Untuk memuliakan bulan Sya'ban dan Ramadlan, insya Allah dalam satu bulan ke depan penulis akan ngaji kitab secara "online" di laman FB ini.
Pengajian kali ini akan berupa pembacaan atas dua risalah pendek karangan Imam Abu 'Abdillah al-Harits al-Muhasibi dan Imam Abu Hamid al-Ghazali (rahimahumallah), "Syaraf al-'Aql wa Mahiyyatuhu" ("Kemuliaan Akal dan Esensinya").
Dua risalah ini unik, karena menyajikan suatu penghargaan yang tinggi atas potensi akal di dalam Islam, melalui sudut pandang dua tokoh yang sering dianggap anti-akal, atau cenderung menjauh dari posisi rasionalis. Al-Muhasibi dikenal sebagai seorang sufi besar, guru panutan tasawuf Imam al-Junaid al-Baghdadi, sedangkan al-Ghazali, sebagaimana diketahui, seorang sufi tapi juga teolog dan ahli hukum Islam ("faqih"), dan filsuf yang menulis suatu kritik yang tajam terhadap filsafat dalam "Tahafut al-Falasifah". (Keragaman posisi al-Ghazali tidak akan terwakili dengan kategori-kategori ini.)
Edisi yang digunakan untuk kajian ini adalah edisi suntingan Mushthafa 'Abd al-Qadir 'Atha (Beirut: Dar al-Kutub al-'Ilmiyyah, 1986).
Namanya mungkin tidak sepopuler al-Ghazali, tetapi namanya berkibar di kalangan para sufi generasi-generasi awal.
Al-Qusyairi memberikan kesaksian tentangnya: "Seseorang yang tidak ada bandingan pada eranya dalam hal keilmuan, wara'/wirai (sikap hati-hati), hubungannya dengan sesama manusia, dan kondisi ('hal')-nya".
Sifat wara' itu tergambar kuat, sehingga nyaris selalu menjadi catatan para penulis biografinya.
Diceritakan, al-Muhasibi mewarisi 70.000 dirham dari ayahnya, namun karena ayahnya adalah seorang penganut Qadariyyah dan al-Muhasibi kurang berkenan dengan akidah ayahnya yang dianggapnya keliru, ia menolak warisan tersebut dan memilih hidup miskin, kuatir memakan harta yang "syubhat" (abu-abu antara halal dan haram).
Abu 'Ali al-Daqqaq, seorang sufi, menyebutkan: "Setiap kali al-Harits al-Muhasibi mendekatkan tangannya kepada makanan yang 'syubhat', dari jari-jemarinya mengalir keringat sehingga ia tidak jadi mengambilnya".
Sikap-sikap wara' itu yang mungkin membuatnya selalu memiliki pandangan yang proporsional, karena bagi para sufi makanan yang 'syubhat', lebih-lebih haram, dapat mempengaruhi jiwa seseorang.
Meski seorang yang "zuhud", selalu berjarak dengan urusan duniawi, bukan berarti al-Muhasibi meninggalkan pergaulan manusia (mu'amalah) hanya demi menyendiri untuk beribadah. Ia sangat menekankan keterlibatan aktif dalam urusan-urusan duniawi. Ia berkata: "Sebaik-baiknya umat ini adalah orang-orang yang urusan akhirat mereka tidak menyibukkan mereka dari urusan duniawi, dan yang urusan duniawi mereka tidak menyibukkan mereka dari akhirat".
= Kiai Muhammad Al-Fayyadl =