’i sesuai dengan konteks perkembangan zaman; (2) hukama’ yang sangat memahami seluk-beluk tata kenegaraan; (3) ahli riyadlah yang bisa menghidupkan indra batiniah (bashar dan bashirah); (4) gabungan mursyid dan murabbi; dan (5) para ahli lintas disiplin yang memahami berbagai ilmu bantu.
Jika hal itu dapat diwujudkan, agenda kedua secara otomatis telah
mendapat ruang memadai. Diakui atau tidak, selama ini proses kaderisasi
di tingkat kepengurusan NU cenderung kurang dinamis. Hal tersebut
terkait dengan posisi kepengurusan NU yang dianggap sebagai ”puncak
karir” seorang kader dalam ber-jam’iyah.
Sering terjadi, fungsionaris di dalam struktur NU biasanya enggan ke
posisi lain. Akibatnya, proses kaderisasi pun mandek dan banyak kader
potensial yang tidak terakomodasi dan tidak jarang justru ”dimanfaatkan”
organisasi lain dan menjadi generasi NU yang hilang (lost generation).
Karena itu, yang dilakukan PB NU pascamuktamar Makassar dengan
merekrut beberapa kader muda ke dalam struktur inti patut ditiru PW NU
Jatim. Tentu saja dengan memperhatikan rekam jejak personal dan
kaderisasi. Langkah PB NU yang tidak menabukan rotasi kepengurusan di
tengah jalan, sebagai bentuk reward and punishment, juga merupakan sebuah cermin bening yang tidak kalah penting.
Di atas itu semua, agenda kemandirian ekonomi menjadi variabel
determinan NU dalam konteks globalisasi. Tanpa kemandirian ekonomi, NU
akan selalu berada dalam bayang-bayang kepentingan politik dan ekonomi
kelompok lain. Upaya membangun kesadaran terhadap ancaman era pasar
bebas sebenarnya telah bergulir di arena konferwil. Terutama materi
sidang komisi program, rekomendasi dan pembahasan masalah-masalah
keagamaan (bahtsul masail diniyah).
Di tengah hiruk pikuk perang opini yang terjadi, tidak banyak pihak yang tahu bahwa materi bahtsul masail konferwil
telah merespons era pasar bebas dalam perspektif fikih. Sebagai
antisipasi terhadap pemberlakuan pasar bebas, upaya pemerintah
memberikan proteksi terhadap produk lokal dan pengusaha domestik
dipertanyakan secara mendalam dalam forum ini. Juga impor komoditas
tertentu, peningkatan penggunaan komponen lokal (local content) dan penyediaan lapangan kerja, serta berbagai regulasi terkait lainnya.
Forum bahtsul masail juga mempertanyakan, tergolong
proteksikah bila terjadi monopoli oleh badan usaha milik negara (BUMN)
atas komoditas strategis? Juga, apakah pihak asing diperbolehkan membuka
usaha eksplorasi sumber daya alam, penguasaan sektor perkebunan dalam
skala masif, serta pembelian surat utang negara (SUN)?
NU dan Indonesia memang tidak hidup di ruang hampa. Pengurus PW NU Jatim telah sadar bahwa kawasan ASEAN terikat pakta ASEAN Free Trade Area (AFTA), ASEAN-China Free Trade Agreement (ACFTA), ASEAN Economic Community, bahkan Asia Pacific Economic Cooperation (APEC).
Kesadaran para ulama NU dalam merespons tantangan globalisasi dan
pasar bebas tersebut akan terkesan naif jika tidak selaras dengan
pertimbangan yang digunakan dalam proses pemilihan pucuk pimpinannya.
Apalagi jika hanya mempertimbangkan kepentingan-kepentingan lokal dan
berjangka pendek. Wallahu-l musta’an!
*) Wakil sekretaris PW NU Jatim 2008-2013 (mazhida@gmail.com)
http://www.jawapos.com/teks/read/2013/05/31/7/307801/tiga-agenda-besar-nu-jatim
http://www.jawapos.com/teks/read/2013/05/31/7/307801/tiga-agenda-besar-nu-jatim