Makna
Khilaf dan Ikhtilaf.
Untuk
mengetahui makna kata khilaf dan ikhtilaf,mari kita lihat
penggunannya dalam bahasa Arab:
خالفته
مخالفة وخلافا وتخالف القوم واختلفوا إذا ذهب كل واحد إلى خلاف ما ذهب إليه الآخر
Saya berbeda dengannya dalam suatu
perbedaan [ خالفته مخالفة وخلافا]
[وتخالف القوم واختلفوا إذا ذهب كل واحد إلى
خلاف ما ذهب إليه الآخر ]
Kaum
itu telah ikhtilaf; jika setiap orang pergi ke tempat yang berbeda dari
tempat yang dituju orang lain[1].
Jadi
makna Khilaf dan Ikhtilaf adalah: adanya perbedaan.
Sebagian
ulama berpendapat bahwa Khilaf dan Ikhtilaf mengandung makna yang
sama. Namun ada juga ulama yang membedakan antara Khilaf dan Ikhtilaf,
الاختلاف لا الخلاف والفرق أن للأول دليلا لا
الثاني
Ikhtilaf:
perbedaan dengan dalil. Khilaf: perbedaan tanpa dalil[2].
Maka
selalu kita mendengar orang mengatakan, “Ulama ikhtilaf dalam masalah
ini”,
atau
ungkapan, “Ini adalah masalah Khilafiyyah”.
Maksudnya,
bahwa para ulama tidak satu pendapat dalam masalah tersebut.
Contoh
Ikhtilaf Ulama Dalam Memahani Nash:
Allah
Swt berfirman:
وَامْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ
“Dan usaplah kepalamu”.
(Qs. Al-Ma’idah [5]: 6).
Hadits
Riwayat Imam Muslim:
قال ابْن الْمُغِيرَةِأَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَوَضَّأَ فَمَسَحَ بِنَاصِيَتِهِ وَعَلَى الْعِمَامَةِ
وَعَلَى الْخُفَّيْنِ
Ibnu
al-Mughirah berkata, “Sesungguhnya Rasulullah Saw berwudhu’, beliau mengusap
ubun-ubunnya, mengusap bagian atas sorban dan bagian atas kedua sepatu khufnya”.
(HR. Muslim).
Hadits
Riwayat Imam Abu Daud:
عَنْ
أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَرَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ يَتَوَضَّأُ وَعَلَيْهِ عِمَامَةٌ قِطْرِيَّةٌ فَأَدْخَلَ يَدَهُ مِنْ
تَحْتِ الْعِمَامَةِ فَمَسَحَ مُقَدَّمَ رَأْسِهِ وَلَمْ يَنْقُضْ الْعِمَامَةَ
Dari
Anas bin Malik, ia berkata, “Saya melihat Rasulullah Saw berwudhu’, di atas
kepalanya ada sorban buatan Qathar. Rasulullah Saw memasukkan tangannya dari
bawah sorbannya, beliau mengusap bagian depan kepalanya, beliau tidak melepas sorbannya”.
(HR. Abu Daud).
Hadits
Riwayat Imam al-Bukhari dan Muslim.
ثُمَّ مَسَحَ
رَأْسَهُ بِيَدَيْهِ فَأَقْبَلَ بِهِمَا وَأَدْبَرَ بَدَأَ بِمُقَدَّمِ رَأْسِهِ
حَتَّى ذَهَبَ بِهِمَا إِلَى قَفَاهُ ثُمَّ رَدَّهُمَا إِلَى الْمَكَانِ الَّذِي
بَدَأَ مِنْهُ
Kemudian
Rasulullah Saw mengusap kepalanya. Rasulullah Saw (menjalankan kedua telapak)
tangannya ke depan dan ke belakang, beliau awali dari bagian depan kepalanya,
hingga kedua (telapak) tangannya ke tengkuknya, kemudian ia kembalikan lagi ke
tempat semula. (HR. al-Bukhari dan Muslim).
Menyikapi
ayat dan beberapa hadits tentang mengusap kepala diatas, muncul beberapa
pertanyaan: bagaimanakah cara mengusap kepala ketika berwudhu’? Apakah cukup
menempelkan telapak tangan yang basah ke bagian atas rambut? Atau telapak
tangan mesti dijalankan di atas kepala? Apakah cukup mengusap ubun-ubun saja?
Atau mesti mengusap seluruh kepala? Di sinilah muncul Ikhtilaf diantara
ulama.
