Oleh Achmad Munjid
Ini juga cerpen yang kutulis hampir 20 tahun lalu, ketika aku suka menulis apa saja untuk mendapat sekadar upah buat uang makan dan bisa survive di jogja. Purwadi, si 'doktor kejawen' yagn sekarang mengajar di UNY punya kebiasaan bersin keras-keras setiap pagi dan 'mengganggu' setiap orang di sekelilingnya. Karena kehabisan ide, kebiasaan bersinnya itulah yang kutulis dan jadilah cerpen tanpa pesan dan tanpa tujuan ini hihi... (dimuat di Bernas tahun 1994)
Cerpen ini juga diketik-ulang dan diselamatkan file-nya oleh Ibad sehingga masih bisa diunggah sekarang. Tengkyu, Dab.....
Bersin
Cerpen Achmad Munjid
Lautan manusia yang hendak masuk sport hall Kridosono malam itu berjejal tak terkira.
Nafas Jen dan orang-orang yang paling dekat dengan pintu masuk pun kian sesak mendengus-dengus. Masing-masing menahan himpitan dari segala arah dan luapan kemarahannya sendiri-sendiri. Setiap orang berjuang melindungi dadanya dengan tangan agar tulang rusuk yang tertekan dari sana-sini tidak sampai patah. Dari arah belakang, sambil berteriak-teriak, orang-orang terus merangsek dengan mata yang kian liar. Pintu yang disediakan memang cuma satu dan sekian ribu orang itu harus antri satu per satu sambil memperlihatkan kartu tanda masuk. Dari menit ke menit, udara di luar pun kian dikuasai kemarahan yang panas bergulung-gulung, bercampur bau keringat, sisa parfum dan asap rokok. Tapi wajah-wajah panitia dan polisi yang menjaga pintu tetap dingin, tak peduli.
Orang -orang itu, yang merasakan bahwa kaki mereka tidak pernah bergeser mendekati pintu, kian keras meneriaki panitia dan polisi dengan yel-yel sengit, sahut menyahut. Berulang-ulang, dengan nada yang kian tinggi. “Panitia….asu! Polisi…..goblok!”
Jen hanya diam saja. Ia membiarkan tubuhnya yang kurus bertambah gepeng, berkali-kali dipermainkan gelombang kerumunan manusia, maju mundur. Tidak seperti yang lain, di tengah hiruk-pikuk itu sebenarnya ia justru sedang dilanda kecemasan terhadap dirinya sendiri. Lebih-lebih, tepat berhimpitan ketat dengannya, seorang gadis bertubuh lunak berdiri mirip boneka. Tengkuknya yang putih berlelehan keringat tampak berkilat-kilat terbuka persis di bawah lubang hidung Jen. Sungguh ini sangat menakutkannya.
Sudah cukup lama Jen merasa bahwa hidungnya berbeda dengan hidung orang-orang pada umumnya. Ia tidak bisa menghirup udara yang terlalu basah atau terlalu kering, udara di ruang ber AC, ruang yang berdebu, ruang yang dipenuhi telalu banyak orang, pokoknya tempat-tempat di mana kadar oksigen tidak ‘normal’. Begitu memasuki tempat-tempat seperti itu Jen akan segera merasa hidungnya dikili-kili. Setelah itu, ia akan bersin-bersin tak terkendali. Padahal setiap kali bersin, dia juga akan selalu berteriak amat keras, seolah untuk menghalau seluruh kesumpekan hidup yang selama ini membelenggunya. Maka setiap pagi,yang pertama dilakukannya adalah bersin-bersin sampai semuate tangganya terbangun.
Karena kebiasaannya yang seperti itu Jen telah kehilangan banyak harapan dan nasib baik yang hampir tergenggam. Misalnya, ketika ia mengikuti wawancara kerja. Tadinya ia sudah begitu yakin bakal diterima di suatu perusahaan terkemuka. Seluruh prosedur seleksi sudah berhasil ia lewati dengan mulus, termasuk wawancara tahap akhir. Ia telah melihat betapa sinar mata petugas yang menyalaminya seusai wawancara itu memancarkan janji yang berkilau-kilau. Tapi begitu hendak meninggalkan ruangan, hidungnya yang sejak semula megar-mingkup menahan udara ber-AC, mendadak menyembur. Berkali-kali menyemprot hingga baju petugas di depannya tadi penuh berlumur bercak-bercak lendir dari hidung dan mulut Jen. Harapannya pun langsung hancur berantakan.
