Oleh Muhammad Fajri
Jika mau jujur dan berpihak pada salaf maka amat sangat tidak relevan dan ngeri jika Madrasah Fiqih yang dibangun ribuan tahun oleh ratusan bahkan ribuan ulama diadu dengan tarjihatnya segelintir ulama masa kini semisal Ahmad Surkati, A Hassan dan lain-lain. Dan framing yang dibangun adalah "kejumudan dan kemunduran". Cobalah ditelusuri secara mendalam sebelum mengeluarkan statement ; benarkah paran ulama di atas lahir dari kejumudan fikih atau pergerakan semangat menerapkan hukum islam secara umum?
Padahal dari sisi karya saja ada berapa kitab fikih madzhab dibanding non madzhab ? Dari sini penutut ilmu dituntut ilmiah dalam data serta memberikan penjelasan yang rinci apa itu kejumudan dan kemunduran serta apa saja indikatornya? Jika tidak mampu menjelaskan maka inilah yang dinamakan gagal faham
Seringkali gagal faham itu muncul berawal dari kurangnya pengetahuan yang dimiliki dan buntutnya salah dalam menyimpulkan. Kaedah fiqhiyyah mengatakan :
الحكم على الشيء فرع عن تصوره
"Menghukumi (menilai) sesuatu itu buah dari mengerti esensinya.
Maka janganlah menghukumi suatu perkara sebelum final dalam memahami secara lengkap akan hakikatnya, agar sesuai dengan kenyataannya.
Polemik bermadzhab dan tidak bermadzhab hakikatnya berputar pada dua status dalam skala besar; muqallid dan mujtahdid. Para ulama telah memberikan penjelasan yang lengkap akan syarat-syarat ijtihad sehingga bagi siapapun yang belum memenuhi syarat tersebut hakikatnya ia adalah muqallid yang wajib taklid kepada para ulama
Belakangan ini sebagian penuntut ilmu justru gagal faham akan makna taklid. Mereka mengira bahwa dengan mengetahui dalil-dalilnya maka ia telah keluar dari area taklid. Padahal untuk keluar dari gagal faham di atas kita harus merujuk ke penjabaran para ulama akan syarat-syarat ijtihad di kitab-kitab ushul demi mengukur kemampuan diri apakah telah menggapai rutbah ijtihad atau belum
Perlu difahami bahwa sekedar mengetahui dalil atau hasil istimbat para ulama mujtahidin tidak serta merta dinamakan ijtihad atau telah keluar dari taklid. Dan rata-rata penuntut ilmu dalam mengupgrade keilmuannya akan melewati beberapa tahapan. Tahapan ini saya nuqil dari ulasan ustadz Ibnu Majah sebagai berikut :
Tidak semua yang sudah belajar Ilmu alat berarti sudah sampai tingkat mampu mandiri dalam memahami dalil fikih tanpa butuh kepada penjelasan fuqaha madzhab.
Tingkatan belajar fikih itu :
1. Ta’liq yaitu hanya tahu gambaran masalah tanpa tahu dalil dan khilaf yang terjadi di dalam nya, dan banyak yang belajar ilmu alat baru sampai pase ini.
2. Tahqiq yaitu tahu permasalahan berserta dalil nya, kalau pembelajar udah sampai tahap ini maka kepercayaan kepada madzhab Insya Allah kuat karena dia akan sadar tidak ada satupun permasalahan fikih dalam sebuah madzhab yang tidak dibangun di atas dalil.
3. Tadqiq dan ini juga ada tiga pase yaitu yang pertama tahu hilaf internal madzhab dengan dalil dan sisi pendalilan nya, kemudian pase kedua adalah tahu hilaf yang terjadi antar madzahab, dan yang ketiga tahu dalil setiap madzhab
Setelah itu anda bisa jadi seorang Mujtahid, saya kurang yakin dari semua yang mengklaim dirinya sudah memiliki ilmu alat hingga tidak butuh madzhab lansung ke dalil dia sudah sampai tahapan kedua atau bahkan pertama dari tahapan berfikih ini (selesai kutipan)