Akal sebagai "gharîzah", bukan naluri biasa, bukan pula insting yang semata berurusan dengan naluri mempertahankan hidup, tetapi, menurut al-Muhasibi, merupakan suatu naluri untuk mengenal Tuhannya.
"Hanya akal mengenalkan mereka kepada Allah Swt, dengan akal yang berasal dari diri mereka. Maka dengan akal itu mereka mengenal-Nya, dan mereka mempersaksikan atas [eksistensi]-Nya dengan akal yang mereka kenal berasal dari diri mereka, dengan mengenali apa yang bermanfaat bagi mereka dan mengenali apa yang membahayakan mereka" (terjemahan diperbarui).
Kata-kata al-Muhasibi rumit, namun enigmatik.
Akal sebagai naluri, memperkenalkan seseorang kepada Allah Swt. Itu artinya, naluri itu sejak awal sebenarnya merupakan naluri suci yang di dalamnya tertanam kodrat ketuhanan yang dapat mengantar akal mengenali sang Penitip-nya. Ketika seorang bayi lahir dengan potensi akal di dalam dirinya, terdapat potensi pengenalan akan Tuhan yang juga tersertakan di dalam dirinya. Namun, apakah potensi itu otomatis mengantarnya untuk mengenali Tuhannya? Mengapa banyak orang yang ketika beranjak dewasa, justru tidak mengenali lagi Tuhannya lebih-lebih mengingkari-Nya?
Al-Muhasibi menyiratkan, potensi itu memang tidak otomatis mengantar orang untuk mengenali Tuhannya, karena untuk mengenali Tuhannya, akal itu mesti bergerak -- sebagai naluri -- untuk mengenali Tuhannya. Ini arti "fa bidzâlika al-'aql 'arafûh" (maka dengan akal itu mereka mengenal-Nya).
Sebuah naluri atau insting tidak pernah diam, ia mencari. Akal sebagai naluri, mencari untuk mengenali Tuhannya. Ia mesti mencari, berusaha untuk mengenali lagi kodrat ketuhanan yang ada di dalam dirinya. Untuk itu akal mesti bekerja, bukan untuk asyik dengan pikiran-pikirannya sendiri, tetapi untuk mengenali Ia yang menitipkan potensi itu di dalam dirinya.
Pada awalnya, akal mampu mengenalkan seseorang secara langsung kepada Tuhannya ("wa innamâ 'arrafahum lillâh"). Ini merupakan fase ketika naluri itu masih bersifat pasif, sehingga mampu menangkap secara naluriah cahaya Tuhannya. Namun secara bertahap naluri itu disibukkan oleh hal-hal lain, sehingga naluri itu teralihkan dari tujuan pengenalannya. Dengan menggerakkan naluri itu kepada Tuhan, ia akan mampu mengenali "Tuhan" sebagai "Tuhannya".
Pengenalan atas Allah Swt oleh akal setidaknya terdiri atas satu hal, yaitu pengakuan akan eksistensi-Nya, bahwa dirinya diciptakan oleh-Nya, dan bahwa ia bertuhan kepada-Nya. "Lâ ma'buda siwâhu", tiada sesembahan kecuali Dia.
Keberadaan Allah Swt, dengan demikian, merupakan objek pengetahuan pertama yang seyogyanya dimiliki oleh akal, sebelum berurusan memikirkan hal-hal lain, alam raya dan seisinya. Akal perlu mengetahui Tuhannya, sebelum mengetahui dan menjelajahi objek-objek lain di hamparan semesta-Nya. Bila akal belum mampu mengenali dan mengakui kenyataan yang paling "sederhana" ini, sementara telanjur telah sibuk memikirkan hal-hal yang lain, maka naluri itu belum sempurna. Ia telanjur memikirkan kompleksitas kenyataan, tapi belum mampu mengenali hal yang paling "sederhana", yaitu keberadaan Tuhannya sendiri. Dalam hal itu ia akan dipaksa untuk terus mencari, dan boleh jadi akan "tersiksa" dalam pencariannya.
Dengan akal ini, lanjut al-Muhasibi (rahimahullah), pengenalan (ma'rifah) menjadi penyaksian (syahadah) atas eksistensi-Nya. "Maka dengan akal itu mereka mengenal-Nya, dan mereka mempersaksikan atas [eksistensi]-Nya".
Kesaksian atas-Nya, dilihat dari bagian ini, pertama-tama bukan kerja mulut, tapi kerja akal. Banyak orang Muslim mungkin bersyahadat di lisannya, tapi akalnya belum bersyahadat. Agar lebih sempurna, maka akal dan lisan mesti sama-sama bersyahadat, sama-sama bersaksi akan kebenaran eksistensi-Nya.
