LANDASAN FIQH ISLAM
Fiqh islam berlandaskan empat asas: Al-Qur’an, Hadits, Ijma' dan Qiyas.
Al-Qur’an: Al-Qur’an merupakan sumber hukum fiqh yang utama dan yang paling agung, yang merupakan hujjah agung antara manusia dan Allah Swt. Al-Qur’an adalah tali yang kuat dan tidak akan putus. Allah berfirman :
وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلاَ تَفَرَّقُوا [آل عمران/103]
"Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai "
Sunnah Nabi: Sunnah Nabi berfungsi untuk menjelaskan hukum-hukum Al-Qur’an yang bersifat global dan general. Karena syariat Islam itu diturunkan secara bertahap untuk menunjukkan kasih sayang Allah pada hamba-Nya. Bentuk kasih sayang tersebut adalah menjelaskan Al-Qur’an yang masih global. Allah berfirman :
وَمَا آَتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ [الحشر/7]
"Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat keras hukumannya".
Ijma': Ijma' adalah konsensus para mujtahid sepeninggal Rasulullah Saw dari masa ke masa atas satu hukum. Dalil Kehujjahan Ijma' ini berdasarkan pada Sabda Nabi Muhammad Saw :
لاَ تَجْتَمِعُ أُمَّتِيْ عَلَى ضَلاَلَةٍ وَيَدُ اللهِ مَعَ الْجَمَاعَةِ وَمَنْ شَذَّ شَذَّ إِلَى النَّارِ
"Umatku tidak akan bersepakat atas kesesatan, dan pertolongan Allah akan Selalu bersama kelompok umat Islam, barang siapa menyendiri/ menyimpang maka ia akan masuk neraka" (HR. Al Tirmidzi).
Qiyas: Qiyas adalah menyamakan masalah baru dengan masalah yang sudah jelas hukumnya yang didasarkan pada illat masing-masing. Adapun qiyas yang dibuat hujjah adalah qiyas yang bersandarkan pada nash, Ijam' dan istinbath. Ini sudah ada semenjak masa Rasulullah Saw[1]. Allah Swt berfirman :
فَاعْتَبِرُوا يَا أُولِي الأَبْصَارِ ( الحشر/2 )
"Maka ambillah (kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, hai orang-orang yang mempunyai wawasan".
Empat perkara tersebut itulah yang merupakan asas dari fiqh Islam 'ala Ahlissunnah wal Jama'ah yang sesuai dengan Sabda Rasulullah Saw kepada shahabat Mu'adz ketika hendak dikirim ke negeri Yaman:
عَنْ نَاسٍ مِنْ أَصْحَابِ مُعَاذٍ مِنْ أَهْلِ حِمْصٍ ، عَنْ مُعَاذٍ ، أَنَّ النَّبِيَّ e قَالَ لِمُعَاذِ بْنِ جَبَلٍ حِينَ بَعَثَهُ إِلَى الْيَمَنِ فَذَكَرَ : كَيْفَ تَقْضِي إِنْ عُرِضَ لَكَ قَضَاءٌ ؟ قَالَ : أَقْضِي بِكِتَابِ اللهِ . قَالَ : فَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِي كِتَابِ اللهِ ؟ قَالَ : فَبِسُنَّةِ رَسُولِ اللهِ قَالَ : فَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِي سَنَةِ رَسُولِ اللهِ ؟ قَالَ : أَجْتَهِدُ رَأْيِي وَلاَ آلُو . قَالَ : فَضَرَبَ صَدْرِي فَقَالَ : الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي وَفَّقَ رَسُولَ رَسُولِ اللهِ e لِمَا يُرْضِي رَسُولَهُ.
"Nabi Saw bertanya kepada sahabat Mu'adz: bagaimana cara kamu memutuskan perkara (wahai Mu'adz), di saat kamu memberi keputusan? Sahabat Mu'adz menjawab: aku putuskan dengan kitab Allah, Nabi Saw bertanya: bagaimana apabila kamu tidak menemukan hukumnya di dalam Al-Qur’an? Sahabat Mu'adz menjawab: dengan Sunnah Rasulullah, Nabi Saw bertanya: bagaimana apabila kamu tidak menemukan hukumnya di dalam Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah Saw, Sahabat Mu'adz menjawab: aku berijtihad, dan aku tidak sembrono dalam berijtihad. Kemudian Nabi Saw menepuk dada shahabat Mu'adz seraya berseru: segala puji bagi Allah yang telah menolong utusan Rasul-Nya menuju hal yang diridloi oleh-Nya dan Rasu-lNya" (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi).
KARAKTERISTIK FIQH ISLAM
- Bersumber dari Wahyu Ilahi
Fiqh Islam berbeda dari hukum-hukum positif, karena sumbernya adalah wahyu Allah Swt yang dituangkan dalam Al-Qur’an dan Sunnah Nabi, karena itu dalam mengambil kesimpulan hukumnya, setiap mujtahid terikat secara kuat dengan teks-teks dari kedua rujukan tersebut, yakni Al-Qur’an dan Sunnah Nabi, berikut apa yang lahir dari kedua sumber utama tersebut dan yang diisyaratkan oleh spirit Syari'at, tujuan-tujuannya, kaidah-kaidahnya, dan prinsip-prinsip universalnya. Dengan demikian fiqh lahir tumbuh dan berkembang dengan sempurna. Strukturnya kokoh dan pilar-pilarnya tangguh sehingga menyempurnakan dasar-dasar dan segenap pondasinya serta mengokohkan prinsip-prinsipnya di zaman Rasulullah Saw dan sewaktu wahyu masih turun. Allah berfirman :
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الإِسْلاَمَ دِينًا [المائدة:3]
"Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu ".
Setelah itu tidak ada yang tersisa kecuali menerapkan syari'at sesuai dengan kemaslahatan manusia yang sejalan dengan tujuan-tujuan utama ditetapkannya syariat Islam.
- Komprehensif dan Memenuhi Tuntutan Hidup Manusia
Fiqh Islam berbeda jauh dari hukum-hukum dan undang-undang buatan manusia, karena meliputi tiga dimensi hubungan dalam hidup manusia:
Hubungan manusia dengan Tuhannya
Hubungan manusia dengan dirinya sendiri
Hubungan manusia dengan masyarakat.
Lebih jauh lagi, fiqh Islam diperuntukkan bagi kemaslahatan hidup di dunia dan di akhirat. Dan cakupan fiqh Islam meliputi wilayah agama dan negara. Fiqh Islam berlaku umum untuk seluruh umat manusia dan bersifat abadi sampai hari kiamat. Hukum-hukumnya saling menguatkan dan mengukuhkan satu sama lain, baik dalam bidang akidah, ibadah, etika maupun muamalah, demi mewujudkan puncak keridlaan dari Allah Swt, ketenangan hidup, keimanan, kebahagian, kenyamanan dan keteraturan hidup bahkan memberikan kebahagian kepada dunia secara keseluruhan. Semua itu dilakukan melalui kesadaran hati nurani, rasa tanggung jawab atas kewajiban, perasan selalu dipantau oleh Allah dalam seluruh sisi kehidupan, baik ketika sendirian maupun di hadapan orang lain, serta dengan memuliakan hak-hak orang lain.
