Bismillahirrohmaanirrohiim

Kitab Ihya Ulumaddin dan Gus Baha

Oleh Musa Muhammad


Ihya Ulumuddin karya imam al Ghozali adalah sebuah kitab fenomenal, yg mengabungkan 3 in one : "Filosofi, Tarikh (sejarah) dan Fiqh berjalan "beriringan". Tentu bagi kita yg "awam" akan kesulitan membaca dan memahami isi kandungan kitab tersebut.

Ada seorang "alim" yg saya berpendapat secara pribadi rasanya tidak berlebihan meyebut beliau "Ibaarotun 'an Mitsaalun al lhya Ulumuddin" (mengibaratkan orang tersebut sebagai "pengejahwantahan" kitab Ihya Ulumudin yg berjalan). Adalah K.H. Ahmad Bahauddin Nursalim atau lebih dikenal "Gus Baha" salah satu ulama yg berasal Rembang, Jawa Tengah.

Dalam satu kesempatan, "al 'Alim Gus Baha" menjelaskan seumpama manusia itu sadar, pasti mereka akan mendahulukan kepentingan urusan akhirat dan menomor duakan kepentingan dunia. Orang hidup di dunia ini pada hakikatnya adalah orang mati. Justru pada saat mereka mati, di saat itulah mereka malah dianggap baru hidup.
ويوم يحشرهم كأن لمْ يلبثوا إلا ساعة من النهار
"Dan (ingatlah) akan hari (yg di waktu itu) Allah mengumpulkan mereka, (mereka merasa di hari itu) seakan-akan mereka tidak pernah berdiam (di dunia) hanya sesaat di siang hari.”
(Qs Yunus: 45).

Dalam Qur’an juga dikatakan, orang yg sedang hidup sekarang sedang dalam kelalaian. Akan disingkap semua tirai hakikat itu pada hari kiamat kelak.
لقدْ كنت في غفلة منْ هذا فكشفْنا عنْك غطاءك فبصرك الْيوم حديد
“Sesungguhnya kamu (di dunia) berada dalam keadaan lalai dari (hal) ini (peristiwa akhirat), maka Kami singkapkan daripadamu tutup (yg menutupi) matamu, maka penglihatanmu pada hari itu amat tajam.”
(Qs Qaf: 22).

Bukti orang yg hidup sekarang adalah orang mati secara hakikat, mereka sering salah paham bahwa uang itu penting, kenal dengan camat itu penting, kenal bupati itu penting. Kita baru akan jadi paham kalau duit dan semua hal-hal "tersebut" kelak menjadi tidak penting setelah mati.

Agar kita tahu dengan jelas bahwa hal-hal itu tidak penting, kita mesti menunggu sampai di akhirat kelak. Pada saat mati kelak kita baru sadar bahwa harta, tahta, pengaruh, jumlah pengikut, semuanya tak lagi dianggap penting. Yg penting besok di akhirat adalah lamanya sujud dengan dinikmati, melihat anak yatim kemudian diberi sedekah, bisa mengaji disyukuri, dan lain sebagainya. Sehingga gara² bermalas-malasan tidak shalat tahajjud dan lain sebagainya membuat orang menyesal di akhirat nantinya. Banyak hal yg terasa remeh di dunia tapi justru besar nilainya di akhirat.

Terkadang ada fenomena seorang kyai, karena ia hanya mengelola mushala kecil reot dilabeli sebagai kiai kecil. Sedangkan kyai yg menjabat secara struktural di ormas besar distempel sebagai kiai besar yg top, hanya gara² jabatan yg ia sandang. Ternyata di akhirat yg besar hanya jadi kulit saja. Sedang yg kiai kecil tadi malah bisa kasih syafa’at". Makanya, lanjut Gus Baha’, jangan suka melabeli ulama sebagai kiai kecil, tapi ia besar menurut Allah, seperti ini banyak terjadi.

Ada sebuah "hadist" yg jarang di ungkap :
رب أشعث، مدْفوع بالأبواب لو أقسم على الله لأبره
"Banyak orang yg rambutnya semrawut, (compang-samping), ditolak masuk ke pintu² masyarakat (karena dianggap remeh), namun orang itu jika bersumpah atas nama Allah, pasti Allah mengabulkan permintaannya.”
(Hr Muslim).

