‘Ulûm al-Awâil secara literal bermakna ilmu-ilmu awal, klasik, kuno atau ilmu-ilmu sebelum Islam. Tetapi istilah ini hampir selalu dimaksudkan sebagai ilmu-ilmu yang dihasilkan dan diproduksi oleh kebudayaan Yunani melalui para filosofnya, seperti Socrates, Plato, Aristoteles, Galenus, Hippocritus dan lain-lain. Akan tetapi ia bisa juga meliputi ilmu pengetahuan yang dihasilkan oleh kebudayaan India, Persia dan Cina.
Banyak orang bertanya bagaimana hukumnya jika orang Islam mempelajari dan mengajarkan ‘Ulûm al-Awâil? Bolehkah atau haram? Jawaban atas pertanyaan ini pernah diperdebatkan dengan sengit di kalangan ulama Islam. Pertanyaan awal yang biasa diajukan adalah bagaimana mempelajari ilmu mantiq (logika) dan filsafat?, dua basis seluruh pengetahuan. Kedua, bagaimana pula menggunakan terma-terma keduanya?
Jawaban para ulama memang berbeda-beda. Kontroversial. Dalam kitab “Al-Sullam al-Munawaraq”, kitab mantiq yang dipelajari di pesantren disebutkan bahwa Imâm Ibnu Shalah (w. 643 H), ahli hadits, dan Imâm Nawâwî (w. 631 H), faqih-muhaddits, terkemuka, mengharamkannya. Terhadap pertanyaan pertama, Ibnu Shalah, mengatakan: “Mantiq (logika Arsitotelian) adalah pintu masuk Filsafat dan sumber keburukan (madkhal’ al-Syarr). Mempelajari dan mengajarkannya merupakan bagian dari yang tidak dibenarkan Tuhan. Bid’ah. Tak seorangpun dari kalangan sahabat Nabi, para penerusnya (Tabi’in), para mujtahid besar, generasi “salaf” yang saleh yang membolehkannya”. Terhadap pertanyaan kedua, ia menjawab ;
إستخدام الاصطلاحات المنطقية من المنكرات المستبشعة
“Penggunaan istilah-istilah logika termasuk kemunkaran yang amat buruk”.
Sebagian ulama membolehkannya bagi yang sudah mampu memahami al-Qur’ân dan al-Sunnah (Mumaris al-Kitab wa al-Sunnah). Sementara Imâm al-Ghazâlî berpendirian membolehkan dan seyogyanya dipelajari kaum muslimin. Al-Ghazâlî bahkan mengatakan:
من لا يحيط بالمنطق لا ثقة بعلومه أصلا
“Orang yang tidak menguasasi ilmu mantiq maka ilmunya tidak bisa dipercaya”. Ucapan ini telah menimbulkan kemarahan para ulama fundamentalis, terutama ulama ahli hadits, terhadap al-Ghazâlî.
Ulama lain mencoba menengahi kedua pendapat di atas. Belajar dan mempelajari ilm logika dibolehkan bagi orang yang sudah menguasasi ilmu Al-Qur’an dan Hadits.
Penerjemahan Ulum al-Awail
Terlepas dari perdebatan tersebut sejarah peradaban Islam abad pertengahan menginformasikan kepada kita bahwa para pemimpin pemerintahan Islam memberikan apresiasi yang tinggi terhadap ‘Ulûm al-Awâil. Sejak abad VIII Masehi, Hârûn al-Rasyid, pemimpin kaum muslimin yang terkenal itu, telah menarik masuk ke istananya para cerdik pandai dan ahli bahasa dari segala bangsa dan agama. Mereka ditugasi menerjemahkan buku-buku ‘Ulûm al-Awâil. Penggantinya, al-Makmûn, meneruskan dan mengembangkannya lebih jauh. Ia bahkan mendirikan sekolah penerjemah dan perpustakaan besar: “Bait al-Hikmah” (rumah kebijaksanaan/kearifan). Perpustakaan ini berisi sejuta buku dan terbesar didunia pada masa itu. Salah seorang penerjemah kenamaan adalah Abu Zayd Hunain bin Ishâq al-Ibadi (809-873 M). Ia seorang Kristen Nestorian. Dialah salah seorang yang menerjemahkan karya-karya Ulum al-Awail ke dalam bahasa Arab. Beberapa di antaranya adalah karya-karya Aristoteles: Hermeneutika, Catagories (Maqulat), Psysic (Thabi’iyat) dan Magna Moralia (Khulqiyyat). Ia juga menerjemah karya-karya Galen, Hippocrates dan Dioscorides, juga karya-kara Plato. Republica. Konon untuk karya terjemahan tersebut al-Makmun membayarnya dengan emas seberat buku yang diterjemahkan. Sejumlah orang menyebut bahwa Hunainlah penerjemah terbesar karya-karya klasik, terutama karya Helenistik ke dalam bahasa arab. Hunain mempunyai 90 murid penerjemah di bawah pengawasannya.