Untuk mewujudkan cita-cita luhur dan tujuan mulia seperti itu, diciptakanlah hukum-hukum yang bersifat praktis, yakni dalam wilayah fiqh. Hukum-hukum fiqh ini berhubungan dengan semua hal yang keluar dari seorang mukallaf, baik berupa ucapan, perbuatan dan transaksi maupun pengelolaan barang. Semuanya itu meliputi dua jenis hukum berikut ini:
1. Hukum-Hukum Ibadah :
Hukum-hukum ini meliputi hukum-hukum bersuci, shalat, puasa, haji, zakat, nadzar, sumpah dan berbagai ibadah lainnya yang bertujuan mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya. Dalam Al-Qur’an sendiri terdapat 140 ayat yang menerangkan masalah ibadah.
2. Hukum-Hukum Muamalah
Hukum-hukum muamalah meliputi berbagai macam transaksi, pengelolaan barang dagangan, hukuman, perdata dan pidana, jaminan dan sebagainya yang bertujuan mengatur hubungan sesama manusia, baik secara individual atau kolektif. Hukum-hukum muamalah meliputi cabang-cabang berikut ini:
- Hukum-hukum perdata (Ahkam al-Ahwal al- Syakhshiyyah). Hukum ini mencakup hukum-hukum dalam keluarga sejak awal hingga akhir, seperti: pernikahan, perceraian, garis keturunan, nafkah dan warisan, dan sebagainya bertujuan mengatur hubungan suami istri dan kerabat masing-masing.
- Hukum-hukum sipil (al-Ahkam al-Madaniyyah). Hukum ini berkaitan dengan muamalah individu satu sama yang lain, kerja sama saling menguntungkan, seperti jual beli, sewa menyewa, pegadaian, ansuransi, koperasi, utang piutang, memenuhi komitmen dan sebagainya yang bertujuan mengatur hubungan beberapa individu dalam bidang materi dan memelihara hak. Berkenaan dengan hukum-hukum sipil ini, secara keseluruhan di temukan ada sekitar 70 Ayat dalam Al-Qur’an.
- Hukum-hukum pidana (al-Ahkam al-Jina'iyyah). Hukum ini berkaitan dengan apa yang dilakukan oleh seseorang berupa tindakan kriminal berikut hukumnya. Hukum-hukum ini bertujuan memelihara kehidupan manusia dan hartanya, harga-diri atau kehormatannya, dan juga hak-haknya. Demikian pula, hukum-hukum ini juga mengatur hubungan antara pihak yang dirugikan dengan pelaku kejahatan, hubungannya dengan umat, dan juga memelihara ketertiban dan keamanan. Ditemukan sekitar 30 ayat tentang hukum-hukum pidana dalam Al-Qur’an.
- Hukum-hukum acara pidana (Ahkam al-Murafa'at au al-Ijza'at al-Madaniyyah au al-Jina'iyyah). Hukum ini berkenaan dengan peradilan, dan cara-cara penetapan salah-benar melalui kesaksian, dakwaan, sumpah, keterkaitan hubungan, dan sebagainya. Hukum-hukum ini dimaksudkan untuk prosedur hukum-hukum acara pidana demi menegakkan keadilan manusia. Ditemukan sekitar 20 ayat tentang hukum-hukum ini dalam Al-Qur’an.
- Hukum-hukum konsitusi (al-Ahkam al-Dusturiyyah). Hukum ini berkaitan dengan sistem hukum dan prinsip-prinsipnya. Hukum-hukum ini bertujuan menentukan hubungan antara pihak yang mengadili (al-hakim) dengan pihak yang diadili (al-mahkum). Demikian pula, berbagai aturan dalam hukum-hukum ini bertujuan menentukan segenap hak dan kewajiban individu dan kelompok.
- Hukum-hukum internasional (al-Ahkam ad-Duwaliyyah ). Hukum ini berkaitan dengan pengaturan hubungan negara Islam dengan negara-negara lain di dunia dalam keadaan perang maupun damai. Hukum-hukum ini juga mengatur hubungan kaum non-muslim dengan pemerintah islam serta meliputi masalah jihad dan berbagai perjanjian yang bertujuan membatasi macam dan bentuk hubungan dan kerjasama serta sikap saling menghargai di antara berbagai negara di dunia.
- Hukum–hukum ekonomi dan keuangan (al-Ahkam al- Iqtishadiyyah wa al- Maliyyah). Hukum-hukum ekonomi ini berhubungan dengan hak-hak individu dalam urusan materi dan komitmen mereka dalam sistem moneter. Hukum-hukum ini mengatur hak-hak negara dan berbagai kewajiban moneternya. Di atur juga tentang sumber-sumber pemasukan kas negara dan penggunaannya. Hukum-hukum ini juga mengatur berbagai transaksi keuangan antara orang-orang kaya dan orang-orang miskin dan juga hubungan antara negara dan setiap individu rakyatnya. Dalam hukum-hukum ini, diatur juga ihwal serta kekayaan negara secara umum maupun khusus seperti masalah hasil perang (ghanimah) dan sebagainya, barang tambang, baik yang belum di olah maupun sudah di olah, dan sumber-sumber penghasilan alam yang di usahakan, dan sebagainya. Hukum-hukum ini juga berlaku pada harta masyarakat seperti zakat, sedekah, nadzar, harta pinjaman dan harta keluarga semisal nafkah, warisan, wasiat. Diatur pula ihwal harta milik individu semisal keuntungan dari hasil perdagangan, sewa menyewa, koperasi, keuntungan dari jasa yang di benarkan oleh syari'at, hasil produksi, dan juga sanksi materi seperti kafarat, fidyah dan denda.
- Akhlak (al-Akhlaq) atau etika (al-Adab). Berupa perilaku terpuji dan perilaku tercela. Wilayah etika inilah yang membatasi kebinalan dan kebuasan manusia serta mengantarkannya menuju suasana dan nuansa yang penuh keutamaan di antara manusia, saling menolong, dan saling menyayangi sesama mereka. Dan yang menyebabkan cakupan wilayah fiqh meluas adalah hadits-hadits yang mengupas berbagai per-masalahan ini.
- Bercorak Religius dan Mengandung Sisi Halal dan Haram
Fiqh Islam berbeda dengan undang-undang dan hukum positif dari aspek pemikiran halal dan haram, bahwa setiap perbuatan atau perilaku sipil dan yang terjadi dalam muamalah disifati dengan sisi halal dan haram. Atas dasar itu, hukum muamalah memiliki dua corak. Pertama: hukum muamalah bersifat duniawi dan berpijak pada perbuatan dan tindakan yang tampak dan tak berhubungan dengan apa yang tersembunyi dalam batin manusia. Inilah hukum legal. sebab, seorang hakim menetapkan hukum berdasarkan apa yang sesuai dengan kompetensi dan kemampuannya. Karenanya, seorang hakim tidak boleh membenarkan yang salah dan menyalahkan yang benar secara nyata. Ia juga tidak boleh menghalalkan yang haram atau mengharamkan yang halal secara nyata. Dan keputusan seorang hakim bersifat mengikat (mulzim) dan harus dipatuhi. ini berbeda dari fatwa. Kedua: hukum muamalah bersifat ukhrowi dan berpijak pada hakekat sesuatu dan realitas, sekalipun tidak tampak oleh mata sebagian orang. Hukum ini berlaku dalam urusan yang melibatkan seorang hamba dengan Tuhannya (Allah). inilah yang disebut hukum Ilahi (al-hukmu al-dayyani). Hukum inilah yang dipegangi oleh seorang ulama pemberi fatwa yang berati-hati, dan fatwa sendiri adalah berita atau pemberitaan tentang hukum syariat yang tidak mengikat.
