Kaum muslim menghadapi dua hal dilematis seperti
Kalau belajar agama ke "barat" maka kemungkinannya akan terpegaruh dengan paham liberal
Kalau belajar agama ke timur khususnya ke wilayah kerajaan dinasti Saudi maka kemungkinannya akan terpengaruh dengan paham ulama Najed yakni Muhammad bin Abdul Wahhab atau paham Wahabi.
Kalau paham liberal kita tidak perlu lagi membicarakannya karena sudah ada fatwa Majelis Ulama Indonesia No: 7/MUNAS VII/MUI/II/2005 tentang kesesatan paham pluralisme, liberalisme dan sekuarisme agama
Sekularisme, paham yang menghindarkan manusia dalam kehidupannya me”referensi' kepada Allah atau agama
Pluralisme, paham yang dapat membuat manusia “floating” atau “ragu” akan Allah atau agama.
Liberalisme, paham yang “membebaskan” manusia terhadap aturan Allah atau agama
Hal yang perlu kita bicarakan kali ini adalah ulama made in Najed atau ulama produk Najed.
Ulama made in Najed adalah ulama produk atau hasil pengajaran para ulama yang mengikuti ulama Najed sebagaimana informasi dari situs resmi mereka seperti padahttp://www.saudiembassy.net/about/country-information/Islam/saudi_arabia_Islam_heartland.aspx di mana terlihat jelas kebanggaan mereka sebagai ulama Najed. Berikut kutipannya,
“In the 18th century, a religious scholar of the central Najd, Muhammad bin Abdul Wahhab, joined forces with Muhammad bin Saud, the ruler of the town of Diriyah, to bring the Najd and the rest of Arabia back to the original and undefiled form of Islam”.
Ulama Najed mengingatkan kita kepada penduduk Najed yang mempunyai keunikan tersendiri karena mereka disebutkan dalam beberapa hadits untuk kita ambil hikmah atau pelajaran sebagaimana yang telah disampaikan dalam tulisan pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2013/08/29/mengenal-najed/
Kita perlu membicarakan ulama made in Najed atau ulama produksi wilayah kerajaan dinasti Saudi karena kerajaan dinasti Saudi pada kenyataannya telah melanggar larangan dari Allah Azza wa Jalla yakni menjadikan Zionis Yahudi Amerika yang merupakan pendukung Zionis Yahudi Israel, sebagai teman kepercayaan, pemimpin, pelindung maupun sebagai penasehat.
Firman Allah Azza wa Jalla, yang artinya,
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu ambil menjadi teman kepercayaanmu orang-orang yang, di luar kalanganmu (karena) mereka tidak henti-hentinya (menimbulkan) kemudharatan bagimu. Mereka menyukai apa yang menyusahkan kamu. Telah nyata kebencian dari mulut mereka, dan apa yang disembunyikan oleh hati mereka adalah lebih besar lagi. Sungguh telah Kami terangkan kepadamu ayat-ayat (Kami), jika kamu memahaminya” , (QS Ali Imran, 118)
“Beginilah kamu, kamu menyukai mereka, padahal mereka tidak menyukai kamu, dan kamu beriman kepada kitab-kitab semuanya. Apabila mereka menjumpai kamu, mereka berkata “Kami beriman”, dan apabila mereka menyendiri, mereka menggigit ujung jari antaran marah bercampur benci terhadap kamu. Katakanlah (kepada mereka): “Matilah kamu karena kemarahanmu itu”. Sesungguhnya Allah mengetahui segala isi hati“. (QS Ali Imran, 119)
“Tidakkah kamu perhatikan orang-orang yang menjadikan suatu kaum yang dimurkai Allah sebagai teman? Orang-orang itu bukan dari golongan kamu dan bukan (pula) dari golongan mereka. Dan mereka bersumpah untuk menguatkan kebohongan, sedang mereka mengetahui“. (QS Al Mujaadilah [58]:14 )
Dari firmanNya terrsebut dapat kita ketahui bahwa siapapun yang bersekutu dengan kaum yang dimurkai Allah yakni kaum Yahudi maka pastilah akan mendatangkan kemudharatan bagi kaum muslim.
Sejak zaman Rasulullah shallallahu alaihi wasallam kaum Yahudi berupaya untuk menimbulkan perselisihan di antara kaum muslim sebagaimana contoh apa yang terjadi pada kisah suku Aus dan Khajraj.
Pada masa Jahiliyah kedua suku tersebut saling bermusuhan dan berperang selama 120 tahun. Setelah mereka memeluk Islam Allah menyatukan hati mereka sehingga mereka menjadi bersaudara dan saling menyayangi.
Ketika orang-orang Aus dan Khajraj sedang berkumpul dalam satu majlis, kemudian ada seorang Yahudi yang melalui mereka, lalu ia mengungkit-ungkit permusuhan dan peperangan mereka pada bani Bu’ats. Maka permusuhan diantara kedua suku tersebut mulai memanas kembali, kemarahan mulai timbul, sebagian mencerca sebagian lain dan keduanya saling mengangkat senjata, lalu ketegangan tersebut disampaikan kepada Nabi shallallahu alaihi wa salam.
Kemudian Beliau mendatangi mereka untuk menenangkan dan melunakkan hati mereka, seraya bersabda: “Apakah dengan panggilan-panggilan jahiliyah, sedang aku masih berada di tengah-tengah kalian?.” Lalu Beliau membacakan Ali Imran ayat 103 yang artinya, ‘Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah secara berjama’ah, dan janganlah kamu bercerai berai , dan ingatlah nikmat Allah atas kamu semua ketika kamu bermusuh-musuhan maka Dia (Allah) menjinakkan antara hati-hati kamu maka kamu menjadi bersaudara sedangkan kamu diatas tepi jurang api neraka, maka Allah mendamaikan antara hati kamu. Demikianlah Allah menjelaskan ayat ayatnya agar kamu mendapat petunjuk”.
Setelah itu mereka menyesal atas apa yang telah terjadi dan berdamai kembali seraya berpeluk-pelukan dan meletakan senjata masing-masing.
Pada masa sekarang kaum Yahudi atau yang kita kenal sekarang dengan Zionis Yahudi dalam upayanya menimbulkan perselisihan di antara kaum muslim adalah dengan menjauhkan kaum muslim dari para ulama yang sholeh yang mengikuti Imam Mazhab yang empat.
Protokol Zionis yang ketujuhbelas
…Kita telah lama menjaga dengan hati-hati upaya mendiskreditkan para ulama non-Yahudi (Imam Mazhab yang empat dan para ulama yang mengikuti mereka) dalam rangka menghancurkan misi mereka, yang pada saat ini dapat secara serius menghalangi misi kita. Pengaruh mereka atas masyarakat mereka berkurang dari hari ke hari. Kebebasan hati nurani yang bebas dari paham agama telah dikumandangkan dimana-mana. Tinggal masalah waktu maka agama-agama itu akan bertumbangan…..
Upaya mendiskreditkan Imam Mazhab yang empat dan para ulama yang mengikuti mereka dengan tujuan agar kaum muslim menyibukkan diri atau membuang-buang waktu untuk mengulang kembali apa yang telah dikerjakan dan dihasilkan oleh Imam Mazhab yang empat sedangkan mereka bukan ahlil istidlal sehingga timbul konflik atau perselisihan karena perbedaan pendapat yang berujung saling bunuh membunuh.
