Kewajiban dan larangan adalah perkara syariat atau urusan agama sehingga orang yang menyatakan kewajiban atau larangan tanpa dasar dari Al Qur’an dan As Sunnah maka termasuk orang yang membuat perkara baru (bid’ah) dalam perkara syariat atau perkara baru (bid’ah) dalam urusan agama yakni mewajibkan yang sebenarnya tidak diwajibkanNya, melarang yang sebenarnya tidak dilarangNya atau mengharamkan yang sebenarnya tidak diharamkanNya.
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam telah bersabda bahwa perkara baru (bid’ah) dalam perkara syariat atau perkara baru (bid’ah) dalam urusan agama yakni mewajibkan yang sebenarnya tidak diwajibkanNya, melarang yang sebenarnya tidak dilarang Nya atau mengharamkan yang sebenarnya tidak diharamkanNya adalah tertolak atau terlarang
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda “Barang siapa yang membuat perkara baru dalam urusan agama yang tidak ada sumbernya (tidak diturunkan keterangan padanya) maka tertolak.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Telah menceritakan kepada kami Ya’qub telah menceritakan kepada kami Ibrahimbin Sa’ad dari bapaknya dari Al Qasim bin Muhammad dari ‘Aisyah radliallahu‘anha berkata; Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: Siapa yang membuat perkara baru dalam urusan kami ini yang tidak ada perintahnya (tidak diturunkan keterangan padanya) maka perkara itu tertolak.” (HR Bukhari 2499)
Imam Malik berkata: “Barangsiapa yang membuat bid’ah dalam Islam yang ia memandangnya baik, maka sungguh ia telah menuduh Muhammad shallallaahu ’alaihi wasallam mengkhianati risalah. Hal itu dikarenakan Allah telah berfirman : ”Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu”. Maka apa saja yang pada hari itu bukan merupakan bagian dari agama, maka begitu pula pada hari ini bukan menjadi bagian dari agama”
Berikut contoh riwayat yang menjelaskan perkataan Imam Malik di atas
Ada seorang laki-laki yang datang kepada Imam Malik bin Anas Rahimahullah, dia bertanya : “Dari mana saya akan memulai berihram?”
Imam Malik menjawab : “Dari Miqat yang ditentukan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang beliau berihram dari sana”.
Dia bertanya lagi : “Bagaimana jika aku berihram dari tempat yang lebih jauh dari itu?”
Dijawab : “Aku tidak setuju itu”.
Tanyanya lagi : “Apa yang tidak suka dari itu ?”
Imam Malik berkata. “Aku takut terjatuh pada sebuah fitnah!”.
Dia berkata lagi : “Fitnah apa yang terjadi dalam menambah kebaikan?”
Imam Malik berkata : “Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman artinya : “maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah-Nya takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih.” (QS An-Nur : 63] Dan fitnah apakah yang lebih besar daripada engkau dikhususkan dengan sebuah karunia yang tidak diberikan kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ?”
Begitupula kita tidak boleh sholat subuh tiga rakaat walaupun menganggapnya baik karena Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda “sholatlah sebagaimana kalian melihat aku sholat” (HR Bukhari 595, 6705).
Dalam perkara yang telah ada keterangan atau penjelasannya maka perkara yang tidak sesuai dengan apa yang dikerjakan Rasulullah adalah perkara terlarang sebagaimana kaidah ushul fiqih
اَلسُّكُوْتُ فِي مَقَامِ الْبَيَانِ يُفِيْدُ الْحَصْرَ
“Diam dalam perkara yang telah ada keterangannya menunjukkan pembatasan.”
Artinya bahwa diamnya Nabi atas suatu perkara yang telah ada penjelasannya menunjukkan hukum itu terbatas pada apa yang telah dijelaskan, sedang apa yang didiamkan berbeda hukumnya.
Maksud dari berbeda hukumnya adalah: bila nash yang ada menerangkan pembolehan maka yang didiamkan menunjukkan pelarangan, begitupun sebaliknya bila nash yang ada menerangkan larangan maka yang didiamkan menunjukkan pembolehan.