Para ulama berijtihad, maka ada beberapa
pendapat ulama tentang mengusap kepala ketika berwudhu’:
Mazhab
Hanafi:
Wajib
mengusap seperempat kepala, sebanyak satu kali, seukuran ubun-ubun, diatas dua
daun telinga, bukan mengusap ujung rambut yang dikepang/diikat. Meskipun hanya
terkena air hujan, atau basah bekas sisa air mandi, tapi tidak boleh diambil
dari air bekas basuhan pada anggota wudhu’ yang lain, misalnya air yang menetes
dari pipi diusapkan ke kepala, ini tidak sah.
Dalil
Mazhab Hanafi:
1. Mesti mengikuti makna mengusap
menurut ‘urf (kebiasaan).
2. Makna huruf Ba’ pada
ayat [برؤوسكم] artinya menempel. Menurut kaedah, jika huruf Ba’ masuk
pada kata yang diusap, maka maknanya mesti menempelkan seluruh alat yang
mengusap. Maka mesti menempelkan telapak tangan ke kepala. Jika huruf Ba’
masuk ke alat yang mengusap, maka mesti mengusap seluruh objek yang diusap.
Jika seluruh telapak tangan diusapkan ke kepala, maka bagian kepala yang
terkena usapan adalah seperempat bagian kepala. Itulah bagian yang dimaksud
ayat mengusap kepala.
3. Hadits yang menjelaskan ayat ini,
riwayat Abu Daud dari Anas, ia berkata, “Saya melihat Rasulullah Saw berwudhu’,
di atas kepalanya ada sorban buatan Qathar, Rasulullah Saw memasukkan tangannya
dari bawah sorbanya, ia engusap bagian depan kepalanya, ia tidak melepas
sorbannya”. Hadits ini menjelaskan ayat yang bersifat mujmal
(global/umum). Ubun-ubun atau bagian depan kepala itu seperempat ukuran kepala,
karena ubun-ubun satu bagian dari empat bagian kepala.
Mazhab
Maliki:
Wajib
mengusap seluruh kepala. Orang yang mengusap kepala tidak mesti melepas ikatan
rambutnya dan tidak mesti mengusap rambut yang terurai dari kepala. Tidak sah
jika hanya mengusap rambut yang terurai dari kepala. Sah jika mengusap rambut
yang tidak turun dari tempat yang diwajibkan untuk diusap. Jika rambut tidak
ada, maka yang diusap adalah kulit kepala, karena kulit kepala itulah bagian
permukaan kepala bagi orang yang tidak memiliki rambut. Cukup diusap satu kali.
Tidak dianjurkan mengusap kepala dan telinga beberapa kali usapan.
Dalil
Mazhab Maliki:
1. Huruf Ba’ mengandung
makna menempel, artinya menempelkan alat
kepada yang diusap, dalam kasus ini menempelkan tangan ke seluruh kepala.
Seakan-akan Allah Swt berfirman, “Tempelkanlah usapan air ke kepala kamu”.
2. Hadits riwayat Abdullah bin Zaid,
“Sesungguhnya Rasulullah Saw mengusap kepalanya dengan kedua tangannya, ia
usapkan kedua tangan itu ke bagian depan dan belakang. Ia mulai dari bagian
depan kepala, kemudian menjalankan kedua tangannya hingga ke tengkuk, kemudian
ia kembalikan lagi ke bagian depan tempat ia memulai usapan”. Ini menunjukkan
disyariatkan mengusap seluruh kepala.
Mazhab
Hanbali:
Seperti
Mazhab Maliki, dengan sedikit perbedaan:
1. Wajib mengusap seluruh kepala
hanya bagi laki-laki saja. Sedangkan bagi perempuan cukup mengusap kepala
bagian depan saja, karena Aisyah mengusap bagian depan kepalanya.
2. Wajib mengusap dua daun telinga,
bagian luar dan bagian dalam daun telinga, karena kedua daun telinga itu bagian
dari kepala. Sebagaimana hadits riwayat Ibnu Majah, “Kedua telinga itu
bagian dari kepala”.
Mazhab
Syafi’i:
Wajib
mengusap sebagian kepala. Boleh membasuh kepala, karena membasuh itu berarti
usapan dan lebih dari sekedar usapan. Boleh hanya sekedar meletakkan tangan di
atas kepala, tanpa menjalankan tangan tersebut di atas kepala, karena tujuan
mengusap kepala telah tercapai dengan sampainya air membasahi kepala.