Pemisahan hukum muamalah ke dalam duniawi dan ukhrowi ini bersumber dari sebuah Hadits Nabi Saw. yang diriwayatkan oleh imam Malik, Imam Ahmad dan para imam penyusun kitab-kitab Hadits yang ada enam (al-kutub as-sittah). Diriyawatkan oleh Imam Bukhori bahwa Nabi Saw. Bersabda:
"Aku hanyalah seorang manusia biasa. Dan kalian mengadukan perselisihan di antara kalian kepadaku. Boleh jadi, argumentasi sebagian dari kalian lebih cerdas dan lebih jelas dari sebagian lainnya. Kemudian aku menetapkan hukum berdasarkan apa yang kudengar dari kalian. Barangsiapa kutentukan kemenangan baginya dengan mengambil hak seorang muslim, maka yang demikian itu adalah sepercik api neraka. Hendaklah ia mengambilnya atau meninggalkannya "
Sementara itu, yang menyebabkan munculnya dua corak itu adalah bahwa, fiqh Islam adalah wahyu dari Allah yang mengandung pahala dan siksa ukhrawi. Dengan demikian, fiqh Islam merupakan sebuah sistem spiritual dan sekaligus sipil duniawi. sebab, fiqh Islam memang dilahirkan untuk kemaslahatan dan kebaikan dunia dan akhirat sekaligus atau untuk agama dan dunia sekaligus.
Buah dari perbedaan kriteria akan tampak, misalnya dalam urusan perceraian, sumpah, utang piutang, pembebasan utang, pemaksaan untuk membayar hutang, dan sebagainya. Berdasarkan kriteria itu pula, tugas dan wewenang hakim dan mufti pastilah berbeda. Seorang hakim menetapkan putusan hukum berdasarkan data yang tampak saja, sementara seorang mufti menentukan putusan menggunakan pendekatan data yang tampak dan abstrak sekaligus. Dan jika keduanya berbeda, maka keputusan hukumnya di sandarkan pada data dan batin (abstrak), bila ada indikasi yang kongkret dan jelas ke arah situ. Misalnya saja, jika ada orang membebaskan orang berutang tanpa memberitahukannya terlebih dahulu, kemudian ia mengangkat dakwaan kepada orang yang berutang seraya menuntut agar utangnya di bayar, maka keputusan hakim mestilah berupa penetapan uang, sementara fatwa seorang mufti melarang hal itu karena sesungguhnya terjadi pembebasan utang.
- Hubungan Fiqh Islam dan Akhlaq
Berbeda dengan undang-undang dan hukum positif, fiqh Islam di pengaruhi oleh prinsip-prinsip akhlak. Bahkan, akhlak merupakan pelengkap dan penyempurna fiqh. Sementara itu dalam hukum positif, sasaranya hanya asas mufakat belaka, yakni upaya memelihara tata aturan dan ketenangan masyarakat, meskiun peran agama dan moralitas harus terabaikan, bahkan tersingkirkan.
Fiqh Islam sangat memperhatikan terpeliharanya keutamaan, kemulyaan, dan keluhuran akhlak. Oleh karena itu, ibadah di syari'atkan untuk mensucikan jiwa, menjernihkan hati dan menjauhkan dari berbagai kemungkaran. Riba diharamkan untuk memupuk jiwa kerjasama, saling menolong, dan saling menyanyangi diantara sesama manusia. Diharamkanya riba juga dimaksudkan untuk melindungi orang-orang yang membutuhkan bantuan dari kekuasaan para pemilik modal. Larangan penipuan, pemalsuan dalam transaksi, larangan memakan harta secara tidak sah, dan juga larangan merusak perjanjian atau kontrak karena ketidaktahuan dan sebagianya disyari'atkan untuk menyebarkan rasa cinta kasih, mempertebal kepercayaan, mencegah perselisihan di antara manusia, mengangkat derajat manusia dari kotoran-kotoran materi, dan memelihara serta menghormati hak-hak orang lain. Begitu pula disyariatkannya melaksanakan transaksi bertujuan untuk memenuhi janji. Khamr diharamkan untuk memenuhi barometer kebaikan dan kejahatan, yakni akal.
- Balasan Melanggar Syariah Bersifat Duniawi dan Ukhrawi
Fiqih Islam sangat berbeda dengan undang-undang dan hukum positif. Sebab, hukum positif buatan manusia hanya memberlakukan dua macam hukum atau sanksi atas pelaku pelanggaran di dunia dan akhirat sekaligus. Di dunia, balasan ini merupakan hukuman tertentu (al-hudud) dan hukuman tidak tertentu (at-ta'zir) yang diberlakukan atas perbuatan-perbuatan lahiriah yang tampak oleh mata manusia. Sementara itu, hukum ukrawi diterapkan atas perbuatan-perbuatan batin atau hati yang tak tampak oleh mata manusia seperti dengki atau iri hati, dendam dan keinginan membahayakan orang lain.
Hukuman atau sanksi ukhrowi juga berlaku atas perbuatan lahiriah yang belum dijatuhkan didunia ini, baik karena diabaikan dan tidak diberlakuakannya hudud diberbagai negaara di era modern sekarang, lantaran tidak bisa dibuktikan secara lahiriah maupun karena perbuatan itu tidak dketahui oleh pemerintah. Demikian pula dalam Fiqh Islam, ada balasan positif dan balasan negatif. Sebuah balasan dinilai positif karena merupakan pahala atas ketaatan pada perintah dan sebuah balasan dinilai negatif karena pahala diberikan ketika seseorang menjahui larangan, maksiat dan menahan diri dari perbuatan terlarang. Sementara itu, undang-undang dan hukum positif hanya menentukan balasan negatif atas pelanggaran hukum atau peraturan tanpa adanya pahala sewaktu melakukan dan mengikuti kaidah-kaidah hukum itu.
- Fiqh Islam Lebih Memihak Kepentingan Kolektif
Fiqh Islam memperhatikan kemaslahatan individual maupun kolektif secara keseluruhan. Karenanya, tidak ada suatu kemaslahatan individu atau pun kolektif yang melampui kemaslahatan lainnya. Akan tetapi, jika ada benturan antara dua kemaslahatan itu, maka kemaslahatan kolektif akan di utamakan ketimbang kepentingan individu. Demikian pula, jika terjadi benturan antara kemaslahatan dua individu, maka yang didahulukan adalah kemaslahatan orang yang lebih banyak menderita. Ini sejalan dengan kaidah, "tidak boleh ada kemadlorotan dan menimbulkan kemadlorotan" (ladhororo wala dhiroro) dan juga kaidah, "jika ada dua kemadlorotan lebih besar ditolak kemadlorotan yang lebih kecil" (yudfa' akbar al dhororain bi al akhaffi minhuma).
Beberapa contoh dari terpeliharanya kemaslahataaan umum atau kolektif adalah di syariatkan berbagai macam ibadah seperti sholat, puasa, dihalalkannya jual-beli, diharamkanya riba dan monopoli perdagangan, disyariatkannya penetapan harga secara paksa, untuk mencegah ulah para spekulan. meski ada sedikit perbedaan pendapat dikalangan para ulama, dan juga di tegakkannya hudud atas perbuatan munkar yang sangat membahayakan, mengatur urusan keluarga, memelihara hak-hak tetangga, memenuhi janji dan sebagiannya. Begitu pula halnya disyariatkannya jual-beli secara paksa untuk memenuhi kemaslahatan umum, memperluas jalan, dan memperlebar aliran sungai.
