Bismillahirrohmaanirrohiim

Memahami Konsep Al Muhafadzah

Oleh Yusuf Suharto 


Maqolah "المحافظة على القديم الصالح والأخذ بالجديد الأصلح" sering dikaitkan dengan prinsip yang dipegang oleh para Ulama tradisional, khususnya dalam konteks Ahlussunnah wal Jama’ah dan pesantren di Nusantara.

Asal-usul Maqolah Dalam Tradisi NU

Menurut Para Ulama NU, maqolah ini mencerminkan metode istinbath hukum dan pendekatan dalam memahami perubahan zaman. Ada beberapa kemungkinan asal-usulnya:

1. Dikaitkan dengan Manhaj Tasawwuf dan Fikih

Prinsip ini memiliki kesamaan dengan kaidah ushul fikih yang menekankan ijtihad dalam perkara baru, tetapi tetap mempertahankan warisan ilmu dan praktik yang sudah terbukti baik.

Dalam tasawwuf, maqolah ini juga sejalan dengan ajaran tarekat sufi yang tetap mempertahankan akidah dan amalan lama yang baik, tetapi juga menerima inovasi yang bermanfaat.

2. Terpengaruh oleh Kaidah Ushuliyah Klasik

Dalam ushul fikih, ada kaidah serupa:

 تغير الأحكام بتغير الزمان والمكان

"Hukum bisa berubah sesuai perubahan zaman dan tempat)."

Ini menunjukkan bahwa NU menerima perubahan, tetapi tetap mempertahankan nilai-nilai lama yang sudah terbukti maslahat.

3. Digunakan oleh KH Hasyim Asy’ari

Maqolah ini sering dikaitkan dengan KH Hasyim Asy’ari, pendiri NU. Dalam berbagai catatan dan pidato beliau, prinsip ini digunakan untuk menjaga tradisi pesantren sembari menerima kemajuan zaman yang lebih maslahat.

Dalam Khittah NU, prinsip ini dijadikan sebagai pedoman dalam menghadapi modernitas tanpa kehilangan identitas keislaman pesantren.

4. Mirip dengan Pemikiran Imam Syafi’i

Imam Syafi’i dikenal sebagai Ulama yang menyusun qaul qadim dan qaul jadid (pendapat lama dan baru). 

Ini menunjukkan bahwa Islam mengajarkan keseimbangan antara memegang tradisi yang baik dan menerima inovasi yang lebih maslahat. 

Prinsip 

"المحافظة على القديم الصالح والأخذ بالجديد الأصلح" 

Berasal dari tradisi Ulama klasik, kemudian dikembangkan oleh Ulama NU untuk merespons tantangan zaman. 

KH Hasyim Asy’ari dan para Ulama pesantren menjadikannya sebagai manhaj dalam beragama, berorganisasi, dan bernegara, sehingga tetap relevan hingga kini.

Kitab Mbah KH Hasyim Asy'ari yang Menunjukkan Substansi/Nuansa Yang Sama

Maqolah المحافظة على القديم الصالح والأخذ بالجديد الأصلح (memelihara tradisi lama yang baik dan mengambil hal baru yang lebih baik) sangat relevan dengan pemikiran KH. Hasyim Asy'ari, terutama dalam konteks menjaga tradisi keilmuan Islam sekaligus membuka diri terhadap inovasi yang bermanfaat. 

Beberapa kitab beliau yang mencerminkan substansi atau nuansa serupa dengan maqolah ini antara lain:

1. Adabul ‘Alim wal Muta’allim

Dalam kitab ini, KH. Hasyim Asy'ari menekankan pentingnya menjaga adab dalam menuntut ilmu sesuai tradisi ulama terdahulu (al-qadîm as-shâlih).

Namun, beliau juga membuka ruang bagi metode pendidikan modern yang lebih efektif (al-jadîd al-ashlah), dengan tetap berpegang pada prinsip-prinsip Islam.