Hidung itu juga pernah menyeret Jen ke pengadilan. Di sebuah supermarket, tanpa bisa dikendalikan Jen bersin-bersin dan seluruh isi hidungnya muncrat menghujani pakaian seorang gadis molek yang punggungnya menyembul setengah terbuka. Sungguh sial, rupanya gadis itu adalah anak seorang Jendral yang tanpa kompromi segera mengirim Jen ke dalam kurungan selama beberapa bulan. Hidung itu jugalah yangmembuat hubungannya dengan calon istri dan mertuanya berantakan. Gara-garanya, ketika Jen diundang mereka untuk dinner, hampirdari awal sampai akhir pertemuan, ia terus jebras-jebres tanpa bisa diredam.
Gejala serupa telah dirasakannya lagi di tengah uyel-uyelan manusia ini sekarang.
Kegelisahannya tidak bisa ditekan, membubung bersama kejengkelan orang-orang yang terus berteriak mencakari udara malam. Padahal Jen sudah lama menunggu bisa nonton pertunjukan langka seperti sekarang. Meski sebetulnya terlalu mahal, ia bahkan telah memesan tiket beberapa hari silam. Lagi pula, ia memang tidak mungkin bisa keluar dari himpitan massa yang bertumpuk-tumpuk seperti sekarang. Satu-satunya yang bisa dilakukan hanyalah mendesakkan tubuh sekuat-kuatnya mendekati pintu masuk. Jen mengusap-usap bulu hidungnya yang makin terasa tidak beres. Ia baru sadar akan kecerobohannya, karena tidak membawa sapu tangan atau kertas tissue yang bisa digunakan sebagai pelindung jika hidungnya menyembur sewaktu-waktu.
Orang-orang makin beringas. Sementara Jen merasakan hidungnya bertambah cepat megar-mingkup, basah dan gatal. Bahkan seluruh badannya telah merasa panas dingin tidak karuan. Kulitnya merinding. Keringat yang membasahi sekujur tubuhnya membuat Jen sangat tersiksa. Bulu-bulu yang menempel di tubuhnya seperti tumbuh berdiri dan kaku-kaku.
Hoaaaaaabbbressss!
“Alhamdulillah…”
Akhirnya simpanan pertahanan yang sejak tadi turun naik menjalari seluruh pori-porinya mengumpul dan membuncah melalui mulut dan kedua lubang hidungnya. Gadis di depan Jen memekik keras begitu merasakan ada cairan yang menyemburnya. Dan Jen memang melihat cairan putih kehijauan yang lebih kental kini ikut meleleh bercampur keringat di tengkuk yang mengkilat di depannya itu. Dari belakang, orang-orang yang mendengar pekik perempuan tadi langsung bersorak riuh, membuat perempuan yang sudah pucat pasi itu wajahnya menjadi merah padam menahan malu, benci, dan rasa marah. Samar-samar Jen mendengar gadis itu mengumpat-umpat setengah terisak sambil kalang-kabut mengelapi tengkuknya dengan sapu tangan. Beberapa orang yang lain ikut menggeremang, tapi kemudian segera tenggelam oleh teriakan-teriakan yang terus bertambah keras. Jen sendiri tidak begitu mendengar, ia tengah berjuang mempersiapkan pertahanannya yang kedua.
Hoaaaabbbrreeessss!!!
“Alhamdulillah…”
Jebol lagi. Percikan-percikan kental kembali menyembur dari hidung Jen. Gadis yang masih mengkirik ketakutan menutupi tengkuknya itu langsung melonjak, memekik dengan suara yang lebih keras meneriakkan kemarahannya yang memuncak. Suaranya melengking tinggi sebelum jatuh pecah tepat menimpa kedua bahunya yang kini keras berguncang-guncang. Disusul teriakan-teriakan yang berhamburan bercampur baur dengan siulan dan kata-kata cabul, riuh rendah disana-sini. Jen tidak tahu apa yang mesti dilakukan. Dalam keadaan terjepit begitu, yang paling menyenangkan barangkali meneriaki dan menertawakan orang lain.
Huabresssss!!…
“Hamdulillah!”
Gadis itu kembali memekik, lebih keras lagi.
Orang-orang yang lain juga mulai marah-marah.
Hoaaaabbresss!!
“…dulillah!”