Sementara itu, salah satu contoh pembatasan hak individu yang menimbulkan kemadlorotan kepada masyarakat atau mungkin menimbulkan kemadlorotan yang lebih besar lagi adalah istri tidak harus taat kepada suaminya manakala suaminya memadlorotkan istrinya, sebagimana di sebutkan dalam firman Allah:
وَلاَ تُمْسِكُوهُنَّ ضِرَارًا لِتَعْتَدُوْا
"Janganlah kalian (suami) rujuki mereka (istri) untuk memberi kemadorotan. Sebab, dengan demikian, kalian menganiaya mereka," (QS Al-baqoroh : 231).
Contoh lainnya dalam masalah ini adalah tidak perlu mentaati hakim (pemerintah) yang memerintahkan untuk melakukan perbuataan maksiat atau kemungkaran. Penentangan ini dilakukan demi kemaslahatan umum, sebab, kewajiban taat hanya dilakukan dalam rangka perbuatan baik. Dalam sebuah Hadist yang di riwayatkan dari imam Ahmad, Nabi Muhammad SAW. Bersabda;
عَنِ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ قَالَ السَمْعُ وَالطَّاعَةُ حَقٌّ مَا لَمْ يُؤْمَرْ بِالْمَعْصِيَةِ فَإِذَا أُمِرَ بِمَعْصِيَةٍ فَلاَ سَمْعَ وَلاَ طَاعَةَ
"seorang muslim harus mendengar apa yang disukai atau di bencinya selama ia tidak di perintahkan untuk berbuat maksiat, ia tidak perlu mendengarkan dan tidak perlu mematuhi"(HR. Bukhori)
- Fiqh Islam Relevan dan Bisa Diterapkan Sepanjang Zaman
Prinsip-prinsip dasar fiqih tidak pernah berubah-ubah seperti suka sama suka dalam berbagai transaksi atau jual beli, menolak mudorot, menghindari perbuatan dosa, memelihara hak, dan juga menerapkan tanggung jawab individual. Sementara itu, dimensi fiqih yang berpijak pada qiyas atau anologi dan bertujuan memelihara kemaslahatan dan adat istiadat (yang baik) bisa berubah dengan berkembang sesuai dengan kebutuhan zaman, kemaslahatan manusiadan ligkungan yang berbeda dalam konteks ruang dan waktu selama-selama hukum berada dalam wilayah yang sesuai dengan tujuan-tujuan syariat (maaqashid asy-syari'ah) prinsip-prisipnya yang benar.Hal ini berlaku kusus dalam bidang muamalah dan tidak dalam bidang akidah dan ibadah mahdhah.Inilah yang dimaksud dengan kaidah: "Hukum berubah sesuai dengan perubahan zaman" (tataghayyur al-ahkam bi taghayyur al-azman).
POLITIK BERKEADILAN ADALAH BAGIAN DARI FIQH ISLAM
Dalam karyanya berjudul Bada'I al Fawa'id (3:153) Ibnu al Qoyyim yang mengutip Ibnu 'Aqil yang mengatakan bahwa politik (al siyasah) adalah suatu langkah dan tindakan yang diambil untuk mengantarkan umat manusia menuju kemaslahatan dan menghindari kerusakan dan bahaya, meskipun Nabi Saw tidak pernah menetapkan hal ini dan tidak ada wahyu yang pernah berkenaan dengannya. Dalam hal ini, yang penting adalah bahwa tindakan yang diambil tidak boleh bertentangan dengan berbagai ketentuan Syari'at Islam. Di kalangan al Khulafa' al Rasyidin Juga terjadi semacam pembunuhan dan penyiksaan.orang yang mengetahui Sunnah Nabi tidak mengingkari hal ini, sekiranya tidak ada cara lain untuk mencapai kemaslahatan kecuali dengan membakar mushaf, maka mereka akan mengikuti pendapat seperti dan melakukaannya. Diriwayatkan bahwa khalifah Umar bin Khatthab Ra. pernah membuang dan mengasingkan Nashr bin Hajjaj ke luar kota Madinah.
Menurut hemat saya, hal seperti inilah yang menggelincirkan banyak orang. Inilah juga tempat dan medan sempit yang menyedihkan dan pertempuran sengit yang menyebabkan tidak sedikit orang mengbaikan nilai-nilai dan norma-norma. akibatnya, mereka berani melanggar batas-batas hukum (al Hudud), menyia-nyiakan hak dan kewajiban, dan memberi dorongan kepada orang-orang jahat untuk melakukan kerusakan. Mereka juga berani menjadikan syariat sebagai tata aturan yang sangat terbatas dan tidak cukup andal untuk memenuhi kemaslahatan manusia. Bahkan, mereka pun tidak segan–segan menutup diri dari jalan-jalan kebenaran dengan mengikuti kebatilan. Lebih jauh lagi, mereka berani mengingkari jalan-jalan kebenaran, padahal mereka mengetahuinya secara pasti dan malahan mengajarkannya kepada orang lain sebagai rambu-rambu yang akan mengantar mereka menuju kebenaran. Mereka menduga bahwa jalan-jalan kebenaran itu bertentangan dengan kaidah-kaidah fiqh islam. tentu saja, yang membuat mereka bersikap picik adalah ketidakmampu-an dan kelemahan mereka dalam mengenali dan mengetahui fiqh islam (baca: syariat islam) yang sesungguhnya.
Ketika para pemimpin mengetahui situasi demikian dan bahwa urusan manusia akan bisa dibereskan dengan aturan tambahan berdasarkan apa yang mereka pahami dari syariat islam, mereka lalu membuat undang-undang politis-strategis untuk mengatur berbagai urusan duniawi. Karena pengetahuan mereka tentang syariat masih sedikit, bahkan jauh dari memadai ditambah peraturan-peraturan baru yang bersifat politis-strategis yang mereka buat sendiri, maka munculah bencana yang berkelanjutan, bahaya yang meluas, dan kekacauan dahsyat yang sulit diperbaiki. sementara itu, ada pula kelompok lain yang melekukan tindakan berlebihan. Mereka ini berani membuat kebijakan-kebijakan dan mengambil tindakan-tindakan yang sebenar-nya bertentangan dengan hukum-hukum Allah Swt dan Rasul-Nya. Kedua kelompok itu sama-sama bertolak dengan bekal ilmu dan pengetahuan yang minim dan jauh dari memadai. Mereka bahkan tidak memehami tujuan utama diutusnya rasul. Allah Swt mengutus para rasul-Nya yang di bekali dengan kitab-kitabnya untuk mengajak manusia berlaku dan bertindak adil serta hidup dalam keseimbangan.