Contoh ungkapan mendiskreditkan para ulama yang sholeh yang mengikuti Imam Mazhab yang empat seperti
“Apabila suatu hadits itu shahih, maka hadits itulah mazhabku”. Haditsnya shahih namun permasalahannya apakah pemahaman (ijtihad) dan istinbat mereka pasti benar, sebagaimana yang telah disampaikan dalam tulisan padahttp://mutiarazuhud.wordpress.com/2013/09/04/hadits-itulah-mazhabku/
Ungkapan yang lain seperti "Imam Mazhab yang empat, Ustadz atau ustadzah, para Habib, bukan pribadi maksum seperti Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. Sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah kitabullah dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam"
Ungkapan seperti itu adalah ajakan untuk mendalami ilmu agama bersandarkan mutholaah (menelaah kitab) secara otodidak (shahafi) dengan akal pikiran sendiri
Begitupula pada awalnya Muhammad bin Abdul Wahhab mendalami ilmu agama berguru dengan para ulama yang mengikuti Imam Mazhab yang empat namun pada akhirnya beliau mengikuti pola pemahaman Ibnu Taimiyyah yakni memahami Al Qur'an dan As Sunnah bersandarkan mutholaah (menelaah kitab) secara otodidak (shahafi) dengan akal pikiran sendiri sebagaimana informasi dari kalangan mereka sendiri yang menyebut Muhammad bin Abdul Wahhab sebagai imam seperti padahttp://rizqicahya.wordpress.com/tag/imam-muhammad-bin-abdul-wahhab-bag-ke-1/
***** awal kutipan *****
Lengkaplah sudah ilmu yang diperlukan oleh seorang yangpintar yang kemudian dikembangkan sendiri melalui metode otodidak (belajar sendiri) sebagaimana lazimnya para ulama besar Islam mengembangkan ilmu-ilmunya. Di mana bimbingan guru hanyalah sebagai modal dasar yang selanjutnya untuk dapat dikembangkan dan digali sendiri oleh yang bersangkutan
***** akhir kutipan *****
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda,“Barangsiapa menguraikan Al Qur’an dengan akal pikirannya sendiri dan merasa benar, maka sesungguhnya dia telah berbuat kesalahan”. (HR. Ahmad)
Apakah orang yang otodidak dari kitab-kitab hadits layak disebut ahli hadits ?
Syaikh Nashir al-Asad menjawab pertanyaan ini: “Orang yang hanya mengambil ilmu melalui kitab saja tanpa memperlihatkannya kepada ulama dan tanpa berjumpa dalam majlis-majlis ulama, maka ia telah mengarah pada distorsi. Para ulama tidak menganggapnya sebagai ilmu, mereka menyebutnya shahafi atau otodidak, bukan orang alim… Para ulama menilai orang semacam ini sebagai orang yang dlaif (lemah). Ia disebut shahafi yang diambil dari kalimat tashhif, yang artinya adalah seseorang mempelajari ilmu dari kitab tetapi ia tidak mendengar langsung dari para ulama, maka ia melenceng dari kebenaran. Dengan demikian, Sanad dalam riwayat menurut pandangan kami adalah untuk menghindari kesalahan semacam ini” (Mashadir asy-Syi’ri al-Jahili 10)
Pada kenyataannya pula Muhammad bin Abdul Wahhab mengikuti pola pemahaman Ibnu Taimiyyah bersandarkan mutholaah (menelaah kitab) secara otodidak (shahafi) dengan akal pikirannya sendiri karena masa kehidupannya terpaut 350 tahun lebih, sebagaimana informasi dari situs atau link di atas
****** awal kutipan ******
Di antara karya-karya ulama terdahulu yang paling terkesan dalam jiwanya adalah karya-karya Syeikh al-Islam Ibnu Taimiyah. Beliau adalah mujaddid besar abad ke 7 Hijriyah yang sangat terkenal.
Demikianlah meresapnya pengaruh dan gaya Ibnu Taimiyah dalam jiwanya, sehingga Syeikh Muhammad bin `Abdul Wahab bagaikan duplikat(salinan)Ibnu Taimiyah. Khususnya dalam aspek ketauhidan, seakan-akan semua yang diidam-idamkan oleh Ibnu Taimiyah semasa hidupnya yang penuh ranjau dan tekanan dari pihak berkuasa, semuanya telah ditebus dengan kejayaan Ibnu `Abdul Wahab yang hidup pada abad ke 12 Hijriyah itu.
****** akhir kutipan ******
Sedangkan dari biografi Ibnu Taimiyyah pun kita mengetahui bahwa beliau termasuk orang-orang yang memahami Al Qur'an dan as Sunnah bersandarkan mutholaah (menelaah kitab) secara otodidak (shahafi) dengan akal pikiran sendiri seperti contoh informasi dari http://zakiaassyifa.wordpress.com/2011/05/10/biografi-tokoh-islam/
***** awal kutipan ******
Ibn Taimiyyah juga seorang otodidak yang serius. Bahkan keluasan wawasan dan ketajaman analisisnya lebih terbentuk oleh berbagai literatur yang dia baca dan dia teliti sendiri.
***** akhir kutipan ******
Kaum muslim terhipnotis pada perkataan-perkataan seperti "Ibnu Taimiyyah menyusun kitab-kitabnya berdasar merujuk Salafus sholeh"
Sehingga kaum muslim yang mengikuti beliau beranggappan apapun yang disampaikan oleh Ibnu Taimiyyah adalah pasti benar karena merujuk kepada Salafush Sholeh.
Apalagi ditambah kalimat hipnotis lainnya seperti yang dapat kita ketahui dari situs mereka pada http://almanhaj.or.id/content/1474/slash/0/antara-ahlus-sunnah-dan-salafiyah/ di mana mereka mengutip perkataan atau fatwa dari ulama panutan mereka yakni Ibnu Taimiyyah, “Barangsiapa mengingkari penisbatan kepada salaf dan mencelanya, maka perkataannya terbantah dan tertolak ‘karena tidak ada aib untuk orang-orang yang menampakkan mazhab salaf dan bernisbat kepadanya bahkan hal itu wajib diterima menurut kesepakatan ulama, karena mazhab salaf itu pasti benar” [Majmu Fatawa 4/149]
Padahal Ibnu Taimiyyah menyusun kitab-kitabnya bukan merujuk atau mengikuti Salafush Sholeh karena beliau tentunya tidak lagi bertemu dengan Salafush Sholeh
Ibnu Taimiyyah menyusun kitab-kitabnya merujuk kepada Al Qur'an dan Hadits namun permasalahannya apakah hasil ijtihad dan istinbat Ibnu Taimiyyah pasti benar?
Apakah dengan pengakuan atau penisbatan kepada Salafush Sholeh dapat menjamin hasil ijtihad dan istinbat Ibnu Taimiyyah pasti benar?
Oleh karena orang-orang yang mengikuti pola pemahaman IbnuTaimiyyah merasa pasti benar dan selain mereka pasti salah sehingga timbullah perselisihan dan kebencian terhadap muslim lainnya.
Bahkan adz-Dzahabi salah seorang murid Ibnu Taimiyyah memberikan nasehat kepada beliau atas sikap atau akhlaknya yang timbul karena merasa pasti benar sebagaimana yang telah disampaikan dalam tulisan padahttp://mutiarazuhud.wordpress.com/2013/08/25/nasehat-seorang-murid/
Memang kesalahpahaman dalam memahami Al Qur’an dan As Sunnah dapat menimbulkan perselisihan dan bahkan kebencian sebagaimana yang telah disampaikan dalam tulisan padahttp://mutiarazuhud.wordpress.com/2013/08/19/menimbulkan-kebencian/
Contoh perselisihan dan bahkan kebencian karena masing-masing merasa pasti benar adalah apa yang mereka pertontonkan padahttp://tukpencarialhaq.com/2013/07/14/parodi-rodja-bag-10-beking-dakwah-halabiyun-firanda-adalah-pendusta-besar/atau padahttp://tukpencarialhaq.com/2013/08/06/parodi-rodja-13-menjawab-tantangan-dokter-dan-guru-besar-beladiri/
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam juga telah memperingatkan kita bahwa perselisihan timbul dari ulama bangsa Arab sendiri. Maksudnya perselisihan timbul dari orang-orang yang berkemampuan bahasa Arab yang berupaya mengambil hukum-hukum dari Al Qur’an dan As Sunnah dari sudut arti bahasa saja.
Saya (Khudzaifah Ibnul Yaman) bertanya ‘Ya Rasulullah, tolong beritahukanlah kami tentang ciri-ciri mereka!
Nabi menjawab; Mereka adalah seperti kulit kita ini, juga berbicara dengan bahasa kita.
Saya bertanya ‘Lantas apa yang anda perintahkan kepada kami ketika kami menemui hari-hari seperti itu?