Dalil
Mazhab Syafi’i:
1. Hadits riwayat al-Mughirah dalam Shahih
al-Bukhari danShahih Muslim, “Sesungguhnya Rasulullah Saw mengusap
ubun-ubunnya dan bagian atas sorbannya”. Dalam hadits ini disebutkan cukup
mengusap sebagian saja. Yang dituntut hanyalah mengusap secara mutlak/umum,
tanpa ada batasan tertentu, maka sebagian saja sudah mencukupi.
2. Jika huruf Ba’ masuk ke
dalam kata jama’ (plural), maka menunjukkan makna sebagian, maka
maknanya, “Usapkan sebagian kepala kamu saja”. Mengusap sedikit sudah
cukup, karena sedikit itu sama dengan banyak, sama-sama mengandung makna
mengusap[3].
Komentar
Syekh Mahmud Syaltut dan Syekh Muhammad Ali as-Sais, dikutip oleh Syekh
DR.Wahbah az-Zuhaili:
والحق: أن الآية من قبيل المطلق، وأنها
لا تدل على أكثر من إيقاع المسح بالرأس، وذلك يتحقق بمسح الكل، وبمسح أي جزء قل أم
كثر، ما دام في دائرة ما يصدق عليه اسم المسح، وأن مسح شعرة أو ثلاث شعرات لا يصدق
عليه ذلك .
Yang
benar, bahwa ayat (وَامْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ) “Usaplah kepala kamu” termasuk ayat yang bersifat umum,
tidak menunjukkan lebih dari sekedar mengusap kepala. Usapan itu sudah terwujud
apakah dengan mengusap seluruh kepala, mengusap sebagian kepala, sedikit atau
pun banyak, selama dapat dianggap sebagai makna mengusap. Adapun mengusap satu
helai atau tiga helai rambut, tidak dapat dianggap mengusap[4].
Dari
uraian diatas dapat dilihat:
Pertama,
mazhab bukan agama. Tapi pemahaman ulama terhadap nash-nash (teks) agama
dengan ilmu yang ada pada mereka. Dari mulai pemahaman mereka tentang ayat,
dalil hadits, ‘urf, sampai huruf Ba’ yang masuk ke dalam kata.
Begitu detailnya. Oleh sebab itu slogan “Kembali kepada al-Qur’an dan Sunnah”,
memang benar, tapi apakah setiap orang memiliki kemampuan? Apakah semua orang
memiliki alat untuk memahami al-Qur’an dan Sunnah seperti pemahaman para
ulama?! Oleh sebab itu bermazhab tidak lebih dari sekedar bertanya kepada orang
yang lebih mengerti tentang suatu masalah, mengamalkan firman Allah Swt,
فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ
لَا تَعْلَمُونَ
“Maka
bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui”.
(Qs. an-Nahl [16]: 43).
Kedua, ikhtilaf
mereka pada furu’ (permasalahan cabang), bukan pada ushul
(dasar/prinsip). Mereka tidak ikhtilaf tentang apakah wudhu’ itu wajib
atau tidak. Yang mereka perselisihkan adalah masalah-masalah cabang, apakah
mengusap itu seluruh kepala atau sebagiannya saja? Demikian juga dalam shalat,
mereka tidak ikhtilaf tentang apakah shalat itu wajib atau tidak? Semuanya
sepakat bahwa shalat itu wajib. Mereka hanya ikhtilaf tentang cabang-cabang
dalam shalat, apakah basmalah dibaca sirr atau jahr?
Apakah mengangkat tangan sampai bahu atau telinga? Dan sejeninsya.
Ketiga,
tidak membid’ahkan hanya karena beda cara melakukan. Yang mengusap seluruh
kepala tidak membid’ahkan yang mengusap sebagian kepala, demikian juga
sebaliknya. Selama perbuatan itu masih bernaung di bawah dalil yang bersifat
umum.
Ikhtilaf
tidak hanya terjadi pada masa generasi khalaf (belakangan). Kalangan Salaf
(generasi tiga abad pertama Hijrah); para shahabat Rasulullah Saw, Tabi’in dan
Tabi’ Tabi’in juga Ikhtilaf dalam masalah-masalah tertentu.
Ikhtilaf
Shahabat Ketika Rasulullah Saw Masih Hidup.