Dengan keadilan atau keseimbangan langit dan bumi bisa tegak berdiri dan aman. Jika simbol-simbol dan tanda-tanda keadilan tampak dan wajahnya demikian terang dengan cara dan teknis apapun, maka disitulah syariat allah ditegakkan, dan disanalah agama Allah Swt di hidupkan. Sebab, Allah Swt tidak membatasi jalan-jalan menuju keadilan. Berbagai dalil, bukti dan tanda-tandanya tidak terbatas pada sesuatu dan meniadakan jalan-jalan lain yamg sebenarnya masih serupa atau bahkan lebih kuat darinya. Allah bahkan menegaskan bahwa tujuan utama dari jalan-jalan (Ath- thuruq) allah adalah menegakkan keadilan dan agar manusia hidup dalam keadilan dan keseimbangan. Dengan demikian, jalan apapun yang ditempuh dan melahirkan keadian dan keseimbangan, maka hal itu merupakan wujud konkret dari pengamalan agama. Yang demikian itu tidak bertentangan dengan agama. Oleh karena itu, kita tidak dapat mengatakan bahwa politik berkeadilan bertentatangan dengan apa yang ditetapkan syariat allah. Justru, yang benar adalah politik sejalan dan cocok dengan syariat islam. Bahkan, politik berkeadilan adalah bagian dari fiqh islam (baca: syariat islam) itu sendiri. Kita menyebutnya sebagai "politik" (as-siyasah) –mengikuti terminologi yang berkembang sekarang.
Politik berkeadilan adalah bagian dari fiqh islam yang benar. Bukankah Nabi Saw pernah menawan orang-orang yang melakukan adu-domba? Beliau juga pernah menghukum karena suatu tuduhan ketika tanda-tanda keraguan tampak dalam tuduhan itu. Oleh karena itu, jika ada yang melepaskan semua tertuduh dan membiarkan pergi, padahal ia mengetahui tertuduh sebagai pelaku kerusakan di muka bumi dengan merusak rumah-rumah dan banyak mencuri, dan yang melepaskan itu berkata, "Aku tidak akan menghukumnya kecuali bila ada dua orang saksi yang adil dan menyaksikan kejahatannya" maka kenyataanya ini bertentangan dengan politik yang ditetapkan oleh fiqh islam. Demikian pula, Nabi Saw pernah tidak memberikan bagian rampasan perang (al-ghanimah) kepada orang yang berkhianat dalam urusan ini, sementara Al-khulafa' Al-rasyidin membakar semua barang milik orang itu. Nabi Saw pernah mengambil setengah harta orang yang tidak membayar zakat. Begitu pula beliau pernah melipatgandakan denda atas pencuri yang tidak dipotong tangannya dan menghukumnya dengan didera. Beliau juga pernah melipatgandakan denda atas orang yang menyebunyikan barang yang hilang. Begitu juga, Umar bin al-Khothob pernah membakar warung khamr dan tempat air yang berisi khamr. Bahkan, ia pernah membakar gedung milik Sa'ad bin Abi
Waqqash karena menutup diri dari rakyat di dalam gedung itu. Ia pernah menggunduli kepala Nasr bin Hajjaj dan bahkan mengusirnya. Umar juga pernah menyita harta pegawainya. Ia pernah menghimbau secara keras sejumlah shahabat untuk tidak banyak meriwayatkan hadis dari Nabi Saw agar mereka lebih mengfokuskan perhatiannya kepada Al-qur'an dan tidak menyia-nyiakannya.
Masih banyak lagi contoh langkah-langkah politik yang ditempuh para sahabat dalam memimpin dan mengatur urusan kaum muslim. Politik tetap menjadi sunnah yang baik sampai hari kiamat, meskipun mungkin masih banyak oang yang mengingkari dan tidak mengakuinya. Misalnya saja, Abu Bakar ash-Shiddiq R.a. pernah membakar orang yang melakukan sodomi atau homoseksual. 'Usman bin Affan juga pernah membakar seluruh mushaf Alqur'an yang bertentangan lisan Quraisy. 'Umar bin al- Khaththab Ra. pun memerintahkan kaum muslim melakukan haji ifrad agar mereka melakukan umrah di bulan-bulan lain dan bukan di bulan-bulan haji. Akibatnya, Baitullah al-Haram senantiasa penuh diziarahi oleh jutaan kaum muslim berkat politik para sahabat dalam mengatur umat lewat penta'wilan atas Alqur'an dan sunnah Nabi Saw.
Ada sebagian orang yang mengklasifikasikan hukum menjadi syariat dan politik, sebagaimana orang mengklasifikasikan syari'at, dan tharekat, dan hakekat. Klasifikasi demikian adalah batil dan tidak benar. Sebab, yang disebut hakekat ada dua macam. Ada hakikat yang benar dan shahih. Inilah inti atau subtansi syari'at, tetapi bukan bagian kecil dari syariat. Ada juga hakikat batil yang bertentangan dengan syariat islam. Begitu juga politik. Ada dua macam politik, pertama: politik berkeadilan yang merupakan bagian dari syariat; kedua: politik yang batil dan bertentangan dengan syariat islam, seperti halnya pertentangan kedholiman dengan keadilan. Demikian pula halnya klasifikasi sebagian orang tentang bahasa agama dalam dua bagian, yakni syariat dan akal. Ini pun klasifikasi batil. Yang rasional justru ada dua: yang pertama: bagian agama yang sesuai dengan apa yang dibawa Nabi Saw; bagian ini tertentunya rasional, baik bahasan maupun teksnya, bukan bagian dari apa yang beliau bawa, sementara yang kedua: adalah bagian yang bertentangan dengan apa yang dibawa Nabi Saw. Bagian ini tentu saja tidak rasional, malah hanya berupa lamunan dan kayalan belaka, dan sekaligus ajaran yang batil. Namun. Menurut anggapan pencetusnya, bagian itu rasional, padahal sesungguhnya hanyalah kayalan semata dan ajaran batil yang mencampurkan kebenaran dengan kebatilan.
Demikian pula halnya masalah qiyas atau analogi (al-qiyas) dan syariat (asy-syar'). Qiyas yang shahih adalah teks-teks rasional, sementara qiyas yang batil bertentangan dengan syariat. Ini adalah masalah perbedaan antara ahli waris para nabi dengan mereka yang bukan. Akar perbedaannya hanyalah satu, yakni keumuman risalah islam dengan sunnah Nabi Saw. Untuk menjelaskan segala sesuatu yang dibutuhkan oleh seluruh hamba Allah Swt dalam hal ilmu pengetahuan, tradisi, dan amal yang memberikan kemaslahatan kepada mereka dalam kehidupan di dunia ini dan di akhirat nanti. Kita membutuhkan hanya Nabi Saw.