Nabi menjawab; Hendaklah kamu selalu bersama jamaah muslimin dan imam mereka!
Aku bertanya; kalau tidak ada jamaah muslimin dan imam bagaimana?
Nabi menjawab; hendaklah kau jauhi seluruh firqah (kelompok-kelompok/ sekte) itu, sekalipun kau gigit akar-akar pohon hingga kematian merenggutmu kamu harus tetap seperti itu. (HR Bukhari)
Berkata Ibnu Hajar rahimahullah dalam Fathul Bari XIII/36:“Yakni dari kaum kita, berbahasa seperti kita dan beragama dengan agama kita. Ini mengisyaratkan bahwa mereka adalah bangsa Arab”.
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Akan datang pada akhir zaman, orang-orang muda dan berpikiran sempit. Mereka senantiasa berkata baik. Mereka keluar dari agama Islam, sebagaimana anak panah lepas dari busurnya. Mereka mengajak manusia untuk kembali kepada Al-Quran, padahal mereka sama sekali tidak mengamalkannya. Mereka membaca Al-Quran, namun tidak melebihi kerongkongan mereka. Mereka berasal dari bangsa kita (Arab). Mereka berbicara dengan bahasa kita (bahasa Arab). Kalian akan merasa shalat kalian tidak ada apa-apanya dibandingkan shalat mereka, dan puasa kalian tidak ada apa-apanya dibandingkan puasa mereka.”
Pada umumnya orang-orang yang mendalami Al Qur’an dan As Sunnah bersandarkan mutholaah (menelaah kitab) secara otodidak, memahaminya dari sudut arti bahasa dan istilah saja atau dikatakan mereka bermazhab dzahiriyyah yakni berpendapat, berfatwa, beraqidah (beri’tiqod) selalu berpegang pada nash secara dzahir atau makna dzahir sebagaimana yang telah disampaikan dalam tulisan padahttp://mutiarazuhud.wordpress.com/2013/07/24/arti-bahasa-saja
Contohnya kepada orang Arab yang berprofesi sebagai pedagang yang tentunya paham bahasa Arab karena mengerti bahasa Arab atau dapat memahami berdasarkan arti bahasa, lalu kita serahkan kitab Al Qur’an dan kitab Hadits lengkap berikut penilaian ke-shahih-annya dari para ahli hadits.
Tentunya pedagang Arab tersebut tidak akan berani berpendapat, berfatwa atau menyampaikan seputar aqidah (i’tiqod) berdasarkan mutholaah (menelaah kitab) secara otodidak (shahafi) dengan akal pikirannya sendiri dengan kemampuan memahami berdasarkan arti bahasa saja.
Diperlukan ilmu untuk memahami Al Qur’an dan As Sunnah seperti ilmu tata bahasa Arab atau ilmu alat seperti nahwu, sharaf, balaghah (ma’ani, bayan dan badi’) ataupun ilmu fiqih maupun ushul fiqih dan lain lain. Kalau tidak menguasai ilmu untuk memahami Al Qur’an dan As Sunnah maka akan sesat dan menyesatkan.
Asy Syaikh Al Imam Abu Abdullah Muhammad Ibnu Hazm~rahimahullah mengatakan
***** awal kutipan *****
“rukun atau pilar penyangga yang paling besar di dalam bab“ijtihad” adalah mengetahui naql. Termasuk di antara faedah ilmu naql ini adalah mengetahui nasikh dan mansukh. Karena untuk memahami pengertian khitab-khitab atau perintah-perintah itu amatlah mudah, yaitu hanya dengan melalui makna lahiriah (makna tersurat / makna dzahir) dari berita-berita yang ada. Demikianpula untuk menanggung bebannya tidaklah begitu sulit pelaksanananya.
Hanya saja yang menjadi kesulitan itu adalah mengetahui bagaimana caranya mengambil kesimpulan hukum-hukum dari makna yang tersirat dibalik nas-nas yang ada. Termasuk di antara penyelidikan yang menyangkut nas-nas tersebut adalah mengetahui kedua perkara tersebut, yaitu makna lahiriah (makna dzahir) dan makna yang tersirat, serta pengertian-pengertian lain yang terkandung didalamnya.
Sehubungan dengan hal yang telah disebutkan di atas, ada sebuah atsar yang bersumber dari Abu Abdur Rahman. ia telah menceritakan bahwa sahabat Ali ra, berjumpa dengan seorang qadi atau hakim, lalu Ali ra bertanya kepadanya “Apakah kamu mengetahui masalah nasikh dan masukh?” Si Qadi tadi menjawab: “Tidak”. Maka Ali ra menegaskan “Kamu adalah orang yang celaka dan mencelakakan”
***** akhir kutipan *****
Telah menceritakan kepada kami Isma’il bin Abu Uwaisberkata, telah menceritakan kepadaku Malik dari Hisyam bin ‘Urwah dari bapaknya dari Abdullah bin ‘Amru bin Al ‘Ash berkata; aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: Sesungguhnya Allah tidaklah mencabut ilmu sekaligus mencabutnya dari hamba, akan tetapi Allah mencabut ilmu dengan cara mewafatkan para ulama hingga bila sudah tidak tersisa ulama maka manusia akan mengangkat pemimpin dari kalangan orang-orang bodoh, ketika mereka ditanya mereka berfatwa tanpa ilmu, mereka sesat dan menyesatkan (HR Bukhari 98).
Jumhur ulama telah menyampaikan bahwa jika memahami Al Qur’an dan As Sunnah bersandarkan mutholaah (menelaah kitab) secara otodidak (shahafi) dan pada umumnya memahaminya dari sudut arti bahasa saja atau memahaminya selalu berpegang pada nash secara dzahir (makna dzahir) kemungkinan besar akan berakibat negative seperti,
1. Ibadah fasidah (ibadah yang rusak) , ibadah yang tidak sesuai dengan apa yang disampaikan oleh lisannya Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dan ibadah yang kehilangan ruhnya atau aspek bathin, sebagaimana yang telah disampaikan dalam tulisan pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2013/07/06/shalat-yang-fasidah/
2. Tasybihillah Bikholqihi , penyerupaan Allah dengan makhluqNya sebagaimana yang telah disampaikan dalam tulisan padahttp://mutiarazuhud.wordpress.com/2013/06/24/mengaku-hanabila/
Imam Ibn Hajar Al-Haitami dalam kitab Al-FatawaAl-Hadithiyyah menisbahkan kepada Imam Ibn ‘Uyainah, beliau berkata: “Haditsitu menyesatkan kecuali bagi para fuqaha (ahli fiqih)”
Imam Ibn Hajar Al-Haitami dalam kitab tersebut lalumensyarahkan perkataan itu:
“Sesungguhnya hadits-hadits Rasulullah shallallahu alaihiwasallam sama seperti Al-Qur’an dari sudut bahwa keduanya mengandung lafaz umum yang maknanya khusus begitu juga sebaliknya, bahkan ada juga yang mengandungnasikh mansukh yang tidak layak lagi beramal dengannya. Bahkan dalam haditsjuga mengandung lafaz-lafaz yang dzahirnya membawa kepada tasybih sepertihadits yanzilu Rabbuna… yang mana tidak diketahui maknanya melainkan golongan fuqaha’ (ahli fiqh). Berbeda dengan mereka yang sekedar mengetahui apa yang dzahir (makna dzahir) daripada hadits-hadits (khususnya mutasyabihat) sehingga akhirnya dia (yang hanya faham hadits-hadits mutasyabihat dengan makna dzahir) pun sesat seperti yang berlaku pada sebahagian ahli hadits terdahulu dan masa kini seperti Ibnu Taimiyyah dan para pengikutnya.” (Al-Fatawa Al-Hadithiyyah halaman 202)
Imam Ibn Hajar Al-Haitami dalam kitab yang sama pada halaman 116, berkata dengan menukil permasalahan-permasalahan Ibnu Taimiyyah yang menyalahi kesepakatan umat Islam, yaitu : (Ibnu Taimiyyah telah berpendapat) bahwa alam itu bersifat dahulu dengan satu macam, dan selalu makhluk bersama Allah. Ia telah menyandarkan alam dengan Dzat Allah Subhanahu wa Ta’ala bukan dengan perbuatan Allah secara ikhtiar, sungguh Maha Luhur Allah dari penyifatan yang demikian itu. Ibnu Taimiyyah juga berkeyakinan adanya jisim pada Allah Subhanahu wa Ta’ala arah dan perpindahan. Ia juga berkeyakinan bahwa Allah tidak lebih kecil dan tidak lebih besar dari Arsy. Sungguh Allah maha Suci atas kedustaan keji dan buruk ini serta kekufuran yang nyata
Ibnu Taimiyyah terjerumus kekufuran dalam i’tiqod yang mengakibatkan beliau diadili oleh para qodhi dan para ulama ahli fiqih dari empat mazhab dan diputuskan hukuman penjara agar ulama Ibnu Taimiyyah tidak menyebarluaskan kesalahapahamannya sehingga beliau wafat di penjara sebagaimanayang dapat diketahui dalam tulisan pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2012/04/13/ke-langit-dunia atau pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2013/01/07/arsy-tidak-kosong/
Syeikh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi, ulama besar Indonesia yang pernah menjadi imam, khatib dan guru besar di Masjidil Haram, sekaligus Mufti Mazhab Syafi’i pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 menjelaskan dalam kitab-kitab beliau seperti ‘al-Khiththah al-Mardhiyah fi Raddi fi Syubhati man qala Bid’ah at-Talaffuzh bian-Niyah’, ‘Nur al-Syam’at fi Ahkamal-Jum’ah’ bahwa pemahaman Ibnu Taimiyyah dan Ibnu Qoyyim Al Jauziah menyelisihi pemahaman Imam Mazhab yang empat.
