By : Ahmad Zarkasih, S.Sy.
Slogan
“Kembali kepada Al-Quran dan Sunnah” sekarang ini memang sedang booming
dimana-mana. Setiap kita bertemu dengan para punggawa-punggawa dakwah
dari kalangan tertentu, pastilah kita dapati slogan ini.
Dengan
bantuan media social yang masiv membuat slogan ini makin banyak dikenal
dan dikatakan terus berulang karena memang maksudnya bagus. Ya memang
seorang muslim wajib hukumnya untuk dia kembali kepada kitab pedomannya,
yaitu Al-Quran dan juga tuntunan panutannya yaitu Hadits-hadits Nabi
Muhammad saw.
Tapi
saya pribadi agak riskan dan khawatir dengan slogan ini, bukan tidak
setuju, tapi ada hal lain yang rasanya urgen sekali untuk diluruskan
dari slogan nyunnah ini. Khawatir adanya kesalahpahaman dari
slogan itu kalau memang dipahami begitu saja, karena memang perlu ada
pembahasan beberapa poin penting dari slogan tersebut.
Dalam
beribadah memang kita dituntut dan diharuskan untuk mengikuti apa yang
sudah digariskan oleh Allah swt dalam Al-Quran dan apa yang sudah
dicontohkan oleh Nabi Muhammad saw melalui riwayat-riwayatnya. Ya benar,
tidak ada selain itu.
Akan
tetapi akan terjadi ketimpangan dan kebingungan kalau hanya langsung
kembali ke Al-Quran dan Sunnah Nabi saw. Kapasitas kemampuan orang itu
berbeda-beda antara satu dan yang lainnya, tidak bisa disamaratakan.
Kalau dengan kemampuan pemahaman yang segitu-segitu saja, kemudian ia
dipaksa untuk beribadah sesuai Al-Quran dan Sunnah versi pemahamannya,
tentu akan terjadi kekacauan syariah.
Sholat Boleh Menghadap Kemana Saja
Orang
yang melaksanakan sholat dan menghadap bukan ke kiblat, akan tetapi
menghadap kearah selain kiblat, sholatnya tetap sah jika diukur dari
slogan “Kembali kepada Al-Quran dan Sunnah” itu. Toh memang di Al-Quran
disebutkan begitu,
وَلِلَّهِ الْمَشْرِقُ وَالْمَغْرِبُ فَأَيْنَمَا تُوَلُّوا فَثَمَّ وَجْهُ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ وَاسِعٌ عَلِيمٌ
“Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, Maka kemanapun
kamu menghadap di situlah wajah Allah. Sesungguhnya Allah Maha Luas
(rahmat-Nya) lagi Maha mengetahui” (Al-Baqarah 115)
Padahal sejatinya sholat punya aturan dan tuntunan yang memang sudah baku, sesuai apa yang dicontohkan oleh Nabi Muhammad saw.
Orang Non-Muslim Najis, Maka Jauhi
Kalau dengan slogan itu juga, maka menjadi benar jika ada
seorang muslim yang tidak mau bergaul dan berbaur dengan
saudara-saudaranya yang non-muslim, karena memang orang non-muslim itu
najis. Sebagaimana firman Allah swt:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِنَّمَا الْمُشْرِكُونَ نَجَسٌ فَلَا يَقْرَبُوا الْمَسْجِدَ الْحَرَامَ بَعْدَ عَامِهِمْ هَذَا
“Hai orang-orang yang beriman, Sesungguhnya orang-orang
yang musyrik itu najis, Maka janganlah mereka mendekati Masjidilharam
sesudah tahun ini” (At-Taubah 28)
Padahal sama sekali tidak ada satu pun pendapat dari 4 madzhab
Fiqih yang mengatakan bahwa orang non-muslim itu najis. Semua bersepakat
bahawa najis yang dimaksud diayat ialah najis secara makna bukan secara
zahir.
Dan juga tidak ada dari para Imam tersebut yang mengharamkan
kita untuk berbaur, bersalaman, atau bahkan memeluk saudara kita yang
non-muslim. Dan juga kita dibolehkan berkongsi makan dan minum dengan
mereka dalam satu wadah selama itu bukan makanan atau minuman yang
diharamkan dalam syariah.
Buang Air Menghadap Kiblat
Dan pasti seseorang akan kebingungan jika dia langsung kembali
kepada Hadits, lalu menemukan hadits yang melarangnya untuk membuang air
dengan menghadap atau membelakangi kiblat. Seperti yang dijelaskan oleh
Nabi saw dari sahabat Abu Ayyub Al-Anshori:
إِذَا
أَتَيْتُمْ الْغَائِطَ فَلَا تَسْتَقْبِلُوا الْقِبْلَةَ بِغَائِطٍ وَلَا
بَوْلٍ وَلَا تَسْتَدْبِرُوهَا وَلَكِنْ شَرِّقُوا أَوْ غَرِّبُوا
“Jika kalian masuk toilet, janganlah kalian menghadap ke
kiblat ketika buang air besar atau kecil, dan jangan juga
membelaknginya. Akan tetapi menghadaplah ke timur atau ke barat” (HR Tirmidzi)
Loh bagaimana ini? Dilarang menghadap kiblat dan juga dilarang
membelakanginya, akan tetapi menghadap barat atau ke timur. Bagaimana
bisa? Toh di Indonesia kalau kita menghadap timur, itu berarti
membelakangi kiblat, kalau ke barat justru kita menghadap kiblat. Lalu
menghadapmana mestinya kita jika buang air?