Kisah Uwais al Qarni yg masyhur. Saking zuhud-nya Uwais tidak pernah berani mempunyai pakaian hingga dua helai karena ia "khawatir", jangan² kalau ia mempunyai pakaian dua helai, sedangkan ada orang lain yg sampai tak punya pakaian sama sekali, ia kelak akan dihisab karena itu. Sebab standarnya, jika ada orang tidak mempunyai pakaian, di sisi lain tetangganya ada orang yg mempunyai pakaian lebih dari kebutuhannya, harus diberikan. Kalau tidak, akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah (hisab).

Berbeda kalau punyanya hanya pakaian satu saja. Walaupun dari sumber harta syubhat sekalipun, akan tetap halal, tidak terkena hisab. Sebab, ia berpakaian semata-mata untuk menutup aurat yg hukumnya wajib. Dalam keadaan darurat untuk menjalankan kewajiban menutup aurat, seumpama memakai harta haram sekalipun diperbolehkan, karena darurat.
Makan juga begitu. Uwais al Qarni itu tidak mau makan kecuali kalau tidak makan, akan mati. Seumpama terpaksa yg ia makan itu haram akan menjadi halal karena memang dalam keadaan darurat. Jika lebih dari itu, terkena hisab.

Dengan di atas dapat diambil kesimpulan bahwa profil Uwais al Qarni di mata masyarakat tidak terkenal, namun namanya tenar di mata penduduk langit. Dengan begitu, kiai kecil atau kiai besar tidak bisa diukur oleh pandangan masyarakat secara kasat mata. Karena masing² bukan berdasar kealiman atau pengikutnya, tapi ketakwaannya.
ان أكرمكم عند الله أتقداكم
"Sesunggunya yg paling mulia kalian di sisi Allah adalah kalian yg paling taqwa.”
(Qs Hujurat: 13).

Dengan begitu, dalam pandangan tasawwuf, kita tidak bisa memeta-metakan kiai besar, kiai kecil jika mengacu bagaimana kedudukan mereka di sisi Allah. Kecuali pada ranah kredibilitas dan kapabilitas keilmuan, kita baru bisa menilai kapasitas keilmuan seseorang dengan parameter atau patokan yg sudah ditentukan oleh para ulama sehingga kita bisa ambil mereka sebagai rujukan masalah agama. Namun jika menyangkut mana yg paling mulia di sisi Allah, tidak ada yg bisa mengklasifikan mana yg besar mana yg kecil.

Abu Dzar al Ghifari meriwayatkan bahwa Rasulullah bersabda : 
“Menghadiri majelis orang alim lebih utama daripada salat seribu rakaat, menjenguk seribu orang sakit, dan menghadiri seribu jenazah.” 
Kemudian Abu Dzar bertanya, “Bukankah membaca Alquran lebih utama dari majelis orang alim?
Nabi menjawab dengan lugas dan bijaksana : “Apakah membaca Al Qur'an berguna tanpa ilmu?”.

Di antara sabda Nabi adalah, “Orang pandai (alim) adalah kepercayaan Allah di muka bumi, (Ada penyebutan riwayat dimana ahli ibadah masuk surga sendirian, sementara ahli fiqih bisa memberi syafa'at kepada yg lain). 

"Ada seorang yg bertanya kepada Nabi tentang ahli ibadah dan ahli fiqih: mana yg lebih utama?
Nabi menjawab: “Seorang ahli fiqih (ilmu) itu lebih utama di sisi Allah dari seribu ahli ibadah.” ‎Rasulullah bersabda :
إذا كان يوم القيامة يقول الله تعالى للعابد : ادْخل الجنة , فإنما كانت منفعتك لنفسك , ويقال للعالم: اشفع تشفع , فانما كانت منفعتك للناس
“Di hari kiamat kelak, Allah berfirman kepada ahli ibadah. Masuklah ke dalam surga, karena ibadahmu bermanfaat untuk dirimu sendiri. Namun kepada seorang alim dikatakan: “Beri syafaat kepada yg lain, karena selama ini engkau telah memberi manfaat kepada orang².”

Hal ini jelas menunjukkan derajat orang pandai(alim), ulama, dan cendekiawan sangat terhormat di sisi Allah, sehingga dikategorikan sebagai pemberi syafaat. Padahal, tidak semua malaikat diperkenankan memberi syafaat sesuai dengan firman Allah :

“Dan betapa banyak malaikat di langit yg syafaatnya tidak berguna sedikit pun, kecuali sesudah Allah mengizinkan bagi orang yg dikehendaki dan diridai-Nya.”
(Qs An Najm 26).
والله اعلم


.

PALING DIMINATI

Back To Top