2. An-Nurul Mubin fi Mahabbati Sayyidil Mursalin

Kitab ini menegaskan pentingnya mempertahankan kecintaan kepada Rasulullah dan sunnahnya sebagai bagian dari tradisi Islam yang baik.

Pada saat yang sama, KH. Hasyim Asy'ari juga menyoroti bagaimana memahami dan mengamalkan sunnah di zaman yang terus berkembang.

3. Ziyadat Ta'liqat 

Dalam komentar-komentarnya, beliau menegaskan perlunya mempertahankan metode belajar klasik tetapi tetap kontekstual dengan perubahan zaman.

4. Muqaddimah Qanun Asasi Nahdlatul Ulama' 

Dalam mukadimah ini, beliau menekankan prinsip menjaga warisan ulama salaf, tetapi juga menyesuaikannya dengan kebutuhan zaman.

Konsep 

المحافضة على القديم الصالح والاخذ بالجديد الاصلح 

Sangat kental di dalamnya, karena menjadi salah satu fondasi Nahdlatul Ulama.

5. Risalah Ahlissunnah wal Jama’ah

Kitab ini menegaskan keutamaan mengikuti Ahlussunnah wal Jama’ah sebagaimana yang diajarkan Ulama terdahulu.

Namun, KH. Hasyim Asy'ari juga menunjukkan bahwa dalam menghadapi tantangan baru, umat Islam harus mampu mencari solusi yang relevan tanpa meninggalkan prinsip-prinsip dasar keislaman.

Keseluruhan kitab-kitab tersebut menunjukkan bahwa KH. Hasyim Asy'ari adalah Ulama yang sangat memperhatikan kesinambungan tradisi dan pembaruan yang bermanfaat, sesuai dengan Maqolah tersebut

Keterkaitan Maqolah dengan Kitab An-Nurul Mubin fi Mahabbati Sayyidil Mursalin karya KH Hasyim Asy’ari 

1. Mempertahankan Tradisi Kecintaan kepada Nabi Muhammad ﷺ

An-Nurul Mubin berisi penjelasan tentang mahabbah (cinta) kepada Rasulullah ﷺ, yang merupakan ajaran klasik Islam yang telah menjadi bagian penting dalam tradisi Ahlussunnah wal Jama’ah.

Mbah KH Hasyim Asy’ari menekankan bahwa kecintaan kepada Rasulullah ﷺ adalah warisan yang harus terus dijaga oleh umat Islam, termasuk melalui peringatan Maulid Nabi, pembacaan shalawat, dan kajian tentang sirah (sejarah) Nabi.

Ini adalah bentuk

 المحافظة على القديم الصالح 

2. Menyesuaikan dengan Konteks Nusantara yang Lebih Maslahat

Dalam kitab ini, KH Hasyim Asy’ari tidak hanya menjelaskan dalil-dalil kecintaan kepada Nabi, tetapi juga menghubungkannya dengan konteks perjuangan umat Islam di Indonesia.

Beliau menunjukkan bahwa kecintaan kepada Nabi dapat menjadi semangat perjuangan umat Islam dalam menghadapi tantangan zaman.

Dengan demikian, ini mencerminkan الأخذ بالجديد الأصلح karena konsep mahabbah Nabi tidak hanya dijaga secara ritual, tetapi juga diterapkan dalam perjuangan sosial-keagamaan.

3. Aplikasi dalam Gerakan Nahdlatul Ulama

KH Hasyim Asy’ari mengajarkan bahwa mahabbah kepada Rasulullah ﷺ bukan sekadar teori, tetapi harus diwujudkan dalam amal dan perjuangan.

Dalam konteks NU, kecintaan kepada Rasulullah ﷺ diterapkan melalui tradisi maulid, shalawat, serta perjuangan membela Islam dan tanah air.
Ini menunjukkan bahwa konsep mahabbah dalam kitab An-Nurul Mubin bukan hanya mempertahankan ajaran lama, tetapi juga mengembangkan cara baru yang lebih maslahat dalam membangun peradaban Islam di Nusantara.