Contohnya adzan sebelum sholat ied. Tidak disyariatkannya adzan ‘iedain bukan lantaran Nabi meninggalkan adzan pada sholat ied, melainkan karena Nabi telah menjelaskan dengan perbuatannya tentang apa saja yang disyariatkan pada ‘iedain.
Jadi terlarang mengangap baik sesuatu menurut akal pikiran sendiri sehingga mewajibkan yang sebenarnya tidak diwajibkanNya sebaliknya terlarang menganggap buruk sesuatu menurut akal pikiran sendiri sehingga melarang yang sebenarnya tidak dilarangNya atau mengharamkan yang sebenarnya tidak diharamkanNya.
Oleh karenanya para mufti yakni orang yang faqih untuk membuat fatwa selalu berhati-hati dalam berijtihad dan beristinbat (menetapkan hukum perkara) agar tidak menetapkan syari’at berdasarkan hawa nafsu sehingga melarang yang sebenarnya tidak dilarangNya atau mengharamkan yang sebenarnya tidak diharamkanNya atau mewajibkan yang sebenarnya tidak diwajibkanNya
Untuk itulah setelah masa kehidupan Imam Madzhab yang empat para mufti selalu merujuk kepada pendapat Imam Mazhab yang empat karena jumhur ulama telah sepakat dari dahulu sampai sekarang bahwa Imam Mazhab yang empat diakui kompetensinya sebagai Imam Mujtahid Mutlak sehingga menjadi pemimpin atau imam ijtihad dan istinbat kaum muslim sampai akhir zaman.
Para Imam Mujtahid dalam beristinbat menghindari metodologi istinbat (menetapkan hukum perkara) seperti al-Maslahah al-Mursalah atau Al-Istislah atau istihsan yakni “Menetapkan hukum suatu masalah yang tak ada nash-nya atau tidak ada ijma’ terhadapnya, dengan berdasarkan pada kemaslahatan semata yang oleh syara’ (dalam Al Qur’an dan As Sunnah) tidak dijelaskan ataupun dilarang”
Metode istinbat, al maslahah-mursalah atau istislah atau istihsan pertama kali diperkenalkan oleh Imam Malik ra (W. 97 H.), pendiri mazhab Malik namun pada akhirnya beliau meninggalkannya. Sejak setelah abad ketiga hijriyah tidak ada lagi ahli usul fiqih yang menisbatkan maslahahmursalah kepada Imam Malik ra.
Menurut Imam Syafi’i, al-Istihsan itu sekali-kali bukan dalil syar’i. Beliau menganggap orang yang menggunakan al-Istihsan sama dengan menetapkan syari’at berdasarkan hawa nafsu atau berdasarkan pendapat sendiri yang mungkin benar dan mungkin pula salah.
Ibnu Hazm termasuk salah seorang uluma yang menolak al-Istihsan. Beliau menganggap bahwa al-Istihsan itu menganggap baik terhadap sesuatu menurut hawa nafsunya, dan itu bisa benar dan bisa pula salah, misalnya mengharamkan sesuatu tanpa dalil.
Pada hakikatnya segala sesuatu pada dasarnya mubah (boleh).
Maksud dari prinsip ini adalah bahwa hukum asal dari segala sesuatu yang diciptakan Allah adalah halal dan mubah.
Tidak ada yang haram kecuali apa-apa yang disebutkan secara tegas oleh nash yang shahih sebagai sesuatu yang haram. Dengan kata lain jika tidak terdapat nash yang shahih atau tidak tegas penunjukan keharamannya, maka sesuatu itu tetaplah pada hukum asalnya yaitu mubah (boleh)
Kaidah ini disandarkan pada firman Allah subhanahu wa ta’la
“Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu….” (QS. Al-Baqarah [2]:29)
“Dan dia Telah menundukkan untukmu apa yang di langit dan apa yang di bumi semuanya, (sebagai rahmat) daripada-Nya…” (QS. Al-Jatsiyah [45]:13)
“Tidakkah kamu perhatikan Sesungguhnya Allah Telah menundukkan untuk (kepentingan)mu apa yang di langit dan apa yang di bumi dan menyempurnakan untukmu nikmat-Nya lahir dan batin…” (QS. Luqman [31]:20)
Ayat-ayat di atas menegaskan bahwa segala apa yang ada di muka bumi seluruhnya adalah nikmat dari Allah yang diberikan kepada manusia sebagai bukti kasih sayang-Nya.