Abu Yahya Ibn Batriq, wafat antara 796-809 M, adalah penerjemah karya-karya Galen “De Theriaca” dan Hippocrates, untuk khalifah Abu Ja’far al-Manshur, dan karya Ptolemius ”Quadripartitum” untuk khalifah yang lain.
Sementara Al-Fazari menerjemahkan antara lain buku astronomi India; Shidanta karangan Brahmagupta. Muhammad ibn Ibrahim al-Fazari menerjemahkan karya astronomi Siddhanta berbahasa Sansekerta, ke dalam bahasa arab sekitar tahun 772 M.
Abdullah ibn al-Muqaffa (720-756 M) adalah seorang pemikir asli Persia yang terkenal di Basrah. Ia menerjemahkan beberapa karya dalam bahasa Matlawi yang berkaitan dengan logika dan medis. Akan tetapi ia lebih dikenal karena terjemahannya terhadap syair Muluk al-Ajam dan Kalila Wa Dimna. Ini beberapa saja untuk menyebut contoh.
Membaca Terjemahan Ulum al-Awail
Karya-karya terjemahan itu kemudian dibaca dengan penuh minat dan lahap oleh para pelajar dan mahasiswa muslim, tanpa melepaskan diri dari bacaan dan permenungan yang mendalam atas sumber-sumber otoritatif Islam sendiri, terutama al-Qur’an dan Hadits Nabi. Tak lama berselang sesudah itu lahirlah para sarjana, ilmuwan, cendikiawan dan filosof muslim kaliber raksasa; Imam al-Syafi’i, al-Farabî, Ibn Miskawaih, Ibnu Sina, Abu Bakar al-Râzî, Abu Hamid al-Ghazali, Fakhr al-Din al-Razi, al-Khawarizmi, Ibnu Thufail, Ibn Arabi, Ibnu Rusyd, Ibnu Haitsam, Al-Birunî, dan lain-lain. Dua nama filosof dan bijakbestari Yunani yang selalu disebut-sebut dengan penuh kekaguman dan penghormatan yang tinggi adalah Plato dan muridnya; Aristoteles. Abd al-Karim al-Jily, pembela utama dan penerus Ibn Arabi, dalam bukunya yang terkenal : “Al-Insan al-Kamil”, menyebut Aristoteles sebagai murid Nabi Khidhir. (al-Insan al-Kamil, vol. II/116-117). Dari pikiran, hati dan kerja intelektual mereka telah dihasilkan literatur-literatur ilmu pengetahuan, filsafat dan Hikmah (kebijaksanaan/Kearifan), ilmu kedokteran, fisika, karya-karya biografis berikut komentar-komentar atasnya, sejarah, arsitektur, kaligrafi, anekdot dan humor mencerdaskan, dan sebagainya.
Para sarjana, cendikiawan, ilmuwan, filosof dan Hukama (para bijakbestari) di atas sepakat bahwa ilmu-ilmu kuno adalah milik seluruh umat manusia. Tak ada kelompok religious maupun cultural yang bisa mengklaim kepemilikan eksklusif terhadap ilmu-ilmu ini. Saya percaya sepenuhnya bahwa seluruh kerja-kerja intelektual dan intuitif mereka yang tak kenal lelah dan tak pernah menyerah, memperoleh inspirasi dan legitimasi dari sumber-sumber keagamaan mereka : Al-Qur’an dan Hadits Nabi. Salah satunya adalah :
سنريهم أياتنا فى الافاق وفى أنفسكم حتى يتبين لهم أنه الحق
“Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di cakrawala dan pada diri mereka sendiri sehingga jelaslah bahwa al-Qur’ân itu adalah benar”. (Qs. Fusshilat [41]: 53). Dan “Apakah kalian tidak memikirkan dan berkontempelasi tentang isi al-Qur’an? Atau apakah hati kalian terkunci?”.
Jika itu yang menjadi basis pemikirannya, maka kita yang hidup pada hari ini seharusnya membuka diri untuk menerima pandangan-pandangan, produk-produk pemikiran, karya-karya ilmiyah, metodologi serta system pengetahuan dari manapun dan kapanpun, masa lalu, kini maupun yang akan datang. Orang yang bijak tentu akan mampu menseleksi dan memilih apa yang baik dan berguna bagi kemanusiaan dan melepaskan apa yang tak berguna. Kita harus melangkah ke depan, dan tidak berdiri untuk berputar-putar dalam siklus yang tetap.
KH. Husein Muhammad, Cirebon, 24-03-14