Kitab An-Nurul Mubin adalah contoh bagaimana Mbah KH Hasyim Asy’ari menerapkan maqolahnya dalam menjaga tradisi lama yang baik (mahabbah kepada Nabi ﷺ) sambil menyesuaikannya dengan kebutuhan zaman. 

Beliau tidak hanya mempertahankan tradisi shalawat dan maulid, tetapi juga menjadikannya sebagai motivasi perjuangan Islam di Indonesia, sehingga lebih relevan dan maslahat bagi umat.

Batasan Sholih dalam Maqolah untuk Konteks Kekinian menurut Ulama NU

Dalam maqolah, istilah ṣāliḥ (sholih, صالح) merujuk pada sesuatu yang baik dan layak untuk dipertahankan. 

Namun, dalam konteks kekinian, Ulama NU memberikan batasan terhadap makna ṣāliḥ agar tidak menjadi alasan untuk mempertahankan sesuatu yang sudah tidak relevan atau bahkan bertentangan dengan prinsip Islam dan kemaslahatan umat.

Batasan Ṣāliḥ Menurut Ulama NU

1. Sesuai dengan Syariat Islam

Tradisi lama yang ṣāliḥ harus tetap dalam koridor syariat. Jika suatu tradisi bertentangan dengan Al-Qur’an, Hadis, Ijma’, atau Qiyas, maka tidak bisa dikategorikan sebagai ṣāliḥ, melainkan perlu diperbaiki atau bahkan ditinggalkan.

2. Memiliki Nilai Manfaat yang Nyata

Ṣāliḥ tidak hanya berarti "tradisi lama," tetapi harus membawa manfaat bagi umat. Jika suatu tradisi sudah tidak memberikan manfaat atau justru menimbulkan mudarat, maka ia tidak lagi bisa disebut ṣāliḥ.

3. Tidak Menjadi Penghambat Kemajuan

Ulama NU menekankan bahwa tradisi yang ṣāliḥ adalah yang bisa berjalan seiring dengan perkembangan zaman. Jika suatu tradisi menghambat kemajuan ilmu, teknologi, atau kesejahteraan umat, maka perlu dikaji ulang apakah masih layak dipertahankan.

4. Menjaga Identitas Islam Nusantara

Tradisi yang ṣāliḥ dalam konteks NU seringkali dikaitkan dengan budaya Islam Nusantara yang khas. Namun, budaya yang bertentangan dengan akidah dan syariat Islam tidak bisa dikategorikan sebagai ṣāliḥ.

5.Selaras dengan Prinsip Moderasi Islam (Wasathiyyah)

NU menolak ekstremisme, baik dalam bentuk fanatisme terhadap tradisi lama yang tidak relevan maupun sikap liberal yang meninggalkan nilai-nilai tradisi secara serampangan. Tradisi yang ṣāliḥ adalah yang tetap berada dalam jalur moderasi Islam.

6. Sesuai dengan Kaidah Ushul Fikih

Kaidah ushul fikih yang menjadi rujukan dalam menentukan apakah sesuatu masih ṣāliḥ atau tidak, antara lain:

Taghayyuru al-aḥkām bi taghayyuri al-azminah wa al-amkinah (hukum bisa berubah sesuai dengan perubahan zaman dan tempat).

Contoh Implementasi dalam Konteks Kekinian

1. Pendidikan

Metode pembelajaran klasik seperti sorogan dan bandongan masih ṣāliḥ karena terbukti efektif dalam pembentukan karakter santri.

Namun, metode yang tidak lagi relevan seperti pembatasan akses ilmu bagi perempuan di beberapa tempat bisa dikaji ulang.

2. Ekonomi

Sistem arisan berbasis gotong royong dalam komunitas Muslim masih ṣāliḥ karena membantu ekonomi umat.

Namun, sistem ijon yang merugikan petani tidak lagi bisa dikategorikan sebagai ṣāliḥ karena menimbulkan kemudaratan.