Selain itu,kita juga memerlukan orang yang akan menyampaikan kita kapada Beliau untuk mangenali lebih jauh apa yang Beliau bawa. Barang siapa belum memiliki pikiran yang meresap dalam hati seperti pikiran dan keyakinan ini, maka ini berarti bahwa belum benar-benar mantab keimanannya kepada diri Nabi Saw. Padahal, wajib hukumnya bagi setiap mukallaf mengimani keumuman risalah Nabi Saw dalam hal-hal seperti ini. Sebagaimana tidak ada seorang pun bisa menghindar dari keimanan dari risalah Nabi Saw, demikian pula tidak ada sedikit pun peluang bagi siapa pun untuk tidak mengakui sunnah Nabi Saw dan tidak mengamalkan apa yang beliau bawa. Apa yang beliau bawa sudah cukup dan kaum muslim memerlukan hanya sunnah Nabi Saw. Sesungguhnya, orang masih memerlukan selain sunnah Nabi Saw hanyalah orang yang nasibnya tidak mujur, tidak memahami, dan tidak mengenal Beliau karena kurangnya perhatian dan kepedulian, kebutuhan akan sunah Nabi Saw pun hanya sedikit sekali. Padahal sesudah Nabi Saw wafat, bahkan burung-burung yang beterbangan di angkasa pun menyebut ilmu Beliau dan mengenal Beliau sangat baik. Beliau telah mengajarkan kepada kaum muslim segala sesuatu, termasuk adab-adab di kamar kecil, saat menggauli istri, tidur dan bangun dari tidur. Nabi Saw juga mengajari mereka cara duduk, makan, minum, naik dan turun dari kendaraan. Beliau juga menjelaskan ihwal 'arasy, kursi, malaikat, jin, surga dan neraka. Tidak lupa Beliau juga menerangkan kepada umatnya ihwal hari kiamat dan hal-hal lain yang berhubungan dengannya. Beliau menjelaskan semuanya itu seakan-akan melihat dengan mata sendiri. Beliau mengajari umatnya dan mengenalkan mereka pada Tuhan mereka dengan pengenalan dan penjelasan demikian sempurna sampai-sampai seolah-olah mereka bisa melihat Allah dengan segala sifat kesempurnaan dan keagungan-Nya. Beliau juga mengenalkan kepada umatnya masing-masing dan apa yang terjadi pada mereka bersama kaumnya. Uraian dan penjelasan Nabi Saw .demikian gamblang sampai-sampai umat-umat nabi terdahulu seakan hadir di hadapan mereka. Beliau mengenalkan kapada umatnya jalan-jalan kebaikan dan kejahatan, keselamatan dan kecelakaan mulai dari urusan yang paling kecil sampai urusan yang paling besar.
Seluruh penjelasan Nabi Saw kepada kaum muslim tidaklah seperti penjelasan yang pernah diberikan oleh seorang nabi pun kepada umat mereka sebelumnya. Beliau juga tidak lupa mengenalkan umatnya tentang kematian dan apa yang akan terjadi sesudah kematian di alam Barzakh, berikut apa yang akan dialami dan didapatkan oleh mereka yang mati, baik berupa kenikmatan abadi maupun kesengsaraan yang tiada henti.
Semua kenikmatan atau kesengsaraan itu akan dirasakan oleh ruh dan badan manusia sekaligus. Seluruh penjelasan dari Nabi Saw kepada umatnya ini dirasa demikian jelas dan bahkan mereka seakan-akan menyaksikannya dengan mata kepala sendiri. Beliau menjelaskan kepada umatnya dalil-dalil tauhid, kenabian, dan kehidupan di dalam akhirat. Dijelaskan ihwal jawaban atas berbagai kelompok yang tetap dalam kekufuran dan kesesatan dengan penjelasan sangat gamblang, sehingga mereka yang mengetahui penjelasan itu akan merasa puas. Bahkan, mereka sama sekali tidak memerlukan penjelasan lagi dari siapa pun.
Kemudian, Nabi Muhammad Saw juga memperkenalkan umatnya taktik dan strategi perangan, berbagai cara menghadapi musuh, dan metode-metode perangan yang akan membuahkan kemenangan. Jika apa yang beliau jelaskan difahami betul dan dipraktekkan dengan benar, maka tidak akan ada seorang musuh pun yang berani menghadapi kaum muslim untuk selama-lamanya. Beliau menunjukkan kepada umatnya berbagai tipu daya iblis dan jalan-jalan yang biasa dilaluinya untuk menjerumuskan kaum muslim. Tidak lupa beliau juga memperkenalkan cara-cara untuk menyelamatkan diri dari berbagai tipu muslihat iblis berikut metode-metode yang tepat untuk menolak bujuk rayunya dengan cara yang sederhana, mudah difahami, dan tidak sulit diamalkan. Dengan cara seperti itu, Nabi Saw jelas telah memberikan arahan dan petunjuk kepada umatnya. Seandainya saja mereka memahami dan mengikuti petunjuk beliau dengan benar, pastilah mereka akan mampu menghadapi berbagai problem kehidupan di dunia ini secara konsisten yakni tetap tegak dalam kebenaran, tidak akan celaka, dan rugi untuk selama-lamanya.
Ringkasnya, Nabi Saw telah datang kepada umat manusia dengan membawa apa yang akan membuat hidup mereka bahagia di dunia dan di akhirat dengan segala sisinya. Setelah itu, Allah Swt tidak perlu mengutus lagi seorang rasul dan nabi sesudah beliau. Oleh karena itu, umat manusia tidak lagi membutuhkan siapa pun selain Nabi Saw yang agung. Allah Swt pun menutup pintu kenabian dan tidak lagi mengutus seorang nabi atau rosul sesudah Beliau. Sebab, umat manusia sudah merasa cukup dengan kehadiran beliau, Nabi Muhammad Saw. Lantas, bagaimana mungkin ada anggapan bahwa syariat Nabi Saw yang demikian lengkap masih memerlukan politik yang bersumber darinya? Atau, ada pandangan bahwa fiqh islam (baca: syariat islam) masih membutuhkan sebuah hakikat selain dirinya, qiyas selain dalam syariat islam; atau masih memerlukan ajaran-ajaran rasional di luar dirinya? Barangsiapa mempunyai anggapan seperti itu, maka ia sama saja dengan orang yang masih membutuhkan seorang rosul lain sesudah Nabi Saw. Tentu saja, penyebab utamanya adalah bahwa ia belum begitu mengenal dan memahami apa yang dibawa oleh Nabi Saw. Dan Allah pun berfirman:
لَمْ يَكْفِهِمْ أَنَّا أَنْزَلْنَا عَلَيْكَ الْكِتَابَ يُتْلَى عَلَيْهِمْ إِنَّ فِيْ ذَلِكَ لَرَحْمَةً وَذِكْرَىْ لِقَوْمٍ يُؤْمِنُوْنَ. [سورة العنكبوت: 51]
"Dan apakah tidak cukup bagi mereka bahwasanya kami Telah menurunkan kepadamu Al Kitab (Al-Qur’an) sedang dia dibacakan kepada mereka? Sesungguhnya dalam (Al-Qur’an) itu terdapat rahmat yang besar dan pelajaran bagi orang-orang yang beriman"(QS. Al Ankabut: 51)
وَيَوْمَ نَبْعَثُ فِيْ كُلِّ أُمَّةٍ شَهِيْدًا عَلَيْهِمْ مِنْ أَنْفُسِهِمْ وَجِئْنَا بِكَ شَهِيْدًا عَلَى هَؤُلاَءِ وَنَزَّلْنَا عَلَيْكَ اْلكِتَابَ تِبْيَانًا لِكُلِّ شِيْءٍ وَهُدًى وَرَحْمَةً وَبُشْرَى لِلْمُسْلِمِيْنَ. [النحل: 89]
"(dan ingatlah) akan hari (ketika) kami bangkitkan pada tiap-tiap umat seorang saksi atas mereka dari mereka sendiri dan kami datangkan kamu (Muhammad) menjadi saksi atas seluruh umat manusia. dan kami turunkan kepadamu Al Kitab (Al-Qur’an) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabassr gembira bagi orang-orang yang berserah diri" (QS. Al Nah: 89)
إِنَّ هَذَا الْقُرْآنَ يَهْدِيْ لِلَّتِيْ هِيَ أَقْوَمُ وَيُبَشِّرُ الْمُؤْمِنِيْنَ الذِيْنَ يَعْمَلُوْنَ الصَّالِحَاتِ أَنَّ لَهُمْ
أَجْرًا كَبِيْرًا [سورة الإسراء: 9].