Dia hanya mengharamkan beberapa bagian saja, itu pun karena hikmah tertentu untuk kebaikan manusia itu sendiri. Dengan demikian wilayah haram dalam syariat Islam itu sangatlah sempit, sedangkan wilayah halal sangatlah luas.
Firman Allah Azza wa Jalla yang artinya, “Katakanlah! Tuhanku hanya mengharamkan hal-hal yang tidak baik yang timbul daripadanya dan apa yang tersembunyi dan dosa dan durhaka yang tidak benar dan kamu menyekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak turunkan keterangan padanya dan kamu mengatakan atas (nama) Allah dengan sesuatu yang kamu tidak mengetahui.” (QS al-A’raf [7]: 33)
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya Rabbku memerintahkanku untuk mengajarkan yang tidak kalian ketahui yang Ia ajarkanpadaku pada hari ini: ‘Semua yang telah Aku berikan pada hamba itu halal, Aku ciptakan hamba-hambaKu ini dengan sikap yang lurus, tetapi kemudian datanglah syaitan kepada mereka. Syaitan ini kemudian membelokkan mereka dari agamanya,dan mengharamkan atas mereka sesuatu yang Aku halalkan kepada mereka, serta mempengaruhi supaya mereka mau menyekutukan Aku dengan sesuatu yang Aku tidak turunkan keterangan padanya”. (HR Muslim 5109)
Begitupula kita tidak dapat melarang suatu perbuatan dengan perkataan manusia seperti “Lau Kaana Khairan Lasabaquunaa ilaihi” (kalau sekiranya perbuatan itu baik, tentulah para Sahabat telah mendahului kita mengamalkannya) karena perkataan tersebut bukan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala dan bukan pula sabda Rasulullah shallallahu alaihi wasallam
Amal kebaikan tidak sebatas hanya apa yang telah dilakukan oleh para Sahabat.
Kalau perkara bid'ah dholalah dikaitkan dengan apa yang telah dilakukan oleh para Sahabat maka tentu tidak ada perkara bid'ah dholalah pada kaum sebelum Rasulullah shallallahu alaihi wasallam diutus oleh Allah Azza wa Jalla
Kaum Nasrani melampaui batas (ghuluw) dalam beragama tidak hanya dalam menuhankan al Masih dan ibundanya namun mereka melampaui batas (ghuluw) dalam beragama karena mereka melarang yang sebenarnya tidak dilarangNya, mengharamkan yang sebenarnya tidak diharamkanNya atau mewajibkan yang sebenarnya tidak diwajibkanNya
Firman Allah ta’ala yang artinya , “Kemudian Kami iringi di belakang mereka dengan rasul-rasul Kami dan Kami iringi (pula) dengan Isa putra Maryam; dan Kami berikan kepadanya Injil dan Kami jadikan dalam hati orang-orang yang mengikutinya rasa santun dan kasih sayang. Dan mereka mengada-adakan rahbaniyyah padahal kami tidak mewajibkannya kepada mereka tetapi (mereka sendirilah yang mengada-adakannya) untuk mencari keridhaan Allah, lalu mereka tidak memeliharanya dengan pemeliharaan yang semestinya. Maka Kami berikan kepada orang-orang yang beriman di antara mereka pahalanya dan banyak di antara mereka orang-orang fasik. (QS. al Hadid [57]: 27)
Hal yang dimaksud dengan Rahbaaniyyah ialah tidak beristeri atau tidak bersuami dan mengurung diri dalam biara. Kaum Nasrani melakukan tindakan ghuluw (melampaui batas) dalam beragama yakni melarang yang tidak dilarangNya, mengharamkan yang tidak diharamkanNya atau mewajibkan yang tidak diwajibkanNya
Para Sahabat juga hampir melakukan tindakan ghuluw (melampaui batas) dalam beragama seperti
1. Mewajibkan dirinya untuk terus berpuasa dan melarang dirinya untuk berbuka puasa
2. Mewajibkan dirinya untuk sholat (malam) dan melarang dirinya untuk tidur
3. Melarang dirinya untuk menikah
Namun Rasulullah shallallahu alaihi wasallam menegur dan mengkoreksi mereka dengan sabdanya yang artinya, “Kalian yang berkata begini begitu? Ingat, demi Allah, aku orang yang paling takut dan paling bertakwa di antara kalian, tetapi aku berpuasa juga berbuka, sholat (malam) juga tidur, dan aku (juga) menikah dengan para wanita. (Karena itu), barang siapa yang menjauh dari sunnahku berarti ia bukan golonganku.”