عَنْ
ابْنِ عُمَرَ قَالَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَنَا
لَمَّا رَجَعَ مِنْ الْأَحْزَابِ لَا يُصَلِّيَنَّ أَحَدٌ الْعَصْرَ إِلَّا فِي
بَنِي قُرَيْظَةَ فَأَدْرَكَ بَعْضَهُمْ الْعَصْرُ فِي الطَّرِيقِ فَقَالَ
بَعْضُهُمْ لَا نُصَلِّي حَتَّى نَأْتِيَهَا وَقَالَ بَعْضُهُمْ بَلْ نُصَلِّي
لَمْ يُرَدْ مِنَّا ذَلِكَ فَذُكِرَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ فَلَمْ يُعَنِّفْ وَاحِدًا مِنْهُمْ
Dari
Ibnu Umar, ia berkata, “Rasulullah Saw berkata kepada kami ketika beliau
kembali dari perang Ahzab, ‘Janganlah salah seorang kamu shalat ‘Ashar
kecuali di Bani Quraizhah’. Sebagian mereka memasuki shalat ‘Ashar di
tengah perjalanan. Sebagian mereka berkata, ‘Kami tidak akan melaksanakan
shalat ‘Ashar hingga kami sampai di Bani Quraizhah’.
Sebagian
mereka berkata, ‘Kami melaksanakan shalat ‘Ashar sebelum sampai di Bani
Quraizhah’. Peristiwa itu diceritakan kepada Rasulullah Saw, beliau tidak
menyalahkan satu pun dari mereka”. (HR. al-Bukhari).
Ini membuktikan bahwa para shahabat
jugaikhtilaf, sebagian mereka berpendapat bahwa shalat Ashar mesti
dilaksanakan di Bani Quraizhah, sedangkan sebagian lain berpendapat shalat
Ashar dilaksanakan ketika waktunya telah tiba, meskipun belum sampai di Bani
Quraizhah. Satu kelompok berpegang pada teks, yang lain berpegang pada makna
teks. Inilah cikal bakal ikhtilaf dan Rasulullah Saw membenarkan
keduanya, karena tidak keluar dari tuntunan Sunnah.
Setelah Rasulullah Saw wafat pun
para shahabat mengalami ikhtilaf dalam masalah-masalah tertentu.
Ikhtilaf
Shahabat Ketika Rasulullah Saw Telah Wafat.
فلما فرغ من جهاز
رسول الله صلى الله عليه وسلم يوم الثلاثاء وضع في سريره في بيته وقد كان المسلمون
اختلفوا في دفنه فقال قائل: ندفنه في مسجده وقال قائل: بل ندفنه مع أصحابه فقال
أبو بكر: إني سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول: ما قبض نبي إلا دفن حيث
يقبض فرفع فراش رسول الله صلى الله عليه وسلم الذي توفي عليه فحفر له تحته
Ketika
jenazah Rasulullah Saw telah siap (untuk dikebumikan) pada hari Selasa. Jenazah
Rasulullah Saw diletakkan di tempat tidurnya di dalam rumahnya. Kaum muslimin ikhtilaf
dalam hal pemakamannya.
Ada
yang berpendapat, “Kita makamkan di dalam masjidnya (Masjid Nabawi)”.
Ada
yang berpendapat, “Kita makamkan bersama para shahabatnya (di pemakaman
Baqi’)”.
Abu
Bakar berkata, “Saya pernah mendengar Rasulullah Saw bersabda, “Tidak
seorang pun dari nabi itu yang meninggal dunia melainkan ia dimakamkan di mana
ia meninggal”. Maka kasur tempat Rasulullah Saw meninggal pun diangkat.
Lalu makam Rasulullah Saw digali di bawah kasur itu”[5].
Ini membuktikan bahwa para shahabat ikhtilaf,
baik ketika Rasulullah Saw masih hidup, maupun setelah Rasulullah Saw wafat.
Namun kedua ikhtilaf itu diselesaikan dengan tuntunan Sunnah Rasulullah
Saw.
Ijtihad
Shahabat Rasulullah Saw.
Ijtihad
Shahabat Ketika Rasulullah Saw Masih Hidup.