Syahadat akal, kesaksian akal ini, berarti pengakuan akan eksistensi-Nya yang dicapai setelah akal melihat bukti-bukti yang menunjukkan eksistensi-Nya di dalam dirinya dan di alam raya (melalui proses induktif), atau setelah akal, begitu menyadari potensi yang dimilikinya berasal dari Ia sang Mahacerdas dan Maha Mengetahui, lebih daripadanya, langsung menangkap kebenaran eksistensi-Nya. Untuk kemudian mengenali bukti-bukti eksistensi-Nya melalui alam raya dan seisinya (proses deduktif).
Pengenalan dan kesaksian ini, menurut Imam al-Muhasibi, membawa konsekuensi pada pengenalan akan manfaat dan mudarat, akan hal-hal apa yang berguna baginya dalam kehidupan dan yang membahayakan.
Kesaksian atas eksistensi Allah Swt membawa konsekuensi pada tindakan, karena dengan mengenal Tuhannya, akal mampu mengenali apa yang membawa keberuntungan pada dirinya, dan apa yang menjerumuskannya kepada celaka.
Seseorang yang mengenal Tuhannya dan mengakui bahwa dia bertuhan kepada Ia satu-satunya yang layak disembah, akan mencerna dengan akalnya perbedaan antara yang manfaat dan yang mudarat, antara baik dan buruk, antara benar dan salah, antara apa yang harus dilakukan untuk keselamatannya dan apa yang perlu dihindarinya.
Hal ini dikarenakan, ia menyadari bahwa kelak ia harus mempertanggungjawabkan perbuatannya di hadapan Pemberi potensi yang luar biasa itu. Selain itu, ia juga mampu berpikir jauh ke depan mengenai dampak perbuatannya terhadap dirinya nanti untuk keselamatannya di akhirat, dan tidak saja di dunia.
Dilihat dari sini, akal yang sempurna meniscayakan iman. Orang yang tak beriman kepada akhirat, atau Tuhan, memiliki akal yang sempurna secara relatif, karena hanya berpikir tentang keberuntungan dan keselamatannya di dunia.
Pengenalan akal akan manfaat dan mudarat, menurut al-Muhasibi, memiliki dua dimensi: "al-'âjil", yaitu manfaat/mudarat yang dapat menimpa di dunia, dan "al-'awâqib", yaitu manfaat/mudarat di akhirat kelak. Seseorang yang menyadari keduanya, disebut orang yang berakal ("'âqil").
Al-Muhasibi menulis: "Dan terkadang seseorang harus menghadapi sesuatu yang membahayakannya di akhirat ('mâ yadlurruhû fi al-'awâqib'), namun bermanfaat baginya di kehidupan dunianya ('al-'âjil') ... maka ia [yang menyadarinya] disebut orang yang berakal. Orang Arab memaksudkan: bahwa ia memiliki naluri yang bukan suatu pikiran yang rusak ('al-humq') dan kegilaan ('al-junûn'), dan bahwa akalnya berkurang untuk sesuatu yang menjadi akibat perbuatannya di akhirat, lantaran kadar ketergiurannya pada apa yang bermanfaat baginya di dunia, dibandingkan dengan apa yang membahayakannya di akhirat".
Orang yang berakal sempurna, yang layak mendapat sebutan "'âqil", dengan demikian menurut al-Muhasibi, adalah ia yang mampu berpikir mengenai dampak perbuatannya di dunia dan di akhirat, mengenai manfaat/mudarat yang akan diperolehnya saat ini dan kelak. Dalam hal ini, manusia memiliki beragam kemungkinan situasi.
Ada orang yang dihadapkan kepada kenikmatan dunia yang membawa kesengsaraan di akhirat. Contohnya, berzina, serta sebagian kemaksiatan yang dampak buruknya seolah tidak terasa di dunia.
Ada yang dihadapkan kepada kebaikan dunia yang membawa keberuntungannya nanti di akhirat, seperti menikah dengan cara yang "syar'i", makan makanan yang enak dan diperoleh dengan cara halal, dst.
Ada yang dihadapkan kepada penderitaan dunia yang membawa keberuntungannya di akhirat, misalnya bersabar saat dilanda sakit parah.
Dan ada pula yang dihadapkan kepada penderitaan dunia yang membawa kesengsaraan di akhirat, seperti menyiksa-diri, memutus hubungan kekerabatan dengan orangtua, dst.
Seorang "'âqil" akan memilih yang terbaik di antara situasi-situasi tersebut, jika diberi kekuatan untuk memilih, yaitu memilih hal-hal yang membawa keberuntungan di dunia dan di akhirat, atau membawa keberuntungan di akhirat meskipun menanggung penderitaan atau keterbatasan-keterbatasan dalam kehidupannya di dunia.
Sumber :
https://www.facebook.com/fayyadl