Beliau (Syaikh Ibnu Hajar Al-Haitamy) berkata ” Maka berhati-hatilahkamu, jangan kamu dengarkan apa yang ditulis oleh Ibnu Taimiyyah dan muridnya Ibnul Qoyyim Al-Jauziyyah dan selain keduanya dari orang-orang yang telah menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya dan Allah telah menyesatkannya dari ilmu serta menutup telinga dan hatinya dan menjdaikan penghalang atas pandangannya. Maka siapakah yang mampu memberi petunjuk atas orang yang telahAllah jauhkan?”. (Al-Fatawa Al-Haditsiyyah : 203)
Para ulama ahlus sunnah terdahulu juga telah membantah pendapat atau pemahaman Ibnu Taimiyyah yang telah banyak menyelisihi pendapat para ulama terdahulu yang mengikuti Imam Mazhab yang empat sebagaimana contohnya termuat padahttp://mutiarazuhud.files.wordpress.com/2010/02/ahlussunnahbantahtaimiyah.pdf
Sebagaimana tulisan pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2012/04/22/kabar-waktu-lampau/ bahwa di dalam kitab “Risalah Ahlussunnah wal Jama’ah” karya Hadratusy Syeikh Hasyim Asy’ari (pendiri pondok pesantren Tebuireng Jombang Jawa Timur dan pendiri organisasi Nahdhatul Ulama) halaman 9-10 diterangkan sebagai berikut:
****** awal kutipan ******
Sebagian lagi ada golongan yang mengikuti kepada pendapat Muhammad Abduh dan Rosyid Ridho. Mereka mengikuti kepada perbuatan bid’ah Muhammad bin Abdul Wahab an-Najdi, Ahmad Ibnu Taimiyah, dan kedua muridnya, Ibnul Qoyyim dan Ibnu Abdil Hadi. Golongan ini mengharamkan apa yang telah disepakati oleh mayoritas umat Islam untuk dilaksanakan sebagai sunnah Nabi, seperti berziarah ke makam Rasulullah. Mereka menolak semua hal yang telah disebutkan di atas dan hal-hal lainnya.
Ibnu Taimiyah dalam kitab “Fatawi”-nya berpendapat: Apabila seseorang melakukan ziarah ke makam Rasulullah, karena yakin bahwa ziarah itu perbuatan taat, ziarah yang dianggapnya menurut Ibnu Taimiyah adalah haram yang telah disepakati oleh kaum muslimin, maka ziarahnya adalah perbuatan yang haram secara pasti.
Menurut Al-’Allamah Syeikh Muhammad Bahit Al-Hanafi Al-Muthi’i dalam kitabnya yang bernama “Tathirul Fu’adi min Danasil I’tiqod” (Mensucikan Hati Dari Keyakinan Yang Kotor), ia berpendapat: “Bahwa golongan ini merupakan cobaan besar bagi umat Islam yang salaf (tempo dulu) maupun yang kholaf (modern)”. Mereka adalah aib, pemecah belah umat, dan sebagai organ yang rusak yang harus dipotong, sehingga tidak menular ke organ lainnya. Ia bagaikan penyakit kusta yang harus dihindari. Mereka adalah golongan menjadikan agama sebagai permainan. Mereka mencaci maki ulama salaf dan ulama kholaf, mereka sambil berkata: Mereka semuanya tidak ma’shum (tidak terpelihara dari perbuatan dosa), maka tidak layak untuk mengikutinya dan tidak ada bedanya yang hidup dan yang mati.
Golongan tersebut mendiskreditkan ulama dan menciptakan persoalan-persoalan syubhat, kemudian menyebarkannya secara luas ke masyarakat awam supaya orang awam tidak mengerti terhadap kekuarangan yang ada pada golongan tersebut. Tujuan mereka… adalah menebar permusuhan dan kebencian. Mereka berkeliling di atas muka bumi untuk menciptakan kerusakan. Mereka berkata bohong tentang Allah, padahal mereka tahu tentang hal yang sebenarnya. Mereka berdalih sedang melakukan “amar ma’ruf nahyi munkar” (memerintah kebaikan dan mencegah kemunkaran). Mereka mengajak manusia mengikuti agama yang mereka jalankan dan menjauhkan bid’ah (menurut mereka). Padahal, Allah tahu bahwa mereka adalah para pendusta. Menurut pendapat saya, sangat mungkin mereka adalah para pelaku bid’ah yang selalu mengikuti hawa nafsu mereka.
Imam Qadhi ‘Iyadh berkata: Kehancuran terbesar dalam agama sampai urusan dunia adalah karena ulah perbuatan mereka dengan menimbulkan permusuhan antar umat Islam, yang menyebabkan mereka terperangkap dalam masalah urusan dunia.
****** akhir kutipan ******
Begitupula wasiat ulama dari Malaysia, Syaikh Abdullah Fahimsebagaimana contohnya yang termuat pada http://hanifsalleh.blogspot.com/2009/11/wasiat-syeikh-abdullah-fahim.html
***** awal kutipan *****
Supaya jangan berpecah belah oleh bangsa Melayu sendiri.Sekarang sudah ada timbul di Malaya mazhab Khawarij yakni mazhab yang keluardari mazhab 4 mazhab Ahlis Sunnah wal Jama`ah. Maksud mereka itu hendakmengelirukan faham awam yang sebati dan hendak merobohkan pakatan bangsa Melayuyang jati. Dan menyalahkan kebanyakan bangsa Melayu.
Hukum-hukum mereka itu diambil daripada kitab Hadyur-Rasulyang mukhtasar daripada kitab Hadyul-’Ibad dikarang akan dia oleh Ibnul Qayyimal-Khariji, maka Ibnul Qayyim dan segala kitabnya ditolak oleh ulama AhlisSunnah wal Jama`ah.
***** akhir kutipan *****
Jadi pada kenyataannya “kembali kepada Al Qur’an dan as Sunnah” adalah ajakan untuk mendalami ilmu agama bersandarkan mutholaah (menelaah kitab) secara otodidak (shahafi) dengan akal pikiran sendiri yang akan menimbulkan perselisihan dan bahkan berujung saling bunuh-membunuh.