Ketika
mengalami suatu peristiwa, Rasulullah Saw tidak berada bersama para shahabat,
maka para shahabat itu berijtihad, seperti yang disebutkan dalam sebuah hadits,
عَنْ
أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ قَالَخَرَجَ رَجُلَانِ فِي سَفَرٍ فَحَضَرَتْ
الصَّلَاةُ وَلَيْسَ مَعَهُمَا مَاءٌ فَتَيَمَّمَا صَعِيدًا طَيِّبًا فَصَلَّيَا
ثُمَّ وَجَدَا الْمَاءَ فِي الْوَقْتِ فَأَعَادَ أَحَدُهُمَا الصَّلَاةَ
وَالْوُضُوءَ وَلَمْ يُعِدْ الْآخَرُ ثُمَّ أَتَيَا رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَذَكَرَا ذَلِكَ لَهُ فَقَالَ لِلَّذِي لَمْ يُعِدْ
أَصَبْتَ السُّنَّةَ وَأَجْزَأَتْكَ صَلَاتُكَ وَقَالَ لِلَّذِي تَوَضَّأَ
وَأَعَادَ لَكَ الْأَجْرُ مَرَّتَيْنِ
Dari
Abu Sa’id al-Khudri, ia berkata, “Dua orang shahabat pergi dalam suatu
perjalanan. Kemudian tiba waktu shalat, mereka tidak memiliki air, lalu mereka
berdua bertayammum dengan tanah yang suci. Lalu mereka berdua melaksanakan
shalat. Kemudian mereka berdua mendapatkan air dan waktu shalat masih ada.
Salah seorang dari mereka mengulangi shalatnya dengan berwudhu’. Sedangkan yang
lain tidak mengulangi shalatnya. Kemudian mereka berdua datang menghadap
Rasulullah Saw, mereka menyebutkan peristiwa yang telah mereka alami.
Rasulullah Saw berkata kepada yang tidak mengulangi shalatnya, “Perbuatanmu
sesuai dengan Sunnah, shalatmu sah”. Rasulullah Saw berkata kepada yang
mengulangi shalatnya dengan berwudhu’, “Engkau mendapatkan dua pahala”. (HR.
Abu Daud).
Ijtihad
Shahabat Ketika Rasulullah Saw Telah Wafat.
المشهور
من مذهب عائشة رضي الله تعالى عنها أنها كانت لا ترى الغسل لكل صلاة
Masyhur
dari mazhab Aisyah ra, menurutnya (wanita yang mengalami istihadhah)
tidak wajib mandi pada setiap shalat[6].
واختلفوا
في وجوب السعي بين الصفا والمروة فذهب مالك والشافعي وأصحابهما وأحمد وإسحاق وأبو
ثور إلى ما ذكرنا وهو مذهب عائشة رضي الله عنها ومذهب عروة
وغيره.وكان أنس بن مالك وعبد الله بن الزبير ومحمد بن سيرين يقولون هو تطوع وليس
ذلك بواجب
Mereka
ikhtilaf tentang hukum wajibnya sa’i antara Shafa dan Marwah. Menurut
Imam Malik, Imam Syafi’i, para ulama kedua mazhab tersebut, Imam Ahmad, Imam
Ishaq dan Abu Tsaur, seperti yang telah kami sebutkan (wajib Sa’i), ini adalah mazhab
Aisyah, mazhab ‘Urwah dan lainnya. Sedangkan Anas bin Malik,
Abdullah bin az-Zubair dan Muhammad bin Sirin berpendapat bahwa Sa’i itu
sunnat, tidak wajib[7].
Hasil ijtihad mereka disebut madzhab.
Makna
Madzhab.
Makna
kata Madzhab menurut bahasa adalah: مَوْضِعُ الذَّهَابِtempat
pergi.
Sedangkan
Madzhab menurut istilah adalah:
مَا اُخْتُصَّ بِهِ الْمُجْتَهِدُ مِنْ
الْأَحْكَامِ الشَّرْعِيَّةِ الْفَرْعِيَّةِ الِاجْتِهَادِيَّةِ الْمُسْتَفَادَةِ
مِنْ الْأَدِلَّةِ الظَّنِّيَّةِ
Hukum-hukum
syar’i yang bersifat far’i dan ijtihadi yang dihasilkan
dari dalil-dalil yang bersifat zhanni oleh seorang mujtahid secara
khusus[8].
Pengertian madzhab yang lebih
sempurna dan sistematis dengan kaedah-kaedah yang tersusun baru ada pada masa
imam-imam mazhab.
Para
Imam Mazhab.
1. Abu Sa’id al-Hasan bin Yasar
al-Bashri, Imam al-Hasan al-Bashri (w.110H).
2. An-Nu’man bin Tsabit, Imam Hanafi
(w.150H).