Allah Azza wa Jalla berfirman, “Mereka menjadikan para rahib dan pendeta mereka sebagai tuhan-tuhan selain Allah“. (QS at-Taubah [9]:31 )
Ketika Nabi ditanya terkait dengan ayat ini, “apakah mereka menyembah para rahib dan pendeta sehingga dikatakan menjadikan mereka sebagai tuhan-tuhan selain Allah?” Nabi menjawab, “tidak”, “Mereka tidak menyembah para rahib dan pendeta itu, tetapi jika para rahib dan pendeta itu menghalalkan sesuatu bagi mereka, mereka menganggapnya halal, dan jika para rahib dan pendeta itu mengharamkan bagi mereka sesuatu, mereka mengharamkannya“
Pada riwayat yang lain disebutkan, Rasulullah bersabda ”mereka (para rahib dan pendeta) itu telah menetapkan haram terhadap sesuatu yang halal, dan menghalalkan sesuatu yang haram, kemudian mereka mengikutinya. Yang demikian itulah penyembahannya kepada mereka.” (Riwayat Tarmizi)
Jadi jelaslah pelaku bid’ah dalam urusan agama adalah orang-orang yang melampaui batas (ghuluw) dalam beragama yakni orang-orang yang melarang yang tidak dilarangNya, mengharamkan yang tidak diharamkanNya atau mewajibkan yang tidak diwajibkanNya akan masuk neraka karena mereka menjadikan ulama-ulama mereka sebagai tuhan-tuhan selain Allah.
Oleh karenanya kita tidak boleh sembarang menuduh orang lain sebagai pelaku bid'ah dalam urusan agama karena sama menuduhnya dengan "wahai kafir". Pelaku bid'ah dalam urusan agama adalah orang-orang yang menjadikan ulama-ulama mereka sebagai tuhan-tuhan selain Allah.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Siapa pun orang yang berkata kepada saudaranya, ‘Wahai kafir’ maka sungguh salah seorang dari keduanya telah kembali dengan kekufuran tersebut, apabila sebagaimana yang dia ucapkan. Namun apabila tidak maka ucapan tersebut akan kembali kepada orang yang mengucapkannya.” (HR Muslim).
Dapat kita saksikan bahwa orang-orang yang sembarang menuduh orang lain sebagai pelaku bid'ah dalam urusan agama di mana ucapan tersebut kembali kepada mereka sendiri yakni mereka melarang yang sebenarnya tidak dilarang oleh Allah Azza wa Jalla
Contoh mereka melarang yang sebenarnya tidak dilarang oleh Allah Azza wa Jalla adalah mereka melarang kaum muslim melakukan perjalanan jauh (safar) untuk ziarah kubur seperti yang mereka tuliskan pada http://muslim.or.id/aqidah/ini-dalilnya-14-larangan-melakukan-safar-khusus-untuk-ziarah-kubur.html
Tidak ada satupun dalil dari Al Qur'an dan Hadits yang dapat digunakan untuk melarang kaum muslim melakukan perjalanan jauh (safar) untuk ziarah kubur.
Mereka melarang yang sebenarnya tidak dilarang oleh Allah Azza wa Jalla karena salah memahami dalil seperti
Dari Abu Hurairah radliyallahu 'anhu bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda “Tidak boleh diadakan perjalan jauh kecuali kepada tiga masjid; masjidku ini dan masjidil haram dan masjid Al Aqsha”. (HR Bukhari dan Muslim)
Dan dalam shahih Muslim dengan redaksi larangan sebagai berikut
“Janganlah kamu mengadakan perjalan jauh kecuali kepada tiga masjid; masjidku ini dan masjidil haram dan masjid Al Aqsha”.