Kalau hanya semangat “Kembali ke Al-Quran dan Sunnah”, itu
tidak akan menyelesaikan masalah sama sekali. kita akan mentok dan
akhirnya bingung sendiri.
Pojokkan Mereka Ke Jalan Yang Sempit
Saya akan lebih takut jikalau ada seorang yang dengan semangat
“Kembali ke Al-Quran dan Sunnah”, kemudian tanpa guru ia membuka kitab
hadits, lalu menemukan hadits ini:
لَا تَبْدَءُوا الْيَهُودَ وَلَا النَّصَارَى بِالسَّلَامِ فَإِذَا لَقِيتُمْ أَحَدَهُمْ فِي طَرِيقٍ فَاضْطَرُّوهُ إِلَى أَضْيَقِهِ
“janganlah kalian memulai memberi salam kepada orang yahudi
dan Nashrani. Dan jika kalian bertemu mereka di jalan, pojokkan mereka
ke jalan yang sempit (jangan beri jalan)” (HR Muslim)
Haditsnya shahih, riwayat Imam Muslim pula, siapa yang berani mengatakan kalau ini hadits dhoif?
Redaksinya jelas, tidak ada bias bahwa kalau bertemu dengan orang
Yahudi dan Nashrani di jalan, jangan beri mereka jalan. Pojokkan mereka
samapi tidak ada jalan bagi mereka untuk meneruskan jalannya.
Bayangkan bagaimana jika ada orang yang dengan semangat
“kembali ke Al-Quran dan Sunnah” yang menggebu-gebu mendapati hadits
initanpa bimbingan seorang guru? Apa yang sekiranya ia lakukan setelah
mendapatkan hadits tersebut? Yang terjadi pasti kekacauan social
diantara masyarakat.
Kembali ke Ulama
Apa yang diurai diatas dari kasus-kasus tersebut hanyalah
beberapa contoh bahwa kita khusunya yang memang awam akan agama tidak
bisa serta merta langsung menceburkan diri dalam lautan ayat dan hadits
yang punya kedalaman makna.
Kita akan sulit sekali nantinya jika hanya mengandalkan
semangat “Kambali ke Al-Quran dan Sunnah” tanpa ada bimbingan mereka
yang memang mengerti betul tentang syariah. Dan rasanya slogan “Kembali
ke Al-Quran dan Sunnah” itu juga mesti diluruskan.
Redaksi kalimatnya berubah menjadi “Kembali ke Ulama”. Karena
sejatinya kembali kepada ulama itu juga kembali kepada Al-Quran dan
sunnah yang sesungguhnya. Kita tidak bisa dengan gampang memahami teks
ayat dan hadits tanpa bimbingan dan tuntunan mereka yang memang
mengerti.
Dan kepada siapa kita harus meminta bimbingan untuk bisa
memahami maksud ayat dan hadits kecuali kepada ulama? Dengan keilmuannya
kita dibantu untuk lurus dalam beribadah karena mereka punya kapasitas
dan kemampuan yang Allah swt berikan kepada mereka untuk mengetahu
maksud dan makna ayat serta hadits.
فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ
“Bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui.” (QS. An Nahl: 43).
Jadi satu-satunya jalan ialah mengikuti mereka kalau memang
kita tidak tahu. Karena ayat Al-Quran dan hadits-hadits Nabi itu
bukanlah seperti teks bahasa arab biasa yang jika sudah ditemukan
terjemahannya maka langsung bisa dipahami. Tidak begitu!
Kalau memang bisa dengan bebas dipahami, lalu buat apa sejak 13
abad yang lalu para ulama bersusah payah mengerahkan pemikiran dan
tenaga dalam menulis kitab-kitab Tafsir Quran dan juga kitab-kitab syarah (penjelasan) hadits.
Coba kita lihat ke belakang, sudah berapa banyak kitab tafsir dan kitab syarah hadits
yang sudah dikarang oleh para ulama kita. Bahkan jumlahnya ada yang
melampaui angka umur si penulis itu sendiri. Kalau memang semua bisa
paham, kenapa harus ada itu semua?
Jadi perkara “kembali ke Al-Quran dan Sunnah”, bukan perkara
yang asal saja, yang semua orang bisa melaksanakan. Tidak cukup seorang
mengatakan: “Cukuplah bagiku Al-Quran dan Hadits”, dan dia
tidak mengetahui lewat jalur mana ia memahami maksud dan makna ayat
serta hadist tersebut. Dan bagaimana pula ia bisa mengambil kesimpulan
hukum dari ayat dan hadits tanpa merujuk kepada pendapat ulama?
Kita seharusnya sadar bagaimana usaha serta perjuangan para
imam mujtahd serta ulama-ulama tredahulu dalam menyampaikan pemahaman
yang lurus tentang Al-Quran dan sunnah kepada kita semua. Mereka
hidupkan malam-malamnya dan mereka habiskan siangnya dengan mencari dan
meneliti guna mencapai sebuah pemahaman yang benar.
kalau dikatakan: “Ulama itu juga kan manusia, bisa salah. Jadi kita kembali saja kepada Al-Quran dan sunnah”. Kalau
ulama saja bisa salah, lalu siapa anda dengan pongah mengatakan
pendapat anda yang paling benar. Justru kemungkinan anda untuk salah
memahami maksud ayat dan hadits sangat besar sekali karena anda juga
manusia biasa.
Bahkan taraf keilmuan anda sangat jauh jika dibandingkan dengan ulama yang anda diskreditkan kapastitasnya sebagai ulama. Wallahu A’lam.
Sumber : http://www.rumahfiqih.com