3. Abu ‘Amr bin Abdirrahman bin ‘Amr,
Imam al-Auza’i (w.157H).
4. Sufyan bin Sa’id bin Masruq, Imam
Sufyan ats-Tsauri (w.160H).
5. Imam al-Laits bin Sa’ad (w.175H).
6. Malik bin Anas al-Ashbuhi, Imam
Malik (w.179H).
7. Imam Sufyan bin ‘Uyainah (w.198H).
8. Muhammad bin Idris, Imam Syafi’i
(w.204H).
9. Ahmad bin Muhammad bin Hanbal,
Imam Hanbali (w.241H).
10. Daud bin Ali al-Ashbahani
al-Bahdadi, Imam Daud azh-Zhahiri (w.270H).
11. Imam Ishaq bin Rahawaih (w.238H).
12. Ibrahim bin Khalid al-Kalbi, Imam
Abu Tsaur (w.240H).
Namun
tidak semua mazhab ini bertahan. Banyak yang punah karena tidak dilanjutkan
oleh para ulama yang mengembangkan mazhab setelah imam pendirinya wafat. Oleh
sebab itu yang populer di kalangan Ahlussunnah-waljama’ah adalah empat mazhab:
Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali. Bahkan Syekh Abu Bakar al-Jaza’iri
menyusun kitab Fiqhnya dengan judul al-Fiqh ‘ala al-Madzahib al-Arba’ah
(Fiqh menurut empat mazhab).
Imam
Mazhab Menyikapi Perbedaan.
Mereka
tetap shalat berjamaah, meskipun ada perbedaan diantara mereka pada hal-hal
tertentu, misalnya Basmalah pada al-Fatihah, ada yang membaca sirr,
ada yang membaca jahr, ada pula yang tidak membaca Basmalah sama
sekali. Namun itu tidak menghalangi mereka untuk shalat berjamaah.
كان أبو حنيفة
أو أصحابه والشافعي وغيرهم رضي الله عنهم
يصلون خلف أئمة المدينة من المالكية
وغيرهم وإن كانوا لا يقرءون البسملة لا سرا ولا جهرا
Imam
Hanafi atau para ulama Mazhab Hanafi, Imam Syafi’i dan para ulama lain shalat
di belakang para imam di Madinah yang berasal dari kalangan Mazhab Maliki,
meskipun para imam di Madinah itu tidak membaca Basmalah, baik sirr
maupun jahar (karena menurut Mazhab Maliki: Basmalah itu bukan
bagian dari surat al-Fatihah)[9].
Adab
Imam Syafi’i Kepada Imam Hanafi.
وصلى الشافعي
رحمه الله الصبح قريبا من مقبرة أبي حنيفة
رحمه الله ، فلم يقنت تأدبا معه
Imam
Syafi’i melaksanakan shalat Shubuh, lokasinya dekat dari makam Imam Hanafi.
Imam Syafi’i tidak membaca doa Qunut karena beradab kepada Imam Hanafi[10].
Adab
Imam Malik.
Imam
Malik berkata,
شاورني هارون
الرشيد في أن يعلق (الموطأ) في الكعبة، ويحمل الناس على ما فيه فقلت: لا تفعل، فإن
أصحاب رسول الله صلى الله عليه وسلم اختلفوا في الفروع، وتفرقوا في البلدان، وكل
عند نفسه مصيب، فقال: وفقك الله يا أبا عبد الله
Khalifah
Harun ar-Rasyid bermusyawarah dengan saya, beliau ingin menggantungkan kitab al-Muwaththa’
(karya Imam Malik) di Ka’bah, beliau ingin menetapkan agar seluruh masyarakat
memakai isi kitab al-Muwaththa’. Saya katakan, “Jangan lakukan!
Sesungguhnya para shahabat Rasulullah Saw telah berbeda pendapat dalam masalah furu’,
mereka juga telah menyebar ke seluruh negeri, semuanya benar dalam ijtihadnya”.
Khalifah Harun ar-Rasyid berkata, “Allah membarikan taufiq-Nya kepadamu wahai
Abu Abdillah (Imam Malik)”[11].
Imam
Malik VS Imam Hanafi.
قال
الليث: لقيت مالكاً بالمدينة فقلت له: إني أراك تمسح العرق عن جبينك.
قال
عزفت مع أبي حنيفة.إنه لفقيه يا مصري.