Mereka salah memahaminya karena memahami hadits tersebut secara dzahiriyyah atau memahaminya dengan makna dzahir yakni dilarang melakukan perjananan jauh kecuali hanya untuk tujuan tiga masjid tersebut, lalu mengambil kesimpulan bahwa ziarah kubur yang tidak termasuk dalam salah satu dari tiga masjid tersebut menjadi perbuatan haram.
Kedua hadits tersebut bukanlah larangan mengadakan perjalanan jauh (safar) secara umum termasuk larangan mengadakan perjalanan jauh untuk ziarah kubur.
Kalau hadits tersebut merupakan larangan mengadakan perjalanan jauh (safar) secara umum maka terlarang pula untuk mengadakan perjalanan jauh (safar) terkait dengan menuntut ilmu, berdagang, wisata, berobat, berkunjung kepada saudara (silaturahhim) dan keperluan lainnya.
Hadits tersebut hanya ingin menjelaskan, bahwa seseorang tidak usah bercapai-capai melakukan perjalanan jauh ke sebuah Masjid demi mencari kemuliaannya, kecuali menuju tiga masjid di atas. Nilai ibadah di semua Masjid selain ketiga masjid di atas adalah sama.
Kendati demikian, kita masih boleh mengunjungi sebuah Masjid yang berada jauh dari kita atau bahkan di luar negeri untuk mengenang sejarahnya dan dapat mendapatkan keberkahan di sana.
Ibnu Hajar al-Haitamy menjelaskan bahwa maksud hadits tersebut adalah tidak melakukan perjalanan ke masjid-masjid karena ta’dhim dan taqarrub dengan masjid tersebut kecuali tiga masjid yang tersebut dalam hadits. (Ibnu Hajar al-Haitamy, al-Jauhar al-Munaddham, Dar al-Jawami’ al-Kalam, Kairo, Hal. 31)
Jadi, bukan berarti dilarang secara mutlaq semua perjalanan selain kepada tiga masjid yang disebut dalam hadits tersebut. Pemahaman ini sesuai pula dengan hadits riwayat berikut ini,
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda "Tidak sepatutnya seseorang yang berjalan melakukan perjalanan ke masjid untuk melakukan shalat dalamnya selain masjidil haram, masjid aqsha dan masjidku ini (H.R. Ahmad.)
Jadi kedua hadits tersebut hanyalah melarang bersusah payah mengadakan perjalanan untuk mendatangi masjid terkait dengan nilai keutamaan semata dan hukumnya pun tidak sampai haram (jika dilanggar berdosa)
Telah menceritakan kepada kami Sufyan berkata; telah menceritakan kepada kami Az Zuhri dari Sa'id dari Abu Hurairah dari Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam beliau bersabda: "dibolehkan mengadakan perjalanan ketiga masjid berikut ini: Masjidil Haram, Masjidku ini (Masjid Nabawi), dan masjidil Aqsho." dan Sufyan berkata: dan boleh bersikeras dalam melakukan safar kecuali pada tiga masjid; Masjidil Haram, Masjidku ini (Masjid Nabawi), dan masjidil Aqsho." (Musnad Ahmad 6951)
Telah menceritakan kepada kami Hasyim berkata; telah menceritakan kepada kami Abdul Hamid berkata; telah menceritakan kepadaku Syahr berkata; aku mendengar Abu Sa'id Al Khudri; bahwa telah disebut-disebut disisinya shalat di bukit Thur, maka iapu berkata; Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: "tidak sepantasnya hewan tunggangan dipaksakan bersusah-payah mendatangi satu masjid hanya untuk mendirikan shalat di dalamnya kecuali ke Masjidil Haram, Masjidil Aqsho dan masjidku ini (Musnad Ahmad 11181)
Telah bercerita kepada kami Husain bin Muhammad telah bercerita kepada kami Syaiban dari Abdul Malik dari Umar bin Abdur Rahman bin Al Harits bin Hisyam ia berkata: Abu Bashrah Al Ghifari menemui Abu Hurairah saat ia tiba dari bukit thur, bertanya Abu Bashrah Al Ghifari: Dari mana kamu? Abu Hurairah menjawab: dari bukit Thur; aku shalat di sana. Berkata Abu Bashrah Al Ghifari: andai aku menemuimu sebelum kau pergi meninggalkannya pasti kau tidak pergi, aku pernah mendengar Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: "Binatang tunggangan tidak boleh diikat kecuali ke tiga masjid; Masjidil Haram, masjidku, masjidil Aqsha. (Musnad Ahmad 22730)
Jelas dalam riwayat di atas bahwa Abu Hurairah mengadakan perjalanan untuk shalat di bukit Thur bukan untuk mengadakan perjalanan ziarah kubur dan larangan tersebut bukanlah perkara haram (dikerjakan dosa) namun terkait nilai keutamaannya semata.