Konflik-konflik yang terjadi di negara kaum muslim berada seperti Somalia, Afghanistan, Irak, Libya, Pakistan, Mesir dan lain lain, pada kenyataanya disebabkan mereka yang memaksakan syariat Islam berdasarkan Al Qur’an dan As Sunnah namun bersandarkan mutholaah (menelaah kitab) secara otodidak (shahafi) dengan akal pikiran mereka sendiri bermazhab dzahiriyyah yakni berpendapat, berfatwa, beraqidah (beri’tiqod) selalu berpegang pada nash secara dzahir (makna dzahir) atau memahaminya berdasarkan arti bahasa (lughot) dan istilah (terminologi) saja. Hal ini telah disampaikan dalam tulisan padahttp://mutiarazuhud.wordpress.com/2013/07/29/solusi-atasi-konflik/
Dalam sejarah negara kita, dahulu terjadi pemberontakan yang dilakukan oleh mereka yang menyebut dirinya Darul Islam atau Tentara Islam Indonesia (yang biasa disingkat DI/TII) di bawah pimpinan SM. Kartosuwiryo. Dia mempunyai latar belakang pendidikan Barat bukan seorang santri dari sebuah pesantren. Bahkan diceritakan orang bahwa ia tidak pernah mempunyai pengetahuan yang benar tentang bahasa Arab dan agama Islam.
Kita dapat mengambil pelajaran dari Somalia bahwa kehancuran negara tersebut terjadi diakibatkan orang-orang yang memaksakan syariat Islam bersandarkan mutholaah (menelaah kitab) secara otodidak (shahafi) dengan akal pikirannya masing masing sehingga timbul perselisihan di antara faksi.
Sebagaimana diketahui, setelah Syarif diangkat menjadi pemimpin Somalia pada Januari 2009 lalu, faksi pejuang Somalia terbagi menjadi dua, antara pendukung dan penentang.
Sebagian kelompok Mahakim Al Islami, yang dipimpin oleh Syeikh Abdul Qadir Ali Umar, Harakah Al Ishlah (Ikhwan Al Muslimun), Harakah Tajammu’ Al Islami dan Jama’ah Ahlu Sunnah wa al Jama’ah adalah 4 faksi menyatakan dukungan kepada Syarif.
Sedangkan Harakah As Syabab Al Mujahidin serta Al Mahakim Al Islami wilayah Asmarah, Al Jabhah Al Islamiyah serta Mu’askar Anuli, yang bergabung dalam Hizb Al Islami.
Syeikh Syarif sebagai kepala pemerintahan transisi menegaskan, “Islam adalah dasar dalam setiap gerak pemerintah Somalia.” Akan tetapi Syeikh Syarif menolak pemikiran Syabab Mujahidin yang menurutnya masih jauh dari konsep Islam ideal
Allah Azza wa Jalla telah berfirman bahwa solusi jika kita berselisih karena berlainan pendapat tentang sesuatu maka ikuti dan taatilah ulil amri setempat yakni para fuqaha yang faqih dalam memahami Al Qur’an dan As Sunnah
Firman Allah ta’ala yang artinya “Hai orang-orang yang beriman, ta’atilah Allah dan ta’atilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya” (QS An Nisaa [4]:59)
Siapakah ulil amri yang harus ditaati oleh kaum muslim ?
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam adalah sosok ulama dan umara sekaligus. Begitu juga para khulafaur Rasyidin seperti Sayyidina Abu Bakar, Sayyidina Umar, Sayyidina Ustman dan Sayyidina Ali radhiyallahuanhum, begitu juga beberapa khalifah dari bani Umayah dan bani Abbas.
Namun dalam perkembangan sejarah Islam selanjutnya, sangat jarang kita dapatkan seorang pemimpin negara yang benar-benar paham terhadap Islam. Dari sini, mulailah terpisah antara ulama dan umara.
Ibnu Abbas ra sebagaimana yang disebutkan oleh Imam Thobari dalam tafsirnya telah menyampaikan bahwa ulil amri yang ditaati adalah para pakar fiqih atau para ulama yang menguasai hukum-hukum Allah.
Syarat-syarat atau kompentensi sehingga termasuk ulama yang menguasai fiqih (hukum-hukum dalam Islam) adalah sebagaimana yang disampaikan oleh KH. Muhammad Nuh Addawami sebagai berikut,
***** awal kutipan *****
a. Mengetahui dan menguasai bahasa arab sedalam-dalamnya, karena al-quran dan as-sunnah diturunkan Allah dan disampaikan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dalam bahasa Arab yang fushahah dan balaghah yang bermutu tinggi, pengertiannya luas dan dalam, mengandung hukum yang harus diterima. Yang perlu diketahui dan dikuasainya bukan hanya arti bahasa tetapi juga ilmu-ilmu yang bersangkutan dengan bahasa arab itu seumpama nahwu, sharaf, balaghah (ma’ani, bayan dan badi’).
b. Mengetahui dan menguasai ilmu ushul fiqh, sebab kalau tidak, bagaimana mungkin menggali hukum secara baik dan benar dari al-Quran dan as-Sunnah padahal tidak menguasai sifat lafad-lafad dalam al-Quran dan as-Sunnah itu yang beraneka ragam yang masing-masing mempengaruhi hukum-hukum yang terkandung di dalamnya seperti ada lafadz nash, ada lafadz dlahir, ada lafadz mijmal, ada lafadz bayan, ada lafadz muawwal, ada yang umum, ada yang khusus, ada yang mutlaq, ada yang muqoyyad, ada majaz, ada lafadz kinayah selain lafadz hakikat. ada pula nasikh dan mansukh dan lain sebagainya.
c. Mengetahui dan menguasai dalil ‘aqli penyelaras dalil naqli terutama dalam masalah-masalah yaqiniyah qath’iyah.
d. Mengetahui yang nasikh dan yang mansukh dan mengetahui asbab an-nuzul dan asbab al-wurud, mengetahui yang mutawatir dan yang ahad, baik dalam al-Quran maupun dalam as-Sunnah. Mengetahui yang sahih dan yang lainnya dan mengetahui para rawi as-Sunnah.
e. Mengetahui ilmu-ilmu yang lainnya yang berhubungan dengan tata cara menggali hukum dari al-Quran dan as-Sunnah.
Bagi yang tidak memiliki kemampuan, syarat dan sarana untuk menggali hukum-hukum dari al-Quran dan as-Sunnah dalam masalah-masalah ijtihadiyah padahal dia ingin menerima risalah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam secara utuh dan kaffah, maka tidak ada jalan lain kecuali taqlid kepada mujtahid yang dapat dipertanggungjawabkan kemampuannya.
Diantara para mujtahid yang madzhabnya mudawwan adalah empat imam mujtahid, yaitu:
- Imam Abu Hanifah Nu’man bin Tsabit;
- Imam Malik bin Anas;
- Imam Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i ; dan
- Imam Ahmad bin Hanbal.
Mengharamkan taqlid dan mewajibkan ijtihad atau ittiba’ dalam arti mengikuti pendapat orang disertai mengetahui dalil-dalilnya terhadap orang awam (yang bukan ahli istidlal) adalah fatwa sesat dan menyesatkan yang akan merusak sendi-sendi kehidupan di dunia ini.
Memajukan dalil fatwa terhadap orang awam sama saja dengan tidak memajukannya. (lihat Hasyiyah ad-Dimyathi ‘ala syarh al- Waraqat hal 23 pada baris ke-12).
Apabila si awam menerima fatwa orang yang mengemukakan dalilnya maka dia sama saja dengan si awam yang menerima fatwa orang yang tidak disertai dalil yang dikemukakan. Dalam artian mereka sama-sama muqallid, sama-sama taqlid dan memerima pendapat orang tanpa mengetahui dalilnya.
Yang disebut muttabi’ “bukan muqallid” dalam istilah ushuliyyin adalah seorang ahli istidlal (mujtahid) yang menerima pendapat orang lain karena dia selaku ahli istidlal dengan segala kemampuannya mengetahui dalil pendapat orang itu.
Adapun orang yang menerima pendapat orang lain tentang suatu fatwa dengan mendengar atau membaca dalil pendapat tersebut padahal sang penerima itu bukan atau belum termasuk ahli istidlal maka dia tidak termasuk muttabi’ yang telah terbebas dari ikatan taqlid.
