Perubahan kalimat dari satu makna ke makna lain sering secara samar dan tak banyak disadari oleh banyak penggunanya. Tahu-tahu perubahan tersebut telah menggeser lafadz dari satu makna ke makna yang jauh bahkan sangat bertentangan sama sekali. Kalimat "sunat" barangkali salah satu contohnya.
Semua muslim pasti tahu arti sunat, terutama laki-laki yang sudah cukup umur. Ya .. sunat adalah pemotongan kulup, alias khitan. Tak jelas secara pasti dari kata apa kalimat itu. Tapi kemungkinannya diambil dari kata "sunat Rasul", perilaku Baginda Rasul SAW, karena khitan memang adalah bagian dari sunah beliau. 'Sunatan masal' dengan demikian adalah melakukan pemotongan kulup, yang itu adalah sunah Rasul, secara bersama-sama.
Namun belakangan, 'sunat' telah mengalami perubahan makna dari pemotongan kulup yang merupakan sunah Rasul ke makna pemotongan secara umum. Dalam perspektif"balaghah Arab" perubahan demikian masuk dalam kategori majaz mursal, melalui prosesithlaaqul muqayyad, yakni proses peniadaan batasan tertentu pada arti kata. Jadilah kalimat 'sunat' kalimat liar yang siap dipergunakan untuk hampir semua pemotongan, ada sunatan gaji, sunatan bantuan pemerintah, dan lain sebagainya. Lalu karena saking seringnya penggunaan kalimat sunat untuk hal-hal yang negatif, kalimat ini memiliki konotasi negatif pula.
Kalimat "sunat" yang pada mulanya merupakan tindakan atau perilaku mulia meniru perilaku Baginda Rasul pada akhirnya berubah menjadi perilaku a moral yang sama sekali tak ada sangkut pautnya dengan sunnah Rasul tersebut.
Yaa Allaah .. jauhkanlah bangsaku dari gemar sunat menyunat, bukan sunnah memotong kulup, tapi memotong segala fulus yang sama sekali bukan haknya. Mereka yang suka melakukan sunatan ini, apalagi dalam bentuk sunatan masal, sungguh merupakan virus sangat berbahaya di negeri ini.
Sumber :
https://www.facebook.com/notes/abdul-ghofur-maimoen-full/sunat/10150276475178088