Telah menceritakan kepada kami Utsman bin Muhammad dan aku telah mendengarnya dari Utsman bin Muhammad bin Abu Syaibah berkata; telah mencertiakan kepada kami Jarir dari Mughirah dari Ibrahim dari Sahm dari Qaza'ah dari Abu Sa'id Al Khudri, ia berkata; Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: "Janganlah bersusah payah melakukan safar kecuali ke tiga masjid; masjidil haram, masjid Madinah dan masjidil aqsha." Abu Sa'id berkata; Rasulullah shallallahu alaihi wasallam mengantar seorang laki-lai, lalu beliau bertanya: "Engkau mau kemana? ia menjawab, "Aku ingin pergi ke baitul maqdis", maka Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda: "sungguh, shalat di masjid ini lebih utama seribu kali shalat dari shalat di tempat lain kecuali masjidil haram" (Musnad Ahmad)
Begitupula Rasulullah shallallahu alaihi wasallam sering mengadakan perjalanan untuk mengunjungi Masjid Quba walaupun hanya berjarak dekat sebagaimana yang diriwayatkan oleh Sayyidina Abdullah bin Umar bin Khatab ra "Dahulu pada setiap hari Sabtu, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam mengunjungi Masjid Quba berjalan kaki atau berkendaraan (HR Bukhari dan Muslim)Kesimpulannya, mereka gemar melarang yang sebenarnya tidak dilarang oleh Tuhan karena mereka salah memahami Al Qur'an dan Hadits.
Dalam perkara muamalah, kebiasaan atau adat dalil pegangan bagi kaum muslim adalah selama tidak melanggar satupun laranganNya maka hukum asalnya adalah mubah (boleh)
Pada hakikatnya segala sesuatu pada dasarnya mubah (boleh).
Maksud dari prinsip ini adalah bahwa hukum asal dari segala sesuatu yang diciptakan Allah adalah halal dan mubah.
Tidak ada yang haram kecuali apa-apa yang disebutkan secara tegas oleh nash yang shahih sebagai sesuatu yang haram. Dengan kata lain jika tidak terdapat nash yang shahih atau tidak tegas penunjukan keharamannya, maka sesuatu itu tetaplah pada hukum asalnya yaitu mubah (boleh)
Kaidah ini disandarkan pada firman Allah subhanahu wa ta’la
“Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu….” (QS. Al-Baqarah [2]:29)
“Dan dia Telah menundukkan untukmu apa yang di langit dan apa yang di bumi semuanya, (sebagai rahmat) daripada-Nya…” (QS. Al-Jatsiyah [45]:13)
“Tidakkah kamu perhatikan Sesungguhnya Allah Telah menundukkan untuk (kepentingan)mu apa yang di langit dan apa yang di bumi dan menyempurnakan untukmu nikmat-Nya lahir dan batin…” (QS. Luqman [31]:20)
Ayat-ayat di atas menegaskan bahwa segala apa yang ada di muka bumi seluruhnya adalah nikmat dari Allah yang diberikan kepada manusia sebagai bukti kasih sayang-Nya.
Dia hanya mengharamkan beberapa bagian saja, itu pun karena hikmah tertentu untuk kebaikan manusia itu sendiri. Dengan demikian wilayah haram dalam syariat Islam itu sangatlah sempit, sedangkan wilayah halal sangatlah luas.