Jen berusaha keras menutupi hidung dan mulutnya yang terus meletup-letup, tapi akibatnya ingusnya justru kian berhamburan ke mana-mana. Ia tidak tahu, mungkin gadis di depannya kini telah benar-benar menangis menahan rasa marah dan jijik. Jen hanya merasakan kepalanya yang berdenyut-denyut sangat panas. Setiap kali menarik nafas ia pasang kuda-kuda agar ketika kepalanya terhentak ke depan ia betul-betul merasakan kelegaan menggelora yang menjalar luar biasa ke segenap pembuluh darahnya. Semua orang tahu, siapa pun yang batal bersin ia pasti akan menyesal tak terkira. Apalagi bagi orang-orang seperti Jen yang hanya bisa merasakan ekspresi kemerdekaan hidup secara penuh melalui bersin, meski cuma sekejap. Setelah itu Jen akan seperti baru saja jatuh terlempar dari dunia lain dengan tulang linu-linu dan rasa pening yang menyerang seluruh isi kepalanya.
Entah berapa kali sudah kepala Jen terangkat dan menggebras. Dan tanpa disadarinya, ia telah menyembur semua orang di sekitarnya. Apalagi himpitan orang-orang yang dekat pintu masuk memang makin rapat. Sayup-sayup telinganya mendengar teriakan yang tadinya menyerang panitia dan polisi kini beralih gaduh menyumpahinya. Dan ketika membuka mata, Jen melihat tangan-tangan mereka terkepal mengacung-acung buas ke arahnya.
“Maaf, Mas…,” rintih Jen meminta. “Maaf, ya, Mbak… Tidak sengaja,” ujar Jen lagi dengan mata nanap.
“Maaf apaan? Mulut bacin nyemprot-nyemprot sembarangan!”
“Pukul saja itu, ayooo…!”
Hoaaabbresss!!
“….lillah!”
Semua orang di sekeliling Jen berusaha mengambil jarak sejauh-jauhnya sambil menutup muka rapat-rapat. Tapi semprotan Jen bergerak lebih cepat.
“Asuuuuu....!!!”
“Jiancukkk!”
Hooaaabbrresssss!!
“….illaaaah!”
“Bajingaaaaan!”
Sebelum matanya benar-benar terbuka, Jen melihat bayangan tangan-tangan itu telah benar-benar bergerak mengerubutinya. Tiba-tiba Jen merasakan kepalanya seperti tertimpa reruntuhan batu yang mengambrukinya bertubi-tubi. Satu pukulan yang sangat keras menghantam keningnya hingga pandangan matanya berkunang-kunang. Disusul pukulan yang lebih berat menggasak tulang hidungnya. Ada yang dirasakan Jen meleleh panas mengalir dari hidung ke mulutnya. Sebelum sempat ia mengerang, pukulan yang lain telah menghantam keningnya yang sudah memar. Jotosan yang lain mengenai pelupuk matanya. Menggasak rahangnya. Mendarat di hidungnya lagi. Di bibirnya, di ubun-ubun, di pipi kiri, kanan. Jen hanya bisa merintih-rintih menahan rasa sakit. Kedua tangannya yang digunakan untuk berlindung tidak berarti apa-apa dibanding tangan-tangan perkasa yang terus terayun menghajarnya. Samar-samar Jen cuma mendengar sumpah serapah yang sangat kasar dan gaduh, pekik perempuan yang tertahan dan peluit polisi yang sahut menyahut. Matanya hanya bisa melihat gelap pekat dan kelebat kilat yang sangat menyilaukan berganti-ganti setiap kali pukulan itu jatuh menimpa kepalanya.
Makin lama kepalanya makin terasa panas. Dan akhirnya Jen cuma merasakan pegal-pegal yang kemudian berubah menjadi rasa kesemutan teramat sangat hebat. Suara-suara yang didengarnya makin sayup. Pandangannya bertambah kabur.
Jen tiba-tiba merasa hidungnya seperti digelitik-gelitik sampai ke sudut dan kelenjar mata dan ubun-ubunnya. Seluruh lubang pori-porinya panas dan megar. Bulu-bulunya berdiri. Jen menarik nafas, membuka cuping hidung selebar-lebarnya. Matanya terpejam. Menunggu.
Hoaaaaabbbrresssss!!!
“Alhamdulillahirabbil ‘alamiin…”
Setelah itu ia tidak merasakan apa-apa lagi.
Yogyakarta, 1994