Kritisisme Imam al-Muhasibi di tengah dinamika pemikiran Islam sangat menonjol. Beliau tidak sungkan-sungkan melancarkan kritik terhadap Muktazilah, ahli hukum fikih, kaum sufi, dll.
Al-Muhasibi mengapresiasi rasionalitas Mu’tazilah, tetapi beliau tidak sepakat dengan Mu’tazilah yang menyatakan bahwa al-Quran adalah ciptaan Allah swt. Bagi al-Muhasibi, al-Quran adalah kalam Allah, bukan ciptaan Allah. Al-Muhasibi keberatan dengan sikap Mu’tazilah yang merasa benar sendiri berdasarkan rasionalitas mereka. Al-Muhasibi menentang keras Mu’tazilah yang semena-mena mendiskriminasikan ulama non-Mu’tazilah. Bagaimanapun, rasionalitas bersifat nisbi. Oleh karenanya, Muk’tazilah tidak patut saling mengkafirkan hanya karena berbeda pandangannya.
Terhadap ahli hukum fikih, al-Muhasibi mengkritik sikap sombong sebagian dari mereka. Al-Muhasibi menyatakan bahwa sebagian ahli fikih terbuai seakan-akan mereka merasa paling tahu masalah fatwa halal-haram. Hingga mereka menilai bahwa merekalah yang paling tahu Allah. Mereka meremehkan ahli hadits karena dipandang tidak tahu halal-haram. Al-Muhasibi mengingatkan bahwa fikih hukum bukanlah segala-galanya, sebab ada fikih yang lebih tinggi, yakni fikih tentang kekuasaan Allah. Fuqaha (ahli rusum/kaum formalis) jangan hanya puas dengan kulit hukum, tetapi harus merasakan esensi hukum.
Al-Muhasibi juga mengkritik sebagian kaum sufi yang tidak menghargai akal dan tunduk pada pandangan bahwa manusia hanya perlu berserah diri dan tidak perlu bekerja keras/berusaha. Pandangan tasawuf negatif ini membuat umat Islam malas dan tidak produktif. Bagi al-Muhasibi, manusia harus berusaha semaksimal mungkin (al-kasb), meskipun Allah lah yang pada akhirnya menentukan takdirnya. Pandangan ini di kemudian hari dianut oleh Imam al-Asy’ari dan Imam al-Ghazali.
Wallahu a'lam bi al-shawab.
= Gus Irwan Masduqi =