"Sesungguhnya Al-Qur’an Ini memberikan petunjuk kepada (jalan) yang lebih lurus dan memberi khabar gembira kepada orang-orang Mu'min yang mengerjakan amal saleh bahwa bagi mereka ada pahala yang besar"(QS. Al Isra': 9)
يَاأَيُّهَا النَّاسُ قَدْ جَاءَتْكُمْ مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّكُمْ وَشِفَاءٌ لِمَا فِي الصُّدُوْرِ وَهُدًى وَرَحْمَةٌ لِلْمُؤْمِنِيْنَ
"Hai manusia, Sesungguhnya Telah datang kepadamu pelajaran dari Tuhanmu dan penyembuh bagi penyakit-penyakit (yang berada) dalam dada dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman"(QS. Yunus: 57)
Bagaimana mungkin sebuah "kitab" bisa menyembuhkan apa yang ada dalam dada manusia, padahal ia bahkan tidak bisa memenuhi sepersepuluh kebutuhan manusia? Demikian kira-kira menurut pandangan mereka yang batil. Sungguh, ini sangat aneh. Sebelum diciptakan undang-undang (positif) ini dan dikeluarkannya berbagai pendapat ini, berikut berbagai analogi rasional, dan pandangan kaum intelektual andal ini, apakah para sahabat Nabi Saw dan generasi sesudah mereka mengikuti petunjuk-petunjuk tekstual Al-Qur’an dan sunnah Nabi, ataukah mereka mengikuti berbagai peraturan dan undang-undang selain itu sampai kemudian datang kelompok intelektual mutakhir yang lebih cerdas ketimbang mereka dan lebih benar? Tentu saja, pikiran seperti ini tidak pernah diduga oleh seorang dengan kecerdasan sederhana sekalipun dan masih memiliki rasa malu. Kita berlindung kepada Allah Swt dari kehinaan seperti itu. Akan tetapi, jika ada orang yang dianugerahi pemahaman yang baik untuk mengambil ilmu dari Alquran dan sunnah Nabi, pastilah ia tidak akan memerlukan lagi kitab undang-undang selain keduanya. Inilah karunia Allah Swt yang dianugerahkan kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya. Dan Allah Swt mempunyai anugerah yang besar.
FIQH ISLAM DAN REALITAS KEHIDUPAN
Fiqh islam adalah satu-satunya syariat yang sesuai dengan perkembangan zaman, cocok untuk segala generasi, dan selaras dengan realitas kehidupan. Dalam prinsip-prinsip syariat islam, terdapat kekuatan paripurna yang akan selalu membantu kita dalam menetapkan hukum yang selalu hidup, tumbuh, dan berkembang bagi kehidupan manusia dengan beragam latar-belakang budayanya. Fiqh islam (baca: Syariat Islam) yang dinamis ini sungguh menjamin rasa keadilan, ketenangan, dan kehidupan yang mulia dan bersih.
Fiqh islam telah membuktikan kekuatan argumentasi, dalil, dan kemampuannya untuk membuktikan dirinya relevan dengan zaman. Demikian pula kemampuannya untuk bertahan hidup dalam menghadapi kehidupan ketika diberi kesempatan untuk membuktikan kemampuan dirinya dalam menyesuaikan diri dengan dunia nyata. Kesempatan bagi fiqh islam untuk membuktikan keandalannya adalah kesempatan yang demikian mulia. Sebab, didalam kesempatan ini, tampak jelas keadilan sosial, kemulian manusia, dan menjadinya citra mulia yang menjadi menara cemerlang dan menyinari generasi manusia yang sedang menapak tangga kebaikan dan kemuliaan. Di dalamnya, umat manusia dapat menikmatii kehidupan yang sangat membahagiakan. Bahkan, lebih dari itu, mereka kaum muslimin menyiapkan diri untuk mengemban misi pembebasan dunia dari belenggu kezhaliman, kebodohan, dan gelapnya kesesatan. Realitas umat manusia lainnya yang memberlakukan sistem hukum yang bertentangan dengan fiqh islam (baca: syariat islam) menyaksikan dengan jelas sekali keluhuran dan kesempurnaan syariat islam. Bahkan, lebih dari sekedar mengakui, mereka ternyata bersedia menggugurkan sebagian peraturan dan undang-undangnya dan tidak ada jalan lain kecuali meniru sebagian apa yang ditetapkan syariat islam.
Sungguh, cakupan dan kandungan fiqh islam (baca: syariat islam) meliputi segala problem manusia. Oleh karena itu, syariat islam dapat mengatur segala keadaan manusia dan memenuhi segala kebutuhan hidupnya, meskipun tempat tinggal mereka saling berjauhan, berbeda bangsa, dan bahkan tradisi serta adat-istiadatnya pun sangat berjauhan. Kemuliaan dan kesempurnaan syariat islam ini pasti dipahami dan diterima oleh semua orang kecuali mereka yang sangat bodoh dan merendahkan diri sendiri. Akan tetapi, berbagai problem pelik manusia tidak jelas batasannya dan bahkan hampir tidak terbatas, adalah suatu kebodohan dan kekerdilan bila ada yang meminta dalil tekstual yang jelas dari al-Qur'an dan Sunnah Nabi Saw yang sesuai dengan problem-problem terbaru manusia ini, hari demi hari. Disini, banyak peneliti yang mempertanyakan berbagai persoalan yang mungkin mereka kaji ulang, diubah atau tidak diubah. Selain itu, ada juga masalah-masalah yang tidak mungkin diutak-atik lagi. Problem-problem seperti ini akan nampak jelas dan akan mudah dipecahkan bila sudah diketahui bahwa hukum-hukum dalam syariat islam itu, baik masalah yang halal atau pun yang haram, dikembalikan pada empat prinsip berikut:
Pertama: Berupa dalil-dalil yang pasti (qoth'i) yang sampai kepada kita melalui jalur yang pasti pula. dalil seperti ini masuk kedalam kategori yang ditetapkan secara tegas ( qoth'iyah al-tsubut ) yang termasuk kedalam kategori ini adalah dalil-dalil tekstual (al-nushush) yang sampai kepada kita melalui jalur mutawatir, dan pengertiannya hanya satu seperti dalil perintah sholat dan haramnya berzina. Dalil-dalil seperti ini menjadi kaidah-kaidah dan hukum-hukum pasti yang harus diakui, tidak boleh diragukan oleh setiap muslim, tidak memiliki kemungkinan makna lain, dan tidak ada kekaburan di dalamnya. Bahkan tidak terjadi perbedaan dikalangan para ulama' Fiqih. Dalil-dalil yang pasti ini merupakan kaidah-kaidah pokok dalam fiqh islam, dan merupakan induk keutamaan yang disanjung dan dipuji oleh dunia mengingat manfaatnya yang demikian besar. Oleh karena itu, Allah menjadikanya sebagai ungkapan-ungkapan yang jelas dan mudah, dalil-dalil tekstual yang jelas dan tidak mungkin disimpangkan dan diselewengkan maknanya, tidak menerima ta'wil atau tidak layak didebat, dan tidak mengandung keraguan. Bahkan kesemuanya itu dijadikan sebagai induk kitab yang memuat berbagai masalah hukum, dan menjadi rujukan setiap makna kata-kata yang bermuatan hukum. Dalil-dalil itu demikian penting, sehingga tidak memberi kesempatan kepada seseorang untuk keluar darinya, bahkan tidak boleh mempermainkan makna dengan menta'wilkannya dan apalagi melakukan pemaknaan sesuka hawa nafsu sendiri.