ثم
لقيت أبا حنيفة قلت: ما أحسن قول ذلك الرجل فيك.فقال: والله ما رأيت أسرع منه
بجواب صادق وزهد تام.
Imam
al-Laits bin Sa’ad berkata, “Saya bertemu dengan Imam Malik, saya katakan
kepadanya, ‘Saya lihat engkau mengusap keringat dari alis matamu?’.
Imam
Malik menjawab, “Saya merasa tidak punya apa-apa ketika bersama Abu Hanifah,
sesungguhnya ia benar-benar ahli Fiqh wahai orang Mesir (Imam al-Laits)”.
Kemudian
saya menemui Imam Hanafi, saya katakan kepadanya, “Bagus sekali ucapan Imam
Malik terhadap dirimu”.
Imam
Hanafi menjawab, “Demi Allah, saya belum pernah melihat orang yang lebih cepat
memberikan jawaban yang benar dan zuhud yang sempurna melebihi Imam Malik”[12].
Komentar
Imam Syafi’i Terhadap Imam Malik.
اذا
جاءك الحديث عن مالك فشد به يديك
“Apabila
ada hadits datang kepadamu, dari Imam Malik, maka kuatkanlah kedua tanganmu
dengan hadits itu”.
اذا
جاءك الخبر فمالك النجم
“Jika datang Khabar
kepadamu, maka Imam Malik adalah bintangnya”.
اذا
ذكر العلماء فمالك النجم وما أحد أمن على من مالك بن أنس
“Jika
disebutkan tentang ulama-ulama, maka Imam Malik adalah bintangnya. Tidak
seorang pun yang lebih aman bagiku daripada Imam Malik bin Anas”.
مالك
بن أنس معلمى وعنه أخذت العلم
“Imam Malik bin Anas adalah
guruku, darinya aku mengambil ilmu”.
كان
مالك بن أنس اذا شك في الحديث طرحه كله
“Imam
Malik bin Anas itu, jika ia ragu terhadap suatu hadits, maka ia buang semuanya”[13].
Komentar
Imam Hanbali Terhadap Imam Syafi’i.
عبد الله بن أحمد
بن حنبل قال قلت لأبي يا أبة أي رجل كان الشافعي فإني سمعتك تكثر من الدعاء له
فقال لي يا بني كان الشافعي كالشمس للدنيا وكالعافية للناس فانظر هل لهذين من خلف
أو منهما عوض
Abdullah
putra Imam Hanbali berkata, “Saya katakan kepada Ayah saya, ‘Wahai Ayahanda,
orang seperti apa Syafi’i itu, saya selalu mendengar engkau berdoa untuknya’.
Imam Hanbali menjawab, ‘Wahai Anakku, Imam Syafi’i seperti matahari bagi dunia.
Seperti kesehatan bagi tubuh. Lihatlah, adakah pengganti bagi kedua ini?!”[14].
قال أبو أيوب
حميد بن أحمد البصري كنت عند أحمد بن حنبل نتذاكر في مسألة فقال رجل لأحمد يا أبا
عبد الله لا يصح فيه حديث فقال إن لم يصح فيه حديث ففيه قول الشافعي وحجته أثبت
شيء فيه
Abu
Ayyub Humaid bin Ahmad al-Bashri berkata, “Saya bersama Imam Hanbali
bermuzakarah tentang suatu masalah. Seorang laki-laki bertanya kepada Imam
Hanbali, “Wahai Abu Abdillah, tidak ada hadits shahih tentang masalah itu’.
Imam
Hanbali menjawab, “Jika tidak ada hadits shahih, ada pendapat Imam Syafi’i
dalam masalah itu. Hujjah Imam Syafi’i terkuat dalam masalah itu”[15].
Ikhtilaf
Ulama Kontemporer:
Para
ulama zaman sekarang pun berijtihad dalam masalah-masalah tertentu yang tidak
ada nash menjelaskan tentang itu. Atau ada nash, tapi merekaikhtilaf
dalam memahaminya. Ketika mereka berijtihad, maka tentu saja mereka pun ikhtilaf
seperti orang-orang sebelum mereka.
[1]Imam
Ibnu ‘Abidin, Hasyiyah Radd al-Muhtar ‘ala ad-Durr al-Mukhtar Syarh Tanwir
al-Abshar, juz.VII (Beirut: Dar al-Fikr, 1421H), hal.197
[2]Imam
‘Ala’ ad-Din Muhamad bin Ali al-Hashfaki, Ad-Durr al-Mukhtar, juz.V
(Beirut: Dar al-Fikr, 1386H), hal.403.