Firman Allah Azza wa Jalla yang artinya, “Katakanlah! Tuhanku hanya mengharamkan hal-hal yang tidak baik yang timbul daripadanya dan apa yang tersembunyi dan dosa dan durhaka yang tidak benar dan kamu menyekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak turunkan keterangan padanya dan kamu mengatakan atas (nama) Allah dengan sesuatu yang kamu tidak mengetahui.” (QS al-A’raf [7]: 33)
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya Rabbku memerintahkanku untuk mengajarkan yang tidak kalian ketahui yang Ia ajarkanpadaku pada hari ini: ‘Semua yang telah Aku berikan pada hamba itu halal, Aku ciptakan hamba-hambaKu ini dengan sikap yang lurus, tetapi kemudian datanglah syaitan kepada mereka. Syaitan ini kemudian membelokkan mereka dari agamanya,dan mengharamkan atas mereka sesuatu yang Aku halalkan kepada mereka, serta mempengaruhi supaya mereka mau menyekutukan Aku dengan sesuatu yang Aku tidak turunkan keterangan padanya”. (HR Muslim 5109)
Begitupula kaidah yang serupa berbunyi,
Laa tusyro’u ‘ibadatun illaa bi syar’illah, wa laa tuharramu ‘adatun illaa bitahriimillah…
“Tidak boleh dilakukan suatu ibadah (mahdhah) kecuali yang disyariatkan oleh Allah; dan tidak dilarang suatu muamalah atau kebiasaan atau adat (ibadah ghairu mahdah) kecuali yang diharamkan oleh Allah.”
Sebagai kaum muslim maka seluruh perbuatan adalah untuk beribadah kepada Allah Azza wa Jalla
Firman Allah ta’ala yang artinya
“Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku” (QS Adz Dzaariyaat [51]:56)
“Beribadahlah kepada Tuhanmu sampai kematian menjemputmu” (QS al Hijr [15]:99)
Ibadah ada dua jenis yakni ibadah mahdhah dan ibadah ghairu mahdhah
Ibadah ghairu mahdhah meliputi muamalah, kebiasaan atau adat
Dalam riwayat Ibnu Hibban, disebutkan: “Senyummu dihadapan saudaramu adalah shadaqah. Menyingkirkan batu, duri, dan tulang dari jalan manusia adalah shadaqah. Petunjukmu kepada seseorang yang tersesat di jalan juga shadaqah.”. Ibnu Hibban dalam Shahih-nya (al-Ihsan:474, 529)
Abu Hurairah r.a. berkata bahwa Rasulullah Saw. Bersabda, “Setiap ruas tulang manusia harus disedekahi setiap hari selama matahari masih terbit. Engkau mendamaikan dua orang (yang berselisih) adalah sedekah,menolong seseorang dengan membantunya menaiki kendaraan atau mengangkatkan barangnya ke atas kendaraan adalah sedekah,kata-kata yang baik adalah sedekah,setiap langkah kaki yang kau ayunkan untuk shalat adalah sedekah,dan engkau menyingkirkan aral dari jalan adalah juga sedekah. “(Diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim)
Segala sesuatu yang tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah dalam perkara muamalah, kebiasaan atau adat yang tidak menyalahi satupun laranganNya maka hukum asalnya adalah mubah (boleh)
Kebiasaan adalah suatu sikap atau perbuatan yang sering dilakukan
Muamalah adalah secara bahasa sama dengan kata (mufa'alatan) yang artinya saling bertindak atau saling mengamalkan. Jadi muamalah pada hakikatnya adalah kebiasaan yang saling berinteraksi sehingga melahirkan hukum atau urusan kemasyarakatan (pergaulan, perdata dsb)
Sedangkan adat adalah suatu kebiasaan yang sering dilakukan dalam suatu masyarakat.
Dalam ushul fiqih landasan semua itu dikenal dengan Urf
Firman Allah ta'ala yang artinya
Jadilah engakau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang ma’ruf (al-‘urfi), serta berpalinglah dari orang-orang yang bodoh. (QS. Al-A’raf [7]:199)
Kata al-‘Urf dalam ayat tersebut, dimana umat manusia disuruh mengerjakannya, oleh Ulama Ushul fiqih dipahami sebagai sesuatu yang baik dan telah menjadi kebiasaan masyarakat. Berdasarkan itu maka ayat tersebut dipahami sebagai perintah untuk mengerjakan sesuatu yang telah dianggap baik sehingga telah menjadi tradisi dalam suatu masyarakat.