Pendek kata arti ittiba’ yang sebenarnya dalam istilah ushuliyyin adalah ijtihad seorang mujtahid mengikuti ijtihad mujtahid yang lain
***** akhir kutipan *****
Oleh karenanya setelah masa kehidupan Imam Madzhab yang empat, para mufti yakni orang yang faqih untuk membuat fatwa selalu merujuk kepada salah satu dari Imam Madzhab yang empat.
Para pakar fiqih yang dipimpin seorang mufti agung lah yang dapat “berkomunikasi” dengan Allah Azza wa Jalla melalui ayat-ayat qauliyah (Al Qur’an) maupun melalui ayat-ayat kauniyah atas kejadian, peristiwa atau segala apa yang telah ditampakan oleh Allah Azza wa Jalla yang merupakan tanda-tanda kekuasaanNya
Firman Allah ta’ala yang artinya
“Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segenap ufuk dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka bahwa Al Qur’an itu adalah benar. Dan apakah Tuhanmu tidak cukup (bagi kamu) bahwa sesungguhnya Dia menyaksikan segala sesuatu?“ (QS. Fush Shilat [41]:53)
“(yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): “Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.” (QS Ali ‘Imran [3]:191).
“Katakanlah: “Perhatikanlah apa yang ada di langit dan di bumi. Tidaklah bermanfaat tanda kekuasaan Allah dan rasul-rasul yang memberi peringatan bagi orang-orang yang tidak beriman“. (QS Yunus [10] : 101).
Para pakar fiqih yang dipimpin seorang mufti agung adalah termasuk orang-orang yang dekat dengan Allah Azza wa Jalla sehingga mereka dapat mendengar kalam Allah atau petunjukNya tidak melalui alat pendengaran (telinga) namun melalui hati yang disebut dengan ilham maupun firasat
Firman Allah ta’ala yang artinya
maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya“. (QS As Syams [91]:8 )
“Dan Kami telah menunjukkan kepadanya dua jalan” (pilihan haq atau bathil) (QS Al Balad [90]:10)
Sedangkan firasat, yakni lintasan pikiran yang terbit dari kekuatan iman dan kedekatan dengan Allah. Dengannya seseorang bisa menyaksikan apa yang tersembunyi dari mata kepala. Sejenis dengannya adalah karamah, yaitu tampilnya hal-hal ajaib dari seseorang yang bukan Nabi yang muncul begitu saja sesuai kehendak-Nya.
Berikut sebuah riwayat yang disampaikan oleh Habib Munzir tentang bagaimana contoh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam mendengar kalam Allah (petunjukNya)
****** awal kutipan *****
Ketika diantara wanita itu terdapat Juwairiyah, putri kepala Qabilah Bani Musthaliq, maka Rasul shallallahu alaihi wassalam tidak tega menjadikan putri Raja Qabilah itu sebagai budak. Rasul shallallahu alaihi wassalam memerintahkan agar menahan Juwairiyah untuk tidak diperbudak, maka ayahnya datang untuk memohon pada Rasul shallallahu alaihi wassalam agar putrinya dibebaskan, ia membawa uang dan dua ekor unta untuk menebus putrinya, namun ditengah jalan ia ragu, dan membatalkan dua ekor untanya dan ditinggal di tengah jalan lalu menghadap Rasul shallallahu alaihi wassalam
Ketika sampai pada Rasul shallallahu alaihi wassalam maka ia berkata : wahai Muhammad, aku ingin menebus putriku dengan uang ini, maka Rasul shallallahu alaihi wasallam bersabda : kau kemanakan dua ekor unta yang sudah kau niatkan juga untuk menebusnya?, maka Harits (ayah Juwairiyah) kaget, maka ia bersyahadat dan masuk islam.
****** akhir kutipan ******
Begitupula diceritakan bahwa Imam Syafi’i dan Muhammad bin al-Hasan pernah melihat seorang laki-laki.
Imam Syafi’i berkata, “Sesungguhnya lelaki itu adalah seorang tukang kayu.” Sedangkan Muhammad bin al-Hasan berkata, “Sesungguhnya lelaki itu adalah seorang pandai besi.” Lantas keduanya bertanya kepada lelaki tersebut tentang profesinya. Lalu di menjawab, “Dulu saya seorang pandai besi dan saya sekarang tukang kayu.”
Indikator ulama yang baik adalah ulama yang dengan ilmu dan amalnya menjadikannya muslim yang berakhlak baik atau muslim yang ihsan karena karunia hidayah dari Allah Azza wa Jalla sehingga selalu berada dalam kebenaran atau selalu berada di jalan yang lurus.
Lalu dia bertanya lagi, ‘Wahai Rasulullah, apakah ihsan itu? ‘ Beliau menjawab, ‘Kamu takut (khasyyah) kepada Allah seakan-akan kamu melihat-Nya (bermakrifat), maka jika kamu tidak melihat-Nya (bermakrifat) maka sesungguhnya Dia melihatmu.” (HR Muslim 11)
Firman Allah ta’ala yang artinya “Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama” (QS Al Faathir [35]:28)
Muslim yang takut kepada Allah karena mereka selalu yakin diawasi oleh Allah Azza wa Jalla atau mereka yang selalu memandang Allah dengan hatinya (ain bashiroh), setiap akan bersikap atau berbuat sehingga mencegah dirinya dari melakukan sesuatu yang dibenciNya , menghindari perbuatan maksiat, menghindari perbuatan keji dan mungkar sehingga terbentuklah muslim yang berakhlakul karimah atau muslim yang sholeh
Tujuan beragama adalah menjadi muslim yang ihsan atau muslim yang berakhlakul karimah
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda “Sesungguhnya aku diutus (Allah) untuk menyempurnakan Akhlak.” (HR Ahmad)
Firman Allah ta’ala yang artinya,
“Sungguh dalam dirimu terdapat akhlak yang mulia”. (QS Al-Qalam:4)
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan Dia banyak menyebut Allah”. (QS Al-Ahzab:21)
Muslim yang memandang Allah ta’ala dengan hati (ain bashiroh) atau muslim yang bermakrifat adalah muslim yang selalu meyakini kehadiranNya, selalu sadar dan ingat kepadaNya.
Imam Qusyairi mengatakan “Asy-Syahid untuk menunjukkan sesuatu yang hadir dalam hati, yaitu sesuatu yang membuatnya selalu sadar dan ingat, sehingga seakan-akan pemilik hati tersebut senantiasa melihat dan menyaksikan-Nya, sekalipun Dia tidak tampak. Setiap apa yang membuat ingatannya menguasai hati seseorang maka dia adalah seorang syahid (penyaksi)”
Ubadah bin as-shamit ra. berkata, bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam berkata: “Seutama-utama iman seseorang, jika ia telah mengetahui (menyaksikan) bahwa Allah selalu bersamanya, di mana pun ia berada“
Rasulullah shallallahu alaihi wasallm bersabda “Iman paling afdol ialah apabila kamu mengetahui bahwa Allah selalu menyertaimu dimanapun kamu berada“. (HR. Ath Thobari)
Imam Sayyidina Ali r.a. pernah ditanya oleh seorang sahabatnya bernama Zi’lib Al-Yamani, “Apakah Anda pernah melihat Tuhan?”
Beliau menjawab, “Bagaimana saya menyembah yang tidak pernah saya lihat?”
“Bagaimana Anda melihat-Nya?” tanyanya kembali.
Sayyidina Ali ra menjawab “Dia tak bisa dilihat oleh mata dengan pandangan manusia yang kasat, tetapi bisa dilihat oleh hati”
Sebuah riwayat dari Ja’far bin Muhammad beliau ditanya: “Apakah engkau melihat Tuhanmu ketika engkau menyembah-Nya?” Beliau menjawab: “Saya telah melihat Tuhan, baru saya sembah”. “Bagaimana anda melihat-Nya?” dia menjawab: “Tidak dilihat dengan mata yang memandang, tapi dilihat dengan hati yang penuh Iman.”