[3]Lihat
selengkapnya dalamal-Fiqh al-Islamy wa Adillatuhu, Syekh Wahbah
az-Zuhaili, Juz.II (Damascus: Dar al-Fikr), hal.323-325.
[5]Imam
Abu Muhammad Abdul Malik bin Hisyam al-Bashri (w.213H),Sirah Ibn Hisyam,
juz.II, hal.663.
[7]Imam
Ibn ‘Abdilbarr, at-Tamhid li ma fi al-Muwaththa’ min al-Ma’ani wa al-Asanid,
Juz.XX (Mu’assasah al-Qurthubah), hal.151.
[8]Imam
Ahmad bin Muhammad al-Hanafi al-Hamawi (w.1098H), Ghamz ‘Uyun al-Basha’ir fi
Syarh al-Asybah wa an-Nazha’ir, Juz.I, hal.40
[9]Waliyyullah
ad-Dahlawi, Hujjatullah al-Balighah, (Cairo: Dar al-Kutub al-Haditsah),
hal.335.
[11]Imam
Abu Nu’aim al-Ashbahani, Hulyat al-Auliya’ wa Thabaqat al-Ashfiya’,
Juz.VI (Beirut: Dar al-Kitab al-‘Araby), hal.332.
[12]Al-Qadhi
‘Iyadh, Tartib al-Madarik wa Taqrib al-Masalik, Juz.I, hal.36
[13]Imam
al-Qurthubi (w.463H), al-Intiqa’ fi Fadha’il ats-Tsalatsah al-A’immah al-Fuqaha’;
Malik wa asy-Syafi’i wa Abi Hanifah, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah), Hal.23.
[14]Al-Hafizh
al-Mizzi, Tahdzib al-Kamal,juz.XXIV (Beirut: Mu’assasah ar-Risalah,
1400), hal.372
Beberapa pelajaran dari uraian di
atas:
Pertama, bahwa ikhtilaf dalam
memahami nash (teks) bukan perkara baru, sudah terjadi ketika Rasulullah
Saw masih hidup, kemudian berlanjut hingga zaman shahabat setelah ditinggalkan
Rasulullah Saw, hingga sampai sekarang ini. Maka yang perlu dilakukan bukan
menghilangkan ikhtilaf, seperti rendah hatinya Imam Malik yang tidak mau
memaksakan Mazhab Maliki, tapi memahami ikhtilafsebagai dinamika dan
kekayaan khazanah keilmuan Islam, selama ikhtilaf itu dalam masalah furu’,
bukan masalah ushul, sebagaimana yang dicontohkan para Shalafusshaleh
diatas.
Kedua,, berbeda dalam masalah furu’
tidak menyebabkan ummat Islam saling membid’ahkan. Karena Imam Ahmad bin Hanbal
tidak membid’ahkan Imam Syafi’i dan para pengikutnya hanya karena mereka
membaca doa Qunut pada shalat Shubuh. Kecenderungan membid’ah orang lain ketika
berbeda pendapat, ini berbahaya, contoh: orang yang berpegang pada pendapat
Syekh al-Albani, ketika akan turun sujud, ia akan mendahulukan tangan. Jika ia
tidak dapat menerima pendapat yang mengatakan mendahulukan lutut, berarti ia
membid’ahkan Syekh Ibnu Utsaimin dan Syekh Ibnu Baz.
Contoh lain, orang yang datang ke
tanah lapang untuk melaksanakan shalat Idul Fitri, jika ia berpegang pada
pendapat Syekh Ibnu Utsaimin, maka ia akan melaksanakan shalat Tahyatul-masjid.
Orang yang berpegang pada pendapat Syekh Ibnu Baz yang mengatakan tidak ada
shalat Tahyatal-masjid di tanah lapang tempat shalat Ied. Ia mesti dapat menerima perbedaan, jika tidak
dapat menerima perbedaan pendapat, maka ia pasti akan membid’ahkan orang-orang
yang berpegang pada pendapat Syekh Ibnu Utsaimin.
Ketiga, seperti yang diwasiatkan al-Imam
asy-Syahid Hasan al-Banna,
نعمل فيما اتفقنا ونعتذر فيما اختلفنا
“Mari beramal
pada perkara yang kita sepakati, dan mari berlapang dada menyikapi perkara yang
kita ikhtilaf di dalamnya”.