Dari segi objeknya ‘Urf dibagi kepada : al-‘urf al-lafzhi (kebiasaan yang menyangkut ungkapan) dan al-‘urf al-amali ( kebiasaan yang berbentuk perbuatan).
Dari segi cakupannya, ‘urf terbagi dua yaitu al-‘urf al-‘am (kebiasaan yang bersifat umum) dan al-‘urf al-khash (kebiasaan yang bersifat khusus).
Dari segi keabsahannya dari pandangan syara’, ‘urf terbagi dua; yaitu al’urf al-shahih ( kebiasaan yang dianggap sah) dan al-‘urf al-fasid ( kebiasaan yang dianggap rusak).
Para ulama ushul fiqh sepakat bahwa ‘urf al-shahih, yaitu ‘urf yang tidak bertentangan dengan syara’ atau kebiasaan yang tidak menyalahi satupun laranganNya atau kebiasaan yang tidak bertentangan dengan Al Qur'an dan As Sunnah.
Perkara baru (bid’ah) dalam perkara ibadah ghairu mahdhah yang meliputi perkara muamalah, kebiasaan atau adat pun, jika menyalahi laranganNya atau jika bertentangan dengan Al Qur’an dan As Sunnah maka termasuk bid’ah yang sayyiah alias bid’ah dholalah.
Berikut pendapat Imam Syafi’i ra
قاَلَ الشّاَفِعِي رَضِيَ اللهُ عَنْهُ -ماَ أَحْدَثَ وَخاَلَفَ كِتاَباً أَوْ سُنَّةً أَوْ إِجْمَاعاً أَوْ أَثَرًا فَهُوَ البِدْعَةُ الضاَلَةُ ، وَماَ أَحْدَثَ مِنَ الخَيْرِ وَلَمْ يُخاَلِفُ شَيْئاً مِنْ ذَلِكَ فَهُوَ البِدْعَةُ المَحْمُوْدَةُ -(حاشية إعانة 313 ص 1الطالبين -ج )
Artinya ; Imam Syafi’i ra berkata –Segala hal (kebiasaan) yang baru (tidak terdapat di masa Rasulullah) dan menyalahi (bertentangan) dengan pedoman Al-Qur’an, Al-Hadits, Ijma’ (sepakat Ulama) dan Atsar (Pernyataan sahabat) adalah bid’ah yang sesat (bid’ah dholalah). Dan segala kebiasaan yang baik (kebaikan) yang baru (tidak terdapat di masa Rasulullah) dan tidak menyalahi (bertentangan) dengan pedoman tersebut maka ia adalah bid’ah yang terpuji (bid’ah mahmudah atau bid’ah hasanah), bernilai pahala. (Hasyiah Ianathuth-Thalibin –Juz 1 hal. 313)
Ibn Hajar al-’Asqalani dalam kitab Fath al-Bari menuliskan sebagai berikut:
وَالتَّحْقِيْقُ أَنَّهَا إِنْ كَانَتْ مِمَّا تَنْدَرِجُ تَحْتَ مُسْتَحْسَنٍ فِيْ الشَّرْعِ فَهِيَ حَسَنَةٌ، وَإِنْ كَانَتْ مِمَّا تَنْدَرِجُ تَحْتَ مُسْتَقْبَحٍ فِيْ الشَّرْعِ فَهِيَ مُسْتَقْبَحَةٌ .
“Cara mengetahui bid’ah yang hasanah dan sayyi’ah menurut tahqiq para ulama adalah bahwa jika perkara baru tersebut masuk dan tergolong kepada hal yang baik dalam syara’ berarti termasuk bid’ah hasanah, dan jika tergolong hal yang buruk dalam syara’ berarti termasuk bid’ah yang buruk” (Fath al-Bari, j. 4, hlm. 253).
Wassalam
Zon di Jonggol, Kabupaten Bogor 16830