Dalam sebuah wawancara dengan Dr. Sri Mulyati, MA (Dosen Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta) , beliau mengatakan bahwa untuk dapat melihat Allah dengan hati sebagaimana kaum sufi, tahapan pertama yang harus dilewati adalah Takhalli, mengosongkan diri dari segala yang tidak baik, baru kemudian sampai pada apa yang disebut Tahalli, harus benar-benar mengisi kebaikan, berikutnya adalah Tajalli, benar-benar mengetahui rahasia Tuhan. Dan ini adalah bentuk manifestasi dari rahasia-rahasia yang diperlihatkan kepada hamba-Nya. Boleh jadi mereka sudah Takhalli tapi sudah ditunjukkan oleh Allah kepada yang ia kehendaki.
Tidak semua manusia dapat melihat Allah dengan hatinya.
Orang kafir itu tertutup dari cahaya hidayah oleh kegelapan sesat.
Ahli maksiat tertutup dari cahaya taqwa oleh kegelapan alpa
Ahli Ibadah tertutup dari cahaya taufiq dan pertolongan Allah Ta’ala oleh kegelapan memandang ibadahnya
Siapa yang memandang pada gerak dan perbuatannya ketika taat kepada Allah ta’ala, pada saat yang sama ia telah terhalang (terhijab) dari Sang Empunya Gerak dan Perbuatan, dan ia jadi merugi besar.
Siapa yang memandang Sang Empunya Gerak dan Tindakan, ia akan terhalang (terhijab) dari memandang gerak dan perbuatannya sendiri, sebab ketika ia melihat kelemahannya dalam mewujudkan tindakan dan menyempurnakannya, ia telah tenggelam dalam anugerahNya.
Setiap dosa merupakan bintik hitam hati, sedangkan setiap kebaikan adalah bintik cahaya pada hati Ketika bintik hitam memenuhi hati sehingga terhalang (terhijab) dari memandang Allah. Inilah yang dinamakan buta mata hati.
Firman Allah ta’ala yang artinya,
shummun bukmun ‘umyun fahum laa yarji’uuna , “mereka tuli, bisu dan buta (tidak dapat menerima kebenaran), maka tidaklah mereka akan kembali (ke jalan yang benar)” (QS Al BAqarah [2]:18)
shummun bukmun ‘umyun fahum laa ya’qiluuna , “mereka tuli (tidak dapat menerima panggilan/seruan), bisu dan buta, maka (oleh sebab itu) mereka tidak mengerti. (QS Al Baqarah [2]:171)
“maka apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai hati yang dengan itu mereka dapat memahami atau mempunyai telinga yang dengan itu mereka dapat mendengar? Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta, ialah hati yang di dalam dada.” (al Hajj 22 : 46)
“Dan barangsiapa yang buta (hatinya) di dunia ini, niscaya di akhirat (nanti) ia akan lebih buta (pula) dan lebih tersesat dari jalan (yang benar).” (QS Al Isra 17 : 72)
Ulama yang baik adalah ulama yang dengan ilmu dan amalnya menjadikannya muslim yang ihsan atau muslim yang berakhlakul karimah sehingga menjadi ulama yang dekat dengan Allah dan dapat menyaksikan Allah dengan hatinya (ain bashiroh) atau ulama yang telah meraih manzilah (maqom atau derajat) di sisiNya dan akan berkumpul dengan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam
Firman Allah ta’ala yang artinya,
”…Sekiranya kalau bukan karena karunia Allah dan rahmat-Nya, niscaya tidak ada seorangpun dari kamu yang bersih (dari perbuatan keji dan mungkar) selama-lamanya, tetapi Allah membersihkan siapa saja yang dikehendaki…” (QS An-Nuur:21)
“Sesungguhnya Kami telah mensucikan mereka dengan (menganugerahkan kepada mereka) akhlak yang tinggi yaitu selalu mengingatkan (manusia) kepada negeri akhirat. Dan sesungguhnya mereka pada sisi Kami benar-benar termasuk orang-orang pilihan yang paling baik.” (QS Shaad [38]:46-47)
“Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling taqwa di antara kamu” (QS Al Hujuraat [49]:13)
“Tunjukilah kami jalan yang lurus , (yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau beri ni’mat kepada mereka” (QS Al Fatihah [1]:6-7)
“Dan barangsiapa yang menta’ati Allah dan Rasul(Nya), mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi ni’mat oleh Allah, yaitu : Nabi-nabi, para shiddiiqiin, orang-orang yang mati syahid, dan orang-orang sholeh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya .” (QS An Nisaa [4]: 69)
Jadi orang-orang yang selalu berada dalam kebenaran atau selalu berada di jalan yang lurus adalah orang-orang yang diberi karunia ni’mat oleh Allah atau orang-orang yang telah dibersihkan atau disucikan atau dipelihara oleh Allah ta’ala sehingga terhindar dari perbuatan keji dan mungkar dan menjadikannya muslim yang sholeh, muslim yang ihsan atau muslim yang berakhlakul karimah dan yang terbaik adalah muslim yang dapat menyaksikanNya dengan hatinya (ain bashiroh). Mereka adalah para kekasih Allah atau wali Allah
Hubungan yang tercipta antara Allah ta’ala dengan al-awliya (para wali Allah) menurut Al-Hakim al-Tirmidzi (205-320H/ 820-935M) adalah hubungan al-ri’ayah (pemeliharaan), al-mawaddah (cinta kasih), dan al-inayah (pertolongan).
Hubungan istimewa ini diperoleh karena hubungan seorang wali telah menyerahkan semua urusannya kepada Allah, sehingga ia menjadi tanggungjawab-Nya, baik di dunia maupun di akhirat.
Adanya pemeliharaan, cinta kasih, dan pertolongan Allah kepada wali sedemikian rupa merupakan manifestasi dari makna al-walayah (kewalian) yang berarti dekat dengan Allah dan merasakan kehadiranNya, hudhur ma’ahu wa bihi.
Bertitik tolak pada al-ri’ayah (pemeliharaan), al-mawaddah (cintakasih), dan al-inayah (pertolongan) Allah kepada al-awliya (para wali / kekasih); al-Tirmidzi sampai pada kesimpulannya bahwa al-awliya (para wali / kekasih) dan orang-orang beriman bersifat ‘ishmah, yakni memiliki sifat keterpeliharaan dari dosa; meskipun ‘ishmah yang dimiliki mereka berbeda.
Bagi umumnya orang-orang beriman ‘ishmah berarti terpelihara dari kekufuran dan terus menerus berbuat dosa; sedangkan bagi al-awliya (para wali) ‘ishmah berarti mahfudz (terjaga) dari kesalahan sesuai dengan derajat, jenjang, dan maqamat mereka.
Mereka mendapatkan ‘ishmah sesuai dengan peringkat kewaliannya. Al-Tirmidzi meyakini adanya tiga peringkat ‘ishmah, yakni
‘ishmah al-anbiya (‘ishmah Nabi),
‘ishmah al-awliya (‘ishmah para wali),
‘ishmah al-’ammah (‘ishmah kaum beriman pada umumnya).
Kesimpulannya jika Allah telah mencintai hambaNya maka akan terpelihara (terhindar) dari dosa atau jika mereka berbuat kesalahan maka akan diberi kesempatan untuk menyadari kesalahan mereka ketika masih di dunia.
Jadi Imam Mazhab yang empat, para ulama yang sholeh yang mengikuti mereka termasuk para ulama yang sholeh dari kalangan Habib atau ahlul bait, keturunan cucu Rasulullah shallallallahu alaihi wasallam memang tidak maksum namun mereka boleh saja mendapatkan 'ishmah para wali sesuai dengan manzilah (maqom / derajat) atau kedekatan mereka dengan Allah Azza wa Jalla.
Berikut contoh pemeliharaan Allah subhanahu wa ta’ala terhadap kekasihNya
Imam asy-Syafi’i berkata: ‘Saya mengadu kepada Waqi’ (guru beliau) buruknya hafalanku, maka dia menasihatiku agar meninggalkan maksiat. Dan ia mengabarkan kepadaku bahwa ilmu adalah cahaya, dan cahaya Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak diberikan kepada pelaku maksiat”.