3. Budaya dan Tradisi Keagamaan

Tradisi tahlilan dan ziarah kubur tetap ṣāliḥ karena memiliki dasar dalam Islam dan bermanfaat untuk mempererat ukhuwah Islamiyah.

Namun, tradisi yang mengarah pada kesyirikan atau berlebihan dalam memuja tokoh tidak bisa dikategorikan sebagai ṣāliḥ.

Kesimpulannya 

Batasan ṣāliḥ dalam maqolah ini menurut ulama NU adalah bahwa sesuatu bisa dianggap ṣāliḥ jika tetap sesuai dengan syariat, memberi manfaat nyata bagi umat, tidak menghambat kemajuan, menjaga identitas Islam Nusantara, serta selaras dengan prinsip moderasi Islam. 

Jika suatu tradisi bertentangan dengan prinsip-prinsip tersebut, maka tidak lagi layak dipertahankan dan perlu digantikan dengan sesuatu yang aṣlaḥ (lebih baik).

Kitab-Kitab yang Berhubungan dengan Konsep 

المحافضة على القديم الصالح والاخذ بالجديد الاصلح 

Penjelasan tersebut tidak secara eksplisit terdapat dalam ktab tertentu, tetapi substansi konsepnya bisa ditemukan dalam berbagai kitab klasik dan kajian Ulama' NU:

1. Kitab Al-Qawa'id Al-Fiqhiyyah (Kaidah Fikih)

Dalam kitab-kitab Kaidah Fikih seperti Al-Asybah wa An-Nazhair karya Imam As-Suyuthi dan Al-Asybah wa An-Nazhair karya Ibnu Nujaim, ada kaidah yang berkaitan:

تغير الأحكام بتغير الأزمان

Hukum dapat berubah sesuai dengan perubahan zaman.

Ini menjadi dasar bahwa tradisi lama yang ṣoliḥ tetap bisa diterapkan selama sesuai dengan zaman dan kondisi.

2. Kitab Bughyatul Mustarsyidin (Syekh Abdurrahman)

Kitab ini sering menjadi rujukan Ulama NU dalam memahami hukum adat dan tradisi dalam Islam yang menjelaskan bahwa kebiasaan atau tradisi bisa menjadi bagian dari hukum jika tidak bertentangan dengan syariat.

3. Kitab Ihya' Ulumiddin (Imam Al-Ghazali)

Imam Al-Ghazali banyak membahas konsep ṣoliḥ dalam konteks menjaga nilai-nilai tradisional yang membawa kebaikan dan menolak perubahan yang menyesatkan.

4. Kitab Kaasyifatus Saja (Syekh Nawawi)

Dalam beberapa bagian, kitab ini menegaskan pentingnya mempertahankan ilmu dan tradisi keagamaan yang sudah terbukti maslahat.

5. Kitab Hasyiyah I'anatut Thalibin (Syekh Sayyid Bakri Syatho)

Membahas bahwa kebiasaan atau adat (‘urf) dapat dijadikan hukum selama tidak bertentangan dengan syariat Islam.

Pemikiran Ulama' NU dalam Konteks Kekinian

Selain dalam kitab klasik, batasan ṣoliḥ dalam maqolah ini juga banyak dibahas dalam:

Bahtsul Masail NU, yang membahas bagaimana tradisi bisa dipertahankan atau diubah sesuai konteks zaman.

Pemikiran KH. Sahal Mahfudh, yang menekankan Fiqih Sosial dalam melihat tradisi dan hukum Islam di masyarakat.

Mbah KH. Hasyim Asy'ari dalam kitab Adabul Alim wal Muta’allim, yang menekankan pentingnya menjaga tradisi ilmu tetapi tetap terbuka pada inovasi.

Disusun oleh Ustadz Bey Arifin (dengan sedikit penyesuaian)


Dokumen Terkait:

.

PALING DIMINATI

Back To Top