Imam al-Harits al-Muhasibi menjadi seorang sufi didorong oleh beberapa faktor. Diantaranya, pertama, karena wawasannya yang luas. Setelah mempelajari ilmu fikih, hadits, dan kalam, beliau mempelajari tasawuf kemudian hatinya merasa sreg dengan ajaran tasawuf. Ilmu tasawuf dapat membuat hatinya tenang dan tercerahkan.
Kedua karena sebagai respon atas kerusakan moral di masyarakat. Pada era pemerintahan al-Mahdi (158-169 H), Khalifah Dinasti Abasiyah, hedonisme (al-taraf) merebak di masyarakat. Kemapaman ekonomi pada saat itu membuat pemerintah dan masyarakat terbuai oleh gemerlap dunia. Dirham-dirham dihambur-hamburkan untuk belanja budak penghibur dan pemuas nafsu. Khalifah dan anggota keluarga Dinasti Abasiyah yang mengatasnamakan Islam itu bahkan berani minum-minuman khamr secara terang-terangan. Lalu pada era pemerintahan al-Amin Ibn al-Rasyid (193-197 H) kota Baghdad menjadi madinah lil malahi, kota hiburan dimana kedai-kedai minuman keras dan perjudian berdiri di sudut-sudut kota.
Kondisi sosial tersebut semakin mendorong al-Muhasibi untuk mengintrospeksi diri. Sebagai bentuk kritik sosial, Imam al-Muhasibi menyuarakan pentingnya zuhud sebagai penangkal hedonisme. Zuhud bukanlah sikap pasif dan apatis meninggalkan hal-hal duniawi, tetapi zuhud adalah sikap aktif meninggalkan cinta pada dunia. Imam al-Qusyairi bersaksi bahwa Imam al-Muhasibi adalah ulama yang sulit dicari padanannya pada zamannya, baik dalam hal keilmuan maupun sifat wira’i-nya. Wira’i adalah sikap mawas diri dan hati-hati agar tidak terperosok ke dalam perbuatan yang negatif/dosa.
Wallahu a'lam bi al-shawab