Setelah Imam asy Syafi’i merunut (mencari tahu) kenapa beliau lupa hafalan Al-Qur’an (hafalan Al-Qur`ânnya terbata-bata), ternyata dikarenakan beliau tanpa sengaja melihat betis seorang wanita bukan muhrim yang tersingkap oleh angin dalam perjalanan beliau ke tempat gurunya.
‘Abdullâh bin Al-Mubarak meriwayatkan dari adh-Dhahak bin Muzahim, bahwasanya dia berkata;”Tidak seorangpun yang mempelajari Al-Qur`ân kemudian dia lupa, melainkan karena dosa yang telah dikerjakannya. Karena Allah berfirman Subhanahu wa Ta’ala : وَمَآأَصَابَكُم مِّن مُّصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ (“Dan apa saja musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri” (QS Asy-Syûra [42]: 30)- . Sungguh, lupa terhadap Al-Qur`ân merupakan musibah yang paling besar * (. Fadha`ilul-Qur`ân, karya Ibnu Katsir, hlm. 147)
Itulah contoh mereka yang disayang oleh Allah ta’ala dan diberi kesempatan untuk menyadari kesalahan mereka ketika masih di dunia..
Sedangkan ulama su’u adalah mereka yang tidak menyadarinya atau tidak disadarkan oleh Allah Azza wa Jalla atas kesalahannya atau kesalahpahamannya sehingga mereka menyadarinya di akhirat kelak. Wallahu a'lam
Indikator ulama yang su'u (buruk) adalah ulama yang dengan ilmu dan amalnya tidak menjadikannya bertambah dekat kepada Allah melainkan bertambah jauh yakni ulama yang memperturutkan hawa nafasunya sehingga berpaling dari jalan Allah
Firman Allah ta’ala yang artinya
“..Janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah”.(QS Shaad [38]:26)
“Katakanlah: “Aku tidak akan mengikuti hawa nafsumu, sungguh tersesatlah aku jika berbuat demikian dan tidaklah (pula) aku termasuk orang-orang yang mendapat petunjuk” (QS An’Aam [6]:56 )
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Barangsiapa yang bertambah ilmunya tapi tidak bertambah hidayahnya, maka dia tidak bertambah dekat kepada Allah melainkan bertambah jauh“
Sungguh celaka orang yang tidak berilmu.
Sungguh celaka orang yang beramal tanpa ilmu
Sungguh celaka orang yang berilmu tetapi tidak beramal
Sungguh celaka orang yang berilmu dan beramal tetapi tidak menjadikannya muslim yang berakhlak baik atau muslim yang ihsan.
Urutannya adalah ilmu, amal, akhlak (ihsan)
Ilmu harus dikawal hidayah. Tanpa hidayah, seseorang yang berilmu menjadi sombong dan semakin jauh dari Allah ta’ala. Sebaliknya seorang ahli ilmu (ulama) yang mendapat hidayah (karunia hikmah) maka hubungannya dengan Allah Azza wa Jalla semakin dekat sehingga meraih maqom (derajat) disisiNya dan dibuktikan dengan dapat menyaksikanNya dengan hati (ain bashiroh).
Sebagaimana diperibahasakan oleh orang tua kita dahulu bagaikan padi semakin berisi semakin merunduk, semakin berilmu dan beramal maka semakin tawadhu, rendah hati dan tidak sombong.
Para ulama tasawuf atau kaum sufi mengatakan bahwa hijab itu meliputi antara lain nafsu hijab, dosa hijab, hubbub al-dunya hijab, cara pandang terhadap fiqh yang terlalu formalistik juga hijab, terjebaknya orang dalam kenikmatan ladzatul ‘ibadah, sampai karomah juga bisa menjadi hijab, dll. Salah satu bentuk nafsu hijab terbesar itu justru kesombongan, karena sombong itu, membuat, manusia hanya melihat dirinya. Kita bisa bayangkan, kalau keadaan batin itu hanya melihat dirinya sendiri, orang lain tidak kelihatan, bagaimana dia bisa menyaksikan Allah dengan hatinya (ain bashiroh).
Rasulullah bersabda: “Kesombongan adalah menolak kebenaran dan menganggap remeh orang lain.” (Shahih, HR. Muslim no. 91 dari hadits Abdullah bin Mas’ud)
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda , “Tiada masuk surga orang yang dalam hatinya terdapat sebesar biji sawi dari kesombongan. kesombongan adalah menolak kebenaran dan meremehkan manusia” (HR. Muslim)
Dalam sebuah hadits qudsi , Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda , “Allah berfirman, Keagungan adalah sarungKu dan kesombongan adalah pakaianKu. Barangsiapa merebutnya (dari Aku) maka Aku menyiksanya”. (HR. Muslim)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Kemuliaan adalah sarung-Nya dan kesombongan adalah selendang-Nya. Barang siapa menentang-Ku, maka Aku akan mengadzabnya.” (HR Muslim)
Seorang lelaki bertanya pada Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam “Musllim yang bagaimana yang paling baik?” “Ketika orang lain tidak (terancam) disakiti oleh tangan dan lisannya” Jawab Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam.
Rasulullah shallallahu aliahi wasallam bersabda “Tiada lurus iman seorang hamba sehingga lurus hatinya, dan tiada lurus hatinya sehingga lurus lidahnya“. (HR. Ahmad)
Sayyidina Umar ra menasehatkan, “Jangan pernah tertipu oleh teriakan seseorang (dakwah bersuara / bernada keras). Tapi akuilah orang yang menyampaikan amanah dan tidak menyakiti orang lain dengan tangan dan lidahnya“
Sayyidina Umar ra juga menasehatkan “Orang yang tidak memiliki tiga perkara berikut, berarti imannya belum bermanfaat. Tiga perkara tersebut adalah santun ketika mengingatkan orang lain; wara yang menjauhkannya dari hal-hal yang haram / terlarang; dan akhlak mulia dalam bermasyarakat (bergaul)“.
Sebagaimana yang telah disampaikan dalam tulisan padahttp://mutiarazuhud.wordpress.com/2013/07/16/perdamaian-islam/ bahwa mewujudkan perdamaian dunia Islam atau mewujudkan Ukhuwah Islamiyah dengan mentaati perintah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bahwa solusi jika kita berlainan pendapat tentang sesuatu maka kita sebaiknya mengikuti mayoritas kaum muslim (as-sawadul a’zham) dan menghindari semua sekte atau firqoh yang menyempal keluar (kharaja) dari mayoritas kaum muslim
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Sesungguhnya Allah tidak menghimpun ummatku diatas kesesatan. Dan tangan Allah bersama jama’ah. Barangsiapa yang menyelewengkan (menyempal), maka ia menyeleweng (menyempal) ke neraka“. (HR. Tirmidzi: 2168).
Al-Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah dalam Fathul Bari XII/37 menukil perkataan Imam Thabari rahimahullah yang menyatakan: “Berkata kaum (yakni para ulama), bahwa jama’ah adalah as-sawadul a’zham (mayoritas kaum muslim)“
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda “Sesungguhnya umatku tidak akan bersepakat pada kesesatan. Oleh karena itu, apabila kalian melihat terjadi perselisihan maka ikutilah as-sawad al a’zham (mayoritas kaum muslim).” (HR.Ibnu Majah, Abdullah bin Hamid, at Tabrani, al Lalika’i, Abu Nu’aim. Menurut Al Hafidz As Suyuthi dalam Jamius Shoghir, ini adalah hadits Shohih).
Pada masa sekarang mayoritas kaum muslim (as-sawadul a’zham) adalah bagi siapa saja yang mengikuti Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dengan mengikuti para ulama yang sholeh yang mengikuti Imam Mazhab yang empat.
Sebagaimanapula yang telah disampaikan dalam tulisan padahttp://mutiarazuhud.wordpress.com/2013/07/18/islam-adalah-satu/ bahwa Islam adalah satu pada masa sekarang adalah Islam sebagaimana yang telah disampaikan dan dijelaskan oleh para penunjuk yakni para ulama yang sholeh yang mengikuti Imam Mazhab yang empat.
Wassalam
Zon di Jonggol, Kabupaten Bogor 16830