Kedua: Dalil-dalil bersifat spekulatif (zhanniyyah) yang kurang cukup memenuhi kriteria kepastian ketika sampai kepada kita. contoh dalil-dalil seperti ini adalah hadits-hadtis Ahad dengan segala macamnya. Atau, pengertiannya juga tidak tegas dan tidak jelas. Misalnya saja, dalil-dalil itu mempunyai kemungkinan makna-makna yang lain. Di wilayah inilah terbuka pintu ijtihad dan penalaran atau pengkajian lebih mendalam. sebagai pelaku ijtihad, seorang mujtahid berperan melakukan penafsiran atas dalil-dalil zhaniyyah dan menjelaskan maksudnya saja, tetapi ia tidak berhak keluar dari wilayah dalil-dalil itu dan kemudian menentangnya. ia juga tidak boleh keluar darinya tanpa alasan yang benar dan pasti.
Hal yang penting ini perlu di perhatikan secara cermat karena satu dalil tekstual kadang–kadang mempunyai kemungkinan makna lebih dari satu dan tidak ada indikasi yang memastikan kebenaran suatu makna tertentu tanpa makna-makna lainnya. Cara yang tepat dan kuat untuk mengambil satu makna dan mendahulukannya atas makna yang lain dalam sebuah dalil tekstual adalah ijtihad (al-ijtihad), penalaran mendalam (al-nazhar), dan pengkajian (al-bahts). Meskipun dilakukan pengkajian mendalam, penalaran, dan penalaran cermat, masih dimungklinkan adanya penguat (al-tarjih) atas suatu makna yang lemah
(al-marjuh) dalam kurun waktu tertentu demi kemaslahatan tertentu.
Ketiga: adalah kaidah tentang ibadah. Dalam kaidah tentang ibadah, ditetapkan bahwa Allah disembah hanya melalui apa yang disyariatkan-Nya. Oleh karena itu, seluruh tata cara ibadah ritual tidak perlu dipertanyakan (tauqifiyyah) dan hanya Allah Swt sajalah yang mengetahui hakikatnya. Hanya Allah Swt sajalah yang mengetahui ibadah apa yang diridhai-Nya dan tidak diridhoi-Nya. Dalam Alquran dan Sunnah Nabi saw dikelaskan segala sesuatu yang berkaitan dengannya, jadi, ibadah kepada Allah Swt haruslah merujuk pada-Nya dan ditetapkan oleh Alquran, Sunnah Nabi saw dan mengikuti tradisi para salaf salih. Allah Swt berfirman:
قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّوْنَ اللهَ فَاتَّبِعُوْنِيْ يُحْبِبْكُمُ الله وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوْبَكُمْ وَالله غَفُوْرٌ رَحِيْمٌ
"Katakanlah: "Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu." Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang " .(QS: Ali Imron: 31)
Dan Allah juga berfirman :
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِيْ رَسُوْلِ الله أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُوْا اللهَ وَاليَوْمَ الآخِرَ وَذَكَرَ اللهَ كَثِيْرًا.
“Sesungguhnya Telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah." (QS: Al-Ahzab: 21)
Dan sabda Nabi SAW:
مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ فِيهِ فَهُوَ رَدٌّ
"Barang siapa menciptakan hal baru dalam agama maka hal itu di tolak"(HR. Bukhori)
Dan sebagian ulama' salaf berkata :
"Baik-baiknya pekara adalah yang sesuai dengan sunah nabi dan para sahabatnya, dan jelek-jeleknya perkara adalah yang baru dan bid'ah"
Keempat: Adalah Kaidah dalam Muamalah. Menurut hukum asalnya, muamalah boleh dilakukan sampai diketahui ada larangan atasnya. Apa yang didiamkan oleh sang pembuat syariat , yakni Allah Swt, dan tidak ada perintah, larangan atau hak memilih berarti boleh dipertimbangkan. Ringkasnya, apa yang didiamkan oleh Allah Swt dan tidak mengandung bahaya atau madlarat menurut hukum asalnya dinilai sah dan diperbolehkan. Dalil pandangan ini adalah segala bentuk transaksi atau akad dan muamalah didasarkan pada kebiasaan dan tradisi. Oleh karena itu, muamalah pun berjalan dan berlaku seperti itu selama tidak ada larangan. Allah Swt berfirman:…
"Dan sesungguhnya Allah telah menjelaskan kepadamu apa yang diharamkan-Nya atasmu",…(QS Al-An'am :119)
Berdasarkan ayat ini, segala bentuk transaksi dan muamalah dinilai halal dan sah, kecuali apa yang telah dijelaskan keharamannya dalam Alquran dan Sunnah Nabi saw. karenannya, segala bentuk syarat atau akad atau muamalah yang belum (tidak) disebutkan oleh Allah Swt tidak boleh diharamkan kecuali bila sudah ada dalil yang melarangnya atau ada indikasi yang menjelaskan bahayanya. Sebab, ketika Allah Swt tidak menyebutkannya, justru sesungguhnya dia menyanyangi hamba-hamba-Nya dan bukan lantaran lupa.
Imam At Tirmidzi meriwayatkan dari salman al Farisi bahwa nabi saw bersabda:
الحَلاَلُ مَا أَحَلَّ اللهُ فِي كِتاَبِهِ وَالْحَرَامُ مَا حَرَّمَ اللهُ فِي كِتاَبِهِ وَمَا سَكَتَ عَنْهُ فَهُوَ مٍِمَّا عَفَا عَنْهُ
"Yang halal adalah apa yang di halalkan Allah dalam kitabnya, yang haram adalah apa yang diharamkanNya, sementara yang di diamkannya termasuk dalam apa yang dimaafkannya atas kalian".
Imam at Daruquthni juga meriwayatkan dari Abu Tsa'labah bahwa nabi saw bersabda:
إِنَّ اللهَ عَزَّ وَ جَلَّ فَرَضَ فَرَائِضَ فَلاَ تُضَيِّعُوْهَا وَحَرَّمَ حُرُمَاتِ فَلاَ تَنْتَهِكُوْهَا وَحَدَّ حُدُوْدًا فَلاَ تَعْتَدُوْهَا وَسَكَتَ عَنْ أَشْيَاءَ مِنْ غَيْرِ نِسْيَانٍ فَلاَ تَبْحَثُوْا عَنْهَا
" Sesungguhnya Allah telah mewajibkan beberapa perkara yang fardhu dan, karena itu, janganlah kalian menyia-nyiakannya. Dia telah menetapkan beberapa ketentuan dan, kerena itu, janganlah kalian melampauinya. Dia tidak menyebutkan hukum beberapa perkara karena menyanyangi kalian dan bukan karena lupa. Oleh sebab itu, janganlah kalian mencari-carinya. "
Berdasarkan beberapa hadist dan ayat Al Qur'an diatas, diketahui bahwa hukum asal perkara selain Ibadah adalah dibolehkan (al-Ibahah) sampai ada dalil khusus yang menunjukkan kebalikannya. Makna inilah yang dimaksudkan oleh para ulama fiqih dalam kaidah berikut ini : "muamalah boleh dilakukan sampai diketahui ada larangan atasnya" (al muamalat thalq hatta yu'lam al man'u) " .
Sumber :